
Pada hari pertama magang, saya dan Meron diterima dengan sangat baik. Pengurus LSM dan para pekerja rumah tangga yang kebanyakan ibu-ibu sangat senang berbincang dengan kami. Sementara saya sibuk berbincang, Meron terlihat sibuk sendiri dengan kamera handphone-nya memotret kandang ayam di samping sebuah rumah serta beberapa tumpukan sampah di sekitarnya. Awalnya saya khawatir Meron tidak menikmati proses magang, karena ketertarikannya pada isu kesehatan masyarakat bukan pada isu PRT. Namun saya kemudian tahu kalau ibu Meron pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Arab Saudi selama 12 tahun. Oleh karena itu dia mulai tertarik pada isu pekerja rumah tangga yang ada di Indonesia. Sedangkan ibu saya, juga seorang pekerja rumah tangga yang bekerja di Kota Pontianak, Kalimantan Barat sejak dua tahun lalu.
Selama magang di RTND, saya dan Meron terlibat dalam berbagai kegiatan dengan pekerja rumah tangga seperti berkumpul untuk sekadar berbagi cerita ataupun diskusi. Selain itu, kami juga mengajar Bahasa Inggris di Sekolah PRT, salah satu program RTND yang bekerjasama dengan berbagai LSM di Yogyakarta atau disebut JP-PRT (Jaringan Perlindungan-Pekerja Rumah Tangga). Hal ini membuat saya paham akan kondisi yang mungkin ibu saya juga sedang alami.
Saya sedikit kaget ketika para perempuan pekerja rumah tangga yang rata-rata berusia 30-50 tahun, meminta saya dan Meron mengajari mereka Bahasa Inggris setiap malam. Pada mulanya saya pikir, ada sebagian dari mereka yang punya minat untuk bekerja di luar negeri. Namun setelah saya tanyakan ternyata tidak ada sama sekali dari mereka yang tertarik bekerja di luar negeri. Saya masih tidak habis pikir mereka yang harus bekerja pada siang hari serta harus mengurus pekerjaan rumahnya sendiri, masih mau dan sempat datang pada malam hari untuk belajar Bahasa Inggris bersama saya dan Meron.
Kekaguman saya pada para perempuan di sekolah PRT, serta Meron dengan isu kesehatan masyarakat di Indonesia, akhirnya mendapat titik temu sewaktu kami datang dalam diskusi rutin kelompok kerja PRT. Sepanjang perkumpulan kami tidak banyak menemukan hal istimewa. Mereka hanya duduk berkumpul, arisan, makan atau hanya bicara banyak hal “remeh” mengenai kehidupan sehari-hari. Kemudian salah seorang perempuan mencoba menarik perhatian yang lain untuk memperhatikannya. Dia mengambil setumpukan kartu seukuran kartu ATM dari dalam tasnya lalu memulai pembicaraan“Ini loh ibu-ibu, saya bukan lagi kampanye…Tapi kalo nanti Pak Jokowi menang, kita bakal dapat kartu ini”. Meron yang baru datang ke Indonesia sekitar dua minggu, serta belum bisa berbahasa Indonesia merasa penasaran lalu meminta saya menerjemahkan apa yang dikatakan perempuan tadi. Perempuan tersebut mencoba mengenalkan “contoh” kartu Indonesia Sehat dan Pintar bila kandidat presiden Joko Widodo terpilih. Kami berdua langsung teringat ketika Prof. Dwyer, salah satu dosen kami, di kelas bicara tentang klaim pemerintah dalam salah satu koran nasional bahwa seluruh masyarakat Indonesia kini punya jaminan kesehatan. Yang menarik bagi kami berdua bukan pada kesan keberpihakan perempuan pekerja rumah tangga pada Jokowi. Namun pada kepercayaan dan harapan mereka akan kartu Indonesia sehat dan pintar ketimbang program pemerintah yang baru-baru ini diluncurkan, yaitu BPJS-Kesehatan. Kami akhirnya sepakat untuk membuat riset mini tentang perempuan pekerja rumah tangga dan jaminan kesehatan.
Saya rasa sebagian orang bila mendengar istilah PRT akan langsung mengarah kepada “pembantu rumah tangga” bukan “pekerja rumah tangga”. Sebelum mengenal penyebutan PRT, kita sering mendengar banyak istilah untuk pekerja rumah tangga seperti babu, jongos atau nyantri. Sampai kemudian, muncul variasi istilah yang dianggap lebih sopan seperti, pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga. Sejauh mana kata “pekerja” dalam penyebutan PRT dianggap penting? Dan, mengapa para perempuan pekerja rumah tangga masih memperjuangkan status mereka menjadi pekerja rumah tangga?
Dalam pekerjaannya, perempuan pekerja rumah tangga membutuhkan fisik yang sehat. Mengingat pada “status” pekerjaannya yang belum juga mendapat pengakuan, kini para perempuan pekerja rumah tangga sedang memperjuangkan status PRT sebagai pekerja formal. Sehingga, memungkinkan PRT memperjuangkan haknya untuk mendapat perlindungan hukum yang lebih baik. Berbagai persoalan mulai dari kekerasan atau bahkan pelecehan seksual sering menimpa perempuan pekerja rumah tangga. Tidak adanya deskripsi yang jelas mengenai beban dan jam kerja juga membuat perempuan pekerja rumah tangga erat dengan isu kesehatan. Namun sampai saat ini masih belum jelas, siapa yang harus peduli dan harus menjamin kesehatan perempuan pekerja rumah tangga?
Bermula dari pertanyaan di atas, saya dan Meron menemui Laksmi, seorang teman dari Fakultas kedokteran UGM sekaligus relawan di LSM Rifka Annisa, Yogyakarta. Mulai dari obrolan mengenai BPJS-Kesehatan yang baru-baru ini diluncurkan sampai pada isu kesehatan yang dihadapi oleh perempuan Indonesia. Saya sedikit kaget ketika Laksmi bicara mengenai penyakit kanker serviks dan kanker payudara yang menjadi salah satu ancaman bagi perempuan. Seorang perempuan yang mengidap kanker harus melakukan kemoterapi, yang biasanya hanya bisa dilakukan di beberapa rumah sakit besar, banyak perempuan yang tinggal di desa harus menempuh jarak yang jauh, belum lagi tantangan untuk antre. Menurut Laksmi, rumah sakit yang menerima jaminan kesehatan dari pemerintah seperti BPJS seringkali penuh, terutama untuk ruang rawat inap kelas III. Selain harus menunggu sampai waktu yang tidak tentu, mereka harus memikirkan biaya-biaya lain seperti transportasi dan biaya akomodasi lainnya untuk setiap kali kemoterapi yang harus mereka jalani. Apakah jaminan kesehatan yang dijanjikan pemerintah juga menanggung semua biaya tersebut? Saya kira tidak. Jadi, tidak heran mengapa banyak perempuan dengan gejala-gejala kanker memilih untuk tidak memeriksakannya. Selain persoalan biaya, minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi yang mereka miliki juga menjadi alasan mengapa mereka baru datang memeriksakannya dengan kondisi yang sudah semakin parah.
Beberapa kali datang ke Sekolah PRT, saya menemukan stiker pemeriksaan payudara (self check) terpasang di pintu kamar mandi. Di samping itu, setelah melihat kurikulum pembelajaran sekolah PRT, mereka juga mendapatkan kelas kesehatan reproduksi. Perempuan pekerja rumah tangga yang berada pada kelas menengah atau mungkin menengah kebawah sangat berisiko akan berbagai persoalan kesehatan. Perempuan pekerja rumah tangga di sekolah PRT kini sedang mengusahakan hak mereka untuk mendapatkan BPJS dengan kategori PBI (Penerima Bantuan Iuran) atau kategori tanpa iuran. Ibu saya yang juga bekerja sebagai full time pekerja rumah tangga tidak mempunyai banyak waktu untuk bisa bertemu atau berkomunikasi dengan saya kecuali saat Idul Fitri. Saya melihat banyak perbedaan antara perempuan pekerja rumah tangga di sekolah PRT tempat saya magang dengan ibu saya yang sama-sama seorang pekerja rumah tangga. Sewaktu ibu menelepon, saya menceritakan pengalaman saya belajar dan bekerja bersama perempuan pekerja rumah tangga di Yogyakarta. Saya bercerita tentang mereka yang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan, sehingga mereka tahu hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Belajar dari apa yang saya dapatkan di Sekolah PRT, saya menyarankan ibu saya membuat kontrak kerja dengan pihak pengguna jasa (biasa disebut majikan) terkait dengan upah, beban dan deskripsi kerja, jaminan kesehatan serta hari libur. Namun ibu saya terkesan tidak tertarik. Dia malah mengalihkan pembicaraan dan memilih bicara hal lain seperti,“Apakah uang bulanan masih cukup?”, “Kapan wisuda dan sudah tahu mau kerja apa?”.Saya terus memaksa ibu saya untuk mempertimbangkan apa yang saya sampaikan. Akhirnya dia berkata,“Sudahlah, sudah mending diberi kerja dan dapat upah. Jadi orang harus banyak bersyukur.” Saya berhenti memaksa pembicaraan mengenai kontrak kerja serta tidak pernah lagi mencoba membahasnya sampai sekarang.
Setelah sekitar lima minggu magang di Sekolah PRT, saya bersama Meron mendapatkan banyak pengalaman dan kesempatan berinteraksi dengan para pekerja rumah tangga disana. Kami berbincang dengan beberapa pekerja rumah tangga dan pengguna jasa mengenai pendapat mereka tentang siapa yang harus peduli dan berkewajiban menjamin kesehatan PRT? Dari perbincangan tersebut, saya dan Meron sedikit kaget karena hampir semua responden baik perempuan pekerja rumah tangga maupun pengguna jasa berpendapat bahwa kesehatan perempuan pekerja rumah tangga merupakan tanggung jawab pengguna jasa. Namun hal tersebut sangat bertolak belakang karena ketika kami menanyakan apakah ada dari mereka yang mengasuransikan atau mengusahakan jaminan kesehatan bagi PRT-nya? Tidak ada.
Saya pikir, kalaupun pemerintah atau pengguna jasa yang akhirnya harus peduli dan berkewajiban untuk menanggung jaminan kesehatan perempuan pekerja rumah tangga, kembali pada pengalaman ibu saya, apakah dia juga bisa menikmati haknya tersebut? Karena sewaktu saya memberikan saran untuk mencoba membicarakan haknya pada pengguna jasa, ibu saya bahkan tidak tertarik sama sekali. Saya yakin hal serupa juga terjadi pada banyak perempuan pekerja rumah tangga lain yang masih belum sadar dan peduli akan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Mungkin yang ibu saya butuhkan yaitu memulai berkumpul dengan para perempuan lain dengan persoalan yang sama. Saya belajar dari para perempuan di sekolah PRT, bagaimana mereka berinteraksi walau hanya sekadar duduk berkumpul, bicara tentang kehidupan sehari-hari, arisan, atau sekadar makan, yang awalnya saya anggap remeh. Dimulai dari pembicaraan yang terkesan remeh, hal tersebut dapat menjadi suatu langkah awal untuk membuka pemahaman mengenai perjuangan hak-hak mereka sebagai pekerja rumah tangga.