Hingga saat ini sudah sangat banyak kajian dan studi yang berlatarkan kemiskinan, baik itu studi kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan. Namun pada umumnya penyebab kemiskinan itu sendiri masih sulit diberantas karena faktor penyebab yang sangat kompleks. Pendapat para ahli umumnya berbeda-beda, berbeda wilayah berbeda pula konteks kemiskinannya dan tentu cara memeranginya berbeda pula. Sebagian besar orang (termasuk ahli) menilai bahwa fenomena kemiskinan sangat erat kaitannya dengan faktor ekonomi. Dalam arti bahwa ukuran sebuah kemiskinan adalah ekonomi. Suyanto (2013) menyebutkan bahwa banyak bukti menunjukkan yang disebut sebagai orang atau keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi ekonomi lebih tinggi. Ketika saya merenung, hal pertama yang melintas dalam pikiran saya adalah tentang ibu saya—seorang perempuan Dayak Mali. Seorang perempuan Dayak Mali memiliki kedudukan yang sama seperti perempuan suku lain di Indonesia. Kedudukan dalam arti kesamaan hak dan kewajiban sebagai perempuan di Indonesia. Ada diantara mereka yang bernasib baik, mereka dapat mengenyam pendidikan hingga bangku sekolah tinggi, untuk kemudian keluar dari belenggu kemiskinan. Namun sangat banyak diantara mereka yang tidak bernasib beruntung, sehingga memaksa mereka untuk tetap tinggal di kampung dengan penghidupan seadanya. Saya memahami mereka yang bernasib tidak beruntung, bukan karena mereka malas bekerja tetapi keadaan yang sudah terstruktur yang mengikat mereka dalam sebuah kondisi tertentu—bahkan mereka sendiri tidak menyadari bahwa mereka dalam kondisi miskin. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pandangan konservatif yang memvonis bahwa sebuah kemiskinan merupakan akibat dari lemahnya etos kerja. Kemiskinan inilah yang dimaksud sebagai kemiskinan struktural. Suyanto (2013) menuliskan bahwa secara teoritis kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber. Oleh sebab itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku yang sedemikian rupa keadaannya sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Fenomena kemiskinan struktural ini terjadi pada perempuan Dayak Mali, penyebab utamanya yakni perempuan Dayak Mali tidak memiliki keterampilan lebih untuk bergeser ke penghidupan yang lain, atau dalam kata lain mereka tergolong dalam unskilled labour. Ciri mendasar dari kemiskinan struktural yaitu tidak adanya mobilitas sosial vertikal. Dengan kata lain mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya. Seandainya pun ada progress-life pada perempuan Dayak Mali, maka berjalan sangat lamban. Saya ingin menghubungkan fakta kemiskinan perempuan Dayak Mali dengan konsep deprivation trap oleh Robert Chambers seperti dikutip Suyanto (2013). Deprivation trap terdiri dari lima unsur, yakni: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini sangat erat kaitannya antara satu dengan yang lainnya. Dimensi kemiskinan yang acapkali menjadi perhatian khusus saya adalah adanya diskursus dalam strukturalisasi. Apabila keluarganya miskin, maka perempuan Dayak Mali ikut andil dalam kemiskinan tersebut, dalam arti tidak hanya kaum perempuan saja yang merasakan miskin namun juga kaum laki-lakinya. Sudah dapat dipastikan kondisi ini akan bertahan lama dan stagnan apabila tidak ada keberlanjutan dalam usaha keluar dari belenggu kemiskinan. Sejauh yang saya amati pada perempuan Dayak Mali, mereka sangat aktif dalam usaha yang dimaksud. Tidak jarang mereka diterima bekerja di perusahaan-perusahaan maupun bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Pengamatan saya di Desa Cowet, Kecamatan Balai, perempuan Dayak Mali banyak yang bekerja di PT. Erna Djuliawati di Kabupaten Sanggau. Namun tidak dapat dipungkiri ada pula diantara mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota Pontianak (umumnya bagi mereka yang tidak tamat sekolah menengah). Fenomena kemiskinan merupakan hal yang jarang disadari oleh perempuan Dayak Mali yang masih belia. Mereka bekerja hanya semata-mata untuk mendapatkan uang kemudian diberikan kepada orang tuanya, sudah. Hanya sebatas itu, mereka hanya berpikir bahwa kehidupan mereka memang seperti itu adanya. Tidak akan ada lagi jalan bagi mereka untuk menjangkau kehidupan yang berbeda dari kondisi yang ada saat itu. Ini bukanlah sikap pasrah atau menyerah pada nasib. Tetapi mereka tidak punya pilihan untuk mengubah mata angin kehidupan, dikarenakan pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan dalam bidang tertentu. Sebuah perangkap kemiskinan (Robert Chambers) salah satunya terjadi dikarenakan kelemahan fisik. Hal ini tentu sejalan dengan praktik gender yang mengklaim bahwa perempuan adalah kaum yang lemah daripada laki-laki. Namun dimensi ini tidak berlaku bagi perempuan Dayak Mali. Riwut (2011) menyebutkan bahwa konsekuensi dari kesetaraan gender yang sejak semula telah diperoleh perempuan Dayak, merupakan tantangan untuk mampu membuktikan diri bahwa perempuan Dayak bukan makhluk lemah yang tidak berdaya. Kenyataannya, perempuan Dayak Mali memiliki semangat bekerja yang tinggi. Hal ini terbukti dengan mereka bekerja di sawah atau ladang setiap hari. Mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan gotong royong atau pengiri yang menjadi tradisi budaya turun-temurun masyarakat Dayak Mali. Di sisi lain perempuan Dayak Mali yang bekerja di perusahaan dapat menghasilkan materi, yang setidaknya sedikit membawa keluarganya selangkah lebih baik dari keluarga lain. Hidup di desa dengan penghasilan pas-pasan merupakan ukuran ekonomi sebuah praktik kemiskinan. Pada fakta yang terjadi sebagian keluarga miskin tidak menyadari kemiskinan yang terjadi di dalam. Mereka beranggapan bahwa hidup miskin sudah menjadi hal yang biasa ketika roda kehidupan berjalan datar. Toh mereka masih bisa makan dari hasil berladang dan masih bisa bertahan hidup dari hasil alam sekitar, dengan kata lain keluarga miskin sebisa mungkin survive. Namun yang menjadi masalah yaitu ketika ada tekanan kebutuhan yang memaksa mereka harus mengeluarkan banyak uang dalam kondisi perekonomian tertentu. Misalnya, melonjaknya harga sembako yang tidak bisa mereka produksi sendiri, seperti: minyak goreng, gula pasir, dan lain-lain. Kondisi seperti ini tentu akan membuat mereka semakin tidak berdaya. Belum lagi bagi mereka yang memiliki anak, mereka dituntut memenuhi gizi anak seperti membeli susu dan telur. Terkadang hal ini tidak terpenuhi karena keterbatasan ekonomi atau penghasilan yang pas-pasan. Kondisi masyarakat desa tersebut sangat erat kaitannya dengan dimensi kerentanan. Di kalangan keluarga miskin, kerentanan pada umumnya identik dengan suatu kondisi ekonomi keluarga yang tidak memiliki penyangga yang memadai (rapuh). Menurut Chambers kondisi ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti gagal panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin. Dalam keadaan ini biasanya akan menimbulkan roda penggerak kemiskinan atau disebut poverty racket yang bisa lebih memiskinkan keluarga miskin, misalnya keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset tanahnya sehingga membuat mereka semakin rentan dan tidak berdaya. Fakta lain yaitu sejalan dengan dimensi keterasingan atau kadar isolasi, dimana perempuan Dayak Mali tidak memiliki akses untuk mendapatkan jalan menuju penghidupan layak yakni pendidikan. Sedikitnya terdapat tujuh dusun yang termasuk dalam wilayah Desa Cowet. Dari tujuh dusun tersebut hanya satu dusun yang sudah memiliki akses listrik atau PLN. Sedangkan enam dusun lainnya masih belum terjangkau oleh PLN. Dengan kata lain terdapat ribuan masyarakat miskin yang aksesnya dipangkas karena keberadaannya di daerah terpencil. Kemiskinan yang terjadi bukan hanya karena masalah uang dan hasil produksi saja, namun juga ketersediaan infrastuktur. Fakta yang ada menunjukkan bahwa infrastruktur jalan saja masih sangat jauh dari kata memadai. Lantas bagaimana akses pendidikan dapat berjalan baik? Bagaimana akses pekonomian berjalan lancar? Sementara akses pintu gerbang utama masih belum terbuka. Keterisolasian daerah tempat tinggal perempuan Dayak Mali tidak serta-merta membuat mereka miskin semiskin-miskinnya. Namun, lagi-lagi mereka sedikit memahami esensi kata miskin itu sendiri. Mereka justru berpikir bahwa masih banyak yang lebih miskin dari mereka, seperti di daerah perkotaan masih ada orang yang tinggal di bawah kolong jembatan, atau tinggal di rumah kardus, atau bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Justru masih banyak orang yang lebih miskin bukan karena keterisolasian tempat tinggal. Pada dasarnya keterisolasian ini bukan masalah pokok kemiskinan yang terjadi secara umum. Konsep ketidakberdayaan perempuan Dayak Mali terjadi karena faktor rendahnya pendidikan. Sehingga soft skill yang mereka miliki tidak memadai. Jika terdapat perempuan Dayak Mali yang menamatkan pendidikan di bangku SMA, setelah tamat mereka memilih untuk menikah dan cenderung melanjutkan lakon dan peran orang tua mereka (perempuan Dayak Mali lainnya) menjadi buruh tani. Soft skill yang yang didapat saat duduk dibangku sekolah seharusnya dapat diaplikasikan kedalam bentuk pekerjaan lain, misalnya bekerja di koperasi. Namun kenyataannya mereka lebih memilih pekerjaan seperti yang orang tua mereka wariskan. Keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, umumnya mereka sulit untuk bangkit kembali. Roda kehidupan yang mereka lakoni cenderung hanya dalam lingkaran itu saja, tanpa adanya usaha untuk keluar dari lingkaran roda tersebut. Mereka acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan dan bahkan mengalami penurunan kualitas kehidupan (Suyanto, 2013). Referensi: Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: Intrans Publishing. Riwut, N. (2011). Bawin Dayak: Kedudukan, Fungsi, dan Peran Perempuan Dayak. Yogyakarta: Galang Press. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |