(Mahasiswa Jurusan Ilmu Filsafat, FIB, Universitas Indonesia)
rendi95lustanto@gmail.com

Ketika represi sebuah negara diwakili oleh laki-laki berbaju loreng dengan sepucuk laras panjang AK yang dikalungkan dileher maka banyak sekali perempuan dan anak-anak merasa ketakutan, bahkan menimbulkan suatu trauma yang mendalam karena sudah terlalu banyak jelaga hitam atau bahkan cap yang bertinta darah menempel di memori mereka. Tak hanya itu, bahkan terdapat strategi jitu untuk menanamkan politik dominasi walaupun itu suatu cara yang keji. Seolah-olah itu tindakan yang legal jika berada dalam situasi konflik. Suatu strategi untuk menanamkan otoritas atau kekuatan yang menunjukkan bahwa hegemoni legal tetap berkuasa. Ketika jalur diplomasi dan jalur senjata dianggap tidak lagi bisa membendung hasrat legitimasi politik terhadap suatu institusi. biasanya cara kotor ini akan segera diluncurkan., Tindakan yang bertujuan untuk memenuhi hasrat simbol kekuasaan yang diboncengi dengan hasrat seksual yang membabi buta, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi bagian dari situasi konflik seperti ini.
Laporan The Human Rights Information Network, pada tanggal 8 Juli 1998 menyatakan bahwa pada tahun 1990-1997, tercatat lebih dari 600 perempuan diperkosa di Aceh yang kebanyakan dilakukan oleh personel militer Indonesia (Jurnal Perempuan, 2011). Begitu juga di Papua, pemerkosaan terjadi secara sistematis yang kebanyakan belum terdokumentasi. Menurut analisis saya, pemerkosaan telah dijadikan senjata untuk melaksanakan teror mental agar hegemoni tetap tegak berdiri. Kasus-kasus semacam ini kurang menjadi sorotan publik internasional ketika melihat konflik yang sedang berkecamuk di suatu negara. Luput dari sorotan mata kamera, karena lebih tergiur dengan desingan-desingan rudal dan terpana pada bom yang meluluhlantakkan kota, atau melaporkan jumlah korban tewas, padahal kasus seperti ini dapat menjadi luka yang tak kan sembuh walaupun kondisi keamaan sudah kondusif.
Jika dilihat melalui kacamata Michael Foucault, dalam karyanya Histoire De La Sexualite (1978), ia membedakan dua kekuasaan, yakni kekuasaan yang besar yang diwakili oleh institusi dan aparatus dan kekuasaan yang bermain (play of power). Dalam konteks kasus seperti ini dua bentuk kekuasaan tersebut tumbuh bak jamur di musim penghujan, menjadi pelengkap dari upaya perusakan sebuah peradaban. Pemerkosaan dalam konteks seperti ini adalah tindakan pemaksaan dan perampasaan hak seseorang atas nama suatu kepentingan besar yang berupa narasi hegemoni. Pemerkosaan bukan sekadar pelecehan seksual semata, namun menjadi strategi politik , sebuah doktrin yang melambangkan kekuasaan yang disisipkan dengan menghilangkan kehormataan perempuan pihak lawan. Karena pelaku merasa memilki wewenang dan derajat yang lebih tinggi yang kemudian menjadi pendorong untuk melakukan tindakan tersebut. Hal inilah yang menguatkan asumsi saya bahwa pemerkosaan adalah suatu tindakan perendahan derajat oleh kaum penguasa terhadap kaum yang dikuasai dan masalah dominasi.
Pemerkosaan dalam situasi konflik seperti ini memiliki efek destruktif yang melukai psikis dan mengganggu kesehatan mental, seperti teror psikologis yang sangat mematikan. Memang dalam kondisi seperti ini terdapat semacam free will dari pemerkosa yang seolah-olah disahkan oleh penguasa. Terdapat suatu putusan eksistensialis ketika memilih untuk memerkosa atau tidak, namun kebanyakan dari pemerkosa melihat ini sebagai salah satu kesempatan emas untuk menunjukkan hegemoninya.Jika dalam posisi seperti ini, bagaimana kita melihat bentuk pelanggran HAM yang berlindung di balik tembok kekuasaan untuk dimintai pertanggungjawaban? Apakah kita tetap diam seribu bahasa? Seolah-olah kita merasa tuli, bisu dan buta ketika mengetahui permasalahan seperti ini? Apakah kita bisa menjamin bahwa jika kasus seperti ini dibawa ke ranah hukum dapat adil dalam penyelesaiannya dan tidak terjadi bias dalam putusan peradilannya karena menyangkut tahta kekuasaan? Para korban seperti perempuan Papua, Aceh dan perempuan di berbagai negara yang mengalami konflik menuntut keadilan, lalu pada siapa mereka akan menuntut, apakah hukum berpihak kepada korban-korban seperti mereka?
Mungkin benar perkataan dosen saya, Rocky Gerung yang mengatakan bahwa dalam diskursus feminisme yang dibutuhkan adalah kecerdasan etis bukan kecerdasaan akademis. Bagi saya hal ini dapat dimanfaatkan sebagai pijakan dalam menyelesaikan kasus-kasus seperti ini. Seharusnya perangkat hukum dan sistem peradilan mulai memikirkan gagasan Rocky Gerung sebagai terobosan untuk menghasilkan alat hukum yang lebih berpihak kepada mereka yang termarginalisasi, karena sebagian perangkat hukum belum berpihak kepada mereka yang tertindas.
Daftar Pustaka
Foucault, Michael. 1978. Histoire De La Sexualite. New York: Vintage Books, A Division of Random House, Inc.
Jurnal Perempuan edisi 71. 2011. Perkosaan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.