Nicodemus Niko Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Universitas Padjadjaran ([email protected]) Sebagian besar masyarakat Indonesia, secara umum masih menempatkan permasalahan seksual sebagai pembahasan yang tabu untuk diperbincangkan sehari- hari. Masyarakat seolah-olah menutup rapat segala perbincangan yang menyangkutpautkan tentang seks dan seksualitas. Baru-baru ini di Kalimantan Barat, pelaporan atas kejahatan seksual menguap ke permukaan. Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat pada bulan Februari lalu membeberkan data kasus terkait penanganan kekerasan terhadap anak, dimana kejahatan seksual menjadi dominasi kasus yang ditangani (Antara Kalbar 2020). Sepanjang bulan Januari 2020 saja terdapat 20 kasus kejahatan seksual yang dilaporkan. Hal ini berarti bahwa ada kesadaran masyarakat untuk melapor atas segala bentuk kejahatan seksual yang dialami oleh anak-anak, ini sebuah kemajuan untuk bisa speak-up. Pada sebagian besar budaya masyarakat kita, narasi seksualitas masih menjadi pembahasan yang tabu untuk dibahas dan diperbincangkan. Hal ini menandakan bahwa masyarakat kita masih kurang terbuka untuk mengedukasi diri mengenai seksualitas, dalam kata lain bahwa pendidikan dan pengetahuan seksualitas masih belum merata bagi setiap kelompok/lapisan masyarakat. Hal ini bisa saja karena akses-akses terhadap pendidikan seksual yang tidak memadai, dan atau terdapat dogma-dogma tertentu yang kurang membuka ruang untuk edukasi keberagaman seksualitas.
Pengetahuan Seksualitas yang Timpang Adanya dogmatisasi, ketertutupan akses, dan tabu masyarakat menandakan bahwa kita terkungkung pada budaya patriarki. Budaya patriarki adalah perspektif yang menyatakan bahwa laki-laki mendominasi semua peran dalam sistem sosial; karena perempuan diabaikan dari peran yang juga bisa mereka lakukan seperti laki-laki. Peran sosial ini termasuk dalam aspek sosial, agama, ekonomi, politik, atau budaya. Artinya bahwa segala aspek dan pengetahuan tidak diakses secara merata. Termasuk pengetahuan seksualitas, yang dikekang oleh heteronormativitas semata. Sehingga terdapat timpang pikir ketika kejahatan seksual disandingkan dengan orientasi seksual. Misalnya pada kasus kejahatan seksual yang dilakukan Reynhard di Inggris, dimana kejahatan seksual tersebut pada konteks laki-laki sesama laki-laki (The Guardian 2020). Terdapat narasi yang belum selesai ketika kita membicarakan kejahatan seksual dengan orientasi seksualitas marginal (LGBT). Stigma, stereotipe dan diskriminasi yang masih kerap terjadi dialami oleh kelompok seksualitas marginal di Indonesia. Superioritas laki-laki menjadi penanda bahwa pada masyarakat patriarki terjadi praktik diskriminasi terhadap minoritas gender dan seksualitas. Ketika Reynhard yang adalah homoseksual melakukan kejahatan seksual, dengan mudahnya stigma dan stereotipe melekat bahwa; “semua homoseksual sama saja, pasti adalah predator dan penjahat seksual”. Narasi yang belum selesai ini, sepatutnya menjadi perdebatan bagi akademisi dalam rangka membangun pola pemahaman yang benar mengenai kejahatan seksual dan orientasi seksual. Pemahaman Konteks Kekerasan Seksual dan Orientasi Seksual Budaya taboo (tabu) ini yang kian membuat banyak orang mencari sendiri definisi seks dan seksualitas. DeBeavoir (2016) menyebutkan bahwa seksualitas merupakan aspek-aspek terhadap kehidupan manusia terkait faktor biologis, fisiologis, sosial dan budaya terkait seks dan aktivitas seksual yang mempengaruhi masyarakat. Secara tidak langsung seksualitas selalu melekat pada kehidupan setiap individu. Sehingga pada jalan mencari definisi ini, tidak jarang memunculkan kekerasan terhadap perempuan dan juga laki-laki kelompok marginal. Kekerasan terhadap perempuan mencakup pelecehan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi, serta pemotongan melintasi batas usia, ras, budaya, kekayaan, dan geografi. Pada konteks kekerasan seksual, perlu digarisbawahi adalah kekerasan seksual tidak berbatas pada jenis kelamin perempuan ataupun laki-kali. Artinya bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama rentan menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan terhadap orientasi seksual homoseksual bahkan mendapatkan stigma dan label negatif dalam pemberitaan media. Hal ini yang memunculkan sikap stigma dan stereotipe di dunia nyata. Kemudian, khususnya perempuan yang menjadi korban telah menduduki posisi yang lebih rumit terkait dengan beban sosial mereka, hal ini semakin diperjelas bahwa budaya patriarkal sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita. Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang dapat berakibat kerusakan tubuh dan mental bagi korban. Bagi korban anak perempuan selain guncangan psikologis, kerentanan terjangkit penyakit kelamin, juga guncangan lingkungan sosial yang kemudian dapat menjadikan korban mendapatkan stigma dan stereotipe. Hal yang sama juga dialami oleh korban laki-laki. Perempuan dan laki-laki yang menjadi korban, tetaplah korban. Semestinya, kita menempatkan korban tidak berdasarkan seks (jenis kelamin) dan orientasi seksualnya. Antara kekerasan seksual dan juga orientasi seksual memiliki perbedaan yang jauh sekali. Kekerasan atau pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang baik secara verbal maupun tidak verbal yang merujuk pada seks. Sedangkan orientasi seksual mengacu pada pola ketertarikan, baik secara emosional maupun seksual terhadap jenis kelamin tertentu. Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seseorang bukan serta merta karena orientasi seksual yang dimilikinya. Tindakan perkosaan diakibatkan karena adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban. Seperti dalam pandangan Foucault bahwa kekuasaan terjalin dengan jenis hubungan lain seperti produksi, kekerabatan, keluarga, dan seksualitas. Maka karena beragamnya hubungan kekuasaan itu Foucault (2000) menyatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana tanpa terkecuali termasuk atas narasi seksualitas. Kekuasaan yang timpang inilah menyebabkan adanya bentuk-bentuk dominasi terhadap kekuatan yang lebih lemah. Seperti halnya kasus perkosaan yang terjadi baik secara heteroseksual maupun homoseksual. Daftar Pustaka: Antara Kalbar 2020, "KPPAD Kalbar Terima Laporan 34 Kasus Kekerasan Terhadap Anak", https://kalbar.antaranews.com/berita/405418/kppad-kalbar-terima-laporan-34-kasus-kekerasan-terhadap-anak DeBeavoir, S 2016, Second Sex, Pustaka Promethea, Jakarta. Foucault, M 2000, Seks dan Kekuasaan (terj. Rahayu), Gramedia, Jakarta. The Guardian 2020, "Reynhard Sinaga Jailed Life Drugging Raping Men Manchester", Retrieved from: https://www.theguardian.com/uk-news/2020/jan/06/reynhard-sinaga-jailed-life-drugging-raping-men-manchester Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |