Fitri Lestari (Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Pegiat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Lingkar Studi Advokasi Hukum) [email protected] Di dalam suatu rumah tangga dapat terjadi ketidakharmonisan yang diakibatkan oleh faktor sosial, ekonomi, budaya ataupun lingkungan. Ketidakharmonisan tersebut dapat menciptakan tindakan kekerasan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga. Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dijelaskan bahwa: 1) Kekerasan fisik adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 2) Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan seksual meliputi pertama, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kedua, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga masih saja bak gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja padahal tumpukan-tumpukan itu ada tapi tertutup air dimana ketakutan akan aib keluarga menjadi salah satu penghalang memerdekakan dan membebaskan diri dari adanya kekerasan yang biasanya dilakukan oleh suami. Berdasarkan catatan laporan yang masuk sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2015 ada 369 kasus terhadap perempuan dan paling tinggi pada kasus KDRT.[1] Saya mengkhawatirkan ibu-ibu rumah tangga tidak dapat membebaskan dirinya dari kekerasan hingga mengakibatkan dampak kesehatan yang berat apabila korban tidak melaporkan sebagai akibat “kepasrahan” dan tidak mendapat pemulihan.[2] Ditambah lagi luka psikis yang membelit pikiran korban seperti insomnia, rasa cemas, stres yang tentunya akan menganggu aktivitas korban. Dibutuhkan sebuah keberanian untuk membebaskan diri dari belenggu dominasi maskulin di ranah domestik (keluarga). Lalu muncul pertanyaaan di benak kita apa yang sebenarnya melatarbelakangi perempuan sebagai korban dari kekerasan laki-laki? Hal itu bersumber pada konstruksi sosial dan budaya yang memberikan sifat (ciri) kepada kaum perempuan dan laki-laki. Penyifatan itu sendiri tentu saja tidak netral dan sangat sarat dengan kepentingan. Konsep ibu sebagai penjaga rumah, perempuan yang lemah lembut merupakan contoh dari konstruksi sosial dan budaya. Konstruksi ini membuat perempuan dalam relasi pernikahan seringkali diposisikan sebagai “pelayan” laki-laki.[3] Kaum the survival of the fittest—yang dari zaman dulu dilihat dari kuatnya fisik—dimapankan dan dilegitimasi oleh budaya bahkan undang-undang yang patriarki. Budaya hukum patriarki bersemai secara mapan, terbukti dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat 3 “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Terlihat secara jelas bahwa undang-undang tersebut menempatkan istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung kepada suami.[4] Sehingga tidak mengherankan bila hukum yang dimunculkan adalah yang tidak memberi keadilan kepada perempuan. Dalam hal ini budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang, dan hukum melegitimasinya.[5] Maka, suatu hari hukum perkawinan harus diperbaiki.[6] Dengan lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ini maka diharapkan dapat menyadarkan korban bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dilaporkan untuk melindungi korban. Setidaknya kekerasan tersebut harus dihentikan. Maka perlu dukungan dari keluarga, saudara, lembaga-lembaga hukum ataupun LSM untuk berani bertindak dan membebaskan diri dari keterpurukan dan penindasan. Dengan dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum maka perlu merealisasikan tujuan hukum, menurut Baharuddin Lopa, “Pada dasarnya tujuan hukum ialah menegakkan keadilan, sehingga ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat diwujudkan.” (Baharuddin Lopa, 1996: 126). Karena pembungkaman yang dilakukan mengakibatkan martabat manusia masih berada dalam ketertindasan. Idealisme hukum yang menjunjung keadilan masih belum berlaku dalam realita akibat dari kuatnya kemapanan yang terus dilegitimasi melalui sosial budaya bahkan undang-undang sendiri. Bukan lagi saatnya perempuan menjadi objek, dikalahkan dan disubordinatkan menuju tataran (status) yang amat inferior.[7] Bukannya manusia adalah subjek maka kita harus mempertahankan diri kita sebagai subjek dan tidak akan menggantungkan diri kita dengan mereka yang saat ini masih mendominasi diberbagai aspek kehidupan. Haruslah perempuan itu independen! Catatan Belakang: [1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/23/nzthuw336-lbh-apik-kasus-kdrt-dominasi-kekerasan-perempuan (diakses pada 17 Februari 2016). [2] https://intanghina.wordpress.com/2008/06/03/pemulihan-sebagai-hak-istri-korban/ (diakses pada 17 Februari 2016). [3] Budi Wahyuni. 1997. Terpuruk Ketimpangan Gender. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta. Hal 3. [4] Mohammad Taufik Makarao dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Rineka Cipta: Jakarta. Hal 201. [5] Sulistyowati Irianto. 2006. Perempuan & Hukum Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan Dan Keadilan. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Hal 314. [6] Ayu Utami. 2013. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta. hal 292. [7] Abdul Wahid dkk. 2011. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan. Refika Aditama: Bandung. Hal 102. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |