Muhammad Dluha Luthfillah (Islam dan Kajian Gender, Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) [email protected] Beberapa dekade lalu, teologi Kristen telah memformulasikan hubungan antara yang sakral dan ekologi. Usaha ini diikuti kemudian oleh para teolog dari agama lain termasuk Islam. Istilah yang digunakan adalah green religion, greener faith, eco-theology, “Green Islam”, environmental ethics, religious environmentalist dll. Namun para Sarjana Agama belum mencoba hubungkan ekologi dan gender. Mereka hanya membicarakan perang dan dampaknya pada perempuan, anak-anak, dan lingkungan. Termasuk sarjana muslim, dengan beberapa pengecualian. Rosemary Ruether telah mendaftar bagaimana Muslim environmentalist menafsirkan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan. Beberapa narasi dan sumber-sumber agama tentang permasalahan alam dan perempuan disampaikan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Beberapa sarjana menawarkan hukum lingkungan melalui reinterpretasi yurisprudensi. Betapapun demikian, mereka tetap memulai usaha tersebut dengan berbicara tentang tauhid. Mereka membawa konsep tauhid kepada apa yang disebut inclusive tawhid, sebuah konsep yang mengajarkan keesaan Tuhan, kesatuan manusia dan kebersatuan alam semesta. Mengintegrasikan mikro-kosmos dan makro-kosmos. Konsep ini diamini oleh ayat Alquran; “Semua binatang di bumi, burung yang terbang juga adalah umma seperti kalian” (QS. 6:38). Dalam pandangan muslim umumnya, alam dipahami berserah diri pada dan mentasbihkan Allah. Manusia diberi kewajiban untuk mempergunakan alam (taskhir) tanpa merusak (ifsad). Lebih jauh, Muhammad Abduh, seorang pemikir Mesir, memiliki pandangan tentang ajaran Alquran terkait istikhlaf (QS. 53:24) dan taskhir (QS. 12:45) untuk manusia. Konsep ini memiliki beberapa unsur antroposentrisme di dalamnya. Dalam pandangan Abduh tersebut, terdapat bias antroposentris yang betatapun mengakui kekuatan yang dimiliki oleh bumi, menganggap kekuatan manusia lebih besar. Dengan konsep tersebut, manusia dan alam seharusnya dibawa agar berkoordinasi menciptakan spiritual harmony karena keduanya adalah manifestasi dari creative will yang satu. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan bukan untuk melayani manusia, karena yang disebutkan dalam Alquran hanya keuntungan bagi manusia dari alam. Dalam meraup keuntungan itu pun mereka diberi kewajiban untuk menjaga bumi (baca: alam) dari corruption (perusakan). Dengan nada yang agak sama, Fazlur Rahman mengatakan bahwa alam taat pada Tuhan dengan kemauan yang otomatis, tidak seperti manusia yang memiliki pilihan untuk taat dan tidak. Merujuk pada beberapa ayat Alquran, diantaranya QS. 3:83, QS. 57:1, QS. 59:1, QS. 24:41, beliau menunjukkan bahwa alam telah ber-Islam dan mengagungkan-Nya. Melalui ayat-ayat tersebut, beliau juga menangkap adanya kesatuan alam dan manusia. Selain itu, beliau menekankan kemampuan alam untuk melayani dan kemungkinan untuk dirusak manusia. Manusia bisa memanfaatkan alam selama itu untuk kebaikan. Dalam pemanfaatan itu pun manusia masih bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan pada alam. Selain hal-hal itu, larangan Alquran terhadap perusakan bumi menjadi titik tolak muslim untuk mengembangkan konsep penjagaan alam (nature preservation). Lebih jauh Rahman tidak menunjukkan hubungan antara concern terhadap alam dan diskriminasi terhadap perempuan. Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa krisis lingkungan berhubungan dengan penggunaan teknologi modern. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa teolog muslim tidak memberikan perhatian pada teologi alam (theology of nature). Padahal jika dihayati lebih dalam, al-Muhith (salah satu nama Allah) mengingatkan kita pada lingkungan kita. Mewakili dunia sufi, Rumi mengatakan bahwa yang bermasalah bukan alamnya, tapi hubungan manusia dengan alam. Menurutnya, arti moral dalam hukum alam itu ada sekalipun ia tidak terlihat (baca: tersembunyi) dari manusia. Othman Abd-ar-Rahman Llewellyn adalah sarjana kontemporer yang telah memformulasikan dasar Islamic environmental law, yang berkaitan dengan konsep tauhid (kesatuan ciptaan-Nya), taqwa, rahma (kasih), dan ihsan (tindakan yang memberikan keuntungan), juga khilafa. Beliau juga mengutip ayat wa ma min dabbatin fil ardli wa la tha’irin yathiru bijanahayh. Dengan itu maka masuk akal jika manusia dilarang melakukan perusakan alam (fasad fi al-ardl). Beliau juga menggunakan kaidah fiqh bahwa kepentingan umum lebih dipentingkan daripada kepentingan pribadi dan mencegah keburukan lebih dipentingkan daripada mencari keuntungan (dar’al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih). Beliau mempertimbangkan juga aturan yang muncul masa perang tentang larangan untuk mengganggu perempuan, orang tua, tumbuhan dan binatang. Dalam tataran praktis, ada beberapa sarjana dan organisasi Muslim yang mendiseminasikan formulasi normatif tentang hubungan alam, manusia dan Tuhan, Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES) di Birmingham dan The Islamic Foundation for Science and Environment di Delhi adalah dua contohnya. Beberapa pesantren di Indonesia juga mulai bisa digolongkan dalam kategori ini. Begitu juga organisasi islam seperti Muhammadiyah dan NU, bahkan MUI. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |