Andi Misbahul Pratiwi (Asisten Redaksi Jurnal Perempuan) [email protected] Reproduction has been largely ignored by conventional political theory, because it is seen as both ‘natural’ and ‘private’. But reproduction is a key site of patriarchy, where control over women’s bodies is exercised but where it can also be resisted (Bryson, 2003). Hannah Arendt pernah memperingatkan, seringkali kita melakukan suatu kejahatan, bahkan tanpa menyadarinya. Kejahatan tersebut telah menjadi bagian dari keseharian, bahasa yang ditolerir oleh suatu masyarakat, ia menyebutnya dengan banalitas kejahatan. Refleksi ini dilontarkan oleh Arendt untuk mencermati fenomena masyarakat Jerman yang selama perang dunia kedua menganggap bahwa hal yang sangat lazim untuk membenci bangsa dan ras yahudi. Kemudian dari Hannah Arendt saya coba mengerucutkan problematika kapitalisasi industri medis melalui fenomena operasi cesar yang menjadi tren. Apakah ada faktor kebencian laki-laki terhadap sakralitas proses melahirkan karena dia (laki-laki) tidak memiliki rahim? Dan bagaimana Intervensi teknologi terhadap tubuh perempuan? Dua hal ini yang akan saya bahas dan tentunya asal muasal booming-nya operasi cesar dikalangan masyarakat yang memiliki kelas ekonomi menengah keatas. Dalam tulisan ini saya berusaha menguraikan fenomena ini, bagaimana teknologi operasi cesar yang awalnya lahir untuk menyelamatkan rahim perempuan dan proses kelahiran (ibu dan anak) berubah menjadi wujud mesin untuk melahirkan uang dari perut kapitalis dan kemudian dimanfaatkan oleh laki-laki untuk menyuburkan budaya patriarki. Hingga tubuh perempuan menjadi lazim dimiliki oleh publik, oleh stigma, oleh stereotip. Kemudian akhirnya pengalaman-pengalaman kebertubuhannya menjadi tidak berkesan. Trending Topic Dalam proses melahirkan kini dikenal dengan dua cara, melahirkan secara “normal” dan dengan operasi cesar. Kata “normal” menjadi bias definisinya karena pengukuran atas ketidaknormalan proses melahirkan menjadi sulit dan kompleks, apakah konsep yang normal benar-benar bermakna secara ontologis, ataukah konsep normal tersebut hanyalah prasangka serta keacuhan kita yang dikonstruksikan secara sosial. Sehingga dalam tulisan ini saya akan mengganti kata “normal menjadi “vagina” yang saya rasa tidak akan mengubah gambaran cara melahirkan yang dimaksud. Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat melahirkan bayi dengan selamat. Ada dua cara persalinan yaitu persalinan lewat vagina yang lebih dikenal dengan persalinan alami dan persalinan cesar yaitu tindakan operasi untuk mengeluarkan bayi dengan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. Tindakan operasi cesar merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan operasi cesar yaitu gawat janin, Diproporsi Sepalopelvik (ketidakseimbangan kepala janin dengan panggul ibu), persalinan tidak maju, Plasenta Previa (menempelnya plasenta di bawah rahim), Prolapsus tali pusat, Malpresentasi janin/ Letak Lintang, Panggul Sempit[1]. “Operasi cesar, gak sakit, bisa nentuin tanggal lahir anak, mahal sedikit tidak apa-apa”. Berangkat dari pernyataan diataslah saya mulai berpikir mengenai teknologi lagi dan lagi-lagi ada sebuah paradoks antara kebutuhan akan teknologi ataukah perbudakan yang dilakukan oleh teknologi maskulin ini terhadap perempuan dalam industri medis. Namun terkadang kita sebagai manusia lupa bahwa teknologi diciptakan oleh manusia untuk membantu manusia, bukan sebaliknya, manusia menjadi bergantung terhadap teknologi dan menjadikan manusia lainnya menjadi sasaran pasar dunia kapitalis. Operasi cesar adalah sebuah teknologi dalam industri medis yang sangat membantu perempuan dalam proses melahirkan. Melahirkan adalah proses mengeluarkan anak manusia dari rahim perempuan setelah bersemayam selama 8-9 bulan. Sebelum ada teknologi cesar, perempuan melahirkan melalui vaginanya dan dibantu oleh mantri. Namun ternyata posisi bayi di dalam Rahim ibu tidak selalu pada posisi pada umumnya (kepala bayi mengarah ke leher vagina). Sehingga pada saat itu angka kematian ibu sangat tinggi, karena proses melahirkan yang berisiko tinggi. Kemudian seiring perkembangan teknologi di semua lini kehidupan termasuk dunia medis, muncullah penemuan baru mengenai operasi cesar dimana perempuan yang sulit melahirkan melalui vagina bisa dibantu proses persalinannya dengan operasi. Operasi ini akan mengangkat bayi melalui lubang sayatan yang dibuat dokter di bagian bawah perut. Posisi bayi tidak pada umumnya, biaya operasi ini memang lebih mahal daripada biaya persalinan melalui vagina. Operasi ini sangat membantu perempuan dan mengurangi angka kematian ibu. Namun sekarang operasi cesar ini mulai menjadi tren dikalangan masyarakat dengan ekonomi menengah keatas. Mereka yang seharusnya bisa melakukan persalinan melalui vagina, memilih operasi cesar dengan beberapa alasan seperti (1) agar tidak mengalami sakit (2) bisa menetukan tanggal lahir anak (3) menjaga kerapatan vaginanya. Setelah berbagai macam alasan dibangun kemudian terjadi tindakan-tindakan pengarahan maupun tawaran yang menarik untuk melakukan proses melahirkan yang kemudian menjadi efek domino dan sangat menguntungkan industri medis. Padahal secara medis organ-organ reproduksi itu bisa pulih dalam waktu enam minggu atau 40 hari setelah melahirkan. Di Indonesia angka kejadian operasi cesar mengalami peningkatan pada tahun 2000 jumlah ibu bersalin dengan operasi cesar 47,22%, tahun 2001 sebesar 45,19 %, tahun 2002 sebesar 47,13%, tahun 2003 sebesar 46,87%, tahun 2004 sebesar 53,2%, tahun 2005 sebesar 51,59%, dan tahun 2006 sebesar 53,68% dan tahun 2007 belum terdapat data yang signifikan. Survei Nasional pada tahun 2009, 921.000 persalinan dengan operasi cesar dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8% dari seluruh persalinan[2]. Pada Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013 ditanyakan mengenai proses persalinan yang dialami. Gambar diatas menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut karakteristik. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada ibu yang menyelesaikan D1- D3/PT (perguruan tingginya) (25,1%), pekerjaannya sebagai pegawai (20,9%), tinggal di perkotaan (13,8%), dan kuintil indeks kepemilikannya teratas (18,9%)[3]. Dari data di atas bisa diketahui bahwa rata-rata yang melakukan operasi cesar adalah masyarakat dengan ekonomi menengah keatas dan dengan jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Dikalangan artis operasi cesar ini cukup laris. Krisdayanti melahirkan seorang putri secara cesar pada tahun 2011, sedangkan putranya dilahirkan pada tanggal cantik 12-12-12 juga secara cesar. Annisa Bahar saat melahirkan putra keempat pada tahun 2012 lalu memilih operasi cesar. Ia memang sengaja memilih hari yang bertepatan dengan ulang tahun sang suami tercinta.
Intervensi Teknologi yang maskulin Foucault berpendapat bahwa manusia bukanlah sebatas makhluk yang rasional, menurutnya manusia adalah makhluk yang berhasrat, “I felt obliged to study the games of truth in the relationship of self with self and the forming of oneself as a subject, taking as my domain of reference and field of investigation what might be called the history of desiring man"[4]. Banyak feminis menerangkan hasrat patriarkal untuk mengontrol reproduksi dari sudut pandang psikoanalisis yang berhubungan dengan ketakutan laki-laki terhadap prokreativitas. Potensi teknologi untuk mengeluarkan janin dari tubuh perempuan melalui tangan-tangan utusan kapitalis dipandang sebagai bentuk impuls maskulin yang primitif untuk “mengurung, membatasi dan mengekang kreativitas serta kekuatan perempuan”. Selanjutnya saya mencurigai ada sebuah rasa iri terhadap perempuan karena memiliki rahim. Sehingga memanfaatkan teknologi sebagai alat deklarat bahwa proses melahirkan “atas kuasa tangan saya (dokter bedah)”. Hal ini menjadi sebuah paradoks, karena ada keinginan untuk meningkatkan kontrol atas proses kelahiran, di sisi lain operasi cesar dan penggunaan obat bius mengubah definisi bahwa melahirkan adalah masterpiece perempuan, tubuhnya dan kekuatannya turut rampung. Timbul kesan bahwa melahirkan itu sangat menderita, berbaring di tempat tidur, terikat, sehingga usahanya dalam melahirkan tidak memiliki kesan yang mendalam. Ann Oeakley menyatakan bahwa “pengaturan” medis kehamilan dan kelahiran bayi oleh profesional elit laki-laki telah menyebabkan status perempuan menjadi objek reproduksi, mengurangi pengalaman emosional perempuan dalam proses melahirkan. Teknologi reproduksi telah mengintervensi setiap pilihan perempuan atas tubuhnya sendiri, karena kita hidup dalam masyarakat dimana perempuan tidak bisa memiliki akses terhadap distribusi kekuasaan dan otoritas untuk menentukan pilihannya. Setiap intrusi yang dilancarkan dalam konstalasi politik reproduksi selalu bermuatan politis dan hanya bermuara pada satu tujuan, yaitu untuk memperluas rahim sosial laki-laki seiring dengan diabjeksikannya rahim biologis perempuan[5]. Kemudian saya rasa intervensi teknologi dalam proses kelahiran dirasa tidak perlu, terlebih lagi ada usaha pengarahan untuk memobilisasi pilihan perempuan kepada salah satu teknologi (operasi cesar) yang memang tidak diperlukan. Dengan pengecualian pada kelahiran yang berisiko tinggi dan perempuan yang memang membutuhkan operasi cesar. Intervensi seperti itu sebenarnya tidak perlu secara biologi masuk kedalam ranah privat yaitu tubuh, intervensi teknologi itu lebih merefleksikan struktur, kekuasaan dan pengambil keputusan. Hal ini bukan usaha untuk meminggirkan peran teknologi, namun jangan sampai fenomena ini berlanjut menjadi sebuah budaya yang nantinya akan meminggirkan pengaruh dan kekuatan besar tubuh perempuan dalam proses kelahiran sehingga dampaknya rahim sosial laki-laki meluas bersamaannya dengan teknologi. Stigma “Bukan Ibu Sempurna” Kelahiran bayi dikontrol secara sosial di semua lapisan masyarakat. Kelahiran bayi dilingkupi oleh berbagai aturan, adat, perintah dan sanksi. Selama hidupnya perempuan terus dihantui dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tak henti-henti mengenai tubuhnya. Ketika perempuan beranjak remaja, dia ditanya sudah menstruasi atau belum? Jika terlambat menstruasi dari rata-rata seumurannya, dianggap tidak subur. Kemudian setelah perempuan beranjak dewasa, dihadapkan kembali dengan pertanyaan kapan menikah? Dibebankan dengan stigma bahwa perempuan tidak boleh menikah diusia terlalu tua. Setelah menikah ditanya kembali, kapan hamil? Setelah itu melahirkannya normal atau cesar? ASI eksklusifkan? Apakah perempuan tidak bisa memiliki tubuhnya sendiri? Mengapa semua orang perlu mengurusi atau lebih tepatnya mengomentari tubuh perempuan. Bukankah mentruasi, hamil, melahirkan dan menyusui adalah sebuah pengalaman-pengalaman yang terjadi di tubuh masing-masing perempuan dan tentunya dengan siklus yang berbeda. Cara perempuan menanggapi tubuhnya juga berbeda-beda. Ada sebuah anggapan bahwa perempuan yang melahirkan secara cesar adalah bukan ibu yang sempurna. Sungguh ironi jika anggapan itu lahir dari pemikiran seorang perempuan juga. Bagaimana mungkin seorang yang melahirkan secara cesar adalah bukan seorang ibu yang sempurna sedangkan dia telah mengandung anaknya selama 9 bulan dengan penuh kesabaran. Setelah melahirkan kemudian ibu menyusui dan mendidik anaknya. Kita tidak bisa menyamakan aktivitas tubuh seorang perempuan yang hamil sebagai sama dengan perempuan lainnya. Kita tahu bahwa operasi cesar membantu perempuan untuk melahirkan, bahkan untuk menyelamatkan nyawa si ibu dan anak, karena melahirkan adalah pengalaman perempuan yang tidak bisa dianggap mudah dan sederhana. Jadi, tidak sesederhana itu membangun stigma negatif perempuan karena perbedaan pengalaman kebertubuhannya. Menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, termasuk soal cara perempuan melahirkan melalui vagina atau operasi cesar. Mereka adalah Ibu yang sempurna, perempuan yang mempunyai kekuatan juga. Saya adalah anak yang terlahir berkat teknologi cesar, ibu saya mengalami kesulitan dalam proses melahirkan selama 6 jam. Pada saat itu diagnosa dokter bahwa panggul ibu terlalu sempit dan ukuran bayi besar, sehingga dokter menyarankan untuk operasi cesar, setelah usaha-usaha untuk lahir normal (melalui vagina) telah dilakukan. Tepat 9 mei 1994 saya lahir dengan selamat. Hingga sekarang luka di bagian perut ibu masih menjadi bukti bahwa saya pernah ada di rahimnya. Terima kasih Ibu, pendeta (Dokter Bedah) dan teknologi. Referensi: Valerie, Bryson. Feminist Political Theory. PALGRAVE MACMILLAN, New York, 2003. Wajcman, Judy. Feminism Confronts Technology. The Pennsylvania State University Press, 1991. Foucault, Michel. The Use of Pleasure, Vintage Books, 1985, New York Afwika, Firly. “Intruksi Media; Abjeksi terhadap tubuh maternal”, Departemen Filsafat, Universitas Indonesia, 2008. Veibymiaty Sumelung, Rina Kundre, Michael Karundeng. “Faktor – faktor yang berperan meningkatnya Angka kejadian sectio caesarea Di rumah sakit umum daerah Liun kendage tahunan” Ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 2, No.1 (Februari 2014): 2-3. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Kementrian Kesehatan RI 2014 Catatan Belakang: [1] Ejournal keperawatan (e-Kp) Volume 2 [2] Ibid. hal.2 [3] Profil Kesehatan Indonesia 2013. Kementrian Kesehatan RI (2014) [4] The Use Of Pleasure oleh Michel Foucault, hlm. 6 [5] Skripsi, Intruksi Media: Abjeksi terhadap tubuh maternal oleh Firly Afwika Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |