Pendahuluan: Bertolak dari Pertanyaan Memperhadapkan fenomena human trafficking pada narasi feminisme sembari membubuhi tanda tanya besar, bukanlah sesuatu yang keliru. Ia merupakan keniscayaan. Saya coba menjembatani kedua variabel universal ini dengan bertolak dari tesis seperti yang ditekankan oleh Willy Gaut, bahwasanya seiring dengan kian meningkatnya intensitas kasus, muncul hipotesis bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bahaya perdagangan manusia[1]. Lebih lanjut Willy menambahkan, kendatipun hipotesis ini masih perlu dibuktikan lebih intensif dengan merujuk pada lebih banyak data, kiranya tetap urgen untuk membentangkan analisis atas persoalan tersebut dengan berpijak pada pertanyaan: mengapa perempuan dan anak lebih rentan terhadap bahaya trafficking?[2] Bertolak dari realitas minor ini, saya ingin mengelaborasi lebih lanjut, dalam konteks yang kontekstual ini (baca: human trafficking), feminisme bicara apa? Proaktif ataukah sebaliknya, bungkam? Pengertian Umum Human Trafficking dan Feminisme Kendatipun, hemat saya, kedua variabel ini sudah begitu populer dalam keseharian perbincangan kita, kiranya tetap urgen untuk menegaskan diatas pijakan mana uraian ini berdiri. Di atas fondasi definisi macam apa? Human trafficking, dalam pengertiannya yang paling umum, termaktub dalam UU No. 21 tahun 2007. Di sana tersurat, “Yang dimaksudkan dengan perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam daerah dan di luar daerah maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Sedangkan untuk feminisme, dari sekian banyak definisi yang tersedia, Joann Wolski Conn, profesor perempuan dalam bidang spiritualitas Kristen pada Universitas Neumann, Aston, Pennsylvania melukiskannya dengan cukup jelas.
Fenomena Human Trafficking dan Jati Diri Feminisme Sebagaimana tercatat pada awal, dalam bagian ini, saya akan coba memperhadapkan fenomena human trafficking pada narasi feminisme. Pertanyaan kunci yang akan saya bahas ialah, dalam konteks human trafficking, feminisme bicara apa? Proaktif ataukah sebaliknya, bungkam? Dalam kenyataannya, perempuan rentan menjadi korban trafficking. Kerentanan ini tidak dapat dilepaspisahkan dari soal ketidakadilan gender (gender inequalities). Gender inequalities dalam praksisnya telah mendepak kaum perempuan menuju sebuah zona yang mandul, dalam arti ruang bagi perempuan dibatasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi mudah diperalat. Faktor-faktor yang memotori pendepakan menuju zona impoten itu perlu dijabarkan di sini.[5] Pertama, marginalisasi (penyingkiran, pendepakan) kaum perempuan baik dalam bidang karya, kehidupan keluarga, status sosial, peran politik, maupun keagamaan. Kedua, subordinasi (perendahan) kaum perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan memiliki kecerdasan yang lebih rendah dari laki-laki, sehingga muncul kesan bahwa perempuan merupakan sosok yang kurang berarti keberadaannya. Ketiga, stereotip (penyamarataan) yang negatif seperti wanita diidentikkan sebagai sosok pesolek yang mencari perhatian dan memancing daya tarik atau memantik nafsu laki-laki. Keempat, violence (kekerasan) yang dialami perempuan, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, dan menjadikan perempuan sebagai buruh kasar atau budak. Kelima, beban kerja yang terlalu berat, seperti menganggap perempuan bertanggung jawab terhadap segala bentuk pekerjaan domestik, misalnya mengurus rumah, mengasuh anak, dan mengelola kebun. Setelah mengalami 5 (lima) bentuk ketidakadilan ini, secara logis memberi jawaban mengapa perempuan rentan menjadi korban trafficking. Dalam banyak aspek mereka dilemahkan, sehingga dengan demikian gampang untuk direkrut, diangkut, ditampung, dijual atau dieksploitasi. Sampai pada titik ini, jati diri feminisme tentu ditantang. Bagaimana feminisme bersikap? Feminisme mesti mempresentasikan jati dirinya. Adapun upaya yang menjadi sasaran feminisme dalam menyudahi gender inequalities yang berujung pada trafficking, secara garis besar sebagai berikut. Pertama, feminisme membongkar kultur klasik. Feminisme berusaha untuk melihat kembali nilai-nilai tradisional secara baru atau praktik-praktik yang kelihatannya diterima begitu saja dari waktu ke waktu. Feminisme menentang nilai-nilai tradisional menyangkut kedua jenis seks, khususnya nilai-nilai maskulin dan kekuasaan pria dalam masyarakat patriarkat. Berkenaan dengan ini, muncul pula apa yang dikenal dengan istilah feminisme kultural atau ‘feminisme romantik’ atau ‘feminisme reformasi’[6]. Feminisme kultural atau romantik atau reformasi berupaya membongkar budaya patriarkat sebagai budaya yang cukup tua bertahan dalam masyarakat. Keunggulan moral kaum perempuan yang dikesampingkan oleh sebab dominasi egoisme dan otoritas kaum laki-laki, kembali dikedepankan. Feminisme kultural berjuang memanusiawikan masyarakat dengan menekankan sumbangsih khusus yang dapat diberikan oleh kaum perempuan demi menciptakan sebuah dunia yang lebih baik.[7] Kedua, perempuan mencari posisi baru. Anggapan bernada arogan bahwa sifat-sifat maskulin lebih penting dibandingkan sifat-sifat feminim, ditentang secara tegas oleh feminisme.[8] Sebaliknya, kaum feminis menekankan bahwa sifat maskulin dan feminin, masing-masing dapat dikembangkan oleh siapa saja tanpa mesti menjadi monopoli satu seks. Oleh karena itu, Feminisme berupaya keras membuat resosialisasi (pemasyarakatan kembali) masyarakat, tempat setiap orang diberi kesempatan untuk mengembangkan dan mengungkapkan semua potensi yang ada tanpa harus terikat atau terintimidasi. Melalui feminisme, perempuan berjuang menemukan posisi barunya dalam masyarakat. Atmosfer kebebasan membantu kaum perempuan dalam mengeskpresikan diri sebagai orang yang berani, kompetitif, profesional, dan kredibel. Upaya ini menangkal tendensi pengeksploitasian. Ketiga, feminisme membongkar stratifikasi sosial berbasis gender. Stratifikasi sosial merujuk pada aplikasi sistem yang mana orang-orang dalam suatu masyarakat dikategorikan atau diurutkan secara hierarkis, mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, atau sebaliknya.[9] Dalam masyarakat tertentu yang kental dengan budaya patriarkatnya, stratifikasi yang dibuat justru mengambil gender sebagai basisnya, sebagai referensinya. Hal ini berarti perempuan selalu berada di bawah laki-laki, lebih rendah dari posisi laki-laki. Feminisme hadir dan melayangkan kritik tajamnya terhadap stratifikasi sosial model ini. Feminisme menolak fakta bahwa kaum perempuan tidak mempunyai peluang yang sama dalam memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, dan penghasilan. Kaum feminis mendesak agar setiap detail keputusan menyangkut nasib perempuan tidak boleh dibuat secara sepihak, apalagi oleh laki-laki saja. Kaum perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Oleh alasan ini, feminisme hadir dan menentang secara serius stratifikasi sosial berbasis gender yang kontradiktif dengan hakikat keadilan. Keempat, feminisme dan reformasi seksual. Bidang signifikan terakhir yang mendapat perhatian serius dari gerakan feminisme ialah kehidupan seksual. Dalam masyarakat patriarkat, relasi seksual antara laki-laki dan perempuan sangat didominasi oleh laki-laki. Konteks eskalasi (kenaikan atau pertambahan) konflik Poso yang mulai pecah pada bulan Desember 1998, mempresentasikan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan dalam serangan antarkelompok masyarakat berbeda agama, yang dapat kita ambil sebagai sampelnya.[10] Dalam praksis human trafficking, kerap juga terjadi pelecehan seksual di dalamnya dan feminisme menggugat praksis macam ini. Secara internasional, pengakuan akan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia baru diformulasi dan dilegitimasi dalam Konferensi Internasional tentang HAM di Wina (1993). Ihwal ini dapat dibaca dalam The Vienna Declaration and Program of Action (yang juga dikutip dan ditegaskan kembali dalam hasil-hasil Konferensi IV Dunia di Beijing):
Pernyataan tersebut di atas sekaligus menekankan bahwa kaum perempuan berhak atas perlindungan yang disediakan oleh sistem (instrumen dan mekanisme) internasional. Kendati demikian, hingga kini implementasi hukum internasional dimaksud belum terlalu efektif dan gagal serentak mandul memberikan proteksi dalam menyudahi ketidakadilan yang dialami kaum perempuan.[12] Di sini, dengan tegas saya menggarisbawahi, fenomena human trafficking merupakan anti-tesis terhadap hak asasi perempuan. Human trafficking mengindikasikan negasi akbar yang secara sistematis dan masif mengingkari perempuan dengan seperangkat hak asasinya, yang sejatinya egaliter dengan laki-laki. Dalam konteks ini, feminisme mesti angkat bicara. Feminisme yang adalah kita, mesti unjuk gigi, mengartikulasikan keberpihakan kita pada realitas minor-desolatif ini. Sebagai contoh sekaligus cemeti pemicu, saya merasa perlu untuk selayang pandang mencatat apa saja yang menjadi visi dan misi TRUK-F Divisi Perempuan[13], yang di dalamnya laki-laki juga terlibat. Dari sana, kita dipanggil untuk membaca konteks, merefleksikan konteks, terjun dalam konteks. Visi Truk-F Divisi Perempuan adalah hak-hak perempuan diakui dan dihargai secara utuh sehingga terciptalah kesamaan hak keadilan dan perdamaian di dunia. Sedang misinya adalah memperjuangkan pembebasan perempuan dari pelbagai bentuk kekerasan yang membelenggunya, memberdayakan kaum perempuan supaya mereka mengetahui hak-hak mereka dalam dan melalui komunitas berbasis gender, serta bersama kaum perempuan, berusaha memperjuangkan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan. Bertalian dengan fenomena human trafficking, selain mendampingi para korban, hingga enam tahun terakhir ini, TRUK-F Divisi Perempuan telah dan sedang menekuni beberapa kegiatan. Saya sebutkan tiga aksi konkret dari antara banyak lainnya.[14] Pertama, menangani TKI ilegal asal Flores yang dideportasi dari Malaysia (kerja sama dengan beberapa paroki di Flores Timur, Lembata, dan Ende) serta mencoba membuat pendataan terhadap mereka serta memberikan logistik dan obat-obatan. Kedua, melakukan sosialisasi tentang UU HAM, HAM dan Gender, serta UU PA (Perlindungan Anak). Ketiga, melakukan pendekatan dan dialog dengan para penentu kebijakan, baik aparat pemerintahan maupun aparat penegak hukum, agar dapat menerbitkan Perda (peraturan daerah) tentang Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak. Dan sebagai contoh paling aktual, TRUK-F begitu proaktif dalam membongkar dan menyelesaikan kasus Toko Roti Kaigi di Maumere, kasus trafficking dan pelanggaran HAM yang menimpa sekelompok anak di bawah umur oleh majikan mereka, pemilik Toko Roti Kaigi itu sendiri. Penutup: Diskursus yang tak Berkesudahan Meskipun di Indonesia kajian feminisme tidak terlalu mendapat perhatian, upaya-upaya yang telah dirintis patut diapresiasi dan diperjuangkan dalam konteks kekiniannya.[15] Budaya patriarkat yang masih sangat kuat berakar di Indonesia yang menyebar di masing-masing daerah kita, perlu digugat dan dikritik agar tidak terus-menerus melahirkan kepincangan dalam hidup bersama. Sudah saatnya kultur klasik ini dibongkar dan kaum perempuan memperoleh banyak peluang untuk berekspresi. Dunia dan khususnya Indonesia memang sedang mengidealkan relasi yang seimbang, egaliter, dan adil, antara laki-laki dan perempuan, demi kehidupan bermasyarakat yang sejahtera dan damai. Berhadapan dengan fenomena human trafficking sebagai produk logis dari budaya patriarkat yang otoritatif, sebagai salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia (duri dalam daging HAM), feminisme mesti tampil dan angkat bicara. Human trafficking melukai hak asasi perempuan, feminisme dipanggil untuk secara proaktif, militan, cermat, dan profetik, menyembuhkan! Feminisme adalah kita, human trafficking adalah tantangan kita. Jika kita sepakat, dua tema akbar ini mesti terus menjadi diskursus yang tak berkesudahan. Daftar Pustaka Kamus Departemen Pendidikan Nasional 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. ke-4, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tim Prima Tema 2006, Kamus Ilmiah Popular, Penerbit Gitamedia Press, Surabaya. Buku Azis, Asmaeny 2007, Feminisme Profetik, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta. Betan, Alfons 2004, Perempuan itu Tetap Hidup, Nusa Indah, Ende. Clifford, Anne M 2002, Memperkenalkan Teologi Feminis. Penerj. Yosef M. Florisan, Penerbit Ledalero, Maumere. Fakih, Mansour 1999, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Cet. ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hardiman, F. Budi 2001, Hak-hak Asasi Manusia: Polemik dengan Agama dan Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta. Kleden, Paulus Budi 2003, Teologi Terlibat. Politik & Budaya dalam Terang Teologi. Penerbit Ledalero, Maumere. Notosusanto, Smita dan E. Kristi Poerwandari (penyut.) 1997, Perempuan dan Pemberdayaan, Obor, Jakarta. Suseno, Magnis Franz 1998, Kuasa dan Moral. Gramedia, Jakarta. Sutrisno, Mudji 2001, Humanisme, Krisis, Humanisasi, Obor, Jakarta. Buletin dan Jurnal Akademika. Wacana dan Praksis HAM di NTT. Vol. IV, No 2, 2009/2010. Jurnal Ledalero. Manusia Memperdagangkan Manusia. Vol. 13, No. 1, Juni 2014. Catatan Belakang [1] Lih. Willy Gaut, “Feminisasi Perdagangan Manusia. Masalah Perdagangan Manusia dalam Konteks Kekerasan terhadap Perempuan”, Jurnal Ledalero, Vol. 13, No. 1 (Juni, 2014), 65. [2] Ibid., 66. [3] Joann Wolski Conn, New Vitality : The Challenge from Feminist Theology, America, 156:217, 5 Oktober 1991 sebagaimana dikutip dalam Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, penerj. Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002), hlm. 29. [4] Seksisme merupakan sebuah keyakinan, konsep, atau perilaku yang secara sepihak memenangkan jenis kelamin tertentu, atau laki-laki atau perempuan, yang satu lebih unggul dari yang lain. Kendatipun laki-laki dapat saja diperlakukan sebagai jenis yang inferior, sejarah tetap membuktikan bahwa perempuan lebih banyak mengalami dampak negatifnya. Ibid., hlm. 443. [5] Bdk. Mansfour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 12-23. [6] Lih. Anne M. Clifford, op. cit., hlm. 39. [7] Bdk. Starhawk Miriam Simos, ‘Witchcraft and Women’s Culture’, dalam Carol Christ and Judith Plaskow (eds.), Womanspirit Rising: A Feminist Reader in Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1979), p. 263, sebagaimana dikutip dalam ibid. [8] Bernard Raho, Sosiologi. Sebuah Pengantar (Maumere: Ledalero, 2008), hlm. 113. [9] Ibid., hlm. 84. [10] Lih. Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, hlm. 21-29. [11] Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, “Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia” dalam Smita Notosusanto dan E. Kristi Poerwandari (penyunt.), Perempuan dan Pemberdayaan (Jakarta: Obor, 1997), hlm. 16. [12] Ibid. [13] Siprianus Kantus dan Sr. Eustochia, SSpS, “Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) Divisi Perempuan. Profil dan Kiprah dalam Praksis HAM”, Akademika, 2:164, 2009/2010. Saya sengaja menggunakan data lama karena dengan begitu saya sekaligus menunjukkan bahwa betapa TRUK-F Divisi Perempuan telah berjuang sejak dulu. Perjuangan mereka panjang dan berlika-liku. [14] Ibid., hlm. 165-167. [15] Bdk. Asmaeny Azis, Feminisme Profetik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. v. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |