Gadis Arivia Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, UI, 1991-2017, Adjunct Professor di bidang sosiologi dan sociology of gender di Montgomery College, Maryland, USA. *Naskah dipresentasikan dalam Forum Menyalakan Lilin Masa Depan, 10 Mei 2020 (Zoom Webinar) Pendahuluan Pandemi Covid-19 bermula dari kota Wuhan, China, terdeteksi pada bulan Desember 2019. Pada pertengahan bulan Januari 2020, virus ini dengan cepat menjalar ke seluruh dunia dan dalam waktu singkat jutaan orang terinfeksi serta ratusan ribu orang meninggal dunia. Hampir di setiap negara, pemerintah setempat menerapkan aturan lockdown dan social distancing guna menghentikan penyebaran virus. Covid-19 bukan saja mengakibatkan krisis kesehatan melainkan juga krisis ekonomi dan sosial. Catatan ini berupaya menjelaskan secara praxis dampak virus Corona pada perempuan dan anak perempuan dari kerangka berpikir feminisme. Saya memilih pijakan feminisme sebab hanya dengan lensa feminisme kita dapat melihat dengan kritis adanya persoalan ketidakadilan, eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok marginal lainnya. Catatan ini hanya menyajikan secara singkat butir-butir pemikiran feminisme dalam mengurai Covid-19 dan persoalan gender. Saat Krisis Di setiap ada situasi krisis, kelompok yang paling rentan adalah kelompok marginal seperti perempuan dan anak perempuan. Sebab dalam keadaan krisis, ketimpangan, kesenjangan, eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan selalu hadir. Misalnya, LBH Apik mencatat 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan seksual dari tanggal 16 Maret hingga 30 Maret. 17 kasus dari 59 kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (Jakarta Post 2020). Di negara lain seperti India, juga melaporkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dalam minggu pertama lockdown, dan sama halnya dengan negara Prancis yang mengalami peningkatan sepertiga dalam minggu pertama lockdown. Hal ini tidak mengejutkan karena belajar dari kasus epidemi Ebola di Afrika Barat, di tahun 2015, Guinea mencatat peningkatan tajam kekerasan terhadap perempuan sebesar 4.5 persen. Peningkatan kekerasan seksual juga terjadi di Liberia. Akses kesehatan reproduksi juga menjadi masalah sebab klinik-klinik kosong karena takut pada virus Ebola dan ini merugikan perempuan (Reuters 2015). Gendered Effect Beberapa hal yang bisa saya catat saat ini yang menjadi masalah di saat pandemi yang memiliki efek bergender (kesenjangan, ketimpangan, dan diskriminasi) adalah sebagai berikut: nterseksionalitas Kecendrungan dari analisa gender arus utama atau pembangunan; status sosial, kesehatan, kultural dan ekonomi hanya menempelkan konsep gender sebagi isu perempuan atau yang saya sebut sebagai “stempel gender”. Cara menganalisis seperti ini tidak mengaitkan persoalan diskriminasi, rasisme, eksploitasi, kepemimpinan yang lemah, sistem ekonomi buruk, serta hukum yang bias gender. Interseksionalitas digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam melihat keadaan secara terang benderang karena adanya keterbatasan konsep. Misalnya bila data yang ada tidak cocok dengan kerangka pemikiran feminis, sulit untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat dan gagal dalam mengidentifikasi persoalan. Bila kita gagal dalam mengidentifikasi persoalan maka kita akan gagal mencari solusi (Wawancara Kimberlé Crenshaw 2020). Sebagai contoh pendekatan “stempel gender” adalah bantuan sembako. Bantuan ini merupakan bantuan sesaat dan reaktif, tanpa didasari data yang terkait kerangka pemikiran feminis. Respons pemerintah yang tidak menggunakan data terpilah gender, hasilnya hanya sesaat, dan tidak tepat sasaran serta tidak menghasilkan perubahan yang bermakna. Itu sebabnya, Indonesia setiap kali ada krisis kembali “business as usual” (bagi-bagi sembako) tanpa mengaitkan adanya sistem penindasan yang perlu dibongkar. Sebagi contoh, di Amerika Serikat hal serupa terjadi. Covid-19 menyerang kelompok miskin dan marginal berkali-kali lipat dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Daerah miskin yang berpenduduk padat (akses kesehatan, pendidikan yang tidak memadai) mengalami angka kematian yang signifikan dan jumlah infeksi virus Corona berjumlah besar. Hal ini disebabkan pemerintah abai menggunakan lensa interseksionalitas, maka ketika Amerika mengalami krisis, kesenjangan, diskriminasi, rasisme dan eksploitasi menyeruak di ranah publik. Di Indonesia, kita melihat kesalahan yang sama. Kebijakan bias gender sering terjadi karena tidak menggunakan lensa interseksionalitas. Contohnya keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan insentif Rp 10 juta kepada Dokter dan Rp 7.5 juta kepada perawat (CNN Indonesia, 2020), kebijakan semacam ini hasil minim pengetahuan gender ditambah tidak memahami lensa interseksionalitas, alhasil, menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan. Lensa interseksionalitas dalam kasus ini, menunjukkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang bekerja sebagai careworkers dan profesi perawat tidak dinilai penting dibandingkan dokter. Cara berpikir semacam ini fatal, sebab Indonesia sebagaimana kita ketahui bergantung pada ekonomi careworkers, maka tentu saat krisis melanda, ekonomi Indonesia menjadi porak poranda. Perlunya Ekonomi Berperspektif Feminis
Ekonomi yang selama ini dibangun di negara ini adalah ekonomi yang mengandalkan pekerjaan gratis perempuan yang tidak dihargai karena dianggap sebagai pekerja care work (kerja yang melayani, mengasuh dan merawat orang lain). Padahal BNP2TKI mengakui bahwa pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri menyumbangkan devisa sebesar Rp. 70 triliun (2018). Perlu diketahui bahwa 54% pekerja migran adalah perempuan (2014). Namun perlindungan terhadap pekerja migran tidak memadai, baik ketika berangkat bekerja ke luar negeri maupun saat kembali. Buruh migran perempuan kerap mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikannya. Menurut Bazzi & Bintoro, 2015, terdapat kordinasi yang buruk antara pemerintah setempat dan pemerintah di negara penerima pekerja migran. Kebanyakan pekerja tidak memahami isi kontrak kerja, buta pengetahuan finansial dan pasar kerja, serta kurangnya pelatihan dari pemerintah. Ekonomi berperspektif feminis menggarisbawahi ketidakadilan sistem ekonomi yang merugikan perempuan. Beberapa hal yang disoroti adalah kesenjangan berpendapatan, segregasi gender dalam pekerjaan dan diskriminasi serta eksploitasi. Lensa ekonomi feminis mampu mengurai ketertinggalan perempuan dalam pasar kerja. Partisipasi perempuan di pasar kerja rendah karena soal perkawinan, memiliki anak di bawah umur dua tahun, tingkat pendidikan yang rendah (terutama level pendidikan tinggi), dan penggantian struktur ekonomi dari sektor pertanian, transisi dari area rural ke urban (AIPEG 2017; Jakarta Post 2020). Semua faktor yang telah disebut di atas menyebabkan sejak awal posisi perempuan di pasar kerja sangat lemah. Saat Covid-19 menjangkit, perempuan semakin terpuruk. Berikut adalah beberapa konsep feminis yang perlu diperhatikan dalam membincangkan perempuan dan ekonomi.
Konsentrasi perempuan dalam ekonomi ada pada pekerjaan informal yakni pekerja domestik, pekerja paruh waktu, dan usaha kecil. Pekerjaan semacam ini lebih banyak diduduki oleh perempuan dari pada laki-laki dengan rasio 3: 1. Lebih banyak perempuan miskin yang melakukan pekerjaan di sektor informal sebesar 80% dibandingkan 34% perempuan kelas menengah-atas.
Glass ceiling. Perempuan yang bekerja di posisi atas mengalami hambatan yang tak terlihat. Misalnya hambatan sikap diskriminatif, pelecehan seksual, dan sebagainya. Sikap diskriminatif yang dialami perempuan dapat dialami baik dari atasan laki-laki maupun perempuan. Eksekutif perempuan di perusahaan top dunia juga mengalami hambatan-hambatan tersebut. Glass clif. Bila perempuan berhasil masuk ke posisi atas dan memecahkan glass ceiling, mereka mengalami risiko “jatuh” dari posisi mereka. Perempuan yang berada di posisi puncak mengalami tekanan dari laki-laki yang ingin bertahan di level atas, dan adanya ekspektasi untuk selalu bekerja dengan sempurna. Perempuan di level ini hidup di bawah “kaca pembesar”, setiap gerak-gerik dan penampilan mereka diamati. Maka, penelitian menunjukkan kebanyakan perempuan yang bekerja di level atas, mengundurkan diri, karena mengalami kelelahan secara fisik dan mental. Glass escalator. Laki-laki yang bekerja di bidang pekerjaan dominan perempuan, mengalami peningkatan karier yang cepat sebab perempuan cenderung untuk mendukung laki-laki yang bekerja di lingkungan mayoritas perempuan. Beberapa penelitian memperlihatkan laki-laki diuntungkan bekerja di tempat dimana dia menjadi minoritas. Laki-laki digunakan sebagai token karena mau bekerja di lingkungan perempuan, sehingga dia mengalami dukungan yang posistif dan kadang lebih sukses dari perempuan di bidang yang sama (Kanter 1977). Care Crisis Sudah saya sebut di atas bahwa sebelum masa pandemi, status perempuan di Indonesia sudah goyah karena adanya masalah diskriminasi, eksploitasi, dominasi dan kekerasan. Kini pada masa pandemi, perempuan yang mayoritas bekerja di bidang care work, mengalami krisis besar. Ini disebabkan karena pemerintah terlalu lama memarginalkan perempuan dan mengacuhkan kontribusinya pada sektor ekonomi. Di masa pandemi Covid-19, dunia bergantung pada careworkers dan caregivers yang mayoritas adalah perempuan dan anak perempuan. Di bidang careworkers, mayoritas perempuan yang berprofesi di bidang keperawatan, berada di garda depan menghadapi pandemi Covid-19 di rumah sakit. Di media sosial, dokter yang mayoritas adalah laki-laki mendapatkan perlakuan istimewa, berbeda dengan perawat. Pekerja dokter lebih sering di agung-angungkan sedangkan pekerja perawat dianggap biasa saja. Bahkan di dalam pembagian insentif, perawat mendapatkan insentif yang lebih kecil dari para dokter. Perempuan paling banyak menjadi pekerja esensial, bekerja di pasar, pengasuh anak dan usaha kecil sepeti makanan. Perempuan dominan di pekerjaan caregivers, mereka menanggung beban rumah tangga, memasak, mengasuh anak, melayani suami, menjaga orang tua yang sakit, dan sebagainya. Careworkers dan caregivers tidak memiliki kemewahan berdiam di rumah seperti para CEO, pengacara, direktur, dan sebagainya, yang rata-rata memiliki caregivers bahkan careworkers di rumah. Mereka yang tergolong kelas atas diuntungkan oleh sistem ekonomi yang berorientasi profit dan bukan berorientasi pada kesejahteraan rakyat kecil. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terlihat dengan gamblang dalam masa krisis saat ini. Mereka yang kaya, memiliki jabatan (atau bekerja di tempat mapan) mendapatkan pelayanan testing Covid-19 dengan cepat dan terjamin. Sedangkan mereka yang tergolong dalam careworkers dan caregivers tidak memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan fasilitas testing, mudah terkena pandemi informasi, dan tidak memiliki akses internet yang memadai untuk tetap mengikuti pendidikan yang sebagian besar dijalankan secara daring. Male Crisis Saya melihat banyak persoalan yang dihadapi oleh laki-laki di masa pandemi Covid-19. Menurut data yang dihimpun oleh negara-negara maju, lebih banyak laki-laki yang meninggal dunia karena virus Corona ketimbang perempuan. Hal ini bukan disebabkan faktor biologis melainkan faktor sosiologis, gaya hidup yang salah. Laki-laki menurut para ahli lebih banyak yang merokok, konsumsi alkohol berlebihan serta kurang memerhatikan kesehatan. Menurut Tony Porter (Chief Executive A Call to Men), laki-laki di saat krisis malu untuk menunjukkan kelemahannya dan selalu ingin tampil superior serta tidak mau meminta pendapat pasangannya. Laki-laki bukan saja mengalami kesehatan fisik yang buruk namun juga kesehatan mental yang rapuh. Hal ini disebabkan oleh persoalan maskulinitas dan budaya patriarki yang mengokohkan eksistensi laki- laki. Ini adalah salah satu penjelasan mengapa di dalam masa krisis, laki-laki cenderung melakukan kekerasan fisik dan verbal. Hal lain, laki-laki tidak dapat menghadapi tekanan finansial sehingga membuat mereka lebih mudah marah dan agresif. Identitas kesuksesan finansial melekat pada laki-laki, mereka diukur martabatnya melalui “uang”. Karena itu, mereka malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, yang dianggap remeh-temeh, domain perempuan. Karakteristik “man box” ini sangat berbahaya bukan saja bagi diri laki-laki itu sendiri, melainkan juga bagi keluarganya, dan masyarakat yang lebih luas. Agenda Feminis Pandemi Covid-19 menunjukkan sistem ekonomi dan sosial kita sangat rapuh. Terbukti setiap kali ada krisis, negara tidak mampu untuk menjamin keamanan masayarakat, kesejahteraan ekonomi dan sosial. Dalam keadaan yang chaos, perempuan dan anak perempuan masuk di dalam kelompok rentan bersama dengan kelompok-kelompok marginal lainnya termasuk kelompok LGBTIQ. Oleh sebab itu, penangan krisis tidak bisa hanya bersifat reaktif (karena ini hanya menempelkan “band aid” sementara), tetapi sangat perlu dan urgen melakukan perubahan secara total. Beberapa agenda yang bisa diperjuangkan:
Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |