Ina Salma Febriany Dosen Universitas Islam At-Thahiriyah [email protected] Judul Buku : Ensiklopedia Muslimah Reformis (Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi) Penulis : Musdah Mulia Kota Terbit : Jakarta Penerbit : Dian Rakyat Tahun Terbit : 2019 Halaman : xxiv+772 Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki prestasi spiritual di hadapan Tuhan, perempuan juga dianugerahkan prestasi sosial yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sama-sama diberikan pahala atas kebaikan yang mereka upayakan. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat, Alquran mengulang lafadz ash-sha>lihi>n (laki-laki yang berbuat kebajikan) dan ash-sha>liha>t (perempuan yang berbuat kebajikan) yang akar kata keduanya sama yaitu sha-lu-ha, yasluhu, shalih atau secara definitif berarti orang-orang yang terus-menerus mengupayakan kebajikan. Salah satu ayat Alquran yang mengulas lafadz sha-li-ha>t ialah an-Nisa, 4: 34. Ayat tersebut mendeskripsikan sosok perempuan shalih yang memiliki dua kriteria yaitu pertama, mereka yang taat (qa>nita>t), kedua, mereka yang memelihara atau menjaga diri (ha>fidzha>t). Dengan demikian, qanita>t dan ha>fidzha>t sebagai prasyarat dari makna sha>liha>t, akan lebih sempurna ketika mereka (perempuan) mengutamakan kedamaian dalam hidupnya (sala>m/ muslim/ muslimah). Muslimah (berasal dari bahasa arab yaitu kata sa-li-ma (selamat, damai). Muslimah berarti perempuan yang terus-menerus merajut kedamaian dan keselamatan serta menjauhkan diri dari perilaku mafsadat (perusakan) baik bagi diri sendiri maupun sesama makhluk di alam semesta.
Dewasa ini, kita dihadapi oleh banyak hal-hal krusial yang memprihatinkan. Dalam bidang pendidikan, perempuan yang berpartisipasi aktif untuk mengenyam pendidikan masih lebih rendah dari laki-laki. Bertepatan dengan Hari Aksara Internasional September 2018 silam, UNESCO mengusung tema “Literacy and Skills Development” mengingat buta aksara masih cukup tinggi di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, tercatat , lebih dari 3,3 juta jiwa mengalami buta aksara, 2.258.990 jiwa di antaranya perempuan usia 15-59 tahun. Adapun daerah yang menduduki peringkat buta aksara tertinggi ialah Papua sebesar 28,75%. Fenomena tersebut memberikan deskripsi bahwa perempuan masih cenderung mendapatkan akses pendidikan yang rendah karena beberapa sebab, di antaranya kemiskinan, isolasi geografis, disabilitas, kehamilan di usia sangat muda, kekerasan berbasis gender, perilaku budaya diskriminatif. Masih lemahnya akses pendidikan perempuan ini akhirnya berimbas pada ingkat partisipasi ekonomi perempuan yang cenderung stagnan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2018) mencatat, Selama 20 tahun, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) cenderung stagnan, rata-rata TPAK laki-laki adalah 84%, sementara perempuan 50%. Bappenas mengakui meskipun TPAK perempuan secara umum stagnan, partisipasi perempuan berpendidikan tinggi dalam pekerjaan yang baik cenderung meningkat. Sedangkan yang berpendidikan rendah terutama di perdesaan cenderung masuk lapangan kerja informal. . Begitupun di ranah politik, meski telah diberlakukan kuota atau kebijakan afirmasi untuk perempuan, paritisipasi mereka masih rendah dibandingkan laki-laki. Di sisi lain, ketika mereka turut aktif di ranah politik, beban ganda (tugas domestik) masih menjadi hal yang seolah juga menjadi tanggung jawab penuh baginya. Adapun satu masalah yang tak kalah penting adalah kesehatan perempuan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, 305 kematian/ 100.000 kelahiran hidup. Melalui isu-isu strategis tersebut di atas, buku Ensiklopedia Muslimah Reformis karya Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A, hadir di tengah-tengah kita. Maha karya ini terinsiprasi dari buku beliau sebelumnya, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2004). Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini tak hanya tebal halamannya tetapi juga kaya dengan analisa, terperinci dalam data, relevan sesuai konteks, dan tentunya mencerahkan. Pembahasan sebanyak 16 bab ini dimulai dari bidang pendidikan. Musdah Mulia menjelaskan dalam bab ini mengenai model pendidikan yang dibutuhkan bangsa ini dan fondasi yang tepat bagi semua pola pendidikan. Islam sebagai agama yang lantang menyuarakan hak-hak pendidikan bagi setiap hamba-Nya tersimbol dalam satu surah yakni surah al-‘alaq dengan bunyi ayat pertama yang begitu akrab di telinga, ‘iqra’ (bacalah). Membaca merupakan aktivitas akal yang sangat luar biasa. Kemampuan kognitif dan curiosity (rasa ingin tahu) menyatu sehingga kita bisa melihat, menganalisa dan menggali informasi lebih dalam lagi agar pemahaman terhadap sesuatu masalah lebih komprehensif. Setelah pembahasan terkait pola pendidikan yang semestinya diterapkan sebagai kurikulum di negeri ini, Musdah Mulia kemudian mengulas secara kritis tentang pembentukan keluarga melalui pernikahan. Mengapa keluarga? Sebab dari keluargalah generasi-generasi manusia terlahir dan keluarga sebagai institusi terkecil sangat memengaruhi cara pandang seseorang di kemudian hari. Pola asuh orangtua dan lingkungan tempat dimana seorang anak tumbuh, juga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial sang anak. Al-umm madrasatul u>la—demikian istilah yang senantiasa ditujukan bagi perempuan dalam posisinya sebagai ibu. Istilah itu bermakna bahwa ibu menduduki peranan yang sangat penting yaitu sebagai tempat belajar dan sekolah utama bagi anak-anaknya. Dengan demikian, penanaman nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan bisa dimulai dari sedini mungkin—sebelum anak memasuki institusi yang lebih luas lagi. Musdah berpendapat bahwa peranan perempuan dalam posisinya sebagai ibu, seyogyanya mampu mempelopori lahirnya pendidikan perdamaian. Hal ini penting mengingat keluarga adalah inti terkecil dalam upaya mengadakan pembaruan. Isu strategis berikutnya yang diulas dalam buku ini adalah perihal Keluarga Berencana (KB). Terkait KB, Musdah berpendapat, KB bukan hanya pemasangan alat kontrasepsi semata. Namun, lebih dari itu. KB ialah upaya yang seharusnya dilakukan seseorang sebelum ia memutuskan untuk menikah, pertanyaan yang perlu diajukan dan direfleksikan mulai dari; siapa yang akan ia nikahi? Berapa usianya? Apakah mental, fisik dan finansial telah cukup? Berapa anak yang diinginkan? Hingga hal-hal penting dan terperinci lainnya agar pasangan suami istri dapat melaksanakan tugas-tugas rumah tangga nantinya dengan penuh tanggung jawab. Hal ini penting, sebab banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah tanpa perencanaan yang matang, juga tak sedikit yang menikah di bawah umur atau masih dalam usia anak. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, angka prevalensi perkawinan anak sudah menunjukkan angka yang tinggi pada tahun 2015, yakni tersebar di 21 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia. Hal ini berarti angka perkawinan anak berdasarkan sebaran provinsi di seluruh Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni dengan jumlah persentase 61% (enam puluh satu persen). Sedangkan pada tahun 2017, terdapat kenaikan jumlah provinsi yang menunjukkan angka perkawinan anak yang bertambah dari tahun 2015 yakni Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Riau yang kini tergolong provinsi yang menunjukkan angka cukup tinggi (diatas 25%). Angka persentase perkawinan anak masing-masing kedua provinsi tersebut yakni 34,41% dan 25,87%. Tingginya angka prevalensi perkawinan anak seperti terurai di atas, menjadi bukti bahwa anak kerap menjadi korban salah satunya karena faktor ekonomi (kemiskinan). Dengan menikahi anak, diharapkan beban hidup orang tua dapat berkurang, padahal, secara tidak langsung, anak yang dinikahi dalam usia yang belum cukup lebih rentan mengalami gangguan kesehatan reproduksi. Fenomena ini sejalan dengan Qs. an-Nisa/4: 9 mengenai anjuran bagi para orangtua agar tidak meninggalkan generasi yang lemah (dzuriyyatan dhi’a>fan) baik lemah secara ekonomi, pendidikan, termasuk kesehatan reproduksi. Terkait hal ini, Musdah mengkritisi bahwa kesehatan reproduksi juga seharusnya dapat diakses oleh seluruh individu dan ini menjadi tugas besar pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; termasuk informasi yang cukup mengenai Keluarga Berencana (KB). Lebih lanjut, Musdah menguraikan bahwa konsep utama Keluarga Bencana (KB) adalah merencanakan suatu kehidupan keluarga yang damai dan bahagia dan salah satu indikasinya adalah jumlah anak yang sedikit dan berkualitas. Pandangan ini terkait dengan masalah global tentang ledakan penduduk, kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan sumber daya alam. Dengan demikian, pembatasan keturunan semestinya tidak dipandang sebagai penolakan takdir Tuhan, namun lebih kepada upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak demi terciptanya kesejahteraan. Selain ulasan tentang pentingnya upaya pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi, buku ini juga mengulas tentang poligami, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), menghapus radikalisme dan terorisme, masalah politik hingga ide untuk mengupayakan tafsir yang humanis-feminis agar tidak ada lagi tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Terakhir, upaya merajut damai dengan merumuskan dakwah transformatif merupakan bab penutup dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis ini. Dakwah haruslah membawa pengaruh transformasi dalam masyarakat. Dakwah harus mampu mengubah masyarakat ke arah kondisi yang lebih positif, konstruktif dan produktif. Dapat disimpulkan bahwa Ensiklopedia Muslimah Reformis merupakan upaya meredefinisi konsep mar’ah shalihah yang digaungkan Alquran. Muslimah reformis seakar dan sejalan dengan konsep mar’ah shalihah; bahwa perempuan shalihah bukan hanya mereka yang taat pada Tuhan dengan seperangkat atribut keagamaan, namun juga perlu aktif bergerak, penuh empati, peduli dan turut andil dalam upaya-upaya kemanusiaan. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |