
Saya pernah menemukan kasus tentang salah satu calon anggota DPRD Kab. Banyumas yang tidak bisa memenangkan pemilihan legislatif karena dia lebih dikenal dengan nama suaminya. Saat dirinya menjajaki kursi pileg hanya sedikit saja orang yang mengenalnya sebagai “perempuan merdeka”. Fenomena lain yang saya temui adalah ayah saya sebagai Pegawai Negeri Sipil menuntut ibu saya untuk menenggelamkan nama pemberian orang tuanya. Latar belakang ibu yang hanya sebagai ibu rumah tangga dan populer karena suami yang memiliki peran kuat di masyarakat maupun organisasi, memaksanya dikenal dengan nama suami, bukan namanya sendiri.
***
Tentang organisasi Dharma Wanita, Dharma Wanita Persatuan adalah organisasi kemasyarakatan yang menghimpun dan membina istri Pegawai Negeri Sipil RI dengan kegiatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, ekonomi dan sosial budaya serta tidak terkait dengan kekuatan politik manapun, tetapi hak berpolitik anggota tetap dihormati. Secara garis besar, tujuan organisasi Dharma Wanita adalah mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota untuk mendukung tercapainya tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kegiatan yang dilaksanakan Dharma wanita persatuan diarahkan untuk: (a) Mengutamakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari pengurus dan anggota; (b) Memilih kegiatan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kesempatan organisasi; (c) Dalam melaksanakan kegiatan mendahulukan yang penting sesuai dengan skala prioritas; (d) Mengutamakan kualitas penanganannya daripada kualitas yang ditangani, serta diupayakan secara tuntas; (e) Menjaga citra yang baik sebagai istri pendamping aparat pemerintah di tengah masyarakat yang dinamis.
Sedangkan fungsinya adalah sebagai wadah untuk melakukan pembinaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok organisasi. Di samping tugas dan fungsi pokok yang ada di dalam kelompok organisasi dharma wanita persatuan, organisasi tersebut juga memiliki tujuan yaitu mewujudkan kesejahteraan anggota dan keluarganya melalui peningkatan kualitas sumber daya anggota guna mendukung tercapainya tujuan nasional. Wewenang pengurus organisasi Dharma Wanita adalah (1) Menetapkan kebijaksanaan teknis organisasi berdasarkan hasil musyawarah nasional, anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan juga kebijaksanaan organisasi satu tingkat diatasnya; (2) Mengesahkan organisasi, pengurus dan atau ketua satu tingkat dibawahnya; (3) Melaksanakan pembinaan organisasi pada unsur pelaksana di lingkunganya; (4) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh unsur pelaksana di lingkungannya; (5) Melaksanakan program dan kegiatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada organisasi satu tingkat di atasnya. Kewenangan anggota hanya sebatas kewenangan normatif yang harus dipatuhi. Sepanjang perjalanannya, organisasi dharma wanita hanya memiliki kegiatan yang monoton dan tidak inovatif. Tidak ada isu keperempuanan yang dibahas di dalamnya, padahal harapannya organisasi ini bisa mencegah istri dari tindakan kekerasan yang barangkali dialaminya dalam keluarga.
Peran sebagai istri para pejabat pemerintahan akan membawa mereka pada arus identitas patriarki. Secakap apapun istri seorang PNS golongan II tidak akan menjadikannya sebagai ketua dharma wanita di salah satu instansi. Sebaliknya istri seorang pejabat Eselon II yang tidak memiliki kemampuan memimpin organisasi, siap tidak siap, mau tidak mau harus mau menjadi ketua dharma wanita. Dengan menyandang nama suaminya, istri seorang pejabat tersebut mendapatkan kehormatan lebih dan mendapatkan “fasilitas sosial” yang lebih baik. Jadi, jangan heran jika kegiatan dharma wanita yang sering terlihat hanya arisan, studi banding, dan seminar kecantikan. Penyadaran akan pentingnya memaksimalkan kegiatan dharma wanita selain kegiatan di atas seharusnya menjadi perhatian para pegiat gender dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.
Fenomena yang sering terjadi hari ini adalah bagaimana peran dan fungsi seorang ibu atau istri rumah tangga dianggap lebih rendah dari peran ayah atau suami yang bekerja dan mendapatkan upah secara materiil dan dianggap sebagai titik ukur dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Anggapan atas keistimewaan laki-laki sebagai pemilik kuasa tertinggi sebagai seorang pencari nafkah inilah yang kemudian menimbulkan penyingkiran kerja perempuan baik sebagai istri atau ibu. Bahwa kerja perempuan dalam relasi keluarga dianggap sebagai peran kedua karena fungsi domestik yang dijalankannya tidak mendapatkan upah atau gaji secara materiil seperti halnya laki-laki. Aktivitas perempuan dalam sektor domestik pada organisasi binaan seperti Dharma wanita seharusnya mulai dibenahi secepat mungkin agar kehebatan seorang perempuan dapat terwadahi dengan baik.
***
Saya selalu mendengar di setiap pertemuan dharma wanita yang mengungkapkan bahwa laki-laki pada umumnya lebih mengutamakan logika dari pada perasaan, sedangkan perempuan lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Sehingga tidak jarang, perempuan dianggap tidak dapat menjadi pemimpin atau menduduki suatu jabatan tertentu. Tetapi pernahkah Anda mempertanyakan dalil atau dasar ungkapan tersebut? Dapatkah dibuktikan secara ilmiah? Tidakkah ungkapan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah itu mengakibatkan diskriminasi dan ketidakadilan? Saya rasa ungkapan semacam itu sudah seharusnya dimasukkan dalam keranjang sampah, bukan hanya karena tidak ada pembuktian ilmiah, tetapi juga akan menimbulkan bentuk-bentuk ketidakadilan dan pembatasan hak-hak tertentu pada salah satu pihak, yaitu perempuan.
Kondisi perempuan dalam organisasi yang terkungkung dalam beban identitas patriarki membuat saya semakin gerah, kenapa? Karena perempuan tidak dapat melakukan suatu hal tanpa mendapat izin suaminya, walaupun hal tersebut baik untuk kesejahteraan keluarganya. Saya amat meyakini bahwa perempuan-perempuan yang bergerak pada sektor domestik merupakan nuklir dahsyat bagi negeri ini. Melihat posisi perempuan pada organisasi Dharma Wanita yang saya temui selama ini membentuk anggapan bahwa perempuan dapat saling menjatuhkan. Sehebat apapun seorang perempuan, jika mereka merupakan istri seorang yang tidak memiliki kehebatan sosial maka tidak akan hebat pula kariernya di ranah sosial. Ini juga akan memengaruhi konsepsi akan perannya di masyarakat, pemikirannya selalu berasal dari keputusan suaminya.
Peran perempuan di sebuah organisasi binaan seperti Dharma Wanita belum dapat dikatakan sebagai tindakan yang memberdayakan secara maksimal. Penguasaan dan dominasi masih sangat dipengaruhi oleh peran domestiknya. Maka diperlukan sebuah penyadaran dan kesadaran perempuan sebagai individu untuk berusaha membebaskan dirinya dari identitas patriarki yang kuat. Sebagaimana dikatakan Soekarno, “Dan kamu, wanita Indonesia, achirnja nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saja memberi peringatan kepada kaum laki-laki untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perdjoeangan, tetapi kamu sendiri harus mendjadi sadar, kamu sendiri harus terdjun mutlak dalam perdjoeangan”.