Diskursus mengenai relasi perempuan dan teknologi telah lama diperbincangkan setidaknya sejak dua dekade lalu. Relasi perempuan dan teknologi kerap kali dipertanyakan dalam berbagai kasus. Seperti pendapat Marry O’brien dalam bukunya The Politics of Reproduction bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah disebabkan semata-mata oleh biologi perempuan di dalam dan atas biologi itu sendiri, melainkan karena kecemburuan laki-laki terhadap kemampuan reproduksi perempuan dan hasrat yang mengikutinya untuk mengambil kendali atas bilogi perempuan melalui alat teknologi dan ilmu pengetahuan (Tong, 113). Reproduksi teknologis menyesuaikan dengan kekuatan reproduksi perempuan, dan menempatkannya ke tangan laki-laki, yang kini mempunyai kendali bukan saja atas sperma melainkan juga atas teknologi reproduksi (Tong, 112). Terlihat bahwa ada ketakukan akan kendali teknologi reproduksi terhadap tubuh perempuan. Sedangkan para pemikir feminis sosialis yang mengungkapkan bahwa ada persoalan pada teknologi-mesin produksi. Feminis sosialis beranggapan bahwa teknologi produksi membawa dampak negatif untuk pekerja perempuan dan ini menjadi awal mula bagaimana perempuan anti terhadap teknologi. Teknologi industri didesain untuk laki-laki dan didefinisikan maskulin (Wacjman, 289). Teknologi telah lama jauh dari perempuan, teknologi kerap kali juga dianggap sebagai ruang laki-laki. Teknologi sebagai ruang laki-laki juga turut dikonstruksi oleh budaya patriarki yang hendak mengeksklusikan dari peradaban. Mengapa tidak? teknologi menjadi salah satu penanda kemajuan zaman, dalam kultur patriarki hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk menguasai peradaban, maka laki-laki juga yang hendak menguasai teknologi. Oposisi biner yang dimainkan juga kerap kali mengeksklusikan perempuan dari teknologi dan hendak mendekatkan perempuan dengan alam/budaya. Misalnya pemikiran ekofeminisme yang menganggap bahwa perempuan adalah “goddess”/dewi, yang natural, dan dekat dengan alam—sehingga perlu dilihat secara kritis bagaimana posisi perempuan dalam perjuangan, dikotomi gender akhirnya seperti pisau bermata dua, bisa merugikan dan menguntungkan perempuan. Namun Donna Haraway mengansumsikan bahwa perempuan ialah juga setengah mesin, perlu dan harus didekatkan dengan teknologi (Wacjman, 292). Haraway menekankan bahwa sains dan teknologi perlu diberikan makna baru dan entitas baru. Dalam kajian UNESCO: A Complex Formula: Girls and Women in Science, Technology, Engineering and Mathematics in Asia (UNESCO Bangkok, 2015) menarasikan pelbagai sebab dan langkah pemberdayaan untuk menutup gap tersebut. Secara global dilaporkan bahwa hanya ada 30% perempuan dalam STEM (Sains, Technology, Engineering & Mathematics). Di Asia sendiri hanya ada 18% perempuan. Seperti dalam hadiah Nobel, hanya ada 2 perempuan yang memenangkan dalam bidang STEM, dan tak ada satu pun perempuan dari Asia. Jelas di sini dapat disimpulkan ada defisit perempuan dalam ICT, STI dan STEM (Candraningrum & Dhewy, 433). Konstruksi terhadap teknologi tersebut mengakibatkan representasi perempuan sangat minim di dalam bidang teknologi dan STEM (Sains, Technology, Engineering & Mathematics). Judy Wacjman seorang profesor di Departemen Sosiologi di London School of Economics banyak melakukan kajian mengenai sains dan teknologi. Ia mencurigai bahwa minimnya representasi perempuan di dunia teknologi tidak serta merta karena perempuan tidak mampu menguasai bidang tersebut. Wacjman dalam publikasinya “Feminist Theories of Technology” hendak melihat bagaimana relasi antara perempuan dan teknologi dengan kajian interseksionalitas antara kajian feminis dan kajian STS (Science and Technology Studies). Wacjman mengajukan teori yang lebih baru bukan hanya sekadar women and technology tapi technofeminism untuk mengintrogasi relasi gender dalam teknologi. Wacjman mempertanyakan bagaimana teknologi berperan dalam relasi kekuasaan berbasis gender. Kritik lain juga datang dari Donna Haraway seorang pakar dalam bidang sains, yang dijuluki sebagai feminis tekno-sains. Banyak karya Haraway, baik buku dan jurnal, berfokus pada perlawanan atas bias maskulin dalam budaya sains, yang dia sebut dalam esai ini sebagai “informatics domination”—dominasi informasi yang sifatnya maskulin, dan informasi ini merupakaan pengetahuan (Candraningrum & Dhewy, 445). Relasi perempuan dan teknologi secara politis juga telah dibangun dari masa ke masa sehingga bukan hanya merugikan perempuan secara praktis tapi juga dalam waktu panjang. Konstruksi tersebut akhirnya membuat teknologi “bergender” atau “tergenderkan”, beberapa hal yang menjadi penyebabnya adalah: 1) Teknologi merupakan aktor kunci dalam membentuk situs teknologi baru sehingga penting untuk dikuasai, kaitannya dengan dunia kerja dan aktivitas ekonomi; 2) Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin masih terjadi di dunia kerja berbasis teknologi, ada pengaitan khusus antara maskulinitas dengan keahlian teknis teknologi; 3) Teknologi bergender secara material dan simbolis, namun keduanya sangat fleksibel dan interpretatif, tergantung penggunaanya; 4) Citra teknologi sebagai ruang maskulim sangat kuat, meskipun ada ketidaksesuaian; 5) Pengetahuan teknis dan praktek telah tergenderkan, meskipun keduanya tidak relasional; 6) Gaya kerja teknis mungkin bersifat gender, menuntut kekuatan terhadap tekanan yang dianggap tidak bisa dihadapi oleh perempuan; 7) Teknologi merupakan elemen penting dalam identitas gender pria yang bekerja dan bermain dengan teknologi (Faulkner, 90). Mengapa Perempuan tidak Memilih Pendidikan Teknologi? Secara kronologi dan filosofi Wacjman dan Haraway telah menjelaskan bahwa teknologi sebagai ruang maskulin adalah konstruksi yang diciptakan secara politis untuk menguasai ruang publik. Konstruksi inilah yang pada akhirnya membuat perempuan jauh dari teknologi. Dalam bidang pendidikan dikotomi maskulin dan feminin terus berlanjut dan memengaruhi minat dan ketertarikan perempuan pada bidang tertentu. Sebelum Wajcman dan Haraway, pemikiran tentang relasi perempuan dan teknologi—ruang yang dianggap maskulin telah dibahas secara implisit oleh Mary Wollstonecraft, ia berargumen bahwa jika laki-laki disimpan dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Mary Wollstonecraft juga mengkritik karya Emile karya Jean-Jacques Rousseau yang menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan yang paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Pemikiran Rousseau ini mengandaikan bahwa murid perempuan yang ideal adalah yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, puisi sembari mengasah keterampilannya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (Tong 19). Indikasi tersebut dilihat sejak proses pembedaan mainan anak-anak. Anak laki-laki ketika kecil diberikan mainan mobil, pesawat, robot sehingga mereka terbiasa dengan perangkat “keras” kemudian anak perempuan diberi mainan boneka dan orang tua mereka tentu tidak akan menukar mainan anak perempuan dan laki-lakinya. Mainan seharusnya bebas nilai, tidak ada kepemilikan gender tertentu sama seperi halnya warna dan ilmu pengetahuan. Hal ini memperlihatkan bagaimana pola pikir dan konstruksi sosial telah lama dibangun. Pembedaan cara-cara pengasuhan dan pendidikan yang membuat perempuan terpinggirkan dari pendidikan, pendidikan teknologi khususnya. Meskipun demikian Wollstonecraft menekankan untuk menjadi manusia yang otonom, perempuan perlu mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Seperti yang diungkapkan Simone de Beauvoir One is not born a woman but rather becomes a woman, perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan tapi menjadi perempuan. Seperti yang saya ungkapkan diatas bahwa perempuan dan laki-laki sejak lahir mendapatkan pembedaan pengasuhan. Seperti itulah konstruksi gender atas teknologi mula-mula lahir. Laki-laki diberikan mainan robot dan perempuan diberikan boneka. Sejak saat itu tanpa sadar kita memberikan label kepada barang-barang tertentu, mainan maskulin dan mainan feminin. Sehingga jika ada laki-laki yang bermain boneka akan diejek, di-bully, dan dianggap aneh. Sama halnya ketika perempuan memilih sekolah di bidang teknologi, ia menjadi minoritas dan kerap kali harus meninggalkan sifat-sifat femininnya untuk masuk ke dalam dunia teknologi tersebut. Pemikiran Betty Freidan mengenai sifat-sifat maskulinitas dan femininitas sangat berbeda. Dalam bukunya The Second Stage ia menggambarkan apa yang disebut sebagai gaya pemikiran dan tindakan beta, yang menekankan pada “fluiditas, fleksibilitas, dan sensitivitas interpersonal” sebagai feminin secara budaya, dan menggambarkan gaya pemikiran dan tindakan alfa menekankan pada “hierarki, otoritas, kepemimpinan yang secara tegas berorientasi tugas berdasarkan rasionalitas intrumental dan teknologi sevagai maskulin secara budaya” (Tong 44). Ide Betty Freidan ini mengandaikan bahwa perempuan dapat memaksimalkan keduanya, yaitu pola alfa dan beta, yang berarti bahwa sebenarnya perempuan tidak perlu meninggalkan femininitasnya untuk setara dengan laki-laki. Lebih jauh dalam konteks relasi perempuan dan teknologi, feminis psikoanalis hadir dengan argumen bahwa penindasan perempuan dalam berbagai hal bersumber pada pengondisian psike perempuan. Feminis psikoanalis menentang keras pendapat Freud bahwa inferioritas perempuan selama ini berasal dari ‘penis envy’. Karen Horney mengklaim bahwa perasaan inferior perempuan bukanlah berasal dari kesadaran perempuan atas kastarsinya (ketidakmampuan perempuan memiliki penis sebagai simbol superioritas menurut Freud), melainkan dari kesadaran subordinasi sosial yang telah lama dikonstruksi secara sosial (Tong 202). Pada budaya patriarkal teknologi sebagai sebuah inovasi diklaim menjadi milik laki-laki. Budaya patriarkal juga memaksa perempuan menjadi feminin (pasif, masokistik, narsistik) dan mencoba meyakinkan perempuan bahwa ia menyetujui menjadi feminin (Tong, 1998). Konstruksi sosial tersebut terus melakat pada apa yang disebut psike perempuan. Dengan dalih ketidakmampuan perempuan untuk menguasai bidang STEM, maka kultur maskulin ini membuat stereotip gender pada teknologi. Teknologi memasak untuk perempuan dan teknologi pemesinan untuk laki-laki. Meskipun di era millenial ini sudah banyak perempuan yang menekuni bidang STEM, namun masih ada stereotip tertentu yaitu hard-technology dan soft-technology. Teknik pemesinan, pengelasan, otomotif masih didominasi laki-laki, sedangkan teknik komputer jaringan, multimedia, rekayasa perangkat lunak persentase perempuan cukup baik. Daftar Pustaka: Candraningrum, Dewi & Anita, “Rasa Takut, Bullying dan Tekad Pelajar Perempuan dalam STEM: Kajian SMK di Jakarta”, Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM, 2016, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Haraway, Donna. 1985. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century” dalam Socialist Review. NY: Routledge. (hal 149-181). Millet, Kate 1970, Sexual Politics, New York, Doubleday. Tong, Rosemarie Putnam 1998, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (terj), Jalasutra, Yogyakarta. Wacjman, Judy 2001, Feminisme versus Teknologi, SBPY (Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta). Wacjman, Judy, “Feminist theories of technology”, Cambridge Journal of Economics 2009, http://wiki.medialab-prado.es/images/4/4b/Wajcman_Feminist_theories_of_technology.pdf doi:10.1093/cje/ben057. Wajcman, Judy, “From Women and Technology to Gendered Technoscience”, Information, Communication & Society Vol. 10, No. 3, June 2007, Routledge, Taylor & Francis. Wajcman, Judy, “TechnoCapitalism meets TechnoFeminism: Women and Technology in Wireless World, Labour & Industry, Vol. 16, No. 3, April-May 2006, http://ross.mayfirst.org/files/wajcman-technocapitalism-meets-technofeminism.pdf. Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |