Siti Khuzaimah (Mahasiswi Pascasarjana Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) [email protected] Judul : Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik Penyunting : Andy Dermawan Cetakan : Pertama, 2006 Percetakan : Yogyakarta, Kurnia Alam Semesta Tebal : xiii + 206 halaman: 14,5 cm x 21 cm ISBN : 979-8598-30-X Penulis : Alimatul Qibtiyah Akhir-akhir ini, isu LGBT ramai di setiap sudut kota. Spanduk-spanduk bergelantungan dengan tulisan “LGBT, Haram!”, “Tolak LGBT”, “Kawasan ini bebas dari LGBT”. Apa sebenarnya motif penulisan kata-kata tersebut? Apakah hanya spanduk yang dibuat sebagai kampanye selayaknya pencalonan wakil ketua legislatif? Ataukah spanduk yang dibuat untuk mewakili aspirasi masyarakat yang sarat makna? Selain itu, demo terjadi di mana-mana. Kerusuhan mewarnai situasi kampanye LBGT. Semangat membara dan berapi-api tampak di setiap wajah para pendemo. Lagi-lagi pertanyaan saya, apa yang mereka inginkan? Karena penasaran, akhirnya saya terpaksa bertanya kepada kelompok tersebut. Apa sih maksud dari tulisan di spanduk itu? Dan siapa sih LGBT itu?
Dengan sigapnya, seseorang di antara mereka menjawab, “Kami menolak LGBT, LBGT adalah perbuatan terkutuk, tidak manusiawi dan haram. Mereka itu banci-banci yang tidak bermoral. Mereka bukan manusia, tidak waras, berkelakuan seperti binatang.” Pernyataan para pendemo semakin membuat saya kebingungan. Bukan karena jawaban mereka, tapi berasal dari mana jawaban-jawaban itu muncul? Jawaban itu di dapatkan dari kamus Bahasa Indonesia atau dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya. Jika saya menggarisbawahi kata “haram”, maka menurut hemat saya ada kaitannya dengan keagamaan. Urusan halal dan haram diatur dalam undang-undang syariat Islam yang terkristal dalam bentuk fikih. Tapi apakah benar agama telah menyatakan menolak LGBT? Sebatas pengetahuan saya, agama yang saya anut sejak lahir tidak pernah mengajarkan tentang LGBT, hanya saja dalam Alquran disinggung kisah nabi Luth. Namun, mereka (para pendemo) dengan getolnya menyuarakan bahwa LBGT bertentangan dengan agama. Dari sinilah pertentangan dan kecamuk dalam hati mulai muncul. Saya terpaksa mempertanyakan ajaran agama yang selama ini saya yakini kebenarannya. Hingga usia 20 tahun, bu nyai dan pak kiai di pondok belum pernah menyinggung persoalan LBGT. Kitab-kitab yang dipelajari cukup beragam, namun tidak diketemukan catatan kecil tentang LBGT. Untungnya kini alat canggih bisa membantu saya menemukan kepanjangan kata LGBT yaitu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. LGBT adalah orientasi seksual yang dimiliki manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Ternyata LGBT memiliki arti yang sederhana. Hanya orientasi seksual, bukan barang berbahaya seperti narkotik jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Narkotik dapat berupa obat yang berfungsi menenangkan saraf dan menghilangkan rasa sakit seperti ganja dan opium. Narkotik berupa obat-obatan yang dapat dikonsumsi manusia. Sedangkan LGBT hanyalah orientasi seksual yang sangat abstrak dan tidak dapat dilihat secara kasat mata. Jadi menurut hemat saya LGBT berbeda dengan narkotik yang membahayakan (jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang) dan tidak bisa dihukum haram. Selebihnya kata “menolak”. Jika yang mereka tolak adalah sebuah orientasi seksual yang abstrak, bagaimana cara mengetahuinya? Jangan-jangan yang mereka tolak bukan orientasi seksual seperti apa yang saya pikirkan, tapi segelintir orang yang disebut banci. Pertanyaan saya selanjutnya, bukankah yang disebut banci adalah manusia? Jika memang selama ini yang disebut banci adalah manusia, apakah patut manusia menyebut sesamanya dengan sebutan banci? Jika merunut penciptaan manusia, setidaknya ada tiga tahapan kejadian yaitu nutfah (saripati berupa sperma), ‘alaqah (segumpal darah), dan mudghah (segumpal daging). Kemudian Tuhan menciptakan manusia dari jiwa yang satu, dijadikan daripadanya pasangan baginya...Tuhan menjadikan (manusia) dalam perut ibu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kerajaan. LGBT dalam hal ini berarti bukan manusia, melainkan orientasi seksual yang bisa jadi bagian dari ciptaan Tuhan (given). Ironis, para pendemo menyuarakan “Tolak LGBT”, “LGBT haram”. Maksud dari “tolak” dan “haram” ditujukan kepada manusia dan tindakan para LGBT. Jika yang ditolak adalah tindakan manusia yang menyimpang itu masuk akal. Tindakan menyimpang dalam hal ini dapat disandingkan dengan korupsi, keduanya sama-sama amoral. Namun, jika yang ditolak orientasi seksual, bagaimana hal itu bisa terjadi? Penyimpulan ini sungguh tergesa-gesa. Akibat keterbatasan pengetahuan dan pemahaman yang kurang tepat, semua tindakan para pendemo jadi salah kaprah. Sangat disayangkan jika masyarakat di sekitar kita semena-mena mengadili dan mengartikan LGBT secara buta. Tindakan semacam itu dapat mencederai nilai kemanusiaan itu sendiri. Ahli hukum pun jika tidak mempelajari kasus dengan benar, maka ia rentan mendekonstruksi kebenaran. Sama halnya dengan masyarakat yang mencampuradukkan LGBT dengan pengertian banci, perbuatan amoral, dan menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Saya khawatir, jangan-jangan selama ini masyarakat belum pernah belajar tentang pendidikan seksual. Sehingga argumen-argumen yang disampaikan dan disosialisasikan semuanya ngawur. Kesalahan pemahaman terhadap LGBT dapat berakibat fatal, namun belum banyak disadari pentingnya belajar seksualitas. Seksualitas adalah suatu aspek penting dalam kehidupan yang menekankan aspek fisik, sosial, emosi, spiritual, budaya, ekonomi, dan etnik yang dialami manusia. Cakupan dari seksualitas meliputi perkembangan seksual, penciptaan manusia, perbedaan anatomi seksual laki-laki dan perempuan, hasrat seksual, orientasi seksual, hubungan seksual, masturbasi, aborsi, alat kontrasepsi, perzinaan, khitan, dan mut’ah (hal 1). Sebuah karya Alimatul Qibtiyah berjudul Paradigma Pendidikan Seksualitas Perspektif Islam: Teori dan Praktik, setidaknya komprehensif menyediakan informasi penting seputar pendidikan seksualitas. Perlu dipahami bahwa pendidikan seks berbeda dengan pendidikan seksualitas karena cakupannya lebih luas. Tidak hanya berhubungan dengan reproduksi, seksualitas juga berkaitan dengan kebiasaan/adat-istiadat, agama, seni, moral, dan hukum. Kehadiran buku ini dapat mengonter kenyataan sebagian masyarakat muslim yang menolak membicarakan persoalan seksualitas. Sebenarnya jika mau jujur, agama Islam menjunjung tinggi kesantunan mempelajari pengetahuan apapun, terlebih soal seksualitas. Sehingga dengan hadirnya buku ini dapat memberi informasi bagi remaja muslim agar terhindar dari dampak negatif atas kesalahpahaman seksualitas. Selebihnya juga dapat mendorong pendidikan dalam dunia Islam untuk merumuskan pendidikan seksualitas yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Secara formal, pendidikan seksualitas dapat mengubah perilaku, baik menunda atau mengurangi perilaku seksual dini, orang yang tidak setuju dengan hubungan seks di luar pernikahan akan terhindar dari tertularnya penyakit HIV dan kehamilan yang tidak diinginkan. Membahas persoalan seksualitas tidaklah mudah, terutama di kalangan/institusi keluarga. Orang tua merasa ragu dan malu menjawab pertanyaan anak-anak remaja tentang seksualitas (hal 65). Padahal sering ditemui anak-anak kecil yang bertanya tentang adik bayi di dalam perut ibunya. Anak-anak pun sebenarnya berhak mendapat pendidikan seksualitas sejak dini, tentunya sesuai dengan porsinya bukan menggunakan bahasa orang dewasa yang sudah mereka pahami. Islam mengakui bahwa seksualitas adalah sesuatu yang natural dalam kehidupan manusia. Islam secara positif melihat seksualitas dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Seks dan seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, bahkan merupakan rahmat Allah. Islam mengatur kesucian hubungan anak manusia melalui pernikahan. Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan seksualitas dimulai sejak dini. Buku ini terdiri dari 3 bab. Bab I pendahuluan, berisi tentang diskursus seksualitas dan pendidikan seksualitas dalam kajian Islam. Bab II tentang penciptaan dan perkembangan manusia dalam konsep Islam. Bab III tentang Islam dan problematika poligami. Bab IV tentang pendidikan seksualitas dalam Islam. Bab V tentang pendidikan seksualitas pada penciptaan dan perkembangan manusia, disertai dengan contoh aplikasi kurikulum penciptaan dan perkembangan manusia, aplikasi kurikulum tentang poligami Islam dan kumpulan materi pembelajaran. Kritik terhadap buku ini, kurikulum pendidikan seksualitas dalam Islam pada tulisan ini belum terimplementasi. Oleh karena itu, materi dalam buku ini belum dapat diuji dan diukur tingkat keefektifannya. Topik-topiknya perlu dikembangkan seperti persoalan aborsi, hubungan seksual, alat kontrasepsi dan lain-lain. Kurikulum ini ada baiknya jika dimulai pada tingkat SMP agar para remaja lebih dini mengenal pendidikan seksual secara benar. Buku ini sangat relevan dibaca, dipelajari oleh para ilmuwan, civitas akademik, maupun siswa/i yang hendak belajar seksualitas. Khususnya para santri yang sudah belajar seksualitas dari kitab kuning (‘uquddulujjain), buku ini dapat dijadikan referensi pengetahuan baru yang sesuai dengan ajaran Islam.
Tri Lestari Handayani
19/4/2016 09:09:04 am
Pingin punya buku ini gimana caranya mendapatkan nya? Apakah sdh ada di toko buku gramedia?
syauqi
8/11/2016 12:21:34 am
Good Job! Comments are closed.
|
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |