Sebagai narasumber dalam diskusi yang dihelat Jejer Wadon bersama LPH YAPHI dengan tema “Perempuan dalam Politik Massa: Generasi 65, 98 dan Reformasi”, Mbah Arjo Sutiyem (94) adalah sosok perempuan yang mampu membuat peserta terbelalak ketika melihat dan mendengar beliau menceritakan pengalamannya sewaktu menjadi aktivis di tahun 1951-1965 di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Pada masanya, Mbah Arjo Sutiyem adalah sosok perempuan biasa yang sehari-hari adalah seorang petani desa dan penjual sirih. Dalam penuturannya, ia pertama kali mengenal sebuah organisasi ketika menjual sirih di pasar desa Jatinom, Kecamatan Klaten Jawa Tengah. Suatu hari, dalam perjalanan pulang ia melihat banyak perempuan di suatu rumah di Jatinom yang disangkanya sedang ada perkabungan, tetapi ternyata bukan, menurut penjelasan dari warga sekitar yang pada waktu itu berjalan dibelakangnya, keramaian tersebut adalah perkumpulan ibu-ibu yang sedang berdiskusi. Singkat cerita, dengan ajakan salah satu warga yang memberitahukan kegiatan perempuan-perempuan tersebut, akhirnya mbah Arjo Sutiyem ikut melihat dan mendengarkan apa yang didiskusikan dalam perkumpulan tersebut. Ternyata perkumpulan tersebut adalah perkumpulan perempuan yang diberi nama GERWIS (Gerakan Wanita Istri Sedar). GERWIS adalah salah satu organisasi gerakan perempuan yang memperjuangkan pembagian hak waris yang sama antara perempuan dan laki-laki, anti poligami, anti poliandri dan pro monogami. Tertarik dengan isu yang diperjuangkan, mbah Arjo Sutiyem memutuskan untuk bergabung dalam organisasi Gerwis di desa Jatinom. Secara diam-diam apa yang didapat dari perkumpulan organisasi tersebut ditindaklanjutinya dengan memberikan penyadaran kepada perempuan khususnya bagi para istri-istri tentang pentingnya menolak poligami, poliandri dan menuntut hak yang sama atas hak waris di wilayah tempat tinggalnya. Pada awal penyadaran kepada perempuan-perempuan, terdapat 10 perempuan di dusunnya yang sepakat dengan apa yang ia sampaikan dan lakukan. Kemudian agar itu menjadi kepedulian bersama akhirnya 10 orang tersebut dibagi menjadi 5 kelompok untuk bertugas memberikan penyadaran di dusun-dusun lain sampai pada akhirnya para perempuan di desanya sadar akan hak dan posisi nasibnya pada waktu itu sehingga mbah Arjo Sutiyem bersama perempuan yang lain mendeklarasikan cabang GERWIS di Musuk, Boyolali pada tanggal 2 Februari 1952 dan posisi beliau menjadi Ketua GERWIS. Maju dan tumbuhnya organisasi GERWIS dengan baik di Musuk, Boyolali tidak bisa dilepaskan dari organisasi GERWIS di wilayah lain khususnya di Jatinom Klaten. Ketika pada tahun 1954 GERWIS Cabang Klaten berubah nama menjadi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), GERWIS di Musuk Boyolali juga menjadi oraganisasi GERWANI. Dalam gerakannya, GERWANI selalu melebarkan sayapnya ke desa-desa lain hingga mencapai 20 desa di Kabupaten Boyolali. Sebagai inisiator dan penggerak, mbah Arjo Sutiyem selalu berada pada posisi yang strategis, beliau menjabat sebagai ketua bidang keorganisasian GERWANI di Kabupaten Boyolali. Dengan posisi tersebut, mbah Arjo Sutiyem bersama perempuan-perempuan lain mulai meningkatkan kampanye dan memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu juga melakukan gerakan pengentasan buta huruf dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan yang belum bisa membaca. Dan untuk keberlangsungan organisasi, perempuan-perempuan yang tergabung dalam GERWANI setiap bulan melakukan arisan dan iuran wajib untuk mendanai segala aktivitasnya. Pada tahun 1957 GERWANI melakukan re-organisasi dan pada waktu itu pula mbah Arjo Sutiyem tidak memegang jabatan dalam struktur organisasi. Meskipun demikian, beliau selalu aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan organisasi. Mulai dari peralihan pimpinan nasional dari presiden Soekarno ke presiden Soeharto, kemunculan berbagai organisasi di masyarakat hingga munculnya paham komunis, memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi beliau dan perempuan-perempuan lain dalam gerakannya. Pada tahun 1965 di bawah pimpinan presiden Soeharto, aktivis-aktivis yang dianggap sebagai penganut paham komunis diangkut bersama-sama, kemudian dibunuh dan dikubur secara massal. Pada waktu itu mbah Arjo Sutiyem adalah salah satu korbannya, tapi ia tidak sampai dibunuh. Ia mengisahkan, pada waktu itu terdapat 19 laki-laki yang dianggap menganut paham komunis yang diangkut dan dibawa ke salah satu hutan di lereng Gunung Merapi, dan dari 19 orang tersebut, satu diantaranya meninggal terlebih dahulu sehingga tinggal 18 orang yang pada waktu itu dilucuti dan dijemur di bawah terik matahari. Mbah Arjo Sutiyem yang pada waktu itu sudah tidak menjabat dalam organisasi GERWANI ikut diangkut dan diserahkan ke tentara oleh saudaranya sendiri karena dianggap sebagai salah satu perempuan yang aktif dan membahayakan. Dalam penahanan beliau mendapat perlakuan yang sama dengan para tahanan yang lain. Pakaiannya dilucuti sampai tidak ada satu helai pun kain di tubuhnya. Ia masih merasa beruntung karena rambutnya panjang jadi dapat menutupi kemaluannya sehingga tidak dapat dilihat oleh tahanan laki-laki. Sampai tiba pada waktunya, 18 tahanan tersebut dibawa ke salah satu tempat yang sudah digali menjadi lubang yang cukup besar dan mereka dibunuh dengan senapan kemudian dikubur di dalamnya. Tersisa satu orang yaitu mbah Arjo Sutiyem, ketika akan dibunuh muncul percakapan diantara dua tentara yang akan mengeksekusi, berikut kutipannya: Tentara 1: ”Apa orang yang sudah tua (Arjo Sutiyem) ini juga akan kamu bunuh?” Tentara 2: “ini kalau tidak saya bunuh akan membahayakan.” Tentara 1: ”Sudah dia dibiarkan saja, nanti lama-kelamaan juga mati sendiri.” Dari percakapan tersebut, akhirnya mbah Arjo Sutiyem dibuang di dapur umum. Selama di dapur umum setiap hari ia ditodong dan diintimidasi dengan kata-kata “Ini apa..ini apa, kamu tahu nggak ini buat,…apa…ini bisa buat mati kamu…” ungkap seorang tentara yang menodongkan pistol ke kepalanya saat dalam pembuangan. Kemudian datanglah seorang tentara yang menawarkan pembebasan dirinya tapi dengan sebuah syarat, berikut kutipan percakapannya: Tentara: “Kamu mau bebas?” Mbah Arjo: ” Iya.” Tentara: “Kamu saya bebaskan, tapi kalau ada perkumpulan-perkumpulan kamu langsung laporkan ke saya.” Mbah Arjo: ”Jarak rumah dengan sini kan jauh pak, harus menempuh waktu 3 jam, nanti kalau saya lapor, kumpulan pasti sudah bubar.” Tentara: “Ya sudah, kamu menjadi pedagang keliling saja, nanti kalau ada aktivitas-aktivitas di masyarakat, kamu laporkan.” Mbah Arjo: “Orang mengenal saya bukan sebagai seorang pedagang keliling, jadi kalau saya tiba-tiba jadi pedagang keliling, pasti dia akan mencurigai saya.” Tentara: “Ya sudah kamu saya lepaskan, tapi kamu datangi keluarga dan kerabat-kerabatmu, tapi setiap satu minggu kamu laporan ke sini.” Mbah Arjo: “Iya pak, saya akan laksanakan.” Apa yang disampaikan mbah Arjo Sutiyem diakhir kutipan wawancara tersebut beliau lakukan dan setiap satu minggu ia laporan, tapi ia tidak menginformasikan apa-apa. Yang ia sampaikan adalah bahwa beliau sekadar bersilaturahmi layaknya keluarga tanpa ada perbincangan yang lebih. Satu minggu kemudian suami mbah Arjo yang waktu itu juga aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia) meninggal dengan gantung diri. Sepeninggal suaminya, mbah Arjo mendapat kebebasan yang tak bersyarat. Meskipun demikian kebebasannya ternyata tidak diiringi dengan penerimaan masyarakat khususnya kaum perempuan pada waktu itu. Beliau mendapat caci maki dan intimidasi dari berbagai kalangan baik dalam bentuk perkataan maupun dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Ia memandang selama dalam penahanan telah terjadi indoktrinasi besar-besaran. Hal tersebut terlihat dari perubahan sikap teman-teman perempuannya yang awalnya baik dan ramah kemudian memusuhi dan mengasingkannya. Kondisi tersebut dipertegas dengan dihilangkannya organisasi-organisasi perempuan dan diganti dengan PKK dan DHARMA WANITA. Sampai pada suatu ketika beliau bertemu dengan salah satu tokoh masyarakat yang menawarkan sesuatu kepadanya, yaitu jika dirinya ingin selamat dan hidup tenteram, maka diminta untuk tutup telinga, mata dan mulut serta diminta untuk memilih partai GOLKAR (Golongan Karya) dengan simbol pohon beringin. Menurutnya, itulah awal keterputusan generasi dalam gerakan perempuan Indonesia. Pembungkaman Gerakan Perempuan Melalui Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pemerintah orde baru yang dipimpin Soeharto mampu membungkam perempuan selama 32 tahun. Melalui 10 pokok program kerja PKK, perempuan disibukkan dengan kerja-kerja domestik seperti mengurus anak, memasak, menjaga kebersihan lingkungan dll. Doktrin pemerintah orde baru telah masuk ke alam bawah sadar generasi-generasi berikutnya, khususnya perempuan. Kita bisa membandingkan misalnya, sebelum orde baru perempuan bebas mengekspresikan dirinya dengan berorganisasi dan terbiasa pulang malam, tapi sekarang perempuan pulang malam justru mendapat label sebagai perempuan tidak baik oleh masyarakat. Dalam urusan domestik, dulu sebelum orde baru, ini merupakan pekerjaan bersama baik perempuan maupun laki-laki, tetapi sekarang lebih cenderung menjadi pekerjaan perempuan. Dan jika seorang perempuan sudah berkeluarga, maka ia mempunyai kewajiban mutlak untuk mengurus anak dan urusan domestik, sehingga ketika perempuan menjadi pekerja di ranah publik, dia pun juga harus menyelesaikan pekerjaan domestik terlebih dahulu. Bahkan ketika tidak diminta oleh suami, istri merasa bahwa urusan domestik adalah urusan utamanya sebelum berangkat kerja atau aktif di ruang publik. Sehingga menjadi hal yang terlihat lumrah bahwa banyak perempuan yang berhasil dalam bidang akademis namun kemudian hilang perannya ketika harus masuk dalam kehidupan rumah tangga. Meskipun sekarang muncul organisasi-organisasi perempuan yang bertebaran hampir di penjuru wilayah di Indonesia, tapi organisasi-organisasi tersebut seakan kehilangan ruhnya. Sebelum orde baru berkuasa, organisasi perempuan menjadi sebuah gerakan yang dalam aktivitasnya dibarengi dengan pendidikan politik kepada masyarakat khususnya perempuan, sehingga perempuan sadar akan hak-haknya dan mereka merasa memiliki nasib yang sama. Akan tetapi organisasi-organisasi perempuan yang ada sekarang justru cenderung hadir sebagai tuntutan proyek dan berjalan sendiri-sendiri tanpa diiringi dengan pendidikan politik bagi masyarakat khususnya perempuan. Perjuangan mbah Arjo Sutiyem serasa menjadi sia-sia ketika semuanya dimatikan oleh makhluk yang namanya orde baru. Karena itu penting rasanya kita tahu dan mencari fakta sejarah yang selama ini dihilangkan. Dan akan lebih berarti jika kita mampu menumbuhkan rasa kepedulian pada diri kita dan menumbuhkan kepedulian itu kepada orang lain atas kondisi bangsa yang tidak menentu.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorFeminis muda Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2021
Categories |