ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Peran Kaum Perempuan dalam Penemuan Vaksin*

18/1/2021

 
*Tulisan ini dimuat dalam Kata Makna JP edisi 107
Perempuan dan Pandemi Covid-19 di Indonesia

Berbagai upaya pencegahan dan pengobatan untuk menghadang virus Covid-19 hingga saat ini masih terus dicari. Ahli kesehatan di seluruh dunia memprediksi hanya vaksin baru yang bisa mengatasi pandemi Covid-19. Prediksi tersebut didasari pada fakta bahwa vaksin telah digunakan untuk mengatasi virus telah dilakukan oleh manusia sejak awal penemuan vaksin. Perkembangan teknologi vaksin juga ditorehkan oleh kaum perempuan, namun masih sedikit mendapat perhatian dalam catatan sejarah maupun ilmu pengetahuan.

Vaksin secara etimologi (asal usul kata) berasal dari bahasa Latin “Vacca” yang berarti sapi. Ini ada kaitan dengan konteks penemuan metode pengobatan yang baru oleh penemu vaksin yang bernama Edward Jenner. Saat itu Jenner secara tidak sengaja bertemu dengan seorang gadis pemerah susu sapi (dairymaid) yang mengeluhkan ada semacam ruam di tangannya. Edward kemudian melakukan uji coba kepada seorang anak laki-laki dengan melakukan metode inokulasi yang saat itu memang lagi berkembang di Inggris. Dari percobaan eksperimen tersebut, kemudian Edward Jenner menemukan metode baru pengobatan yang saat ini kita kenal dengan nama vaksin.

Tetapi penemuan vaksin oleh Jenner tersebut tak bisa lepas dari perkembangan metode pengobatan inokulasi yang saat itu dipakai untuk mengobati epidemi penyakit cacar yang tengah melanda Eropa. Pengobatan inokulasi adalah pengobatan yang dilakukan dengan memindahkan virus dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan imunitas tertentu. Inokulasi sebenarnya adalah praktik pengobatan yang telah lama digunakan oleh masyarakat kuno di beberapa wilayah seperti Cina, India, Turki, Yunani. Metode inokulasi baru mendapat perhatian dari kalangan intelektual Eropa, ketika seorang perempuan bangsawan Inggris yang bernama Lady Mary Montagu berhasil membuktikan metode inokulasi kepada anaknya yang bisa selamat dari serangan penyakit cacar.

Pada awalnya kalangan intelektual dan medis di Inggris tidak menghiraukan kampanye metode inokulasi dari Montagu. Pertama, karena ia bukan ilmuwan atau ahli medis. Kedua, ada sikap seksis dari kaum terpelajar di Inggris saat itu (kebanyakan laki-laki) yang meremehkan pendapat dari seorang perempuan seperti Montagu. Ketiga, kalangan intelektual Inggris bersikap orientalis dengan meragukan metode pengobatan inokulasi yang berasal dari dunia Timur yang dianggap terbelakang.

Setelah eksperimen inokulasi terhadap anak Montagu berhasil, Royal Society (organisasi intelektual kenamaan di Inggris) mulai mempelajari dan mengembangkan metode inokulasi. Akhirnya Edward Jenner berhasil menemukan vaksin sebagai metode yang lebih efektif daripada inokulasi dalam pengobatan epidemi cacar. Penemuan vaksin yang merupakan revolusi medis tak bisa dilepaskan dari peran Montagu yang begitu gigih meyakinkan kalangan terpelajar untuk membuka diri terhadap metode pengobatan lain yang berasal dari dunia timur.

Montagu telah membuka jalan bagi kaum perempuan lainnya untuk terlibat lebih jauh dalam pengembangan vaksin-vaksin berikutnya. Setidaknya ada 7 perempuan yang berjasa dalam penemuan vaksin-vaksin, yang dapat dilihat dalam tabel berikut.

Picture

Siapa yang Memasak Makan Malam Anda?

13/5/2020

 
Bella Sandiata
Redaksi Jurnal Perempuan 2018-2019
(bsandiata@jurnalperempuan.com)
​
Picture
Judul Buku          : Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Kisah tentang
                               Perempuan dan Ilmu Ekonomi

Penulis                 : Katrine Marçal (Diterjemahkan oleh Ninus D. Andarnuswari)
Jumlah halaman : viii + 226 hlm
Tahun terbit        : 2015 (Ed Bahasa Inggris); 2020 (Ed Bahasa Indonesia)
Penerbit               : Portobello Books (Ed Bahasa Inggris); Marjin Kiri (Ed Bahasa Indonesia)

Feminisme selalu tentang ekonomi. Bagaimana mungkin? Jawabannya sederhana. Saat seorang feminis terkenal, Virginia Woolf, menginginkan sebuah ruangan untuk dirinya sendiri, maka ia akan membutuhkan uang bukan? Katrine Marçal membuka buku Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Kisah tentang Perempuan dan Ilmu Ekonomi (Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story about Women and Economics) melalui pembuktian bahwa setiap orang termasuk feminis sekalipun pasti akan berhubungan dengan ekonomi. Katrine Marçal merupakan seorang penulis dan jurnalis dari Swedia. Marçal menulis buku pertamanya, Det enda könet, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Saskia Vogel dengan judul Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story about Women and Economics, dan masuk nominasi August Prize 2012.
​
Melanjutkan prolog bahwa feminisme selalu tentang ekonomi, pada bagian awal buku ini, Marçal menyampaikan bahwa pada akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, para perempuan bersatu untuk menuntut hak waris, hak kepemilikan, hak untuk memulai perusahaan mereka sendiri, hak untuk meminjam uang, hak untuk bekerja, hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, dan pilihan untuk mendukung diri mereka sendiri sehingga mereka tidak perlu menikah karena uang, sebaliknya menikah demi cinta. Setelah itu, feminisme berlanjut tentang permasalahan uang.

Bagaimana Anda mendapatkan makan malam? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan mendasar dari ekonomi. Terlihat mudah, namun sebenarnya sulit dan kompleks. Sebagian besar dari kita mungkin hanya memproduksi sedikit dari yang kita makan setiap hari, selebihnya atau mungkin sebagian besar dari bahan-bahan yang kita perlukan untuk membuat makanan sehari-hari kita beli dari para pedagang. Pertanyaan mengenai bagaimana kita mendapatkan makan malam setiap hari, menyiratkan adanya proses ekonomi yang panjang yang tak terlihat mata secara langsung. Dari roti yang tersaji untuk kita makan, terdapat proses ekonomi yang panjang dari petani gandum, ke pabrik roti, lalu ke pabrik kemasan, seterusnya hingga roti tersebut disajikan oleh pedagang roti di tokonya untuk dijual. Proses tersebut harus terus berjalan dengan waktu yang tepat agar roti dapat terus tersaji di toko-toko roti. Muncul pertanyaan dari para ekonom: apa yang membuat semuanya tetap bersama?

Ekonomi selama ini selalu dideskripsikan sebagai ilmu tentang bagaimana kita menjaga cinta. Ide sederhananya adalah cinta itu langka. Akan sangat sulit ketika kita mencintai tetangga kita tanpa mencintai tetangga dari tetangga kita. Maka dari itu kita harus menjaga cinta kita agar tidak digunakan untuk hal-hal yang tidak diperlukan. Jika cinta merupakan bahan bakar untuk menggerakkan masyarakat, maka nantinya tidak akan ada cinta yang tersisa untuk ranah pribadi. Cinta sangat sulit ditemukan bahkan akan sangat sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu para ekonom menyatakan bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lain untuk menggerakkan masyarakat, yakni dengan kepentingan pribadi (self-interest). Mengapa kepentingan pribadi? Karena hal tersebut jelas lebih menguntungkan. Adam Smith, bapak ekonomi politik, menuliskan pemikirannya yang membentuk pola pikir modern dalam memahami ekonomi: “Bukan dari kebajikan tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti kita mengharapkan makan malam kita, tetapi justru dari perhatian mereka untuk kepentingan diri mereka sendiri.” Kepentingan diri sendiri merupakan bagian penting dalam ekonomi yang selalu dapat dipercaya, karena kepentingan diri sendiri tidak akan ada habisnya.

Adam Smith juga mengenalkan istilah “The Invisible Hand” yang menjadi ekspresi paling dikenal dalam dunia ekonomi. Meski ia yang menciptakan istilah tersebut, namun para ekonom penerusnya yang memopulerkannya. The invisible hand menyentuh seluruh hal dalam dunia ekonomi, tangan yang tidak terlihat itu mengatur seluruh sistem dalam ekonomi. Adam Smith berhasil membuat ekonomi menjadi seperti fisika: logis, rasional, dan dapat diprediksi. Ilmu ekonomi secara tidak langsung merupakan ilmu yang mempelajari manusia, ekonomi dekat dengan pasar, pasar hidup dalam kehidupan manusia, ekonomi mempelajari pasar maka ekonomi pun mempelajari manusia yang adalah pelaku pasar itu sendiri. Bagaimana Adam Smith berhasil menjadi seorang ekonom ternama? Tentu semua itu terjadi karena kerja kerasnya. Namun, apa jawaban dari judul buku ini sendiri? Siapa yang memasak dan menyiapkan makan malam Adam Smith? Jawabannya adalah: ibunya. Ibu dari Adam Smith adalah jawaban dari pertanyaan yang menjadi judul buku ini, dari jawaban inilah buku ini mulai mengupas peran perempuan dalam ekonomi.

Setiap kerja perawatan (care work) yang dilakukan perempuan untuk keluarganya tidak pernah dilihat dan dihitung sebagai aktivitas yang produktif dalam model ekonomi standar. Kerja perawatan dari dulu telah dilakukan di rumah, karena rumah merupakan tempat bagi para laki-laki pulang untuk mendapatkan kehangatan setelah bekerja keras di cuaca dingin. Tugas perempuan—dalam kerja perawatan—tidak hanya menjadi penyeimbang bagi kehidupan laki-laki melalui kepedulian dan empatinya tetapi juga menjadi pendukung dalam menciptakan keseimbangan di masyarakat. Selama dunia perempuan yang dilihat sangat halus dan lembut dapat memenuhi permintaan pasar, maka selama itu juga manusia tidak akan jatuh ke dalam keserakahan dan juga persaingan. Fungsi ekonomi perempuan adalah dalam kerja perawatan, melalui kepedulian dan empatinya yang memberi arti bagi perjuangan para laki-laki di dunia kerja.

Namun, pekerjaan perempuan selalu tidak terlihat dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB/Gross Domestic Product). Di luar jangkauan tangan yang tak terlihat (invisible hand) terdapat invisible sex. Simone De Beauvoir, mendefinisikan perempuan sebagai “the second sex”. Laki-laki selalu menjadi yang utama, laki-laki yang mendefinisikan dunia sedangkan perempuan menjadi “the other”. Dalam hal yang sama, jika ada “the second sex” maka ada juga “the second economy”. Semua pekerjaan yang dilakukan laki-laki merupakan pekerjaan yang dihitung dan mendefinisikan pandangan dunia tentang ekonomi. Sementara pekerjaan perempuan merupakan pekerjaan “the other”. Pekerjaan yang dilakukan perempuan, namun laki-laki bergantung pada setiap hasil pekerjaan perempuan tersebut agar laki-laki dapat mengerjakan pekerjaan mereka, melakukan pekerjaan yang dapat dihitung.

Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai obsesi para ekonom pada tokoh Robinson Crusoe, tokoh utama dalam novel dengan judul yang sama, karya Daniel Defoe (1719). Menurut para ekonom, Robinson Crusoe merupakan contoh dari Economic Man (manusia ekonomi) pertama. Digambarkan bahwa manusia ekonomi adalah manusia ideal yang bertindak rasional dengan pengetahuan yang lengkap, yang berusaha untuk memaksimalkan segala yang dimilikinya untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Manusia ekonomi merupakan asumsi banyak model ekonomi yang juga dikenal sebagai Homo Economicus. Manusia ekonomi memiliki sifat dasar yang serupa dengan manusia, yaitu, kita menginginkan banyak hal dalam jumlah yang tidak terbatas. Tanpa disadari, keinginan itu menjadi penyebab dari permasalahan kelangkaan (scarcity) dalam perekonomian. Manusia ekonomi akan selalu melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya, selain itu dia juga digambarkan memiliki sifat yang egois, dan penyendiri. Penggambaran mengenai manusia ekonomi ini mengambil hampir sebagian porsi dari buku ini untuk menjelaskan konsep ekonomi dari kacamata patriarki. Manusia ekonomi adalah seorang laki-laki yang berkuasa dalam ekonomi, dia adalah ekonomi itu sendiri. Hingga kapanpun, perempuan tidak akan pernah menjadi sosok Economic Man.
 
Sosok Penting di balik Adam Smith dan Ekonomi: Perempuan dan Kerja Perawatan
Perempuan dan dunia kerja merupakan permasalahan yang tidak kunjung usai dalam dunia ekonomi. “Perempuan pergi bekerja pada tahun 1960”, demikian kita biasa mendengar dari generasi ke generasi. Namun, hal tersebut kenyataannya tidak benar. Perempuan tidak pergi bekerja pada tahun 1960-an atau saat Perang Dunia Kedua. Perempuan selalu bekerja. Perempuan telah mengembangkan ranah pekerjaannya, tidak hanya pekerjaan domestik tetapi juga pekerjaan formal. Perempuan mengambil posisi dalam pasar dan mulai mendapatkan upah dari pekerjaan di ranah formal. Namun, hal tersebut tentu tidak terus-menerus berjalan mulus.
Sejak perempuan masuk ke dalam dunia kerja formal, mereka tetap harus menjalankan tugas domestiknya dan mengalami beban ganda. Pekerjaan

perempuan di luar rumah, dalam sektor formal, dilihat bukan sebagai pekerjaan utama yang wajib untuk dilakukan. Pekerjaan perempuan di luar dan dalam rumah tetap tidak dilihat dan diperhitungkan karena identitasnya sebagai “the second sex” dan “the second economy”. Perempuan digambarkan lemah, tidak rasional, selalu menggunakan perasaan, sehingga tidak perlu bekerja di ranah formal. Mereka cukup mengerjakan pekerjaan domestik yang tidak dapat dihitung sebagai pekerjaan yang mendongkrak kalkulasi produk domestik bruto.

Melalui buku ini Katrine Marçal menggambarkan secara jelas posisi perempuan dalam dunia ekonomi yang dikuasai oleh patriarki. Perempuan dalam ekonomi merupakan warga kelas kedua yang seluruh kerja dan usahanya tidak dilihat dan diperhitungkan sebagai pekerjaan nyata. Sementara laki-laki yang melakukan pekerjaannya tidak akan mampu menyelesaikan tanggung jawab mereka jika tidak ada perempuan yang mengerjakan seluruh pekerjaan domestiknya. Marçal menyajikan fakta- fakta yang dianalisis. Marçal tidak hanya membahas bagaimana ekonomi melupakan seluruh pekerjaan perawatan perempuan tetapi juga membahas mengenai studi ekonomi melalui kasus-kasus ekonomi yang terjadi di dunia. Secara garis besar, analisis Marçal terhadap setiap kasus dari studi ekonomi yang dituliskan pada buku ini membahas hal yang dilupakan oleh para pelaku pasar atau ekonomi yaitu kerja perawatan perempuan dalam setiap ranah ekonomi yang ada di dunia. Marçal mampu menyajikan analisis terhadap setiap permasalahan ekonomi global dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak pembaca untuk berpikir kembali, serta menyandingkannya dengan pandangan dari luar ekonomi seperti salah satunya psikologi serta fakta yang terjadi di lapangan. Sebagai buku yang membahas ekonomi, buku ini terbilang cukup membingungkan namun menyenangkan bagi pembaca awam. Buku ini memberikan informasi yang sederhana mengenai konsep ekonomi pada pembaca awam dan mengenal lebih jauh bapak ekonomi beserta permasalahan ekonomi yang terjadi di dunia.

Marçal menuliskan pertanyaan utama di awal bukunya yakni “Who cooked Adam Smith’s Dinner?” yang segara dijawab olehnya di bagian awal buku, yakni “His mother”. Pertanyaan tersebut sesungguhnya undangan dari Marçal untuk mengajak pembaca memahami bagian yang hilang dari suatu sistem yang berperan penting dalam kehidupan manusia, yaitu ekonomi. Dalam buku ini Marçal menunjukkan bahwa Adam Smith sebagai sosok bapak ekonomi yang menulis teori tentang ekonomi telah melupakan

peran penting perempuan dan kerja perawatan dalam ekonomi. Ekonomi yang selama ini berjalan di dunia tanpa disadari tidak pernah menghitung kerja perawatan yang dilakukan oleh perempuan, padahal kerja perawatan itu sendiri memiliki peranan penting dalam setiap pekerjaan laki-laki yang hanya dihitung sebagai suatu pekerjaan sesungguhnya. Meski demikian, mengetahui bahwa kerja perawatan perempuan tidak pernah dilihat dan dihitung sebagai suatu pekerjaan yang menghasilkan, perempuan hingga saat ini selalu menjadi pihak yang akan mengurangi waktu bekerja di ranah publik mereka untuk mengerjakan kerja perawatan. Hal tersebut tentu berdampak pada karier perempuan yang memiliki pekerjaan di ranah publik.

Siapa ibu dari Adam Smith? Marçal ternyata menyiapkan satu bab khusus untuk sosok yang merupakan jawaban dari judul buku ini. Di bab akhir buku ini, Marçal memperkenalkan Margaret Douglas, ibu dari Adam Smith. Margaret Douglas tengah mengandung Adam Smith saat suaminya meninggal di tahun 1723. Dia menjadi janda di usia 28 tahun dan membesarkan Adam Smith hingga anaknya menjadi tokoh sukses dalam dunia ekonomi. Ada peran besar dari Margaret Douglas yang terlupakan oleh Adam Smith. Sejarah ekonomi mencatat Adam Smith sebagai tokoh ekonomi besar dengan konsep terkenalnya “the invisible hand” namun sosok di balik kehebatan Adam Smith, telah luput untuk dia ceritakan kepada dunia.

Marçal menutup buku ini dengan mengatakan jika kita ingin mengetahui kenapa kita masih mengalami ketidakadilan dalam ekonomi, maka kita harus memahami ekonomi dari perspektif feminis: bagaimana Adam Smith mendapatkan makan malamnya dan mengapa ini menjadi hal yang penting dalam ekonomi.

Feminisme dan Covid-19

11/5/2020

 
Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Pengajar filsafat di Fakultas Ilmu Budaya, UI, 1991-2017, Adjunct Professor di bidang sosiologi dan sociology of gender di Montgomery College, Maryland, USA.
*Naskah dipresentasikan dalam Forum Menyalakan Lilin Masa Depan, 10 Mei 2020 (Zoom Webinar)
​

PictureDok. Jurnal Perempuan
Pendahuluan
Pandemi Covid-19 bermula dari kota Wuhan, China, terdeteksi pada bulan Desember 2019. Pada pertengahan bulan Januari 2020, virus ini dengan cepat menjalar ke seluruh dunia dan dalam waktu singkat jutaan orang terinfeksi serta ratusan ribu orang meninggal dunia. Hampir di setiap negara, pemerintah setempat menerapkan aturan lockdown dan social distancing guna menghentikan penyebaran virus. Covid-19 bukan saja mengakibatkan krisis kesehatan melainkan juga krisis ekonomi dan sosial.
 
Catatan ini berupaya menjelaskan secara praxis dampak virus Corona pada perempuan dan anak perempuan dari kerangka berpikir feminisme. Saya memilih pijakan feminisme sebab hanya dengan lensa feminisme kita dapat melihat dengan kritis adanya persoalan ketidakadilan, eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok marginal lainnya. Catatan ini hanya menyajikan secara singkat butir-butir pemikiran feminisme dalam mengurai Covid-19 dan persoalan gender.

Saat Krisis
Di setiap ada situasi krisis, kelompok yang paling rentan adalah kelompok marginal seperti perempuan dan anak perempuan. Sebab dalam keadaan krisis, ketimpangan, kesenjangan, eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan selalu hadir. Misalnya, LBH Apik mencatat 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan seksual dari tanggal 16 Maret hingga 30 Maret. 17 kasus dari 59 kasus tersebut adalah kekerasan dalam rumah tangga (Jakarta Post 2020). Di negara lain seperti India, juga melaporkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dalam minggu pertama lockdown, dan sama halnya dengan negara Prancis yang mengalami peningkatan sepertiga dalam minggu pertama lockdown. Hal ini tidak mengejutkan karena belajar dari kasus epidemi Ebola di Afrika Barat, di tahun 2015, Guinea mencatat peningkatan tajam kekerasan terhadap perempuan sebesar 4.5 persen. Peningkatan kekerasan seksual juga terjadi di Liberia. Akses kesehatan reproduksi juga menjadi masalah sebab klinik-klinik kosong karena takut pada virus Ebola dan ini merugikan perempuan (Reuters 2015).

​Gendered Effect
Beberapa hal yang bisa saya catat saat ini yang menjadi masalah di saat pandemi yang memiliki efek bergender (kesenjangan, ketimpangan, dan diskriminasi) adalah sebagai berikut:

Picture
Gambar 1. Covid-19 dan Efek Bergender
Interseksionalitas
Kecendrungan dari analisa gender arus utama atau pembangunan; status sosial, kesehatan, kultural dan ekonomi hanya menempelkan konsep gender sebagi isu perempuan atau yang saya sebut sebagai “stempel gender”. Cara menganalisis seperti ini tidak mengaitkan persoalan diskriminasi, rasisme, eksploitasi, kepemimpinan yang lemah, sistem ekonomi buruk, serta hukum yang bias gender.
 
Interseksionalitas digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam melihat keadaan secara terang benderang karena adanya keterbatasan konsep. Misalnya bila data yang ada tidak cocok dengan kerangka pemikiran feminis, sulit untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat dan gagal dalam mengidentifikasi persoalan. Bila kita gagal dalam mengidentifikasi persoalan maka kita akan gagal mencari solusi (Wawancara Kimberlé Crenshaw 2020).
 
Sebagai contoh pendekatan “stempel gender” adalah bantuan sembako. Bantuan ini merupakan bantuan sesaat dan reaktif, tanpa didasari data yang terkait kerangka pemikiran feminis. Respons pemerintah yang tidak menggunakan data terpilah gender, hasilnya hanya sesaat, dan tidak tepat sasaran serta tidak menghasilkan perubahan yang bermakna. Itu sebabnya, Indonesia setiap kali ada krisis kembali “business as usual” (bagi-bagi sembako) tanpa mengaitkan adanya sistem penindasan yang perlu dibongkar.
 
Sebagi contoh, di Amerika Serikat hal serupa terjadi. Covid-19 menyerang kelompok miskin dan marginal berkali-kali lipat dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Daerah miskin yang berpenduduk padat (akses kesehatan, pendidikan yang tidak memadai) mengalami angka kematian yang signifikan dan jumlah infeksi virus Corona berjumlah besar. Hal ini disebabkan pemerintah abai menggunakan lensa interseksionalitas, maka ketika Amerika mengalami krisis, kesenjangan, diskriminasi, rasisme dan eksploitasi menyeruak di ranah publik.
 
Di Indonesia, kita melihat kesalahan yang sama. Kebijakan bias gender sering terjadi karena tidak menggunakan lensa interseksionalitas. Contohnya keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan insentif Rp 10 juta kepada Dokter dan Rp 7.5 juta kepada perawat (CNN Indonesia, 2020), kebijakan semacam ini hasil minim pengetahuan gender ditambah tidak memahami lensa interseksionalitas, alhasil, menunjukkan kelemahan dalam kepemimpinan. Lensa interseksionalitas dalam kasus ini, menunjukkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang bekerja sebagai careworkers dan profesi perawat tidak dinilai penting dibandingkan dokter. Cara berpikir semacam ini fatal, sebab Indonesia sebagaimana kita ketahui bergantung pada ekonomi careworkers, maka tentu saat krisis melanda, ekonomi Indonesia menjadi porak poranda.
​
Perlunya Ekonomi Berperspektif Feminis
Ekonomi yang selama ini dibangun di negara ini adalah ekonomi yang mengandalkan pekerjaan gratis perempuan yang tidak dihargai karena dianggap sebagai pekerja care work (kerja yang melayani, mengasuh dan merawat orang lain). Padahal BNP2TKI mengakui bahwa pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri menyumbangkan devisa sebesar Rp. 70 triliun (2018). Perlu diketahui bahwa 54% pekerja migran adalah perempuan (2014). Namun perlindungan terhadap pekerja migran tidak memadai, baik ketika berangkat bekerja ke luar negeri maupun saat kembali. Buruh migran perempuan kerap mendapatkan perlakuan yang buruk dari majikannya. Menurut Bazzi & Bintoro, 2015, terdapat kordinasi yang buruk antara pemerintah setempat dan pemerintah di negara penerima pekerja migran. Kebanyakan pekerja tidak memahami isi kontrak kerja, buta pengetahuan finansial dan pasar kerja, serta kurangnya pelatihan dari pemerintah. Ekonomi berperspektif feminis menggarisbawahi ketidakadilan sistem ekonomi yang merugikan perempuan. Beberapa hal yang disoroti adalah kesenjangan berpendapatan, segregasi gender dalam pekerjaan dan diskriminasi serta eksploitasi. Lensa ekonomi feminis mampu mengurai ketertinggalan perempuan dalam pasar kerja. Partisipasi perempuan di pasar kerja rendah karena soal perkawinan, memiliki anak di bawah umur dua tahun, tingkat pendidikan yang rendah (terutama level pendidikan tinggi), dan penggantian struktur ekonomi dari sektor pertanian, transisi dari area rural ke urban (AIPEG 2017; Jakarta Post 2020).

Semua faktor yang telah disebut di atas menyebabkan sejak awal posisi perempuan di pasar kerja sangat lemah. Saat Covid-19 menjangkit, perempuan semakin terpuruk. Berikut adalah beberapa konsep feminis yang perlu diperhatikan dalam membincangkan perempuan dan ekonomi.

  • Kesenjangan Berpendapatan
Perbedaan berpendapatan antara laki-laki dan perempuan yang bekerja penuh waktu sangat besar. Kesenjangan berpendapatan disektor formal sebesar 34% sedangkan di sektor informal sebesar 50% (AIPEG 2017). Kesenjangan terjadi bukan karena perempuan tidak produktif melainkan karena terdapat praktek diskriminasi. Terdapat bukti adanya keadaan Sticky floor practice pada sektor formal, yakni perempuan yang bekerja pada level bawah lebih mengalami kesenjangan pendapatan. Sedangkan perempuan yang bekerja di sektor informal kesenjangan pendapatan lebih besar. Selain itu, di level bawah, promosi pekerjaan sangat jarang (AIPEG 2017).

  • Segregasi Gender dalam Pekerjaan
Praktik menempatkan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (mana kerja yang cocok untuk perempuan dan mana kerja yang cocok untuk laki-laki), ini merupakan masalah besar. Apa yang perusahaan atau tempat kerja lakukan adalah men-genderkan pekerjaan (We gender jobs). Misalnya, perawat dan guru adalah pekerjaan yang cocok untuk perempuan sedangkan IT dan pekerja bangunan cocok untuk laki-laki. Hal ini terjadi lewat dua cara, employer selection hypothesis dan selective exit hypothesis. Yang pertama, pemilik usaha (atau hiring manager), menetapkan mana pekerjaan yang cocok untuk laki-laki dan mana pekerjaan yang cocok untuk perempuan (masculine jobs dan feminine jobs). Sedangkan yang kedua, selective exit hypothesis, perempuan meninggalkan pekerjaan karena menghadapi tekanan. Lingkungan kerja yang hypermasculine mengakibatkan pengalaman buruk bagi perempuan yang bersaing di dunia kerja, juga adanya kesenjangan gaji.
 
Konsentrasi perempuan dalam ekonomi ada pada pekerjaan informal yakni pekerja domestik, pekerja paruh waktu, dan usaha kecil. Pekerjaan semacam ini lebih banyak diduduki oleh perempuan dari pada laki-laki dengan rasio 3: 1. Lebih banyak perempuan miskin yang melakukan pekerjaan di sektor informal sebesar 80% dibandingkan 34% perempuan kelas menengah-atas.

  • Diskriminasi dan Perlakuan Berbeda
Baik di sektor formal maupun di sektor informal, perempuan mengalami diskriminasi. Adanya seksisme agresif (hostile) maupun halus (benevolent). Ada 42% perempuan pernah mengalami seksisme di tempat kerja (Wade 2020). Perempuan kerap mengalami ancaman simbolis, misalnya, kehadiran perempuan dianggap mengancam identitas grup dominan. Perempuan pun mengalami double bind. Konsep double bind yakni, di satu sisi perempuan dituntut bekerja keras ikut dalam persaingan dunia kerja yang hypermasculinity, tetapi di sisi lain, perempuan dituntut untuk menjadi feminin terutama bila berada dihadapan atasan. “To be successful at her job, a woman needs to do masculinity, but to be accepted by her boss, colleagues, clients, she needs to do femininity” (Wade 2020). Perempuan juga menghadapi Mommy Tax, dimana perempuan yang hamil dan membesarkan anak akan mau tidak mau memperlambat laju kariernya. Beberapa istilah lainnya adalah:
 
Glass ceiling. Perempuan yang bekerja di posisi atas mengalami hambatan yang tak terlihat. Misalnya hambatan sikap diskriminatif, pelecehan seksual, dan sebagainya. Sikap diskriminatif yang dialami perempuan dapat dialami baik dari atasan laki-laki maupun perempuan. Eksekutif perempuan di perusahaan top dunia juga mengalami hambatan-hambatan tersebut.
 
Glass clif. Bila perempuan berhasil masuk ke posisi atas dan memecahkan glass ceiling, mereka mengalami risiko “jatuh” dari posisi mereka. Perempuan yang berada di posisi puncak mengalami tekanan dari laki-laki yang ingin bertahan di level atas, dan adanya ekspektasi untuk selalu bekerja dengan sempurna. Perempuan di level ini hidup di bawah “kaca pembesar”, setiap gerak-gerik dan penampilan mereka diamati. Maka, penelitian menunjukkan kebanyakan perempuan yang bekerja di level atas, mengundurkan diri, karena mengalami kelelahan secara fisik dan mental.
 
Glass escalator. Laki-laki yang bekerja di bidang pekerjaan dominan perempuan, mengalami peningkatan karier yang cepat sebab perempuan cenderung untuk mendukung laki-laki yang bekerja di lingkungan mayoritas perempuan. Beberapa penelitian memperlihatkan laki-laki diuntungkan bekerja di tempat dimana dia menjadi minoritas. Laki-laki digunakan sebagai token karena mau bekerja di lingkungan perempuan, sehingga dia mengalami dukungan yang posistif dan kadang lebih sukses dari perempuan di bidang yang sama (Kanter 1977).

Care Crisis
Sudah saya sebut di atas bahwa sebelum masa pandemi, status perempuan di Indonesia sudah goyah karena adanya masalah diskriminasi, eksploitasi, dominasi dan kekerasan. Kini pada masa pandemi, perempuan yang mayoritas bekerja di bidang care work, mengalami krisis besar. Ini disebabkan karena pemerintah terlalu lama memarginalkan perempuan dan mengacuhkan kontribusinya pada sektor ekonomi. Di masa pandemi Covid-19, dunia bergantung pada careworkers dan caregivers yang mayoritas adalah perempuan dan anak perempuan. Di bidang careworkers, mayoritas perempuan yang berprofesi di bidang keperawatan, berada di garda depan menghadapi pandemi Covid-19 di rumah sakit. Di media sosial, dokter yang mayoritas adalah laki-laki mendapatkan perlakuan istimewa, berbeda dengan perawat. Pekerja dokter lebih sering di agung-angungkan sedangkan pekerja perawat dianggap biasa saja. Bahkan di dalam pembagian insentif, perawat mendapatkan insentif yang lebih kecil dari para dokter.
 
Perempuan paling banyak menjadi pekerja esensial, bekerja di pasar, pengasuh anak dan usaha kecil sepeti makanan. Perempuan dominan di pekerjaan caregivers, mereka menanggung beban rumah tangga, memasak, mengasuh anak, melayani suami, menjaga orang tua yang sakit, dan sebagainya. Careworkers dan caregivers tidak memiliki kemewahan berdiam di rumah seperti para CEO, pengacara, direktur, dan sebagainya, yang rata-rata memiliki caregivers bahkan careworkers di rumah. Mereka yang tergolong kelas atas diuntungkan oleh sistem ekonomi yang berorientasi profit dan bukan berorientasi pada kesejahteraan rakyat kecil. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin terlihat dengan gamblang dalam masa krisis saat ini. Mereka yang kaya, memiliki jabatan (atau bekerja di tempat mapan) mendapatkan pelayanan testing Covid-19 dengan cepat dan terjamin. Sedangkan mereka yang tergolong dalam careworkers dan caregivers tidak memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan fasilitas testing, mudah terkena pandemi informasi, dan tidak memiliki akses internet yang memadai untuk tetap mengikuti pendidikan yang sebagian  besar dijalankan secara daring.

Male Crisis
Saya melihat banyak persoalan yang dihadapi oleh laki-laki di masa pandemi Covid-19. Menurut data yang dihimpun oleh negara-negara maju, lebih banyak laki-laki yang meninggal dunia karena virus Corona ketimbang perempuan. Hal ini bukan disebabkan faktor biologis melainkan faktor sosiologis, gaya hidup yang salah. Laki-laki menurut para ahli lebih banyak yang merokok, konsumsi alkohol berlebihan serta kurang memerhatikan kesehatan. Menurut Tony Porter (Chief Executive A Call to Men), laki-laki di saat krisis malu untuk menunjukkan kelemahannya dan selalu ingin tampil superior serta tidak mau meminta pendapat pasangannya. Laki-laki bukan saja mengalami kesehatan fisik yang buruk namun juga kesehatan mental yang rapuh. Hal ini disebabkan oleh persoalan maskulinitas dan budaya patriarki yang mengokohkan eksistensi laki- laki. Ini adalah salah satu penjelasan mengapa di dalam masa krisis, laki-laki cenderung melakukan kekerasan fisik dan verbal. Hal lain, laki-laki tidak dapat menghadapi tekanan finansial sehingga membuat mereka lebih mudah marah dan agresif. Identitas kesuksesan finansial melekat pada laki-laki, mereka diukur martabatnya melalui “uang”. Karena itu, mereka malu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, yang dianggap remeh-temeh, domain perempuan. Karakteristik “man box” ini sangat berbahaya bukan saja bagi diri laki-laki itu sendiri, melainkan juga bagi keluarganya, dan masyarakat yang lebih luas.

Agenda Feminis
Pandemi Covid-19 menunjukkan sistem ekonomi dan sosial kita sangat rapuh. Terbukti setiap kali ada krisis, negara tidak mampu untuk menjamin keamanan masayarakat, kesejahteraan ekonomi dan sosial. Dalam keadaan yang chaos, perempuan dan anak perempuan masuk di dalam kelompok rentan bersama dengan kelompok-kelompok marginal lainnya termasuk kelompok LGBTIQ. Oleh sebab itu, penangan krisis tidak bisa hanya bersifat reaktif (karena ini hanya menempelkan “band aid” sementara), tetapi sangat perlu dan urgen melakukan perubahan secara total. Beberapa agenda yang bisa diperjuangkan:

  • Feminist power. Pemimpin perempuan terbukti lebih handal menangani krisis. Kepemimpinan mereka mengedepankan etika kepedulian. Contohnya, Jacinda Arden dari Swedia, Erna Solberg dari Norway, Katrin Jakobsdottir dari Islandia, Angela Markel dari Jerman, Tsai Ing-wen dari Taiwan, Sliveria Jacobs dari Caribbean nation. Mereka menggunakan pendekatan kepemimpinan yang otentik, transparan pada masyarakat (termasuk data Covid-19) dan bertindak konkret. Pemimpin perempuan paham pendekatan interseksionalitas dan telah memasukkan pendekatan interseksionalitas di dalam kebijakan-kebijakan mereka. Mereka telah merevisi total sistem ekonomi yang terpusat pada pemilik modal dan ganti fokus pada pekerja careworkers dan caregivers yang merupakan kelompok andalan penangkal krisis.
  • Kebijakan makroekonomi yang menitikberatkan pada kerja-kerja perawatan (care work). Perlu menteri yang membuat kebijakan yang mengaitkan gender dan ekonomi, menggunakan lensa interseksionalitas.
  • Kebijakan yang mengandalkan perspektif feminis. Menteri Audun Lysbakken (Menteri berjenis kelamin laki-laki yang membidangi pemberdayaan perempuan dan anak), menggarisbawahi pentingnya kebijakan pro-gender karena terkait dengan kepentingan laki- laki. Investasi pada perempuan yang merupakan populasi terbesar (51%), menghasilkan ekonomi yang produktif.
  • Sistem pendidikan berbasis keadilan gender dan diversitas gender. Di dalam situasi pandemi Covid-19, hampir seluruh pengajaran dialihkan secara daring. Pekerja di bidang pendidikan primer mayoritas adalah perempuan. Lensa interseksionalitas menangkap kesenjangan pendidikan yang menghantam kelas masyarakat bawah di masa krisis.
  • Perlu penggantian sistem secara total! Pandemi Covid-19, memaksa kita untuk melakukan evaluasi sistem ekonomi, sosial dan kultural yang ada. Perubahan perlu terjadi. 

Kejahatan Seksual dan Orientasi Seksual: Memintal Pendidikan Seksualitas dan Gender

23/3/2020

 
Nikodemus Niko
Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Universitas Padjadjaran
(nicoeman7@gmail.com)
PictureDok. Pribadi
Sebagian besar masyarakat Indonesia, secara umum masih menempatkan permasalahan seksual sebagai pembahasan yang tabu untuk diperbincangkan sehari-hari. Masyarakat seolah-olah menutup rapat segala perbincangan yang menyangkutpautkan tentang seks dan seksualitas.

Baru-baru ini di Kalimantan Barat, pelaporan atas kejahatan seksual menguap ke permukaan. Komisi Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat pada bulan Februari lalu membeberkan data kasus terkait penanganan kekerasan terhadap anak, dimana kejahatan seksual menjadi dominasi kasus yang ditangani (Antara Kalbar 2020). Sepanjang bulan Januari 2020 saja terdapat 20 kasus kejahatan seksual yang dilaporkan. Hal ini berarti bahwa ada kesadaran masyarakat untuk melapor atas segala bentuk kejahatan seksual yang dialami oleh anak-anak, ini sebuah kemajuan untuk bisa speak-up.

Pada sebagian besar budaya masyarakat kita, narasi seksualitas masih menjadi pembahasan yang tabu untuk dibahas dan diperbincangkan. Hal ini menandakan bahwa masyarakat kita masih kurang terbuka untuk mengedukasi diri mengenai seksualitas, dalam kata lain bahwa pendidikan dan pengetahuan seksualitas masih belum merata bagi setiap kelompok/lapisan masyarakat. Hal ini bisa saja karena akses-akses terhadap pendidikan seksual yang tidak memadai, dan atau terdapat dogma-dogma tertentu yang kurang membuka ruang untuk edukasi keberagaman seksualitas.
 
Pengetahuan Seksualitas yang Timpang
Adanya dogmatisasi, ketertutupan akses, dan tabu masyarakat menandakan bahwa kita terkungkung pada budaya patriarki. Budaya patriarki adalah perspektif yang menyatakan bahwa laki-laki mendominasi semua peran dalam sistem sosial; karena perempuan diabaikan dari peran yang juga bisa mereka lakukan seperti laki-laki. Peran sosial ini termasuk dalam aspek sosial, agama, ekonomi, politik, atau budaya. Artinya bahwa segala aspek dan pengetahuan tidak diakses secara merata. Termasuk pengetahuan seksualitas, yang dikekang oleh heteronormativitas semata. Sehingga terdapat timpang pikir ketika kejahatan seksual disandingkan dengan orientasi seksual. Misalnya pada kasus kejahatan seksual yang dilakukan Reynhard di Inggris, dimana kejahatan seksual tersebut pada konteks laki-laki sesama laki-laki (The Guardian 2020).

Terdapat narasi yang belum selesai ketika kita membicarakan kejahatan seksual dengan orientasi seksualitas marginal (LGBT). Stigma, stereotipe dan diskriminasi yang masih kerap terjadi dialami oleh kelompok seksualitas marginal di Indonesia. Superioritas laki-laki menjadi penanda bahwa pada masyarakat patriarki terjadi praktik diskriminasi terhadap minoritas gender dan seksualitas. Ketika Reynhard yang adalah homoseksual melakukan kejahatan seksual, dengan mudahnya stigma dan stereotipe melekat bahwa; “semua homoseksual sama saja, pasti adalah predator dan penjahat seksual”. Narasi yang belum selesai ini, sepatutnya menjadi perdebatan bagi akademisi dalam rangka membangun pola pemahaman yang benar mengenai kejahatan seksual dan orientasi seksual.
 
Pemahaman Konteks Kekerasan Seksual dan Orientasi Seksual
Budaya taboo (tabu) ini yang kian membuat banyak orang mencari sendiri definisi seks dan seksualitas. DeBeavoir (2016) menyebutkan bahwa seksualitas merupakan aspek-aspek terhadap kehidupan manusia terkait faktor biologis, fisiologis, sosial dan budaya terkait seks dan aktivitas seksual yang mempengaruhi masyarakat. Secara tidak langsung seksualitas selalu melekat pada kehidupan setiap individu. Sehingga pada jalan mencari definisi ini, tidak jarang memunculkan kekerasan terhadap perempuan dan juga laki-laki kelompok marginal.

Kekerasan terhadap perempuan mencakup pelecehan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi, serta pemotongan melintasi batas usia, ras, budaya, kekayaan, dan geografi. Pada konteks kekerasan seksual, perlu digarisbawahi adalah kekerasan seksual tidak berbatas pada jenis kelamin perempuan ataupun laki-kali. Artinya bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Kekerasan terhadap orientasi seksual homoseksual bahkan mendapatkan stigma dan label negatif dalam pemberitaan media. Hal ini yang memunculkan sikap stigma dan stereotipe di dunia nyata. Kemudian, khususnya perempuan yang menjadi korban telah menduduki posisi yang lebih rumit terkait dengan beban sosial mereka, hal ini semakin diperjelas bahwa budaya patriarkal sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita.

Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang dapat berakibat kerusakan tubuh dan mental bagi korban. Bagi korban anak perempuan selain guncangan psikologis, kerentanan terjangkit penyakit kelamin, juga guncangan lingkungan sosial yang kemudian dapat menjadikan korban mendapatkan stigma dan stereotipe. Hal yang sama juga dialami oleh korban laki-laki. Perempuan dan laki-laki yang menjadi korban, tetaplah korban. Semestinya, kita menempatkan korban tidak berdasarkan seks (jenis kelamin) dan orientasi seksualnya.

Antara kekerasan seksual dan juga orientasi seksual memiliki perbedaan yang jauh sekali. Kekerasan atau pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang baik secara verbal maupun tidak verbal yang merujuk pada seks. Sedangkan orientasi seksual mengacu pada pola ketertarikan, baik secara emosional maupun seksual terhadap jenis kelamin tertentu.

​Tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seseorang bukan serta merta karena orientasi seksual yang dimilikinya. Tindakan perkosaan diakibatkan karena adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban. Seperti dalam pandangan Foucault bahwa kekuasaan terjalin dengan jenis hubungan lain seperti produksi, kekerabatan, keluarga, dan seksualitas. Maka karena beragamnya hubungan kekuasaan itu Foucault (2000) menyatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana tanpa terkecuali termasuk atas narasi seksualitas. Kekuasaan yang timpang inilah menyebabkan adanya bentuk-bentuk dominasi terhadap kekuatan yang lebih lemah. Seperti halnya kasus perkosaan yang terjadi baik secara heteroseksual maupun homoseksual.
 
Daftar Pustaka:

Antara Kalbar 2020, "KPPAD Kalbar Terima Laporan 34 Kasus Kekerasan Terhadap Anak",  https://kalbar.antaranews.com/berita/405418/kppad-kalbar-terima-laporan-34-kasus-kekerasan-terhadap-anak

DeBeavoir, S 2016, Second Sex, Pustaka Promethea, Jakarta.

Foucault, M 2000, Seks dan Kekuasaan (terj. Rahayu), Gramedia, Jakarta.

The Guardian 2020, "Reynhard Sinaga Jailed Life Drugging Raping Men Manchester", Retrieved from: https://www.theguardian.com/uk-news/2020/jan/06/reynhard-sinaga-jailed-life-drugging-raping-men-manchester
 
 
 


Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia: Apa Kabar Kemiskinan Perempuan di Pedesaan?

18/10/2019

 
Nikodemus Niko
Mahasiswa Doktoral Sosiologi, Pascasarjana FISIP, Universitas Padjadjaran
(
nicoeman7@gmail.com)
PictureDok. Pribadi
Kemiskinan di negeri ini kian hari bukan semakin membaik, sebaliknya justru semakin memburuk. Seperti yang kita ketahui bahwa korupsi yang merajalela menjadi satu diantara sumber-sumber kemiskinan. Si miskin akan sangat sulit untuk mengubah nasib, sebab memang dimiskinkan. Perempuan adalah pihak yang paling menderita menghadapi kemiskinan ekstrem di Indonesia. Tidak jarang diantaranya mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rentan terhadap pelecehan dan perkosaan, dan ada yang dinikahkan walau masih berusia muda.

Mosse (2007) berpendapat bahwa ideologi yang paling kuat dalam menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat, yang umumnya disebutkan bahwa laki-laki di ruang publik dan perempuan di ruang privat. Hal ini yang kemudian memanifestasi ketidakadilan gender terjadi di berbagai tingkatan struktur, bahwasannya ada ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam relasi kuasa. Ketimpangan ini yang menurut Indraswari (2009) sebagai penyebab utama terjadinya kemiskinan pada perempuan, yang mana perempuan diputus akses-aksesnya terhadap sumber daya.

Hari ini, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan pemenuhan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar perempuan yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Hak asasi perempuan satu diantaranya adalah terbebas dari kemiskinan, yang pada kenyataannya tubuh miskin perempuan, utamanya di pedesaan semakin parah. Data World Poverty Clock (2019) mencatat 12.783.505 orang masyarakat di Indonesia yang mengalami kemiskinan ekstrem. Apabila dilihat dari pembagiannya data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tahun 2019 mencatat bahwa kemiskinan tertinggi ditemukan pada anak-anak dan lansia, lagi-lagi secara jumlah, perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Perempuan miskin di pedesaan menopang penghasilan dan hidup dari bertani, berkebun dan sumber hutan. Hari ini kita menyaksikan alam dan hutan dibabat habis dan diganti dengan perusahaan-perusahaan yang tidak ramah terhadap alam, perkebunan kelapa sawit misalnya. Persoalan kelapa sawit di pulau Kalimantan dan Sumatra tidak bisa dilihat dari sektor ekonomi semata, dari segi lingkungan, sangat merusak ekosistem hutan. Kemudian, konflik-konflik yang terjadi ikut menyengsarakan perempuan. Perebutan hak atas tanah untuk dapat dijadikan uang, bahkan pertumpahan darah antar keluarga terjadi karena perebutan lahan. Keberadaan perusahaan sawit memperburuk lingkungan sosial yang tadinya miskin, akan bertambah miskin dan terekslusi.

Sosiolog acapkali mendiskusikan transisi sosial hari ini yang bertransformasi dari sistem dunia tradisional menuju sistem modern. Pemaksaan sistem modern ini yang turut memperparah kemiskinan yang terjadi di pedesaan. “Si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin”, pepatah lama ini masih relevan dalam melihat situasi hari ini. Sudah saatnya kemiskinan tidak bisa dilihat sebagai definisi-definisi saja, melainkan sudah semestinya mendesak pemerintah mengentaskan kemiskinan perempuan hingga ke akar-akarnya. Apa akar kemiskinan perempuan? Ketidakadilan gender! Ketidakadilan gender ini yang kemudian melahirkan kemiskinan itu sendiri, pelemahan fisik, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan pada perempuan.

Saya ingin mengulas tentang hasi riset saya tentang kemiskinan perempuan suku Dayak Benawan di Kalimantan Barat, bahwasannya ketidakadilan gender melahirkan keterbatasan perempuan mengakses pendidikan, keterbatasan perempuan mengakses hak atas kesehatan reproduksi, dan semua itu memiskinkan perempuan. Artinya bahwa kemiskinan terjadi karena ada relasi kuasa pemiskinan (pembiaran tubuh-tubuh miskin) sendiri. 

Program pembangunan pemerintah hanya itu-itu saja, dan kehidupan masyarakat dalam komunitas tersebut hanya begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Bahkan banyak keluarga yang kemudian meminjam uang di bank dan atau credit union (CU) yang kian memperparah kemiskinan itu sendiri. Upaya pembangunan Sumber Daya Manusia masyarakat di wilayah desa tertinggal dengan penguatan sumber daya lokal, tanpa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal, itulah yang terjadi.

Saya berkesimpulan bahwa kemiskinan itu sendiri merupakan suatu keadaan yang tidak mutlak. Artinya bahwa kemiskinan dapat berubah sewaktu-waktu (dinamis), tentunya dengan adanya pemberdayaan diri oleh tubuh atau kelompok yang miskin. Tahapan pemberantasan kemiskinan ini sendiri adalah membunuh patriarki yang mendarah daging dalam komunitas-komunitas masyarakat di pedesaan. Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan; narasi ini perlu pengkajian ulang. Bahwa rakyat jelata selalu terpinggirkan dalam penyuaraan hak-hak yang semestinya didapatkan sebagai warga negara.

Jurnal Perempuan (2006) pernah menyebutkan bahwa perempuan merupakan golongan mayoritas dari orang miskin di dunia dan jumlah perempuan yang hidup di desa-desa miskin meningkat 50% semenjak tahun 1975, ditambah lagi perempuan merupakan mayoritas penyandang buta huruf di dunia. Kondisi yang sama masih terjadi hingga hari ini, justru bisa jadi lebih parah. Banyaknya kasus-kasus temuan Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan seperti kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, perkosaan, KDRT dan kasus lain yang merupakan sebagai akibat dari kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan perempuan akan melahirkan penyengsaraan-penyengsaraan lainnya terhadap perempuan.

Daftar Pustaka:

Anonim 2019, World Poverty Clock, Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, Retrieved from: https://worldpoverty.io/index.html

Indraswari 2009, "Perempuan dan Kemiskinan", Jurnal Analisis Sosial Vol. 14, No. 2 (2009), Pp. 40-52.

Jurnal Perempuan 2006, Hak Asasi Perempuan Belum Menjadi Bagian Institusional Hukum, Edisi 45, Hal. 78-81.

Mosse, J. V 2007, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Niko, N 2019, Kemiskinan Perempuan Dayak Benawan sebagai bentuk Kolonialisme Baru, Jurnal Pemikiran Sosiologi. Vol 6 (1): 58-76.


Akibat Tidak Mengenal Istilah Korban (Victim)

16/9/2019

 
Mariana Amiruddin
(Komisioner Komnas Perempuan)
PictureDok. Jurnal Perempuan
Mengapa judul tulisan ini demikian? Kata korban dalam jejak bahasa Indonesia kurang dimaknai secara dalam oleh masyarakat kita. Pemaknaan kata korban sangat jauh berbeda dengan kata victim dalam bahasa Inggris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata korban diartikan sebagai “pemberian untuk menyatakan kebaktian, dan kesetiaan”. Ada pula kata kurban dalam kamus tersebut yang berasal dari bahasa Arab yang dicontohkan dalam kalimat “jangankan harta, jiwa sekalipun kami berikan sebagai korban”.  
​
Kata korban dalam bahasa kita tidak berkorelasi sama sekali dengan subjek yang mengalami kerugian, penderitaan dan kemalangan seseorang akibat perbuatan orang lain, kecuali untuk kasus bencana alam, kecelakaan dan penyakit. Dalam bahasa Inggris victim dimaknai sebagai seseorang atau sesuatu yang telah terluka, hancur, atau terbunuh atau telah menderita, baik karena tindakan seseorang atau sesuatu yang lain. Istilah victim yang berbeda dengan istilah korban tersebut terlihat dalam sebuah studi yang disebut viktimologi, berasal dari kata “victima” (bahasa latin) dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban sebagai victim, termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan  yaitu, polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan institusi lain.
 
Kata korban sebagai victim di sisi lain juga hanya dikenal oleh perspektif hukum terutama dalam konteks hukum pidana dan Hak Asasi Manusia. Dalam perspektif hukum pidana, korban sama dimaknai dengan “victim”, adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
 
Dampak dari kurangnya pemaknaan atas kata korban yang tidak dikenal tersebut, sejumlah upaya untuk memperjuangkan keadilan, dan hak asasi manusia menjadi begitu sulit. Bagi masyarakat kita, kata “korban” yang mereka kenal adalah sama dengan pengorbanan, atau bila mengalami kerugian dan penderitaan dari peristiwa yang menyedihkan akibat kejahatan orang lain adalah sesuatu yang “harus diterima” begitu saja. Bila ada seseorang yang dikorbankan, misalnya akibat suatu kejadian yang keji seperti perkosaan, pembunuhan, penganiayaan, dianggap sebagai sebuah “karma” yang perlu diterima, atau kesialan belaka yang menimpa seseorang.
 
Pemaknaan kata korban yang tidak dimaknai secara dalam tersebut membuat masyarakat kita kurang terbiasa untuk membangun empati pada nasib buruk orang lain, terutama akibat suatu perlakuan tidak adil. Rasa melihat sesuatu yang tidak adil terjadi pada orang lain adalah sebuah bentuk empati dan mendorong seseorang memiliki keinginan besar untuk menolong. Rasa yang dibentuk oleh kita sejauh ini adalah solidaritas atas identitas, bukan sebuah empati. Kelompok lebih diutamakan daripada hakekat ketidakadilan itu sendiri. 
 
Oleh sebab itu masyarakat kita tidak terlalu tersambung dengan istilah Hak Asasi Manusia, karena budaya yang membentuk kita abai terhadap rasa keadilan. Istilah tersebut (Hak Asasi Manusia) lebih dipahami sebagai suatu “tindakan yang egois”, yang memikirkan dirinya sendiri. Kita lebih terhubung pada pembelaan kolektif atas sebuah identitas yang dibanggakan oleh kelompok tertentu. Kita gagal mengurai sebuah “ketidakadilan” akibat istilah pengorbanan, bahkan cenderung menjadi hal yang lumrah bila menyakiti orang lain ataupun diri sendiri.
 
Fenomena ini saya amati ketika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sulit sekali dipahami sebagai perangkat hukum yang melindungi korban. Banyak pihak melihat bahwa tidak ada yang terlanggar dari sebuah peristiwa perkosaan, bahkan dianggap sebagai budaya yang disetujui dan dianggap hal yang lumrah—suatu kesialan yang dialami korban dan harus diterima begitu saja. Ia bukan sesuatu yang terlanggar harkat dan martabatnya, harga dirinya, masa depannya, dan kesehatan fisik dan psikisnya. Budaya abai tersebut akibat kita tidak memiliki keseriusan untuk benar-benar memahami tentang kemanusiaan atau bahkan kemanusiawian. 
 
Budaya yang abai terhadap korban tersebut dapat kita lihat terhadap kasus pelecehan seksual. Bagi banyak orang, perempuan dilecehkan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Kata “mengundang” atau “menggoda” sering dilemparkan pada perempuan yang mengalami pelecehan. Pelecehan adalah sesuatu yang harus diterima akibat perbuatan korban sendiri. Tuntutan atas rasa keadilan bagi korban dianggap hal yang berlebihan terutama dalam hal kekerasan seksual, karena kekerasan seksual dipandang sebagai hal yang wajar. Bila data mengatakan satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan seksual, maka kita dapat membayangkan bahwa 1 dari 3 orang adalah pelaku kekerasan seksual – yang artinya kekerasan seksual sudah menjadi hal yang diwajarkan.
 
Inilah asal mula persoalan dalam memaknai kata korban. Kata tersebut hingga hari ini masih sulit dimengerti, sama halnya dengan hak asasi manusia, apalagi hak asasi perempuan, dan kekerasan seksual. Alih-alih semakin memahami ketika dijelaskan, logikanya menjadi dipahami terbalik bahwa kekerasan seksual sebagai tindakan yang merayakan kebebasan seksual. Semoga Semesta menyelamatkan bangsa ini dari kebodohan.


​RKUHP: Instrumen Hukum Gagap Demokrasi

7/9/2019

 
Safina Maulida
(Sarjana Filsafat Universitas Indonesia, Aktivis, Fashion Designer)
safinamaulida@gmail.com
PictureDok. Pribadi
There is no greater tyranny than that which is perpetrated under the shield of the law and in the name of justice –Montesquieu
 
Metakonservatisme hari ini (masih) pada posisi menolak kondisi setara dan nondiskriminatif, di saat kegentingan isu perempuan dan kelompok minoritas yang mengalami kenaikan. Hal ini membuat kita masih harus kembali ke pertanyaan dasar tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi Perempuan (HAP) –setahun lalu saya angkat topik ini dalam diskusi publik bersama Asfinawati dan Melanie Subono, setahun lalu saat RKUHP mencak.
 
Pertanyaan dasar itu memang harus terus tumbuh. Namun hanya dalam dialog antar orang-orang berakal sehat. Lain dengan dialog dalam perencanaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)–yang meski dirumuskan kelompok terpelajar tetapi masih hadir dengan membawa kepandiran dalam bentuk baru. Secara jelas bahkan tanpa perlu pendedahan khusus, butir pasal RKUHP bermasalah dari asasnya yang tak berlandaskan HAM dan HAP, bahkan di saat humanisme mulai menjalar sampai ke etika lingkungan, from animate to the inanimate!
 
Pasal-pasal yang sering kali didengar akan mencederai tatanan hukum berlandaskan HAP antara lain adalah pasal perluasan zina. Pasal 484 ayat (1) huruf (e), laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan bisa dipidanakan. Termasuk pada individu yang hidup bersama, namun tak terikat perkawinan yang sah. Hal tersebut adalah soal untuk mempidanakan tindakkan seks di luar nikah. Terlihat yang berlaku di sini hanya konservatisme moral seorang patriarch. Sebab, pemahaman seks di luar nikah–selain ini tentang kebebasan individu dalam sebuah konsensus antar orang dewasa– akan terlalu banyak intepretasi dari kelompok moralis yang menjadikannya rancu. Sebab kata “sah” kemudian dapat diperdebatkan kembali, sah versi siapa? Fakta yang paling bisa diargumentasikan adalah, begitu banyak masyarakat adat menikah tanpa legalitas dari negara. Keterburu-buruan dalam mengagas pasal tampak begitu pandir.
 
Berlanjut di Pasal 495, negara dan alat hukumnya kembali ikut campur soal orientasi seksual yang menyoalkan hubungan sesama jenis kelamin. Pada RUKHP ini diusulkan untuk dikriminalisasi. Bila orientasi seksual yang sifatnya privat dibawa ke ruang publik, persekusi dimungkinkan. Kemudian pasal yang siap mempidanakan orang yang melakukan sosialisasi alat untuk mencegah kehamilan. Padahal, dunia secara global tengah menggalakkan pencegahan penularan HIV/AIDS. Pendidikan akan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang hingga kini belum diperjuangkan negara agar bisa menjadi kurikulum bagi pelajar di ranah pendidikan formal, semakin dibuat jauh. Orang-orang yang kemudian memandu untuk kampanye kesehatan reproduksi juga bisa dipidanakan.
 
Sekian pasal-pasal itu bentuknya adalah delik umum, yang artinya bisa menjebak siapa saja tak terkecuali. RKUHP dengan butir-butir pasal bermasalah terus ditekan untuk disahkan, terjadi di saat proses Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS yang mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, dan pemulihan belum disahkan. Hal ini cerminan besar atas perkembangan segala yang mundur. Termasuk Pasal 67 yang kemudian menjadi Pasal 73 dan Pasal 109, tentang pidana mati sebagai rumusan hukum pilihan untuk mengayomi masyarakat, di samping perhitungan perampasan kemerdekaan (pidana seumur hidup atau 20 tahun penjara).
 
Pada mulanya, Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan direkognisi politik global melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM (The Universal Declaration of Human Rights, UDHR1948). DUHAM kemudian menjadi kiblat dalam menyoal hak dan standar martabat manusia. Setelah itu, pikiran progresif dari para aktivis dan akademisi mengakui bahwa DUHAM memiliki kekurangan, yaitu belum berperspektif gender. Kemudian disusul lebih apik dengan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women /CEDAW) tahun 1979, The Convention Against Torture/CAT tahun 1985, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence against Women/DEVAW) tahun 1993, dan Pedoman Aksi Beijing (The Beijing Platform for Action) tahun 1995, yang memberikan fokus ulang untuk menyoal kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan, konfilk perang, anak, media, lingkungan. Di mana diharapkan dapat menjadi tolok ukur dan cara penagihan individu ke negara.
 
Namun, dalam perjalanannya instrumen internasional tersebut--yang diharapkan menjadi basis dari kebijakan suatu negara agar dapat melindungi rakyatnya--sulit terjalin. Dependensi state-centric dari keberpihakan untuk pengadopsian konvensi dan draft universal lainnya tak cukup bila kultur berakal sehat tak ikut memaksa dan mendesak hal ini. Negara secara sadar perlu meratifikasinya dan melegitimasinya menjadi hukum agar dapat bekerja secara empiris. Tak kalah penting juga untuk dapat meratifikasi itu ke pikiran masing-masing, karena perubahan terjadi dimulai dari lingkup paling kecil namun paling politis: individu. Betapapun penyangkalan tentang nilai subtil dan asali soal hak, takan pernah bisa dan boleh ditunda. Deret masalah ini juga memaksa kita untuk tidak apatis dalam perkembangan politik karena sistem hukum di negara kita amat bergantung kepada tekanan politik mayoritas. Tetapi, yang kita lihat hari ini justru sudut pandang mayoritanisme yang bertesis utama male dominant. Dengan tak lupa bahwa lokus percakapan selalu didominasi mayoritas publik. Di mana publik, sejauh ini hanya menjadi lokus representasi laki-laki.
 
Dalam negara demokrasi, hukum tidak hanya untuk hukum itu sendiri. Hukum berlangsung dengan adanya dialog yang mengikutsertakan lembaga konstitusional dan cabang-cabang pemerintahan, kedaulatan negara, dan masyarakatnya–rakyat Indonesia. Semua itu tentang bagaimana suara yang plural, membuat dirinya terdengar dalam forum terbuka. Seperti republik yang menjadikan percakapan sebagai unsur yang esensial dalam republikanisme berbasis kemanusiaan.
 
Kini, percakapan itu dimatikan. Dalam Hak Asasi Presiden contohnya. Pasal 238 s.d 240, mengatakan untuk mempidanakan siapapun yang mencederai martabat Presiden dan Wakil Presiden. Martabat, adalah kata yang subtil berenergi hak yang murni dan bersih. Hari ini kata itu bermakna yang boleh diperdebatkan secara populis. Dengan adanya niat mengesahkan pasal itu, sama dengan mengiyakan adanya kemungkinan soal martabat yang bisa diartikulasi ulang menjadi hal yang dapat cedera dari perbuatan sekadar cemooh. Tentu ini tak sekadar asumsi tetapi prediksi logis dari sistem politik dangkal kita hari ini. Jadi, martabat seperti apa yang kita ucapkan dalam RKUHP? Pasal-pasal multitafsir seperti ini sampai kapan pun akan sama dengan pasal yang tak bisa ditafsir. Pasal karet baru ini akan berhadapan dengan free speech. Pemerintahan illiberal dalam demokrasi liberal adalah kepandiran optima forma.
 
Sama dengan DPR menghindari kritik, yang keduanya punya konsekuensi negara bercirikan autocracy, anti demokrasi. Montesquieu, filsuf yang menyoal keadilan berpolitik dapat menajamkan argumen ini. Tentang bagaimana keadilan dan kontestasi hukum suatu negara tak bisa serta-merta instrumental, namun dengan membangunkan gairah etik untuk suatu kebaikan bersama yang substantif. Montesquieu saat itu sedang mengkritik monarki dan feodalisme dalam kerajaan. Tetapi relevan untuk mengembalikan energi dan mengkritik negeri ini. 

Ensiklopedia Muslimah Reformis: Upaya Meredefinisi Konsep Mar’ah Shalihah

4/9/2019

 
Ina Salma Febriany
Dosen Universitas Islam At-Thahiriyah
inafebriany@gmail.com
Picture
Judul Buku      : Ensiklopedia Muslimah Reformis (Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi)
Penulis            : Musdah Mulia
Kota Terbit      : Jakarta
Penerbit           : Dian Rakyat
Tahun Terbit   : 2019
Halaman          : xxiv+772

Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki prestasi spiritual di hadapan Tuhan, perempuan juga dianugerahkan prestasi sosial yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sama-sama diberikan pahala atas kebaikan yang mereka upayakan. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat, Alquran mengulang lafadz ash-sha>lihi>n (laki-laki yang berbuat kebajikan) dan ash-sha>liha>t (perempuan yang berbuat kebajikan) yang akar kata keduanya sama yaitu sha-lu-ha, yasluhu, shalih atau secara definitif berarti orang-orang yang terus-menerus mengupayakan kebajikan. ​

Salah satu ayat Alquran yang mengulas lafadz sha-li-ha>t ialah an-Nisa, 4: 34. Ayat tersebut mendeskripsikan sosok perempuan shalih yang memiliki dua kriteria yaitu pertama, mereka yang taat (qa>nita>t), kedua, mereka yang memelihara atau menjaga diri (ha>fidzha>t). Dengan demikian, qanita>t dan ha>fidzha>t sebagai prasyarat dari makna sha>liha>t, akan  lebih sempurna ketika mereka (perempuan) mengutamakan kedamaian dalam hidupnya (sala>m/ muslim/ muslimah). Muslimah (berasal dari bahasa arab yaitu kata sa-li-ma (selamat, damai). Muslimah berarti perempuan yang terus-menerus merajut kedamaian dan keselamatan serta menjauhkan diri dari perilaku mafsadat (perusakan) baik bagi diri sendiri maupun sesama makhluk di alam semesta. 
​

Dewasa ini, kita dihadapi oleh banyak hal-hal krusial yang memprihatinkan. Dalam bidang pendidikan, perempuan yang berpartisipasi aktif untuk mengenyam pendidikan masih lebih rendah dari laki-laki. Bertepatan dengan Hari Aksara Internasional September 2018 silam, UNESCO mengusung tema “Literacy and Skills Development” mengingat buta aksara masih cukup tinggi di berbagai wilayah, termasuk Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, tercatat , lebih  dari 3,3 juta jiwa mengalami buta aksara, 2.258.990 jiwa di antaranya perempuan usia 15-59 tahun. Adapun daerah yang menduduki peringkat buta aksara tertinggi ialah Papua sebesar 28,75%. Fenomena tersebut memberikan deskripsi bahwa perempuan masih cenderung mendapatkan akses pendidikan yang rendah karena beberapa sebab, di antaranya kemiskinan, isolasi geografis, disabilitas, kehamilan di usia sangat muda, kekerasan berbasis gender, perilaku budaya diskriminatif. 

Masih lemahnya akses pendidikan perempuan ini akhirnya berimbas pada ingkat partisipasi ekonomi perempuan yang cenderung stagnan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2018) mencatat, Selama 20 tahun, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) cenderung stagnan, rata-rata TPAK laki-laki adalah 84%, sementara perempuan 50%.   Bappenas mengakui meskipun TPAK perempuan secara umum stagnan, partisipasi perempuan berpendidikan tinggi dalam pekerjaan yang baik cenderung meningkat. Sedangkan yang berpendidikan rendah terutama di perdesaan cenderung masuk lapangan kerja informal. . Begitupun di ranah politik, meski telah diberlakukan kuota atau kebijakan afirmasi untuk perempuan, paritisipasi mereka masih rendah dibandingkan laki-laki. Di sisi lain, ketika mereka turut aktif di ranah politik, beban ganda (tugas domestik) masih menjadi hal yang seolah juga menjadi tanggung jawab penuh baginya. Adapun satu masalah yang tak kalah penting adalah kesehatan perempuan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, 305 kematian/ 100.000 kelahiran hidup.

Melalui isu-isu strategis tersebut di atas, buku Ensiklopedia Muslimah Reformis karya Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A, hadir di tengah-tengah kita. Maha karya ini terinsiprasi dari buku beliau sebelumnya, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2004). Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis ini tak hanya tebal halamannya tetapi juga kaya dengan analisa, terperinci dalam data, relevan sesuai konteks, dan tentunya mencerahkan. 

Pembahasan sebanyak 16 bab ini dimulai dari bidang pendidikan. Musdah Mulia menjelaskan dalam bab ini mengenai model pendidikan yang dibutuhkan bangsa ini dan fondasi yang tepat bagi semua pola pendidikan. Islam sebagai agama yang lantang menyuarakan hak-hak pendidikan bagi setiap hamba-Nya tersimbol dalam satu surah yakni surah al-‘alaq dengan bunyi ayat pertama yang begitu akrab di telinga, ‘iqra’ (bacalah). Membaca merupakan aktivitas akal yang sangat luar biasa. Kemampuan kognitif dan curiosity (rasa ingin tahu) menyatu sehingga kita bisa melihat, menganalisa dan menggali informasi lebih dalam lagi agar pemahaman terhadap sesuatu masalah lebih komprehensif.

Setelah pembahasan terkait pola pendidikan yang semestinya diterapkan sebagai kurikulum di negeri ini,  Musdah Mulia kemudian mengulas secara kritis tentang pembentukan keluarga melalui pernikahan. Mengapa keluarga? Sebab dari keluargalah generasi-generasi manusia terlahir dan keluarga sebagai institusi terkecil sangat memengaruhi cara pandang seseorang di kemudian hari. Pola asuh orangtua dan lingkungan tempat dimana seorang anak tumbuh, juga  sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial sang anak. 

Al-umm madrasatul u>la—demikian istilah yang senantiasa ditujukan bagi perempuan dalam posisinya sebagai ibu. Istilah itu bermakna bahwa ibu menduduki peranan yang sangat penting yaitu sebagai tempat belajar dan sekolah utama bagi anak-anaknya. Dengan demikian, penanaman nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan bisa dimulai dari sedini mungkin—sebelum anak memasuki institusi yang lebih luas lagi. Musdah berpendapat bahwa peranan perempuan dalam posisinya sebagai ibu, seyogyanya mampu mempelopori lahirnya pendidikan perdamaian. Hal ini penting mengingat keluarga adalah inti terkecil dalam upaya mengadakan pembaruan. 

Isu strategis berikutnya yang diulas dalam buku ini adalah perihal Keluarga Berencana (KB). Terkait KB, Musdah berpendapat, KB bukan hanya pemasangan alat kontrasepsi semata. Namun, lebih dari itu. KB ialah upaya yang seharusnya dilakukan seseorang sebelum ia memutuskan untuk menikah, pertanyaan yang perlu diajukan dan direfleksikan mulai dari; siapa yang akan ia nikahi? Berapa usianya? Apakah mental, fisik dan finansial telah cukup? Berapa anak yang diinginkan? Hingga hal-hal penting dan terperinci lainnya agar pasangan suami istri dapat melaksanakan tugas-tugas rumah tangga nantinya dengan penuh tanggung jawab. Hal ini penting, sebab banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah tanpa perencanaan yang matang, juga tak sedikit yang menikah di bawah umur atau masih dalam usia anak.

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, angka prevalensi perkawinan anak sudah menunjukkan angka yang tinggi pada tahun 2015, yakni tersebar di 21 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia. Hal ini berarti angka perkawinan anak berdasarkan sebaran provinsi di seluruh Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni dengan jumlah persentase 61% (enam puluh satu persen). Sedangkan pada tahun 2017, terdapat kenaikan jumlah provinsi yang menunjukkan angka perkawinan anak yang bertambah dari tahun 2015 yakni Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Riau yang kini tergolong provinsi yang menunjukkan angka cukup tinggi (diatas 25%). Angka persentase perkawinan anak masing-masing kedua provinsi tersebut yakni 34,41% dan 25,87%.

Tingginya angka prevalensi perkawinan anak seperti terurai di atas, menjadi bukti bahwa anak kerap menjadi korban salah satunya karena faktor ekonomi (kemiskinan). Dengan menikahi anak, diharapkan beban  hidup orang tua dapat berkurang, padahal, secara tidak langsung, anak yang dinikahi dalam usia yang belum cukup lebih rentan mengalami gangguan kesehatan reproduksi. Fenomena ini sejalan dengan Qs. an-Nisa/4: 9 mengenai  anjuran bagi para orangtua agar tidak meninggalkan generasi yang lemah (dzuriyyatan dhi’a>fan) baik lemah secara ekonomi, pendidikan, termasuk kesehatan reproduksi. Terkait hal ini, Musdah mengkritisi bahwa kesehatan reproduksi juga seharusnya dapat diakses oleh seluruh individu dan ini menjadi tugas besar pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai; termasuk informasi yang cukup mengenai Keluarga Berencana (KB).

Lebih lanjut, Musdah menguraikan bahwa konsep utama Keluarga Bencana (KB) adalah merencanakan suatu kehidupan keluarga yang damai dan bahagia dan salah satu indikasinya adalah jumlah anak yang sedikit dan berkualitas. Pandangan ini terkait dengan masalah global tentang ledakan penduduk, kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan sumber daya alam. Dengan demikian,  pembatasan keturunan semestinya tidak dipandang sebagai penolakan takdir Tuhan, namun lebih kepada upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak demi terciptanya kesejahteraan.

Selain ulasan tentang pentingnya upaya pemenuhan hak dan kesehatan reproduksi, buku ini juga mengulas tentang poligami, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), menghapus radikalisme dan terorisme, masalah politik hingga ide untuk mengupayakan tafsir yang humanis-feminis agar tidak ada lagi tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Terakhir, upaya merajut damai dengan merumuskan dakwah transformatif merupakan bab penutup dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis ini. Dakwah haruslah membawa pengaruh transformasi dalam masyarakat. Dakwah harus mampu mengubah masyarakat ke arah kondisi yang lebih positif, konstruktif dan produktif.

Dapat disimpulkan bahwa Ensiklopedia Muslimah Reformis merupakan upaya meredefinisi konsep mar’ah shalihah yang digaungkan Alquran. Muslimah reformis seakar dan sejalan dengan konsep mar’ah shalihah; bahwa perempuan shalihah bukan hanya mereka yang taat pada Tuhan dengan seperangkat atribut keagamaan, namun juga perlu aktif bergerak, penuh empati, peduli dan turut andil dalam upaya-upaya kemanusiaan.


Kritik Feminis terhadap Maskulinitas Disiplin Ilmu Hubungan Internasional

6/8/2019

 
Dewi Setya
(Alumni Ilmu Hubungan Internasional)
dewisiaa@gmail.com
Picture
Judul Buku      : Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security
Penulis            : J. Ann Tickner
Kota Terbit     : New York
Penerbit          : Columbia University Press
Tahun Terbit   : 1992

Perjalanan Feminisme sebagai pemikiran sebenarnya telah cukup panjang, berkisar akhir abad 18, beriringan dengan pecahnya revolusi Eropa-Amerika, meskipun istilahnya baru terkenal di abad 19-an (Peter Hough, 2015). Feminisme sebagai perspektif dalam disiplin Hubungan Internasional (HI) baru muncul akhir abad 19, bisa dikatakan hal ini cukup telat dibanding pengakaran feminisme dalam disiplin ilmu sosial lainnya.


Sumbangan feminisme dalam HI, salah satunya dapat dilacak melalui gagasan-gagasan Tickner (1992). Dalam kajian Hubungan Internasional, peta keamanan internasional yang awalnya didominasi oleh realisme (sayap tradisional) mengalami pergeseran seiring munculnya kelompok-kelompok analis kritis. Kelompok ini berkembang pasca perang dingin dengan menggugat pandangan tradisionalis yang terlalu negara-sentris dalam mengkaji keamanan internasional. Menurut kelompok ini, pandangan tradisionalis kurang menggali aspek individu sebagai kategori analisis serta hal-hal yang terkait erat dengannya–ekonomi, lingkungan, pembangunan dan gender. Disitulah posisi Tickner, menggugat Realisme yang menjadi mainstream (sekaligus malestream) di era perang dingin.

Tickner memulai kritiknya dengan analisa genderisasi dalam poitik internasional yang dicirikan dengan watak manliness–ketangguhan, keperkasaan, kemandirian, kekuasaan–yang membentuk maskulinitas hegemonik. Dalam hal itu, marginalisasi perempuan melalui stereotip gender yang begitu kentara dan terasa telah menyababkan politik internasional menjadi domain laki-laki. Dalam studi keamanan, hal ini membuat terbentuknya konsep keamanan nasional yang bias gender. Untuk itu, gender sebagai kategori analisis perlu dihadirkan untuk melihat politik internasional yang lebih “objektif”, sebagai pelengkap teori-teori kritis yang belum menyertakan analisis gender secara mendalam.

Kritik feminisme oleh Tickner terhadap Realisme dalam kajian keamanan kemudian menyasar pada konsepsi yang menjadi benteng pembelaan diri Realis sebagai ilmu yang objektif, yaitu pada konsep individu-nasional–internasional.
Pertama, Tickner memandang konsep Political Man dalam gagasan Morgenthau yang diklaim sebagai konstruksi human nature—konsep yang juga diperkuat oleh gagasan Machiavelli, mengenai citizen-warrior dan first class citizen. Menurut Tickner, konsep tersebut merupakan abstrakasi dari laki-laki dalam kekuasaan publik, dimana struggle of power menjadi prinsip utama. Keamanan nasional dalam pengertiannya menjadi sarat kelaki-lakian dan glorifikasi atas perang disematkan semata-mata untuk menunjukkan eksistensi Political Man.

Kedua, gagasan realimse juga mewujudkan negara yang maskulin. Dalam konteks internasional politik—seturut ide realisme—negara menampakkan diri sebagai sosok maskulin yang berperang atas nama keamanan nasional untuk melindungi rakyatnya yang lemah, yakni perempuan dan anak-anak. Hal ini juga yang menyebakan kebijakan militer negara menjadi prioritas, sementara dunia militer sendiri menjadi domain laki-laki. Dalam konsepsi negara maskulin ini, perempuan mengalami pendevaluasian nilai karena dianggap tidak berkapasitas dalam urusan yang penting, militer dan perang. Akhirnya, dalam sistem internasional yang anarkis atau state of nature (tidak adanya strutur hierarki dalam politik internasional), sejatinya yang perang adalah umat laki-laki melawan umat lak-laki. Dengan demikian sejarah internasional politik adalah sejarah absennya perempuan.

Tawaran Tickner untuk memperbaiki analisis kajian keamanan tersebut antara lain, pertama, mendefinisikan keamanan nasional secara spesifik dari sudut pandang pengalaman perempuan. Konsepsi domestik vis a vis internasional mesti diurai karena ia mengaburkan apa yang disebut keamanan dalam konteks domestik. Dengan demikian, akan ditemui bahwa keamanan adalah perihal bukan hanya absennya perang, melainkan absennya kekerasan, ketertindasan struktur, ekonomi dan budaya.

Kedua, tidak memandang keamanan nasional (yang dianggap sudah mencakup individu) hanya berada dalam lingkup internasional (perang negara antar negara). Ia ingin membawa konsep anarki juga bisa terjadi di wilayah domestik, seperti peminggiran perempuan melalui peran reproduksi. Maka, asumsi feminis dalam keamanan menganggap kekerasan baik di ranah internasional, nasional bahkan wilayah keluarga sebenarnya saling terkait.

Ketiga, mendefinisikan ulang citizenship dengan menghancurkan gagasan citizen-warrior yang melemahkan nilai femininitas. Mitos bahwa perempuan adalah pihak yang dilindungi dan laki-laki melindungi harus dihapus. Memasukkan perempuan dalam peran militer dapat mengubah konsepsi menjadi citizen-defend ketimbang warrior-patriot.

Keempat, perspektif feminisme dalam keamanan negara dan perilakunya harus bergeser dari ide-ide Morgentahu, Hobbes, Machiavelli. Misalnya, konsepsi otonomi negara harus diubah dengan prinsip interdependency dan konsep power dirubah menjadi kooperasi. Mengutip Hannah Arendt (dalam Tickner, 1992) feminis mendefinisikan power sebagai kemampuan manusia dalam bertindak yang berasal dari pihak-pihak yang memiliki kepedulian serupa, bukan power sebagai kekuatan perang seperti yang diasumsikan realisme. Cara feminisme memandang keamanan ini akan melampaui parsialitas realisme dan ketidaksanggupannya menjelaskan keamanan dalam konteks relasi individu dan negara.

Tickner tidak hanya sekadar mempertanyakan “where are the women” dalam politik internasional dan bercerita bagaimana ruang-ruang khusus membentuk pengalaman (marginal) internasional para perempuan layaknya Enloe. Meskipun Tickner lebih telat memasuki wacana kajian politik feminis ketimbang Enloe (Sylvester, 2004), sumbangan Tickner berarti banyak dalam menjelaskan secara teoritis mengapa “there are no women” dalam politik internasional melalui gugatan terhadap konsep negara dan perang, jantung dari konsepsi realisme yang telah mendominasi studi politik internasional sejak berdirinya disiplin tersebut.

Tapi, bagaimana menunjukkan bahwa secara empirik konstruksi keamanan versi realis ini justru mengancam keamanan perempuan dalam praktik sehari-hari? Tickner tidak membedah lokus sehari-hari perempuan dalam praktik politik internasional. Apa yang kita jumpai di sini bukan sejumlah suara (pengalaman) perempuan, melainkan analisis Tickner yang membawa kerangka feminis ke dalam isu-isu penting disiplin HI (Sylvester, 2004). Analisis yang ditawarkan Tickner belum mampu menunjukkan suara empirik perempuan, sebab terkesan terlalu simplistik mengikut metafora realisme. Sylvester (2004) mengakui bahwa analisis gender Tickner hanya menyindir hubungan internasional layaknya yang dikemukakan Elshtain (1987) dalam Women and War melalui alam maskulinitas (prajurit) dan femininitas (jiwa menawan).

Meski begitu, Tickner memiliki kemampuan merumuskan pemikiran feminisme dalam studi keamanan internasional. Tickner memasukkan feminis radikal yang ia coba aplikasikan sebagai gugatan terhadap realisme, memasukkan analisis Marxis dalam analisis keamanan ekonomi, serta mengaplikasikan ekofeminisme dalam analisis keamanan lingkungan (Tickner, 1992). Dengan demikian, Tickner membuat sketsa posisi kanonik mengenai keamanan dalam realisme, ekonomi politik internasional, dan studi lingkungan internasional yang menunjukkan pertentangannya terhadap universalisme keamanan Realis. Menurut Sylvester (2004) Tickner menganggap bahwa feminisme memberitahu kita tentang bagaimana "perempuan dipengaruhi oleh politik global atau cara kerja ekonomi dunia" yang membuat kita mempertanyakan "hubungan gender hierarkis saling terkait dengan bentuk dominasi lainnya”.

Di sisi lain, sumbangsihnya dalam menjelaskan keterkaitan keputusan politik nasional dan internasional serta level keamanan individu di tingkat lokal telah membuat kajian keamanan mau tidak mau tergidik pada ranah lokal (yang selama ini dianggap bukan ontologi HI). Persoalan lokal tersebut bisa saja menjadi agenda internasional, seperti keyakinan Enloe (2014) bahwa tidak hanya “the personal is political” namun juga “the personal is international”.
Lantas, apakah kajian mengenai keamanan (individu) perempuan hanya mampu dianalisis oleh disiplin HI? Hal ini menjadi tantangan bagi feminis HI, mengingat apa yang dikaji oleh mereka juga mampu dikaji oleh feminis pada studi selain keduanya, bahkan bisa memberi analisis yang lebih mendalam. Maka, perlu dibuat framework yang menegaskan ke-HI-annya sebagai demarkasi yang membedakan analisis mereka dengan para akademisi sosial lain.
 
Daftar Pustaka:
  • Elshtain, J. B 1987, Women and War, University of Chicago Press, US.
  • Enloe, C 2014, Bananas, Beaches and Bases: Making Feminist Sense of International Politics Second Edition, university of california press, Berkeley.
  • Sylvester, C 2004, Feminist International Relations: An Unfinished Journey, Cambridge University Press, United Kingdom.
  • Tickner, J. A 1992, Gender in International Relations: Feminist Perspectives on Achieving Global Security, Columbia University Press, New York.
 

Film Silenced dan Perjuangan Melawan Kekerasan Seksual

25/7/2019

 
Rahel Narda Chaterine
(Intern Jurnal Perempuan) 
 nardarachel@gmail.com
PictureDok. Pribadi
Silenced atau Dogani (2011) merupakan film asal Korea Selatan yang mengangkat tema tentang pelecehan seksual dalam lingkungan sekolah tunarungu. Film yang diadaptasi dari kisah nyata ini menceritakan tentang seorang guru baru, Kang In Ho, yang memperjuangkan keadilan hukum untuk murid-muridnya di sekolah tunarungu yang mengalami kekerasan seksual. Selama bertahun-tahun, ketiga murid yang tunarungu tersebut disiksa dan diperkosa oleh Kepala Sekolah, Kepala Keuangan Sekolah, dan seorang Guru. Menariknya, film ini tidak hanya menampilkan korban perempuan saja, melainkan memperlihatkan juga bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban pelecehan seksual.
​
Harta dan tahta yang dimiliki oleh pelaku dalam film ini, membuat mereka berhasil lolos dari persidangan dengan hukuman yang sangat kecil. Hukuman paling lama yang diberikan hakim kepada pelaku adalah 8 bulan penjara dan 2 tahun masa percobaan. Dalam film ini sangat ditampilkan bagaimana pelaku menggunakan kuasa mereka untuk melakukan kecurangan dan suap kepada pihak berwajib, serta betapa kuatnya kuasa uang terhadap sistem peradilan di Korea Selatan. Selain itu, ditampilkan juga bagaimana trauma, rasa putus asa, dan depresi yang dialami oleh korban kekerasan seksual, terlebih saat mereka mengetahui bahwa pelaku pelecehan tersebut mendapat hukuman yang tidak setimpal dengan penderitaan yang mereka alami.

Film Silenced yang diproduksi tahun 2011 adalah film adaptasi dari sebuah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata oleh Gong Ji Young. Inspirasi penulisan novel diambil dari kejadian pelecehan seksual yang terjadi di dalam sekolah tuli Gwangju Inhwa tahun 2005. Pelecehan dilakukan oleh beberapa guru dan Kepala Sekolah terhadap beberapa murid-murid di bawah 13 tahun. Mirip seperti digambarkan dalam film, saat kejadian terbongkar, beberapa pelaku hanya mendapat hukuman yang ringan sedangkan sisanya dibebaskan. Namun, terungkapnnya kasus pelecehan ini di tahun 2005 tidak mendapat sorotan penting dalam media, sehingga tidak terlalu ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah saat itu.

Baru di tahun 2011, melalui film Silenced dan dorongan publik terhadap pelecehan seksual anak di bawah umur, pemerintah pun akhirnya bergerak untuk menutup sekolah Gwangju dan merevisi RUU tentang pelecehan seksual, menjadi “Dogani Law”. Secara spesifik, isi kebijakan tersebut menambahkan tuntutan perihal hukuman yang lebih berat untuk pelaku kekerasan seksual, terutama bagi mereka yang melecehkan anak di bawah 13 tahun dan penyandang disabilitas.

Terlepas dari kepentingan-kepentingan politik pemerintahan di Korea Selatan tahun 2011, dapat dikatakan kalau film merupakan salah media yang efektif dalam menyampaikan propaganda atau kritik terhadap masyarakat dan pemerintah. Film Silenced merupakan salah satu contoh nyata yang ada. Sebelumnya banyak orang, termasuk pemerintah, tidak terlalu memperhatikan tragedi yang terjadi di tahun 2005, namun saat kejadian tersebut diadaptasi menjadi sebuah film di tahun 2011 membuat banyak pihak bergerak terkait isu pelecehan seksual, termasuk pemerintah.

<<Previous

    Author

    Feminis muda 

    Jurnal Perempuan
    ​terindeks di: 
    Picture

    RSS Feed

    Archives

    January 2021
    May 2020
    March 2020
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    September 2018
    August 2018
    June 2018
    December 2017
    September 2017
    August 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    February 2017
    January 2017
    December 2016
    November 2016
    October 2016
    September 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com