Universitas Brawijaya Gelar Bedah Politik: "Perempuan Caleg Ditinggalakn oleh Partai
Bertempat di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya (UB), pada Rabu 30 April lalu, digelar bedah politik perempuan dalam bentuk Seminar Nasional XX yang dihadiri kurang lebih 400-an orang dari civitas akademika UB, unsur pemberdayaan perempuan dan anak kab/kota Malang, Bappeda Kabupaten/Kota Malang, PSW se JawaTimur, unsur PKK, Dharma Wanita, Kowani dll se Malang Raya, Organisasi Wanita (Fatayat, Aisyah, dll.) dan Organisasi Lintas Agama. Narasumber yang hadir adalah Prof. Irwan Abdullah (UGM), Dewi Candraningrum, Ph. D (Pemred Jurnal Perempuan) dan Sri Untari (PDI-P). Penyelenggara bedah politik ini adalah Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UB.
Pemred JP membuka dialog publik dengan memaparkan “Kesenjangan gender pada kehidupan publik dan politik masih merupakan tantangan global yang terus dihadapi oleh masyarakat dunia pada abad ini. Meskipun telah ada berbagai konvensi dan komitmen internasional, tetapi secara rata-rata jumlah perempuan yang duduk di parlemen hanya 18,4% (UNIFEM, 2008/2009). Dari sejumlah 190 negara, hanya 7% dari negara tersebut yang mempunyai presiden atau perdana menteri perempuan. Meskipun tidak ada hambatan secara hukum bagi keterlibatan perempuan pada bidang politik dan pemerintahan, tetapi sampai saat ini angka keterwakilan perempuan masih sangat rendah”.
Irwan Abdullah kemudian menjelaskan “Menjelang Pemilu 2014, isu keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah perempuan dan politik ini tentu tidak lepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia. Metode pemilu masih dengan suara terbanyak, padahal banyak perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka di ruang-ruang publik. Isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat di masyarakat, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan, selain itu karena masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya”.
Sri Untari menceritakan tentang perjuangannya sebagai caleg perempuan: “Sementara itu, soal kesiapan perempuan calon legislatif tidak bisa lepas dari partai masing-masing, yaitu banyak partai yang tidak mampu mengisi kuota perempuan. Bukan berarti tidak ada calon, melainkan tidak adanya kaderisasi pengurus perempuan, dan budaya politik patriarki di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilawan. Regulasi sudah bagus, tetapi tanpa dukungan budaya dan persepsi masyarakat, regulasi ini tidak terlalu banyak mendorong jumlah keterwakilan perempuan. Siasat partai bahkan untuk mengisi kuota ini sangat mengecewakan, yaitu dengan mengambil caleg perempuan yang sudah populer seperti artis atau perempuan pengusaha. Suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Atau perempuan yang tidak populer hanya dijadikan sebagai pemanis, tidak sungguh-sungguh menempatkan mereka di wilayah strategis. Ini terlihat dari penempatan perempuan di nomor urut sepatu (paling belakang) atau di daerah pemilihan yang ‘gersang’, dimana wilayah tersebut justru menolak kehadiran caleg perempuan. Selain itu, KPU malah memperbolehkan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan alasan bila tidak terpenuhi ketentuan 30% persen perempuan”.
Dewi menambahkan: “Bahkan, partai politik melepas tangan caleg-caleg perempuan, dengan segala keterbatasannya harus bertarung dan berebut suara dengan caleg laki-laki dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Dari proses tersebut, kita dapat melihat hasilnya, yaitu sedikit sekali para perempuan yang duduk di parlemen, dan kalaupun ada mereka jarang berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan”. (redaksi-jp)
Pemred JP membuka dialog publik dengan memaparkan “Kesenjangan gender pada kehidupan publik dan politik masih merupakan tantangan global yang terus dihadapi oleh masyarakat dunia pada abad ini. Meskipun telah ada berbagai konvensi dan komitmen internasional, tetapi secara rata-rata jumlah perempuan yang duduk di parlemen hanya 18,4% (UNIFEM, 2008/2009). Dari sejumlah 190 negara, hanya 7% dari negara tersebut yang mempunyai presiden atau perdana menteri perempuan. Meskipun tidak ada hambatan secara hukum bagi keterlibatan perempuan pada bidang politik dan pemerintahan, tetapi sampai saat ini angka keterwakilan perempuan masih sangat rendah”.
Irwan Abdullah kemudian menjelaskan “Menjelang Pemilu 2014, isu keterwakilan perempuan di partai politik kembali menjadi topik perbincangan. Masalah perempuan dan politik ini tentu tidak lepas dari perkembangan sistem politik dan partai yang ada di Indonesia. Metode pemilu masih dengan suara terbanyak, padahal banyak perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka di ruang-ruang publik. Isu penolakan perempuan sebagai pemimpin kembali terangkat di masyarakat, ini karena basis sosial yang tidak dikuasai caleg perempuan, selain itu karena masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan sebagai pemimpin, kecuali sudah dikenal sebelumnya”.
Sri Untari menceritakan tentang perjuangannya sebagai caleg perempuan: “Sementara itu, soal kesiapan perempuan calon legislatif tidak bisa lepas dari partai masing-masing, yaitu banyak partai yang tidak mampu mengisi kuota perempuan. Bukan berarti tidak ada calon, melainkan tidak adanya kaderisasi pengurus perempuan, dan budaya politik patriarki di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilawan. Regulasi sudah bagus, tetapi tanpa dukungan budaya dan persepsi masyarakat, regulasi ini tidak terlalu banyak mendorong jumlah keterwakilan perempuan. Siasat partai bahkan untuk mengisi kuota ini sangat mengecewakan, yaitu dengan mengambil caleg perempuan yang sudah populer seperti artis atau perempuan pengusaha. Suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Atau perempuan yang tidak populer hanya dijadikan sebagai pemanis, tidak sungguh-sungguh menempatkan mereka di wilayah strategis. Ini terlihat dari penempatan perempuan di nomor urut sepatu (paling belakang) atau di daerah pemilihan yang ‘gersang’, dimana wilayah tersebut justru menolak kehadiran caleg perempuan. Selain itu, KPU malah memperbolehkan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan alasan bila tidak terpenuhi ketentuan 30% persen perempuan”.
Dewi menambahkan: “Bahkan, partai politik melepas tangan caleg-caleg perempuan, dengan segala keterbatasannya harus bertarung dan berebut suara dengan caleg laki-laki dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Dari proses tersebut, kita dapat melihat hasilnya, yaitu sedikit sekali para perempuan yang duduk di parlemen, dan kalaupun ada mereka jarang berpartisipasi aktif dalam tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan”. (redaksi-jp)