Suster M. Brigitta Renyaan adalah salah satu tokoh masyarakat Maluku yang memiliki gagasan kuat tentang rekonsiliasi antar komunitas beragama sejak pecah konflik Maluku tahun 1999, terutama di Ambon. Suster Brigitta bersama teman-teman lainnya dari komunitas Protestan dan Muslim membentuk sebuah kelompok bernama Gerakan Perempuan Peduli (The Concerned Women Movement Group). Suster Brigitta sendiri adalah koordinator Gerakan Perempuan Peduli di bagian agama Katolik[1]. Koordinator lainnya dari Protestan bernama Pendeta Henrikx dan dari Muslim bernama Rety Azegaf ikut mendukung gerakan ini. Kehadiran Gerakan Perempuan Peduli (GPP) menjadi sangat istimewa dalam mengatasi dan menghadapi konflik di Maluku. Selain tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai resiko dalam kegiatan yang mereka lakukan, gerakan ini dipelopori oleh para perempuan dan sebagian besar terdiri dari kaum ibu, kelompok yang paling merasakan dampak akibat konflik. Tak heran jika arah gerakan kelompok kerja ini lebih kepada praktik di lapangan. Sejak pecah konflik di Maluku tahun 1999, Suster Brigitta bersama kawan-kawan dari komunitas beragama lainnya bergerak serentak menyuarakan pentingnya menghentikan kekerasan. Mereka harus menghadapi berbagai macam ancaman, seperti dibunuh, tertembak, bahkan cacat. Suster Brigitta menceritakan, ketika konflik di Maluku pecah tahun 1999 dan memakan banyak korban yang sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak, Gerakan Perempuan Peduli (GPP) berkumpul dengan misi menghentikan kekerasan serta memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak. Semua kegiatan dalam gerakan ini sebenarnya lebih mengarah pada rekonsiliasi antar agama. Mengumpulkan para ibu yang berada dalam situasi konflik bukan perkara yang mudah. Sebelum berkumpul mereka harus saling berjanji bertemu secara diam-diam supaya tidak diketahui orang lain yang terlanjur dendam dengan agama lain karena keluarga mereka dibunuh tanpa sebab dan agama menjadi kambing hitam atas peristiwa ini. Menurutnya, perjalanan GPP tidak semudah yang kita bayangkan dan memiliki banyak tantangan. Bayangkan, mereka harus turun ke jalan di tengah kerusuhan dengan taruhan nyawa. Tantangan utama mereka justru berasal dari kaum laki-laki, baik yang suka berperang dan membunuh, para provokator yang tidak jelas dari mana datangnya, ataupun para pengambil keputusan. Pada waktu itu suara perempuan tidak dianggap penting karena perempuan dinilai lemah sehingga apa pun yang dilakukan perempuan tidak akan ada artinya. Namun, bagi Suster Brigita, hambatan-hambatan itu tidak menjadikan semua itu sebagai alasan untuk berhenti melakukan rekonsiliasi terus menerus. Mereka berupaya untuk membuat pertemuan demi pertemuan antarperempuan Katolik, Protestan, dan Muslim. Berbagai usaha mereka tempuh. Mereka mendatangi gubernur, panglima, kasum ABRI, dan kapolda, juga mendesak DPRD propinsi maupun kota, untuk menyatakan kepada kaum laki-laki agar segera menghentikan kekerasan dalam pertikaian. Namun, kenyataannya pertikaian itu semakin parah dan korban terus bertambah. Suster Brigitta tidak mau mundur, melalui GPP ia terus berupaya untuk berkumpul bersama perempuan lainnya meskipun pada waktu itu kehidupan penduduk telah berkelompok berdasarkan agama masing-masing. Hanya GPP satu-satunya kelompok yang utuh pada waktu itu. Dalam kondisi yang genting, tak terhitung orang yang ingin menghancurkan kegiatan mereka dan kadang-kadang membuntuti mereka. Kegiatan yang sangat berisiko mereka lakukan, di antaranya adalah demonstrasi hentikan kekerasan yang awalnya dilakukan oleh kelompok perempuan Kristen, kemudian Muslim. Suster Brigitta sengaja membuat strategi untuk tidak berjalan bersamaan karena kemungkinan akan ditembaki oleh orang-orang yang tidak suka bila antaragama saling bercampur. Kegiatan demonstrasi ini kemudian diliput oleh TVRI lokal. Liputan ini mengakibatkan reaksi masyarakat tertentu marah dan sejak itu rumah-rumah perempuan muslim yang terlibat di GPP hampir dihancurkan oleh kelompok Muslim sendiri. Begitu pula perempuan-perempuan Kristen. Namun, Suster Brigitta bersama teman-teman tidak tinggal diam. Dengan putus asa mereka menyebarkan kata-kata, “Hentikan kekerasan dan pertikaian”. Imbauan untuk menghentikan kekerasan dan pertikaian itu mereka tuangkan dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu ditulis di kain-kain yang sudah tersobek-sobek tak terpakai atau di kertas-kertas bekas. Sehari setelah tanggal 4 September 1999 bertemu dengan gubernur, akhirnya suara mereka mulai didengar dengan dicanangkan bahwa kekerasan dan pertikaian harus dihentikan. Hari berikutnya pencanangan ini disosialisakan ke berbagai media. Suster Brigitta bersama GPP kemudian turun ke jalan-jalan sambil menggunakan kain-kain yang mereka ikatkan ke anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, di kepala mereka, di becak, di mobil, di semua tempat. Tetapi, itu tidak berjalan mulus begitu saja. Tindakan Suster ini kemudian diancam, bahkan anak-anak perempuan SMU yang memakai kain-kain itu diancam oleh gerombolan laki-laki yang marah dan berkata, “Ngapain, kita masih mau perang, apaan itu kertas tulisan itu,” ujarnya menirukuan suara-suara mereka yang menolak ajakan damai. Akibat dari perlakuan tersebut, anak-anak SMU itu mengadu ke Suster Brigitta, “Suster, kami tidak berani lagi turun ke jalan, kami diancam oleh orang-orang itu.” Untungnya, ada seorang ibu yang memberi bekal keberanian pada mereka dengan berkata, “Kamu harus balik lagi, turun ke jalan! Kalau ada laki-laki atau bapak-bapak yang mengancam, tanya saja satu pertanyaan ini, ‘Bapak yang melahirkan atau ibu yang melahirkan?’” Pertanyaan ini ternyata mujarab dan membuat siapa pun tidak berani lagi mengancam mereka. Setelah itu, stiker dan kain-kain mereka habiskan di jalan-jalan. Kegiatan lain Suster Brigitta di GPP bersama teman-teman adalah membuat pelatihan. Awalnya pelatihan ini hanya terdiri atas 15 orang dari tiga komunitas (Katolik, Protestan, dan Muslim) yang masing-masing komunitas terdiri atas sekitar lima orang. Di bulan Desember 1999, mereka kemudian mengumpulkan lebih banyak lagi, yaitu terdiri atas 15 perempuan Protestan, 15 Katolik, dan 15 Muslim. Saat itu, perasaan saling curiga, saling benci, dan saling dendam masih jelas terlihat. Melalui pelatihan inilah, menurut Suster Brigitta, mereka akan bersama-sama dipulihkan dari rasa curiga. Bersama beberapa anggota GPP lainnya, Suster Brigitta bergerak turun ke barak-barak pengungsian dengan harapan dapat mempengaruhi suami-suami dan anak-anak yang selama ini ikut bertikai. Pada Januari 2000, Suster Brigitta berpikir bahwa tidak bisa perempuan hanya bergerak sendiri tanpa didukung pihak lain. Ia lalu mengumpulkan juga pemuda laki-laki dari berbagai kelompok pengajian atau sekolah-sekolah minggu. Kegiatan mereka ini dibantu oleh salah satu sekolah di Jerman yang mau memberi dana untuk wilayah yang masih dilanda konflik yang difokuskan di Maluku. Dari sini, Suster Brigitta kemudian membuat konseling pada anak-anak yang mengalami trauma akibat situasi konflik yang mereka alami. Apa yang dilakukan Suster Brigitta ini tentu saja harus melalui survei lapangan terlebih dahulu, terutama untuk melihat bagaimana agama yang satu tidak bisa masuk ke wilayah agama lainnya. Pernah beberapa teman dari GPP berupaya memasuki wilayah-wilayah agama lain yang tentu saja berbahaya bagi mereka. Suster Brigitta sendiri mencoba turun di daerah Muslim, begitu pula yang muslim turun di daerah Kristen. Setelah melakukan survei lapangan, mereka menarik semua anak-anak yang ikut perang yang disebut sebagai Kelompok Anak Linggis atau Laskar Cilik untuk anak-anak Muslim, sedangkan anak-anak Kristen yang berperang disebut Kelompok Anak Agas. Suster Brigitta menghimpun mereka dengan mengatakan, “Mari hentikan perang, tapi kami mau membina kalian.” Misi ini tentu saja memiliki tantangan yang sangat berat. Di daerah Muslim, Suster Brigitta yang beragama Katolik bertemu dengan pembina-pembina mereka dengan sangat hati-hati, karena banyak orang yang tidak senang atau trauma melihat agama lain memasuki wilayahnya. Suster Brigitta bercerita, “Waktu saya harus menjemput ibu-ibu Muslim untuk kumpul sementara di gereja, syukurlah ibu-ibu Muslim itu tidak jadi datang karena seandainya datang mungkin mereka sudah dibunuh. Saya baru menyadarinya karena ada kepala perang yang sudah siap di situ. Jadi, saat itu ketika saya pulang dengan ibu-ibu kelompok Kristen, saya dicegat di muka pintu. Si kepala perang itu pegang tangan saya dan dia marah, ‘Ngapain, Suster! Kami di sini mau perang, masih mau baku bunuh! Ngapain suster ngomong-ngomong damai!’ Sebelumnya, mereka telah mengancam para ibu dari GPP yang membuat pendampingan dengan anak-anak Linggis dan Agas. Mereka masih menginginkan anak-anak itu berperang.” Ketika itu, Suster Brigitta masuk, dan ia melihat ibu-ibu dan anak-anak berwajah ketakutan. Menurut Suster Brigitta, laki-laki yang mengancam itu adalah kelompok-kelompok yang membawa bom di mana-mana dan melibatkan anak-anak. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Suster Brigitta bersama Gerakan Perempuan Peduli ini memang tidak tanggung-tanggung sekalipun pada waktu itu sekitar tahun 1999—2000 adalah gaung kerusuhan yang paling rawan. Suster Brigitta memahami bahwa ia menghadapi risiko hidup atau mati. Ia meyakini bahwa selama ini agama telah dipakai sebagai alat untuk saling menghancurkan demi kepentingan pihak tertentu. Suster Brigitta bahkan tidak takut turun masuk ke perkampungan yang beragama lain pada malam hari untuk bertemu dengan ibu-ibu dan anak-anak di sana. Awalnya para orang tua masih membiarkan anak-anak ikut bertikai demi mempertahankan wilayah atau kediamannya. Ada pula yang merasa takut dan mengira akan dilaporkan ke polisi. Namun, Suster Brigitta kemudian menjelaskan bahwa GPP ingin menyelamatkan dan melindungi anak-anak mereka. Suster kemudian berkata, “Kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita cacat atau mati terbunuh.” Bayangkan, tidak sedikit anak yang pulang sekolah atau kuliah kakinya terputus, bahkan ada yang mati terbunuh. Umur anak-anak Linggis dan Agas yang ikut berperang itu sekitar 12—18 tahun. Anak-anak seusia ini sudah pandai merakit bom, membuat senjata, mendapatkan peluru, dan mencari cara untuk membakar rumah, masjid, dan gereja. Untuk mengeluarkan mereka dari kegiatan itu, tentu saja perlu kerja keras karena konon mereka juga dibayar sekitar Rp5.000 untuk setiap kali aksinya. Suster Brigitta bersama yang lain kemudian melakukan pembinaan setiap minggu sekitar dua atau tiga kali dengan tema “Temu Remaja Akbar”. Dalam waktu setahun tidak berhasil, setahun kemudian baru mereka bisa dipertemukan, itu pun dengan suasana yang penuh ketakutan dan ketegangan. “Bayangkan, anak-anak yang tadinya saling berperang, saling membunuh, saat itu harus berhadapan muka. Apakah mereka mampu untuk saling memaafkan pada saat itu? Syukurlah, saat mereka bertemu, justru kembali menjadi teman, sahabat, bahkan sampai hari ini,” demikian Suster Brigitta menceritakan. GPP kemudian menambah kegiatan dalam rangka menyambut hari anak dengan membuat pasar murah. Semua organisasi perempuan, termasuk istri-istri tentara dikumpulkan. Namun, sayang, ketika kegiatan baru berjalan dengan baik selama dua jam, tiba-tiba muncul orang-orang yang menghancurkan dan mengobrak-abrik, bahkan ada anak-anak Muslim yang mau membunuh Suster Brigitta karena ketika itu ia persis di dekat mereka, di sebuah pos. Ibu-ibu Muslim maupun Kristen berlarian, ada yang masuk ke dalam gereja pusat, asrama tentara, dan kantor gubernur. Bayangkan, kebersamaan yang sudah mulai terbentuk itu pun tetap ingin mereka hancurkan. Perempuan Tidak Mudah Terprovokasi, Lebih Cepat Merespons Rekonsiliasi Suster Brigitta berpendapat bahwa perempuan lebih bisa bertahan dalam penderitaan dan tekanan karena baginya, perempuan diciptakan Tuhan untuk memelihara dan melindungi kehidupan. Naluri ini kuat dimiliki oleh perempuan meskipun ada pula kenyataannya perempuan yang ikut perang, bahkan mendukung suami-suami mereka untuk ikut bertikai. Perempuan lebih cepat merespons perdamaian karena memikirkan masa depan anak-anak yang mereka lahirkan sehingga ada perasaan yang halus atau nilai-nilai femininitas yang kuat di tengah kekerasan tersebut. Bahkan, ada ibu-ibu yang mengatakan, ‘Saya mati, ya, mati, lebih baik saya mati daripada anak saya.’” Menurutnya lagi, sekeras apa pun perempuan, bila bicara tentang anak yang ia lahirkan sendiri, pasti akan mengubah pikirannya. Hal itu terbukti pada Oktober 2000, banyak perempuan yang kemudian mendukung rekonsiliasi ini. Namun, pada waktu itu Suster Brigitta belum berani memakai kata damai karena orang masih belum mau memaafkan satu dengan lainnya. Maka, semua kegiatan GPP ini tidak dengan menyisipkan kata damai, tetapi hanya sebagai kegiatan perempuan yang memiliki hati nurani. Di situlah Suster Brigitta bersama kawan-kawan menyebarkan pamflet-pamflet, bahkan lewat batu yang mereka tuliskan dan mereka buang di kolam, di jalan, di laut untuk mempengaruhi semua orang dengan tindakan, bukan dengan kata-kata. Pernah suatu hari ada seorang bapak yang melihat kegiatan mereka dari luar, lalu Suster Brigitta memintanya unutk masuk ke dalam. Bapak itu bertanya, “Apakah kami boleh ikut?” Suster Brigitta bilang masuk saja karena itu hanya kegiatan workshop untuk anak-anak. Suster Brigitta kemudian berkata, “Saya suster, biarawati yang tidak pernah menikah, tidak punya anak, dan tidak melahirkan, tidak seperti ibu-ibu yang lain. Tapi, saya tidak tega melihat anak-anak hancur, tidak seperti bapak-bapak yang tega pada anak-anak ini.” Bapak itu tentu saja terkejut dan tersentak mendengarnya, lalu berkata, “Ya, kenapa tidak kalau semua ini menguntungkan anak-anak kita.” Suster Brigitta tahu bahwa sepertinya orang itu mengamat-amati kegiatan mereka, kemudian ia pun berpesan, “Pak, besok kalau anak-anak Bapak belum datang, suruh datang saja ke sini.” Benar dugaannya, suatu malam pada saat acara silaturahmi hari besar Muslim, kegiatan yang dilakukan GPP ini dibicarakan, ramai sekali, dan ada seorang bapak yang mengatakan, “Suster yang memakai jilbab Katolik itu membuat kegiatan untuk anak-anak dan tidak membedakan siapa-siapa.” Lalu, beberapa hari kemudian, ruangan tempat kegiatan GPP menjadi padat, termasuk dipadati oleh anak-anak yang pernah ikut berperang. Aktivitas Suster Brigitta Pasca-Kerusuhan Pasca-kerusuhan, Suster Brigitta melalui GPP melanjutkan perjuangan rekonsiliasinya dengan memberdayakan kaum perempuan Maluku melalui berbagai pelatihan. Pelatihan ini dilakukan karena banyak perempuan yang kehilangan pekerjaan. Pelatihan tersebut dimaksudkan agar kaum perempuan bisa menghidupi ekonominya sendiri. Begitu pun bagi para suami yang kehilangan pekerjaan, Suster Brigitta bersama teman-teman di GPP memberi bantuan banyak becak agar bisa mencari nafkah serta memberikan beasiswa kepada anak-anak mereka. Selain itu, dibuat kelompok bermain anak-anak dengan tema “budaya damai dan kasih”, juga untuk membangun kepercayaan di antara anak-anak. Tak segan-segan GPP mempertemukan kelompok anak-anak Kristen dengan guru yang Muslim dan berjilbab untuk memberi pelajaran bahwa situasi yang baik adalah yang demikian. Menurutnya, anak-anak adalah pihak yang harus terlebih dahulu meninggalkan trauma secepat mungkin. Semua proses yang dilakukan Suster Brigitta bersama teman-teman lainnya di GPP harus melewati waktu empat tahun lamanya. Suster Brigitta sangat menyayangkan sikap para tokoh agama laki-laki yang lebih banyak berbicara daripada tindakan ke lapangan, baik Muslim maupun Kristen. Sejak awal konflik, Suster Brigitta selalu bilang, “Saya tidak mengerti kalau melihat kelompok laki-laki sudah berkumpul, mengapa kaum agamis laki-laki tidak mau melerai dan katakan berhenti, semua hanya bisa duduk. Saya melihat mereka itu seperti orang yang lumpuh, tidak berdaya menghadapi realitas pertikaian yang sangat kejam. Mereka punya peran banyak, tetapi lebih banyak berteori tanpa aksi.” Selanjutnya, kegiatan yang akan dilakukan pada masa pemulihan pascakonflik ini adalah Closing The Gap. Kegiatan ini akan melibatkan laki-laki, sebagaimana yang telah dilakukan kepada ibu-ibu untuk belajar hidup bersama sebagai salah satu cara menghentikan kekerasan. Di sana semua elemen agama akan dihadirkan, termasuk ketua MUI, ketua sinode, dan uskup untuk melihat kegiatan GPP ini. Suster Brigitta kemudian berkomentar, “Apakah bagi laki-laki, ini hal yang sepele atau tidak termasuk hitungan mereka, padahal justru yang kecil itu yang sebetulnya punya pengaruh,” katanya dengan berapi-api. Pengalaman Suster Brigitta untuk ikut mengatasi konflik di Maluku ini tentu saja patut untuk kita hargai, bahkan tantangan yang paling menyakitkan adalah bila kebencian itu muncul dari mulut kelompok agama sendiri. Suster Brigitta menceritakan, ketika rumahnya terbakar, ada seorang ibu yang tertawa kepadanya. Suster Brigitta kemudian bertanya, “Mengapa Ibu tertawa?” Suster sangat terkejut ketika ibu itu menjawab, “Rasain sekarang! Rumah ibu terbakar, habis… sedikit-sedikit perhatian dan membela Muslim.” Tetapi, Suster Brigitta begitu bijak menjawabnya, “Nah, berarti kamu bukan orang Kristen!” Di sinilah menurutnya kita harus ikhlas, sabar, serta bebas dari rasa dendam, marah, dan benci. Hanya dengan pola seperti ini, menurutnya, kita dapat menolak kekerasan meskipun itu dilakukan oleh teman kita sendiri. (Mariana Amiruddin) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 33, 2004. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |