Berbicara tentang kerusakan alam dan terutama dampaknya terhadap perempuan, industri ekstraksi sumber daya alam khususnya pertambangan adalah salah satu sektor yang turut berkontribusi. Siti Maemunah, aktivis lingkungan yang belasan tahun berkecimpung dengan isu pertambangan dalam sebuah perbincangan dengan Jurnal Perempuan di sela-sela aktivitasnya yang padat menjelaskan dampak aktivitas pertambangan terhadap kehidupan perempuan[1]. Mulai dari awal ketika tambang masuk ke suatu daerah untuk beroperasi, perempuan dianggap tidak perlu dilibatkan, hakhaknya diabaikan. Hingga kemudian ketika tambang beroperasi dan terjadi kerusakan lingkungan di sekitarnya, perempuan menjadi pihak yang pertama menerima dampak dan yang paling dirugikan. Bahkan ketika tambang sudah tutup dan meninggalkan lokasi, perempuan tetap menghadapi persoalan. Pun kebijakan yang ada juga sama sekali tidak melibatkan perempuan apalagi memperhatikan kepentingan perempuan. Dalam situasi demikian, Siti Maemunah, yang merupakan salah satu board di JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dan aktif di RIMM (Red Internacional Mujeres Y Mineria) serta menjadi fellow researcher di Sajogyo Institute, berpendapat bahwa mempertahankan lahan untuk tidak dijual atau dialihfungsikan merupakan langkah krusial. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan adanya keterhubungan antara kerusakan di hulu atau di kawasan tambang dengan kehidupan di kota penting dilakukan agar terbangun solidaritas yang kuat. Jurnal Perempuan (JP): Dari pengalaman anda selama ini bergerak di isu pertambangan, bagaimana dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan perempuan dan bumi? Siti Maemunah (SM): Tambang itu kan dia rakus lahan dan rakus air, jadi sama dengan yang dibutuhkan petani untuk berproduksi. Jadi dia butuh tanah, butuh air, dan energi yang luar biasa. Sehingga jika ada tambang masuk di suatu tempat, dia memang akan membongkar kawasan itu. Sehingga apa yang ada di atasnya akan rusak. Ada empat hal yang terjadi pada air saat tambang itu masuk ke suatu tempat. Pertama, kawasan tangkapan air dibongkar, yang itu adalah hutan. Yang kedua, kawasan resapan airnya juga dibongkar, yaitu batuan yang dibutuhkan untuk ditambang. Yang ketiga, dia rakus air. Jadi untuk mendapatkan satu gram emas misalnya, untuk ekstraksi, dibutuhkan setidaknya seratus liter air. Dan dia menghasilkan 2,1 ton limbah. Sehingga, kalau kita bicara keempat, resiko yang terjadi pada air, dia beresiko mencemari sumber-sumber air. Sehingga dengan empat itu, selalu akan terjadi krisis air di tempat itu. Dan perempuan adalah yang utama berhubungan dengan air, karena peran-peran domestiknya, reproduksinya. Kita tahu saat haid, kita butuh air lebih banyak. Saat kita melahirkan juga butuh air lebih banyak. Saat mengurus anak-anak kita juga butuh air lebih banyak. Dan celakanya, saat air tercemar, perempuanlah yang pertama kena. Terutama alatalat reproduksinya, pangannya, dan sebagainya. Sehingga sebenarnya, tambang itu bertentangan dengan alam dan bagaimana perempuan memandang alam. Misalnya perempuan-perempuan Molo di Nusa Tenggara Timur, mereka memandang alam bagai tubuh manusia, tubuh perempuan bahkan. Jadi air itu bagaikan darah, daging itu bagaikan tanah, hutan itu seperti kulit, dan kerangka badan itu seperti batuan. Menghancurkan itu semua, sama dengan menghancurkan tubuh perempuan. Perempuan-perempuan Papua juga melihat hal yang sama. Mereka mengandaikan puncak gunung itu tempat peraduan ibu, dimana tempat paling tinggi berhubungan dengan Yang Kuasa. Lembah itu adalah susu dan segala yang memberikan kesuburan. Karena di situ ada sungai, ada tanaman, dan sebagainya. Sementara di bagian bawah, kaki, karena orang Amungme yang di pegunungan tengah Papua itu hidup di kawasan tinggi, mereka merasa bagian kaki itu adalah bagian laut yang berbahaya yang mereka tidak bisa kuasai, karena mereka orang gunung. Jadi secara filosofis saja, tambang itu berseberangan dengan bagaimana perempuan memandang diri dan alam. Belum lagi, tentu saja, penghancuran yang terjadi karena tambang itu butuh lahan yang sangat luas. Freeport misalnya, dia sempat dapat satu juta hektar. INCO di Sulawesi Tengah, pernah diberikan lahan sampai tiga juta hektar di tiga provinsi. Jadi dia membutuhkan lahan yang sangat luar biasa dan membuat krisis air, karena dua hal itu yang terutama dibutuhkan. Juga energi, energi dalam artian saat kita butuh energi, maka ada penghancuran energi yang lain. Karena umumnya energi itu bahan bakar fosil, yakni minyak dan gas dan batubara, yang itu harus dibongkar untuk mendapatkannya. Jadi mineralnya sendiri kalau kita butuh emas, itu membongkar. Energinya pun dari sesuatu yang membongkar. Itu potretnya berkaitan dengan perempuan dan penghancuran pada bumi. JP: Apa dampak yang secara spesifik dialami perempuan yang berbeda dengan laki-laki? SM: Terutama berkaitan dengan peran-peran mereka. Di awal korbannya sama, laki-laki dan perempuan, karena tidak ada izin tambang yang menanyakan kepada masyarakat, apakah boleh kawasan itu ditambang atau tidak. Jadi keputusan ada di perusahaan dan pemerintah memberikan izin, baru kemudian mereka datang ke masyarakat. Dalam level itu, saat datang ke masyarakat, maka mereka akan datang pada laki-laki karena dianggap kepala rumah tangga. Perempuan tidak pernah didengar suaranya. Perempuan dianggap orang kedua yang tidak pernah dan tidak perlu diajak konsultasi. Dan luar biasanya, perempuan itu tipikal pemikirannya selalu pada bagaimana anak saya bisa makan, tanah ada apa enggak. Beda dengan laki-laki yang biasanya dia bicara kompensasi. Proses penegasian hak perempuan terjadi di awal, ketika menentukan pendapat berkaitan dengan tanahnya, baik tanah yang dia dapat bersama-sama dengan suaminya maupun tanah warisan dari orang tua. Sampai kemudian, kalaupun dia mendapat kompensasi, yang memutuskan kompensasi kadang bukan berdua juga, bukan keluarga, tetapi biasanya pada hal-hal yang berhubungan dengan aksesnya pada laki-laki, misalnya sepeda motor. Atau kalaupun untuk anak sekolah, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk mendapat pendidikan lebih dulu. Dan pada saat tambang itu beroperasi, maka seperti yang saya bilang, dampaknya yang terbesar itu pada perempuan. Kenapa, karena terutama berkaitan dengan peran-peran domestik, dimana dia sangat membutuhkan pangan dan air. Mereka yang semula bisa memenuhi kebutuhan obat-obatan, pangan dan airnya dari lingkungan sekitar, ketika itu hilang dan rusak, maka biayanya menjadi lebih mahal. Perempuan-perempuan Papua misalnya, orang Marind, untuk menokok sagu, mereka harus bekerja, laki-laki dan perempuan. Tapi begitu ada program berskala besar, MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), ini sama-sama bicara ekstraksi sumber daya alam ya, kemudian perempuan tidak bisa menokok sagu karena suami pergi bekerja di perusahaan yang hanya mendapat lima puluh ribu per hari. Sehingga mereka harus memenuhi kebutuhannya itu dengan lima puluh ribu sehari. Yang akhirnya banyak perempuan dan anak-anak mengalami malnutrisi karena sekarang semuanya harus beli. Bahkan daging pun yang tadinya bisa didapatkan dari laki-laki berburu, digantikan dengan ikan kaleng, yang itu mahal dan harus beli. Dan kita tahu perempuan biasanya mengutamakan anaknya untuk mendapatkan pangan dan sebagainya. Pada masa saat kerusakan itu terjadi, maka masalah-masalah tidak hanya berkaitan dengan urusan domestik, tetapi urusan reproduksi seperti yang sudah saya bilang. Bagaimana perempuan-perempuan di Buyat itu mengalami masalah-masalah gangguan kesehatan reproduksi seperti haid tidak teratur, keguguran, bahkan cacat melahirkan. Ada potret-potret seperti itu yang akhirnya dia juga menjadi tidak produktif, karena lahannya tidak ada, penghasilannya juga tidak ada. Perempuan menjadi bergantung pada laki-laki, entah itu paman, anak laki-laki, suami, yang kemudian tentu saja ruang-ruang nilai tawar mereka menjadi lebih rendah karena mereka bergantung. Itu yang spesifik berkaitan dengan perempuan. Bahkan dalam cara melawan pun, menarik sebenarnya melihat bagaimana misalnya perempuan menghadapi masalah. Contoh yang menarik di PLTU Batang misalnya, bagaimana perempuan mengorganisir diri. Disamping ikut demo dan sebagainya, mereka fokus mengorganisasi dirinya untuk bagaimana ekonomi alternatifnya keluar. Nelayan itu biasanya punya masalah dengan hutang. Karena mereka setiap hari mencari ikan, jika tidak mendapat ikan, mereka akan mengutang. Dan ada masa paceklik panjang dimana mereka harus berhutang juga. Yang dilakukan perempuan caranya adalah bagaimana menguatkan ekonomi dengan misalnya membuat tabungan rendeng. Sehingga pada saat paceklik, mereka aman. Mereka jadi tidak perlu menjual tanah dan sebagainya. Tapi itu tidak dianggap perjuangan. Itu dianggap, ya nantilah itu urusan ekonomi. Jadi bahkan, cara perempuan merespon, itu tidak dianggap perjuangan. Perjuangan itu harus demo di depan, seperti itu saja. Padahal beragam cara dikembangkan perempuan untuk merespon itu. Dari misalnya bersolidaritas antar perempuan, misalnya kalau di Molo itu mereka punya lulbas. Lulbas itu semacam kurir, kurir yang menyampaikan pesan dari satu tempat ke tempat yang lain dimana perempuan juga terlibat di situ. Itu jika bicara masalah-masalah khas yang dihadapi perempuan. Bahkan sampai tambang itupun tutup, masalah itu akan bersama mereka, dan lebih parah. Misalnya kasus PT KEM (Kelian Equatorial Mining) milik Rio Tinto yang tutup pada tahun 2003, karena terjadi kasus perkosaan di sana. Tujuh belas perempuan, enam di antaranya diperkosa oleh petinggi perusahaan. Sampai lahir anaknya bule juga. Tidak sembuh sampai sekarang, sampai tambangnya tutup dan tidak ada proses hukum. Di media keluarnya sebagai santunan dalam bentuk kompensasi, tidak ada proses hukum. Dan itu akan dia bawa sampai mati. Bahkan anaknya pun bergenerasi masih melekat luka itu. Belum lagi urusan lingkungan yang tidak pulih. Limbah tambangnya 77 juta ton masih ada di sana. Siapa yang bisa memastikan itu aman kalau misalnya nanti di hulu ada masalah, karena limbah itu ada di hulu. Itu gambaran spesifik yang dialami oleh perempuan secara garis besar. JP: Kalau melihat peran pemerintah selama ini, anda menilai seperti apa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan persoalan tambang? SM: Kalau kita telusuri dari sejarah kebijakan pertambangan, kita tahu Indonesia itu sebelum memiliki undang-undang pertambangan, dia sudah menandatangani kontrak karya dengan PT. Freeport. Dimana kontrak karya tersebut didesain oleh perusahaan. Sehingga kemudian seluruh arah undang-undang kita mengikuti model kontrak karyanya PT. Freeport. Termasuk mereka mendapat banyak kemewahan dalam tanda petik, misalnya sampai Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres yang disitu dengan jelas menyampaikan, jika tambang membutuhkan sesuatu, entah itu hutan dan sebagainya maka dia prioritas. Kita tahu pada masa Soeharto investasi asing menjadi penopang, terutama pertambangan. Tetapi tidak banyak pelanggaran HAM pada masa Soeharto yang terungkap. Namun ada kasus Kelian seperti yang saya bilang, perkosaan terhadap perempuan, dsb. Kita tahu pada masa Soeharto kebijakannya seluruh izin ditetapkan oleh perusahaan dan pemerintah. Dan pengusaha-pengusaha asing mendapat prioritas. Mereka bisa mendapatkan izin satu paket. Perusahaan-perusahaan nasional malah mendapat izinnya harus bertahap. Luasannya pun akan lebih luas kontrak karya. Mereka didukung pula oleh tentara dan polisi untuk menjaga keamanan kawasan itu. Pokoknya kontrak karya dianggap kitab suci yang tidak bisa diubah bahkan sampai sekarang. Misalnya tidak ada renegosiasi yang adil terhadap Freeport. Lantas itu kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Undang-Undang Mineral dan Batubara. Tidak ada perubahan, kriminalisasi masih ada. Jadi kalau ada orang yang mengganggu beroperasinya perusahaan, maka mereka akan dihukum atau didenda. Tapi lebih parah karena kemudian kabupaten dan provinsi bisa mengeluarkan izin pertambangan dan terutama rekomendasi alih fungsi kawasan hutan. Jadi kalau bayangannya pada masa Soeharto itu ada sekitar seribu izin pertambangan. Tentu luasannya beda, luas sekali. Setelah pada saat otonomi daerah, kalau tidak salah sekarang sudah ada sebelas ribu izin pertambangan. Jadi sembilan ribu meningkatnya. Meskipun luasannya lebih kecil-kecil, tetapi masif. Ada satu kecamatan di Kalimantan Timur, misalnya, Kecamatan Samboja, itu 22 kelurahan dan desa, izinnya ada 90. Jadi orang dibuat nggak bernafas. Dan tidak ada satupun izin yang menanyakan ke masyarakat apakah boleh sebelum izin itu dikeluarkan, itu dari konteks izin. Kemudian pada konteks pelaksanaannya misalnya kalau kita bicara analisis dampak lingkungan, oh tenang ada tambang nanti kan dampaknya pasti bisa diurus, nggak juga. Karena apa, karena kapasitas membongkarnya besar sekali di Indonesia. Freeport saja saya rasa, yang dia tambang, yang membuang limbah, dia paling besar di dunia. Dan di Indonesia membuang tailing juga bisa ke laut seperti tambangnya PT Newmont di Nusa Tenggara Barat. Ternyata dari 9 ribu dokumen amdal yang dikeluarkan, tidak hanya pertambangan, ini data Kementerian Lingkungan Hidup, dia menyatakan bahwa 75% dokumen itu buruk, artinya di depan kita memang sudah tidak selamat dengan dokumen seperti itu. Belum lagi pengawasan, dalam hal ini komisi amdalnya, mereka bilang tahun 2008, 50% tidak berjalan dengan baik. Jadi, sistem ini memang tidak layak. Dengan cara pengurusan seperti sekarang, kebijakannya lemah, penegakan hukumnyapun lemah, pengawasannya lemah, belum lagi kemampuan BPK mengaudit ya, misalnya mereka hanya mampu mengaudit sekitar lima ratus sekian izin selama tiga tahun. Dengan 11.000 izin, butuh lebih dari 40 tahun untuk mengaudit. Jadi sistem ini memang tidak layak, sudah memang dijadikan mainan saja mengurus ekstraksi sumber daya alam yang luar biasa kerusakannya ini. Dimana korban terbesarnya yang terberat itu pasti perempuan dan bumi. Sampai sekarang itu berlangsung, kebijakan yang buruk itu masih dipertahankan. Kita pernah mendorong ada kaji ulang izin-izin pada saat penyusunan UU Minerba tahun 2009, tapi tidak lolos. Bahkan salah satu contohnya ada larangan menambang hutan lindung dengan tambang terbuka, karena tambang terbuka itu lebih merusak kan, tapi dia lebih murah. Maka diamandemenlah UU itu atas permintaan perusahaan-perusahaan tambang termasuk Freeport, Newmont, INCO milik Kanada. Dan Megawati mengeluarkan Perppu seolah-olah negara sedang dalam kondisi darurat, genting, dikeluarkanlah Perppu itu, kemudian disahkan oleh DPR. Dan UU Kehutanan itu akhirnya diamandemen untuk 13 perusahaan tambang yang akan membuka satu juta hektar hutan lindung. Dan mereka berhasil pada tahun 2004. Dari situ keluar namanya izin pinjam pakai. Term itu kemudian dipakai, sekarang bahkan ada sekitar mungkin lebih 100 perusahaan tambang yang mengajukan izin pinjam pakai dan lolos. Jadi itu kemudian nggak hanya 13 perusahaan tambang. Saya mau sampaikan bahwa sistem pemerintahan kita korup memang, tetapi itu tidak terjadi juga dengan begitu saja. Banyak intervensi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dan elit politik, karena belakangan kita tahu izin tambang itu menjadi komoditas politik, transaksi, dia bukan lagi alat untuk meregulasi. Contohnya di Kalimantan Timur, pada tahun 2007 sampai 2009 itu ada sekitar 270 lebih izin. Dalam satu sampai tiga hari keluar satu izin dan itu nggak hanya di Kalimantan Timur. Kalau dicermati di Morowali misalnya, izin itu juga keluar sebelum atau sesudah pilkada. Jadi kalau kita runut sampai sekarang ya, izin itu nggak lagi untuk mengatur tetapi jadi komoditas politik. Itu kira-kira potret kebijakan di Pertambangan. Dan mereka selalu superior, contohnya mereka bisa mengamandemen undang-undang. Atau yang sekarang ini, pemerintah sedang banyak desakan, terus mereka bilang kita nggak boleh lagi mengekspor bahan mentah, harus diolah dulu. Tapi apa yang terjadi, negara-negara yang perusahaan-perusahaannya ada di sini seperti Jepang misalnya memprotes. Tiga bulan setelah peraturan itu keluar, keluarlah peraturan baru yang merevisi peraturan itu yang menyatakan bahwa kalau ada izin Dirjen nggak apa-apa deh mengekspor bahan mentah. Itu potretnya. Dan perempuan dimana dia berada di ruang itu, nggak ada, asli mereka di pojok dan menerima dampak yang luar biasa. JP: Dengan kondisi yang carut-marut begitu, menurut anda ke depan kebijakan yang ada harus bagaimana agar bisa meregulasi dan bukan menjadi komoditi? Menurut saya kuncinya di masyarakat sipil dan rakyat di sekitar tambang. Jadi nggak bisa lagi dengan terus-menerus berharap pemerintah akan baik hati mengubah, nggak. Dan kita nggak hanya bicara kerusakan di hulu, karena kalau kita bicara kita, penduduk kota, kita nggak merasa punya hubungan dengan orang di kampung yang kawasannya hancur, perempuannya hancur. Padahal logam yang kita pakai, komputer ini, emas yang kita pakai, di situ ada hak orang yang hilang, perempuan Dayak misalnya, yang nggak punya lahan lagi karena lahannya dibongkar untuk mendapatkan emas. Atau contoh yang paling gampang, dalam setiap handphone itu setidaknya ada 2 gram timah. Sebagian besar timah saat ini setidaknya 10 tahun terakhir itu didapat dengan membongkar Bangka-Belitung. Kawasan itu krisis air, sungainya rusak, pangannya berkurang bergantung dari luar. Dan kita pemakai handphone nomor 5 sedunia. Maksud saya, kita nggak bisa lagi berpikir seolah-olah kerusakan itu ada di sana dan kita nggak ada hubungannya dengan itu, terutama perempuan ya. Karena banyak organisasi-organisasi perempuan yang sangat concern dengan isu urban, tetapi tidak pernah menghubungkan solidaritasnya dengan masalah perempuan di hulu. Misalnya tentang ekstraksi sumber daya alam dan bagaimana perempuan menjadi gerakan terdepan untuk menjadi konsumen yang cerdas. Konsumen yang cerdas tentunya yang berhubungan dengan pemakaian logam, laptop dsb. Atau alat-alat kecantikan atau kosmetik, kalau berhubungan dengan minyak sawit yang sebagian besar digunakan untuk ekspor. Publik, masyarakat di hulu misalnya, yang penting sekarang apa, jangan biarkan lahannya dijual, dialih fungsi, pertahankan tanahnya. Apalagi kalau kita bicara perubahan iklim, syarat untuk menghadapi perubahan iklim itu kalau lingkungan kita sehat, punya lahan, airnya bersih. Karena pada saat perubahan iklim, misalnya musim tidak menentu dsb, dan air kita tercemar, itu lebih luar biasa masalahnya. Atau pada saat perubahan iklim lingkungan kita rusak, hujan makin sering, luapan limbah makin cepat datang. Sehingga daya rusak pertambangan itu menyebabkan masyarakat sekitar tambang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Nah yang harus dilakukan terutama oleh perempuan dan rakyat pada umumnya adalah jangan biarkan lahannya dialih fungsi dan terlibatlah dengan aktif untuk upayaupaya mempertahankan lahan. Tapi juga buat perempuan yang di kota, kalau dulu mungkin kebutuhan logam itu untuk kebutuhan mendesak gitu ya, mungkin nggak seperti sekarang percepatan kerusakannya, tapi sekarang pasar yang menentukan. Saya contohkan ada satu kampung di Kalimantan Timur, namanya desa Makroman, ini desa transmigran. Tahun 1957 mereka pertama bertransmigrasi di sana, dan mereka membutuhkan sekitar 25 sampai 30 tahun untuk membangun sistem irigasi pertanian, sehingga mereka bisa menanam 2 kali setahun. Pada saat otonomi daerah, tambang masuk, tahun 2005 dikasih izin, hanya butuh 2 sampai 4 tahun kawasan itu hancur nggak bisa ditanami lagi. Kenapa? Hutannya dirusak, limbahnya turun ke bawah. Jadi nggak perlu merusak sawah, tunggu saja itu rusak karena hutannya dirusak, limbahnya turun ke bawah dan kawasan itu kemudian menjadi nggak produktif, dijuallah oleh masyarakat dan berubah jadi kawasan tambang. Kebayang nggak, 30 tahun mereka membangun itu dengan segala kearifan dsb, dan itu dihancurkan hanya dalam 2-4 tahun. Ada sebuah perampokan waktu yang dilakukan oleh industri ini bahkan orang tidak bisa menginvestasi produktivitas sampai berapa puluh tahun ke depan saat itu sudah tidak ada. Untuk membentuk 1 cm tanah subur, karena saya orang pertanian, jurusan tanah, itu dibutuhkan waktu 300 tahun. Dan pertambangan itu dengan secepat itu menghancurkannya. Jadi dia tidak hanya perusakan ruang hidup, tapi juga kecepatan waktunya merusak, itu bedanya industri pertambangan dengan industri lain. Sehingga terbayangkan bagaimana jika perempuan berhadapan dengan itu. Kalau alam itu punya daur hidup, ada siang ada malam, tambang itu 24 jam beroperasinya, jadi dia memang sesuatu yang menurut saya, secara filosofis, berlawanan dengan kehidupan. Nah, perempuan-perempuan di kota mesti tahu itu sehingga saat kita bicara masalah perempuan, yang konkrit berkaitan dengan tanah itu apa, sehingga solidaritasnya terbangun. Saya melihat gerakan perempuan kebanyakan mengurusi kekerasan dalam rumah tangga, dsb, itu nggak cukup, saat sekarang kita tahu isu perampokan lahan, land grab itu terjadi dimana-mana. Sementara orang kota membutuhkan pangan dari orang kampung, lingkungan mereka di kota itu akan sehat jika kampung itu sehat, di kawasan huni. Dengan cara itu menurut saya, dengan membangun kesadaran bahwa mempertahankan lahan di kampung itu juga menjaga kehidupan perempuan di kota. Saya rasa itu jadi hal yang penting, membangun solidaritas. JP: Kembali ke soal siasat perempuan yang di hulu tadi, bisa diceritakan bagaimana proses mereka membangun siasat ketika berhadapan dengan perusahaan? SM: Ada beragam ya, misalnya seperti yang saya bilang di PLTU Batang itu, perempuan mengorganisir diri, mereka menguatkan. Jadi menurut saya perjuangan perempuan itu sangat filosofis karena kemudian mereka mengkontraskan antara penghancuran dengan menanam. Jadi menanam itu bagian untuk melawan. Seperti perempuan di Batang, di Roban misalnya, mereka bisa dibilang nggak punya lahan sebenarnya, tapi yang mereka lakukan bagaimana membuat program bersama untuk menanam sayuran karena mereka biasanya membeli sayuran. Tapi itu hanya perantara untuk mengorganisir lebih lanjut seperti yang saya bilang tabungan rendeng itu. Jadi hal-hal yang kecil tapi punya efek besar, itu pertama. Yang kedua, memang mereka memimpin, seperti yang dilakukan oleh Aleta Baun misalnya di Molo, yang kemudian bagaimana ada kesadaran bahwa alam itu adalah tubuh perempuan dan tulang yang akan dihancurkan karena mereka menghancurkan gunung batu yang mengandung marmer kelas satu itu. Itu yang akan dihancurkan, jadi mereka memperjuangkan itu, dengan kemudian menghangatkan lagi, membangkitkan lagi wacana-wacana bagaimana relasi alam dengan tubuh manusia. Sehingga memahami alam adalah tubuh, yang kemudian itu menjadi tutur yang dibicarakan banyak orang. Termasuk perjuangan identitas, karena nama kedua orang Molo itu mereka dapat dari kegiatan di sekitar batu. Misalnya Baun, Baun itu saya lupa, kalau nggak salah penyumpit kelelawar. Nama itu didapat dari sekitar batu, sehingga kalau batu itu hilang, nggak ada lagi Aleta Baun, yang ada cuma Aleta. Nah identitas ini yang kemudian menjadikan mereka bangkit, bahwa mereka terhubung dengan itu, kalau itu tidak diselamatkan, maka itu akan pergi, ada hal-hal seperti itu. Ada yang lain yang mereka survive menarik misalnya di Kertabuana. Kertabuana ini satu desa di kalimantan Timur, transmigran. Ini terkait dengan filosofi orang Bali dimana semua kawasan adalah bagaimana mereka berhubungan dengan pencipta. Termasuk sawah ada Dewi Sri dan mereka punya tempat sembahyang di sana. Dan mereka bikin Pura-Pura sederhana sampai yang bareng-bareng, besar dan mahal. Sehingga saat perusahaan mau beli, mau mengalih fungsi kawasan itu, siasat mereka adalah, “Berani nggak beli lahan gua, satu milyar lho”, misalnya untuk pura, itu salah satu siasat yang juga dilakukan. Tapi perempuan di sini, pimpinannya perempuan, dia tidak mau misalnya dia bilang saya nggak bisalah mimpin demo, saya kan tetua di sini, tapi yang dia lakukan misalnya adalah ketika anak-anak muda datang pada dia untuk minta petunjuk, disitulah dia bicara tentang bagaimana peran Pura itu. Dalam budaya Bali, dalam Hindu, pada saat upacara-upacara penting, perempuan yang menyiapkan sesaji, dimana seluruh sesaji itu mereka biasanya tidak beli karena mereka dapatkan dari kebun. Nah relasi perempuan menyiapkan sesaji, dan itu diambil dari kebun, itu sebuah ikatan yang tidak boleh dihancurkan. Kalau kebun-kebun mereka hilang, bagaimana. Itu yang terjadi. Tetapi tentu tergantung kepada, apa ya, serangan. Yang terjadi sekarang kan pemerintah tidak ada, jadi perempuanperempuan itu berhadap-hadapan langsung. Survive-nya juga beragam dan saya tidak meletakkan ini sebagai kondisi yang kalah karena kemudian perempuan sebenarnya memilih untuk berjuang. Seperti bagaimana mereka kemudian terpaksa juga bekerja informal di kawasan sekitar tambang saat lahan-lahan mereka sudah nggak produktif. Berbagai caralah mereka lakukan. Tapi memang karena mereka hidup di kondisi yang patriarkis, kadang perlu diberi contoh, cerita tentang perempuan di tempat lain yang melawan misalnya. Sehingga buat mereka, o..begitu ya, o..bisa ya melakukan itu, sehingga kenapa solidaritas itu penting sekali. Tutur satu sama lain itu menjadi kekuatan diantara perempuan karena mereka sebenarnya sangat mudah belajar satu sama lain. Itu seperti sudah alamilah bagaimana mereka saling menceritakan. Tutur itu menjadi salah satu, menurut saya, senjata penting perempuan untuk saling memperkuat perjuangan. Terutama karena perempuan juga berperan dalam konteks reproduksi sosial, menularkan ingatan-ingatan sosial kepada anaknya, hal-hal seperti itu. JP: Kalau dari sisi korporat, apa upaya yang harus dilakukan agar produksi yang mereka lakukan lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem? SM: Perusahaan itu tidak ada yang mereka pakai prinsip sosial karena perusahaan memang pakai ilmu ekonomi ya, jadi modal serendahrendahnya dan laba sebesar-besarnya. Jadi saya tidak percaya bahwa perusahaan itu akan menggunakan fungsi sosialnya, seluruh fungsi sosial sebenarnya untuk memperbesar margin, memperbesar laba. Sehingga saya tidak percaya bagaimana misalnya perusahaan nanti bisa dengan baik hati punya inisiatif untuk melakukan. Karena kalau mereka tidak dikontrol oleh negara dan rakyat, maka itu tidak terjadi. Mereka akan berbuat semena-menanya, bagaimana mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya. Sampai seperti saya bilang bagaimana mengamandemen kebijakan yang semula tidak boleh menambang dengan terbuka di kawasan lindung, mereka terabas. Sampai misalnya Samarinda, ibukota Kalimantan Timur, 71 persennya itu adalah kawasan tambang, bagaimana mungkin sebuah kawasan 71 persennya kawasan tambang, itu ibukota pula. Jadi mereka itu kayak panglima, yang mengontrol panglima siapa, seharusnya negara. Tapi saat negara tidak jalan, maka akhirnya tidak ada kontrol kepada perusahaan. Dan mereka tidak mau lho diregulasi, diregulasi dalam artian apakah perusahaan-perusahaan asing yang bekerja di sini dia juga harus mengikuti kewajiban di negaranya, nggak juga kan. Newmont misalnya, di Amerika dia tidak akan boleh membuang tailing ke laut begitu saja, di sini dia buang ke laut. Jadi kalau pertanyaannya bagaimana agar perusahaan beroperasi dengan bertanggung jawab ya negaranya harus kuat, penegakan hukumnya harus kuat, rakyatnya harus kuat. Saya nggak percaya perusahaan ini lama-lama baik hati, dsb, saya nggak percaya itu, termasuk bicara corporate social responsibility. JP: Jadi solidaritas itu penting lalu penguatan masyarakat sipil dan negara. Nah sekarang ini banyak bergulir konsep pembangunan berkelanjutan, pandangan anda bagaimana? SM: Dulu konsep pembangunan berkelanjutan lahir pada saat KTT Bumi 1992 terkait keprihatinan terhadap percepatan kerusakan yang kemudian ada kesepakatan negara-negara bagaimana melakukan upaya pembangunan berkelanjutan. Spiritnya bagus tapi kemudian kita tahu dia berubah dari waktu ke waktu karena pembangunan itu sendiri menjadi dimaknai berbeda. Infrastruktur yang merusak dianggap pembangunan. Pembangunan dianggap modernitas, sesuatu yang tradisional itu bukan pembangunan. Pembangunan itu pembangunan infrastruktur skala besar, pertambangan adalah pembangunan. Jadi yang terjadi kemudian, kapital membonceng pembangunan juga, dan diamini oleh banyak pihak termasuk negara, dsb. Yang kenapa kemudian misalnya pelaku-pelaku pertambangan juga mempromosikan sustainable mining, tambang itu berkelanjutan. Padahal dari faktanya dimananya yang berkelanjutan. Ada pertanyaan besar dan gugatan besar terhadap urusan pembangunan berkelanjutan, yang kalau kita hubungkan dengan model pembangunan yang selama ini terjadi kemudian punya masalah besar, yakni dampak perubahan iklim. Itu adalah efek dari model pembangunan pada masa revolusi industri yang terus berlangsung sampai sekarang. Modelnya tidak berubah, rakus lahan, air, energi, dan keragaman hayati. Sebenarnya perubahan iklim itu koreksi terhadap perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan yang sekarang sebenarnya tidak jalan juga. Itu warning sebenarnya untuk konteks itu. Sehingga pembangunan berkelanjutan menjadi jargon. Kita sudah nggak jelas lagi mana yang berkelanjutan mana yang enggak. Kalau menurut saya, kehidupan perempuan-perempuan di kampung itulah yang mudah kita lihat sebagai term berkelanjutan, karena mereka kalau kita bicara jejak ekologisnya, foot print-nya itu nggak jauh-jauh. Mereka nggak berbelanja sebanyak kita, mereka tidak bepergian sebanyak kita. Sebenarnya dari merekalah kita musti belajar. Itu yang saya lihat dari term pembangunan berkelanjutan yang kemudian menghasilkan turunan-turunan yang “green”. Belakangan sebutannya ekonomi hijau dsb. Kita tahu banyak juga yang membonceng urusan hijau ini, bahkan kita. Kita merasa kita bertanggung jawab saat kita misalnya membeli mobil hybrid yang itu hijau atau kulkas hijau. Dan kita nggak peduli bahwa kita menambah barang dan menambah barang itu menambah kerusakan di bumi. Itu saya memandang konteks pembangunan berkelanjutan yang jika kita kontraskan dengan filosofi orang Molo memandang alam itu tubuh perempuan, itu sebenarnya menjadi menipu ya term ini. Sehingga menurut saya penting kita mengoreksi urusan pembangunan berkelanjutan ini karena kemudian dia justru menjadi semacam tameng untuk benarbenar menjalankan komitmen. Contohnya kita tahu Amerika tidak pernah bersepakat menandatangani protokol Kyoto, Jepang kemudian mengundurkan diri termasuk Kanada dsb. “Hei kemana saja itu pembangunan berkelanjutan”. Atau kalau kita bicara pemerintahan SBY, dia bilang menurunkan emisi 26 persen, tapi izin tambangnya 11 ribuan. Pembangunan berkelanjutan punya banyak wajah, tapi wajah yang paling dirugikan itu adalah wajah perempuan di kampung dan di kota. JP: Dari pengalaman anda selama ini, lesson-learned apa yang bisa diambil dari komunitas-komunitas yang bisa melawan meski kondisi kerusakan terus terjadi? SM: Saya rasa keterkaitan identitas dengan tanah itu menjadi penting ya untuk selalu dipegang. Bagaimana mereka mengkomunikasikan terus nilai tanah itu tidak hanya sebuah lahan untuk ditanam, tetapi identitas, dia punya fungsi sosial, hal-hal seperti itu yang menguatkan mereka. Yang menghancurkan kemudian adalah materi, modernitas yang diperkenalkan oleh orang-orang kota bahwa mereka terbelakang, mereka tidak modern. Modern itu punya handphone atau pergi ke kota. Seolah seluruh urusan itu adalah kota begitu ya. Menurut saya penting sekali menghargai keragaman bahwa tiap orang itu punya fungsi masing-masing, termasuk memahami bahwa kita sendiri kan karena tidak bangga dengan keragaman kita sebagai perempuan sehingga apapun mau kita seragamkan, termasuk kulit putih, rambut lurus, dsb. Saya belajar bahwa tanah itu tidak bisa dipisahkan dari perempuan, tetapi solidaritas antara perempuan di kampung dan di kota perlu dibangun, sehingga center urusan kita nggak hanya di kota, solidaritas pun bisa kita bangun dengan perempuan di kampung dengan melihat konsumsi kita seperti apa, gaya hidup kita seperti apa. Yang kebalik malah kita mencekokkan gaya hidup kita ke mereka, sehingga mereka kesadarannya menjadi terkikis. Sehingga agar dianggap modern itu mereka bersikap seperti kita. Saya rasa itu pelajaran penting yang saya dapat, bagaimana sebenarnya yang menyelamatkan krisis sekarang itu adalah jika kita kembali kepada pemikiran filosofi tanah sebagai bagian tubuh perempuan dengan segala kekhasannya termasuk bagaimana relasirelasi sosial diantara masyarakat meletakkan itu. Sehingga tidak lagi muncul, kalau di kota kan dia sangat mendiskriminasi perempuan, seolah perempuan itu sesuatu yang harus dikekang, sesuatu yang memicu syahwat dsb. Kalau kita bandingkan bagaimana filosofi masyarakat di kampung melihat perempuan, itu sangat berlawanan dengan pikiranpikiran laki-laki di kota yang meletakkan tubuh perempuan itu sebagai obyek. Sementara orang di kampung meletakkan tubuh perempuan itu sebagai alam yang harus dilindungi dan nggak boleh dihancurkan. Dan asli lho mereka di kota itu tergantung sama pangan di kampung, sumber-sumber air di kampung, saya rasa sudah seharusnya kita mulai membuka cara pandang kita bahwa mereka di kota itu nggak hidup sendiri dan berhasil survive di kota. Mari belajar dari orang kampung saat mereka menyelamatkan pohon-pohon terutama perempuan. (Elisabeth Anita Dhewy Haryono & Naristi Aulia) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2014 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, Vol. 19 No. 1, 2014 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |