Semangat yang membidani lahirnya kajian wanita atau women’s studies (bisa juga disebut kajian perempuan atau kajian feminis) di Indonesia tidak berbeda jauh dengan semangat bangkitnya women’sstudies di tempat-tempat lain, yakni semangat untuk mengenal lebih jauh pengalaman kaum perempuan (Indonesia) serta untuk menjadikan keberadaan kaum perempuan dan kondisi hidupnya lebih kasat mata. Waktu lahir, women’s studies di Indonesia langsung memasuki tahap keempat (menurut kategori Bogdon). Tahap ini ditandai dengan ramainya kegiatan penelitian tentang perempuan dengan fokus gender differences (perbedaan gender) dan analisis ilmiah dengan perspektif perempuan[1]. Tahap ini memang fase yang penting mengingat penelitian-penelitian sebelumnya lebih didominasi oleh laki-laki dengan topik atau masalah yang hanya penting untuk mereka. Penelitian-penelitian baru ini akan menghasilkan berbagai data empiris berdasarkan pilihan topik atau analisis hasil penelitian yang tidak androsentris (berpusat pada laki-laki). Permasalahan yang diangkat women’s studies di Indonesia awalnya dipengaruhi oleh tema-tema dalam seminar yang diadakan menyambut Dasawarsa Tahun Internasional Wanita pada tahun 1975 di Meksiko. Saat itu, tema-tema yang diangkat secara tidak langsung menyinggung persoalan kaum perempuan di negara-negara berkembang. Topik yang paling populer adalah perempuan dan pembangunan. Berdasarkan data empiris yang didapatkan dari hasil penelitian sejak tahun ’70-an, ilmuwan perempuan barat yang aktif dalam gerakan women’s studies menemukan bahwa banyak program pembangunan di negara berkembang yang merugikan perempuan. Proses pembangunan cenderung mengabaikan peran produktif yang secara tradisional telah dimainkan oleh perempuan. Dalam tulisannya di Jurnal STRI, Prof. Dr. Saparinah Sadli yang biasa disapa Ibu Sap, mencatat adanya beberapa kelompok women’s studies yang berkembang di beberapa universitas. Mereka tergabung dalam lembaga-lembaga tertentu, seperti Lembaga Kependudukan Universitas Gajah Mada, Lembaga Riset Universitas Brawijawa, dan Lembaga Riset Universitas Hasanuddin. Perkembangan ini didu- kung ketentuan GBHN 1988 tentang perlunya mendirikan Pusat Studi Wanita. Kajian Wanita Di Universitas Indonesia, pada tahun 1989 Prof. Dr. Sujudi, Rektor UI waktu itu, menggagas berdirinya studi wanita di tingkat pascasarjana dengan nama Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia (selanjutnya disebut Kajian Wanita). Satu keputusan yang menurut Ibu Sap sendiri tidak mengejutkan. Sejumlah dosen perempuan, yang telah lama merintis mata ajaran pilihan seperti Wanita dan Pembangunan di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan Psikologi Wanita di Fakultas Psikologi, menyambut hangat terobosan ini. Dukungan penuh juga diberikan pimpinan program pascasarjana, yakni direktur yang dijabat oleh Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat dan wakil direktur I yang dijabat oleh Prof. Dr. Farid Moeloek. “Gagasan berdirinya Program Kajian Wanita timbul ketika Program Studi Multidisiplin ingin ditumbuhkan. Kita membutuhkan program-program studi yang perlu dan langsung bisa dipakai atau digunakan di masyarakat. Bagi beberapa ilmuwan, pertumbuhan ilmu itu selalu dilihat dari akar, batang, atau cabangnya. Padahal, perkembangan pemikiran ilmu yang baru, mungkin saja tidak tumbuh dari satu akar, tapi dari beberapa dan tentu saja ini menunjukkan adanya kepentingan- kepentingan tertentu, baik itu kepentingan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat maupun kepentingan-kepentingan lainya,” demikian komentar Prof. Dr. Farid Moeloek dalam buku Perjalanan 15 Tahun Program Kajian Wanita (2005). Selain menjadi salah satu pengajar, Ibu Sap diserahi tampuk kepemimpinan selama sepuluh tahun pertama (November 1990 sampai Mei 2000). Ini bukanlah tanggung jawab yang mudah. Antusiasme tidak serta merta datang dari seluruh jajaran akademisi. Menurut Ibu Sap, Kajian Wanita dirongrong sikap para akademisi yang meragukan kejelasan pohon ilmu yang menjadi kiblat Kajian Wanita. Tapi, Prof. Dr. Iskandar Wahidiyat mengatakan bahwa salah besar harus ada pohon ilmu. “Kenapa harus cari yang ada pohon ilmu?” tanyanya, “Itu tidak benar. Sekarang ilmu jadi begitu berkembang, tidak perlu dari S1 yang sama. Bahwa untuk pascasarjana harus sarjana dulu, itu benar. S3 harus S2 dulu. Tapi, tak usah dari bidang ilmu yang sama. Pemikiran itu harus diubah.” Keraguan dan kendala hadir mengiringi perjalanan Kajian Wanita. Satu komentar datang dari seorang dosen senior perempuan, “Sap, jangan kamu jadikan mereka (mahasiswa) feminis,” demikian pesannya pada acara pembukaan resmi Kajian Wanita. Ibu Sap terkejut mendengar kalimat itu. Dalam sejarah perkembangannya, studi wanita di tingkat universitas di luar negeri berkembang dengan bertumpu pada konsep dan teori feminisme. Pesan tadi membuat Ibu Sap waktu itu bertanya-tanya, apa salahnya menjadi feminis? “Feminisme masih belum diterima seperti sekarang. Gerakan feminis masih dilihat sebagai “hantu”. Saya disadarkan, jangankan kata feminis, kata gender saja belum diterima,” ungkapnya. Kajian Wanita berdiri tanpa dibarengi kurikulum di tingkat sebelumnya, S1. Ini tantangan tersendiri bagi Ibu Sap. Ia dipaksa menghadapi mahasiswa-mahasiswa baru yang sebagian besar belum pernah mempelajari women’s studies secara formal sebelumnya. “Orang luar negeri yang dulu membantu saya menganggap saya punya ambisi yang terlalu gila karena background-nya tidak ada,” kenangnya. Ibu Sap menyadari, justru mengembangkan perspektif gender dalam diri mahasiswa itulah tantangan terbesarnya. Ia berinisiatif meluncurkan program baru yang dinamakan Latihan Sensitivitas Gender, diberikan kepada setiap mahasiswa angkatan baru selama lima hari. “Kalau dulu tidak ada seperti itu. Latihan ini terbukti membantu sekali dalam mengajar. Mereka lebih mudah menerima bahan ajar yang diberikan. Dulu kita tidak pernah memikirkan itu. Jadi, susah sekali, apalagi dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda. Ada sosiologi, antropologi, agama, pendidikan, dan lain-lain.” Akan tetapi, Ibu Sap optimis. Dan terbukti, meskipun mahasiswa-mahasiswa baru tersebut tidak pernah belajar women’s studies sebelumnya, mereka tetap dapat menyelesaikan pendidikan di Kajian Wanita selama empat semester dengan tesis- tesis yang bagus. Diakui oleh Ibu Sap pada masa awal berdirinya Kajian Wanita, para pengajar pun masih mencari sistem yang tepat untuk menyampaikan materi-materi women’s studies. Kesulitan inilah yang membuat Ibu Sap punya ide untuk membuat suatu program kerja sama (linkage program). Kajian Wanita bergandengan dengan Women’s Studies dari Memorial University Of Newfoundland, Kanada, mencoba meningkatkan profesionalitas dosen, staf administrasi, dan staf perpustakaan dalam program “Support to Women’s Studies Graduate Programme at the University of Indonesia”. Proyek yang dirancang dan dikembangkan selama dua tahun (1990—1992) itu keseluruhan dananya ditanggung Canada International Development Agency (CIDA). Dalam kurun empat tahun— setengah dimulai pada bulan September 1992 dan berakhir pada bulan April 1997— program tersebut mengadakan berbagai kegiatan, misalnya pengiriman dua staf junior Kajian Wanita ke Memorial University untuk studi tingkat S2 pada tahun 1993 dan 1994; pelatihan pengembangan profesionalitas di Kanada bagi sejumlah staf Kajian Wanita; juga penguatan pengembangan kurikulum, metode pengajaran, teori, dan metode penelitian melalui serangkaian workshop. Di samping itu, ada juga berbagai proyek penelitian yang dikerjakan. Dalam hubungan kerja sama tersebut banyak pengalaman berarti dan nyata yang didapat tentang, misalnya, kesetaraan, relasi setara, dan kerja sama nonhierarkis sejumlah prinsip yang menjadi landasan perspektif feminis. Selain membantu “engendering” atau “men-gender-kan” (meminjam istilah Ibu Sap) berbagai orang yang terlibat dalam Kajian Wanita, kerja sama ini juga “men-gender-kan” kurikulum Kajian Wanita. Perkembangan Pemikiran Selepas menduduki kepemimpinan Kajian Wanita, Ibu Sap tetap sibuk. Ia pernah memimpin Komnas Perempuan dan masih dilibatkan dalam proses kaderisasi. Ia juga mengajar di kepolisian untuk mata ajar Hak Asasi Perempuan yang menjadi bagian dari mata ajar Hak Asasi Manusia. Di luar kesibukan-kesibukan tersebut, Ibu Sap terlibat dalam riset bersama World Health Organization tentang hak reproduksi perempuan. Berdasarkan hasil risetnya, Ibu Sap mengungkapkan bahwa perempuan Indonesia, ditinjau dari sisi kesehatan, sangat terpuruk. Angka Kematian Ibu, yang dipergunakan sebagai indikator, sangat tinggi. Keadaan ini bukan baru saja terjadi, melainkan sudah 30 tahun terakhir ini. Padahal, kesehatan perempuan yang rendah itu berdampak juga pada anak-anak yang dilahirkan. Seharusnya menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi prioritas, usulnya; pendidikan untuk setiap anak perempuan juga. Dua hal tersebut penting agar perempuan dapat memainkan perannya dengan lebih baik. Mereka juga akan menambah lapangan kerja untuk perempuan yang sekarang sangat terbatas, baik pilihan maupun keamanannya. Tidak seharusnya, seperti yang terjadi selama ini, perempuan bekerja tanpa perlindungan, padahal itu adalah hak yang seharusnya ia dapatkan. Namun, Ibu Sap menolak untuk bersikap pesimis, “Meskipun cuma 1%, kita tidak bisa menghapus kemajuan yang sudah diraih oleh perempuan Indonesia. Kita pernah punya presiden perempuan, sekarang ada menteri-menteri perempuan, anggota DPR perempuan juga ada, meskipun kuantitasnya tidak mencapai kuota. Banyak juga perempuan-perempuan yang aktif di ruang publik memperjuangkan hak perempuan. Itu juga sesuatu yang harus diakui semua pihak.” Ibu Sap pun angkat bicara tentang perda-perda syariat yang membelit perempuan Indonesia, “Itulah konsekuensi dari otonomi daerah, pusat tidak mempunyai wewenang untuk meniadakkan atau mengiyakan. Mereka mempunyai kewenangan tersendiri. Masalahnya, memang begitu banyak perda mengatasnamakan agama, tapi yang disasar itu sebenarnya perempuan, itu yang merisaukan. Misalnya, perda Tangerang yang tidak membolehkan perempuan ada di jalanan setelah jam sembilan malam, itu, kan, dibuat atas nama agama. Padahal, sesungguhnya, untuk meminggirkan seksualitas perempuan.” Begitu juga dengan RUU Pornografi. Masyarakat kita, menurut Ibu Sap, dikacaukan oleh pengertian pornografi dan RUU pornografi. Mereka tidak dapat membedakan dua hal tersebut. Ibu Sap yakin setiap perempuan setuju pornografi itu harus dihapuskan karena pornografi itu memojokkan dan melecehkan perempuan. Akan tetapi, dengan adanya RUU tersebut perempuan malah makin dipojokkan dan dilecehkan. Usia boleh saja senja, namun Ibu Sap terus meremajakan pemikiran-pemikiran dan intelektualitasnya. Ia selalu mengikuti perkembangan (dan kemunduran) hidup perempuan di Indonesia serta tetap aktif dalam beragam organisasi, diskusi, dan penelitian. Semua ini demi kesetaraan dan kemajuan perempuan Indonesia. (Henny Irawati) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2006 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 48, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Diambil dari “Studi Wanita: Pengembangan dan Tantangannya” dalam Stri, Jurnal Studi Wanita Vol. 1 No. 1, Januari 2002. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |