ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Latifah Iskandar: Perlu Komitmen yang Kuat dari Penegak Hukum

18/7/2016

 
Picture
Latifah Iskandar, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dipercaya memimpin tim perumus, tim sinkronisasi, tim lobi, dan sejumlah tim kecil lainnya yang tergabung dalam Tim Pansus RUU PTPPO pada tahun 2006. Bersama pemerintah yang diwakili oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Hukum dan HAM, mereka merampungkan pembahasan yang dijanjikan selesai paling lambat Desember 2006. Masyarakat waktu itu gelisah menantikan undang- undang yang sudah lama ditunggu-tunggu ini. Apa jawaban Latifah? Apakah RUU usul inisiatif DPR itu nantinya hanya akan menjadi “macan kertas” atau memang benar-benar sudah sebagaimana yang diharapkan masyarakat? Berikut wawancara jurnalis Jurnal Perempuan, Henny Irawati.
 
JP : Sudah sejauh mana perkembangan RUU PTPPO?
Latifah Iskandar (LI): Bulan Juli kemarin draf terakhir sudah kita kirim. Pada tanggal 14 Agustus 2006, presiden sudah menjawab dan menerbitkan surat yang menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Menteri Hukum dan HAM untuk bersama DPR membicarakan RUU itu. Dan, 7 September 2006 rapat internal Pansus akan memutuskan mekanisme pembahasan bersama pemerintah. Di situ akan disebutkan jenis-jenis rapat, bagaimana pengambilan keputusannya, siapa yang berhak membahas, apakah menteri atau wakilnya. Semua itu nanti akan dibahas di rapat pleno yang akan saya pimpin. Dan, menurut informasi yang saya terima dari KPP, pemerintah juga sedang menyiapkan DIM (Daftar Isian Masalah—red.) yang insya Allah akhir September akan selesai dan DIM itu akan disampaikan ke DPR untuk dibahas bersama-sama di (rapat) paripurna.

JP : Mengapa butuh rentang waktu yang cukup lama dalam menyelesaikan pembahasan RUU ini?
LI: RUU ini termasuk cepat. Kalau saya boleh sombong atau bangga sedikit, sejak Januari dibahas, selama 7 bulan itu sudah selesai di Pansus. Sekarang sedang menuju presiden. Bandingkan dengan RUU yang lain. Alhamdullilah, ada mekanisme yang membuat waktu itu jadi relatif. Konkretnya, di DPR itu cuma dua hari saja untuk melakukan rapat Pansus, selebihnya ada rapat komisi, rapat paripurna. Dalam pembahasan, panjang-pendek, efisiensi, dan leadership itu sangat berpengaruh untuk membuat kinerja Pansus menjadi optimal. Kalau dikatakan lama, itu dululah (versi usulan pemerintah). Saya tidak bicara itu. Saya bicara yang dikerjakan Pansus periode ini. Dan, Alhamdullilah, dibandingkan dengan RUU APP yang belum apa-apa.
 
JP : Hambatan-hambatan apa yang ditemui tim Pansus selama pembahasan?
LI: Kalau hambatan itu, mungkin pada bagaimana menyinkronkan dengan produk- produk perundang-undangan yang lain. Itu masalah yang cukup besar. Pada pembahasan kemarin, kita juga menghadirkan pakar-pakar hukum yang lain supaya UU kita ini implementasinya tidak mengalami kendala yang berarti. Kaitannya dengan kekhawatiran banyak pakar hukum, bahwa KUHP yang menjadi acuan pertama UU ini nanti akan kehilangan kekuatan hukumnya. Tetapi, saya melihat bahwa kendala utama produk ini adalah bisa sinkron tidak dia dengan perundang-undangan yang lain. Jadi, pembahasan yang agak lama itu pada bagaimana pakar-pakar itu memberikan masukan pada Pansus untuk bisa melahirkan UU yang tidak tiba-tiba lahir, tiba-tiba masuk mahkamah konstitusi.

JP : Belum adanya UU untuk menjerat pelaku trafficking membuat aparat kesulitan menegakkan hukum, bagaimana menurut Ibu?
LI: Ya, memang benar. Meskipun kalau untuk anak-anak sudah ada UU Perlindungan Anak, itu juga masih kurang. Efek jeranya masih kurang. Setiap hari di media ada siaran tentang pelaku trafficking yang dipegang polisi, tetapi belum tahu hukumannya bagaimana karena masih di tingkat kepolisian. Di tingkat kehakiman dan kejaksaan, kita juga belum tahu bagaimana. Datanya masih sangat sedikit. Hasil kunjungan kerja kami ke propinsi-propinsi dan kabupaten, kota, banyak penegak hukum yang belum bisa menangani kasus- kasus trafficking ini. Ya, memang belum ada UU-nya. Mudah-mudahan UU ini dapat terimplementasikan dengan baik, tentunya penegak hukumnya harus punya komitmen.

JP : Lantas mengapa DPR baru mengusulkan RUU PTPPO ini sekarang?
LI: Jadi begini, membuat UU itu bisa dari pemerintah atau dari DPR. Kita melihat UU dari DPR itu relatif lebih cepat dibanding UU dari pemerintah. Kenyataannya memang demikian. Dulu, waktu zaman Megawati, UU ini sudah pernah diajukan. Tetapi, sampai Megawati selesai masa jabatannya, UU itu belum selesai. Dan, UU itu tidak bisa dilanjutkan, harus dibahas mulai dari awal lagi. Pada saat kita rapat dengar pendapat dengan KPP, menginvetarisasi, DPR juga menginventarisasi, Komisi VIII juga menginventarisasi, UU mana yang sangat dibutuhkan. Nah, kita lihat UU PTPPO ini. Waktu rapat dengan menteri, kita sepakati strateginya menjadi RUU usul inisiatif DPR. Jadi, betul- betul ini strategi yang dipilih untuk mempercepat UU yang sangat ditunggu.

Kalau ukurannya lama dibahas, sejak dulu sampai sekarang, iya. Kalau hasil pembahasannya mau dinilai, sudah cukup, kok, ini. September ada DIM dari pemerintah. Mekanismenya sudah disepakati. Kita punya waktu sebagian September. Oktober kita reses, tidak boleh menggelar rapat. Bulan November, kalau tidak ada kontroversi, tinggal mengatur beberapa hal yang terkait, misalnya bagaimana agar pasal-pasal tersebut implementasinya mudah, bagaimana tanggung jawab pemerintah. Nanti UU-nya sudah  ditetapkan, tapi karena tidak jelas, tidak bisa diimplementasikan. Sebagai ketua Pansus, saya optimis. Tentunya dari semua sisi juga diharapkan bantuannya untuk mengomunikasikan hasil ini.

JP : Bagaimana dengan efek jeranya? Apa Ibu yakin bahwa itu sudah cukup memberatkan pelaku?
LI: Harus yakin. Kita membuat UU ini untuk menindak pelaku trafficking yang kita tahu semakin hari semakin meningkat. Dan, itu akan sukses di tangan penegak hukum yang punya komitmen tinggi. Saya tidak bisa menjamin. Tetapi, saya harus optimis karena produk ini harus diimplementasikan. Kepolisian itu meminta kepada saya, “Tolong, dong, cepat, kita butuh sekali UU ini karena (sekarang kita) ingin menangkap dengan hukum apa?” Di KUHP hanya disebutkan perdagangan. Perdagangan apa? Diterjemahkan seperti apa? Perdagangan manusia sekarang ini sangat canggih, modusnya juga bermacam- macam. Saya tidak bisa menjamin, tapi saya yakin UU ini sudah dibahas secara optimal dan harus dipegang penegak hukum yang baik.
JP : Kapan targetnya?
LI: Paling lama Desember. Mudah-mudahan Novembersudah bisadisempurnakan. (Henny Irawati)
 
Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2006
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 49, 2006  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 

Cucu Saidah: Percikkan Semangat Diri bagi Sesama

12/7/2016

 
Picture
Pada 30 November 2008, Cucu Saidah yang saat itu aktif di Handicap Surakarta dengan Faisal Rusdi, pelukis yang menggunakan mulut, menikah. Meski tanpa kehadiran orang tua dan keluarga besarnya, Cucu tetap bahagia. Gores kebahagiaan mereka, ia tunjukkan kepada Jurnal Perempuan yang menyambangi kediamannya tepat di Hari Raya Idul Adha akhir November 2009  yang  lalu. Foto pernikahan, film dokumenter tentang aktivitas mereka, turut menggenapi kekosongan ruang itu.
​
Pada tahun 1998, Cucu Saidah yang baru menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Persada Indonesia, Bandung melakukan sesuatu yang berani. Ia berupaya menularkan apa yang telah dipelajarinya dengan menjadi guru honorer di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC). Tekadnya untuk berbagi dan meningkatkan kesadaran kepada sesama difabel tak surut oleh honor yang hanya sebesar Rp80.000 per bulan kala itu. Genap empat tahun ia mengabdikan ilmunya, Cucu mendapat kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan difabel se-Asia Pasifik di Jepang. “Di pelatihan itu kita diperkenalkan dengan sistemnya, perjuangan, dan pergerakan mereka hingga bisa mendapat layanandari pemerintah. Kalau di Indonesia, jangan dibandingkan lah.”

Ketika Cucu memulai pelatihan di negeri Sakura, banyak hal menjadi proses titik balik baginya. Aktivitas selama sepuluh hari menginap di Centre Independent Living (serupa LSM di Jepang-red) menjadi arena menempa mental dan kesadaran dirinya. “Ada satu staf di sana yang cacatnya lebih parah dari Faisal (suami Cucu). Ia Cerebral Palsy (gangguan pada otak kecil yang mengakibatkan gangguan motorik dari leher ke bawah) berat. Bicara pun ndak jelas, makan dengan nasi tim dan disuapi. Padahal, usianya sudah 40 tahunan,” kata Cucu. Walhasil, setiap hari Cucu harus makan bersama dengan peserta lain termasuk staf itu. Meja bundar menjadi salah satu media interaksi dan komunikasi dalam pelatihan tersebut. “Jadi, kemana-mana pasti ketemu muka. Makananku selalu tak habis. Dan kalau ditanya aku selalu bilang ndak lapar.”
Sambil memotong semangka sebagai suguhan, Cucu kembali menuturkan pengalamannya selama pelatihan di Jepang. “Satu dua hari hilang nafsu makanku dan guruku (dengan pendekatan peer conseling) mendekatiku. Dia membaca kalau aku ndak biasa dan belum terbiasa dengan meja bundar itu,” kata Cucu.

Yayasan Talenta Surakarta menggunakan metode pemahaman karakter diri dengan menggambar orang. Beberapa psikolog melakukan tes dengan gambar THP (Tree, Home, People) untuk mengetahui karakter seseorang. Sementara itu, sebuah Center Independent Living di Jepang menggunakan meja bundar sebagai alat bantu untuk mengenali tingkat hegemoni kenormalan seseorang.

Selama berjam-jam Cucu berbincang dengan salah seorang peer conseling   di sana. Pertanyaan mendalam tentang pemahaman diri, seperti apa hakikat kita menjadi manusia, kenapa kita dilahirkan, apa hakikat kita sebagai makhluk sosial, hingga bagaimana seandainya kalau kita yang duduk di kursi roda itu, menyesaki rongga kesadaran Cucu. “Jadi, lama-lama aku mikir, iya, ya, bagaimana pun kita, warna apa pun, kita manusia, sama.”
Hari berikutnya sudah bisa ditebak, Cucu mulai menyapa dan bertatap muka dengan staf tersebut. Cucu pun mulai menikmati hidangan yang disuguhkan di pelatihan itu. “Meski semeja sama dia, tapi aku ndak melihat ke arah dia.” Esoknya, ia mulai menyapa staf itu, “Konichiwa.” Ia menyambut dengan bahagia (konichiwa). “Di situ, saya kembali berpikir, bagaimana pun kita bersaudara,” kata Cucu.

Beragam kegiatan Cucu ikuti di sana, termasuk pembangunan karakter diri melalui peer conseling. “Bagaimana kita bertindak sebagai pemimpin, bukan pemimpin sebuah lembaga, organisasi atau institusi, tapi bagaimana kita bisa memimpin diri kita sendiri,” ungkap Cucu. “Seorang pemimpin yang baik itu seperti apa? Yang paling penting, punya hati,” jelasnya. Cucu menjelaskan bahwa hakikat manusia harus bisa membawa diri sendiri lebih dulu untuk menjadi seperti apa. Sebaliknya jika manusia menjadi sosok yang palsu, maka ia tak akan pernah bisa menemukan dirinya. “Artinya, kalau hanya palsu, tapi diri kita sendiri tidak tahu mau dibawa kemana, ya, tidak bisa jadi diri sendiri.”
Pada tahun 2003 ketika Cucu kembali ke Indonesia, rasa kaget menyergapnya. “Di sana dengan bebasnya aku bisa ke mana-mana dengan kursi roda elektrik. Aku bisa kemana pun, mulai dari ke penginapan sampai naik kereta, aku bebas. Sampai di sini aku terbentur lagi dengan pelayanan publik yang ada,” kata Cucu.

Rendahnya akses publik di Indonesia tak mematahkan semangat Cucu untuk bergerak dan berbagi konsep dengan sesamanya.  Segala  yang  Cucu  peroleh dari perjalanannya ke negeri Sakura tak sia-sia. Ia pun menjadi leader di antara sesama teman difabel di Bandung, tempat ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa melalui diskusi demi diskusi. Ia memulai berbincang dengan sesama difabel semasa di SLB (Sekolah Luar Biasa) hingga membentuk barisan volunter bersama beberapa mahasiswa di Bandung. “Mulailah aku berbagi tentang konsep independent living itu seperti apa, lewat peer conseling dan peer support.” Hingga pada tahun 2005, Cucu, Faisal Rusli, dan beberapa difabel lain membentuk komunitas bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre).

Keduanya tak keberatan ketika Jurnal Perempuan mengutarakan maksud hendak berbincang tentang mereka berdua. Di sela perbincangan, sesekali tampak Cucu memandangi Faisal suaminya yang tengah serius menyimak perbincangan kami. Mereka pasangan difabel yang sungguh mandiri. Mereka berteman sejak di  SLB. Cucu di SLB D dan Faisal di SLB D1. Kepada Jurnal Perempuan Cucu menjelaskan, SLB D diperuntukkan bagi mereka yang dikatakan tidak mengalami gangguan intelektual, tetapi hanya fisik, misalnya polio. Perlakuan guru juga hampir sama seperti di sekolah biasa. Sementara, SLB D1 justru yang lebih banyak mendapatkan diskriminasi. “Kalau yang D1 seperti suami saya, sering mendapatkan diskriminasi. Karena secara fisik ndak berfungsi, maka dianggapnya intelektual juga tergangggu, padahal tidak,” ungkap Cucu.

Cucu memang tak mendapatkan diskriminasi langsung selama di SLB. Namun, itu tidak mengurung sensitivitasnya menyaksikan diskriminasi yang dialami teman-temannya, hal yang makin jelas ia lihat saat bergabung mengajar  di  YPAC. “Perlakuan guru-guru di SLB banyak yang tidak manusiawi. Anak-anaknya lebih banyak digoblok-goblokin. Dianggapnya mereka mempunyai gangguan intelektual sehingga perlakuannya tidak disesuaikan dengan usianya. Misalnya, usia sebenarnya 15 tahun tapi masih diperlakukan kayak anak-anak usia 5 tahun. Ketika menjadi honorer di YPAC, aku lebih banyak dekat dengan remaja (SMP— SMA) karena pendekatanku lebih banyak pendekatan teman daripada guru dan murid. Dan, aku menyaksikan teman-teman diperlakukan seperti anak kecil. Itu yang membuat aku miris.”
“Aku cacat dari lahir,” kata Cucu. Meski mitos seputar kelahirannya menjadi gunjingan tetangga, Cucu bersyukur karena orang tuanya bukan orang yang percaya akan hal itu. “Kakakku sering cerita kalau kelahiranku sempat jadi cemoohan. Bahkan, dari saudara dekat juga sempat mencemooh. ‘Mungkin karena bapaknya terlalu galak,’ terus anak cacat mau jadi apa?”

Ketika Cucu menuturkan kisahnya, ia tampak terharu. Ia ungkapkan perasaan bangga kepada orang tuanya yang tidak menyembunyikan kehadirannya. “Justru mereka mencoba agar anaknya yang bungsu ini harus seperti orang lain, seperti kakak-kakakku yang lain. Mereka berpikir bahwa anak-anaknya harus sekolah. Karena orang tua ndak bisa membekali anak-anaknya dengan materi, tapi ilmu.” Kendati begitu, Cucu sadar benar jika orang tua dan keluarga pasti mengalami proses untuk berbesar hati menerima kehadirannya di tengah keluarganya.

Sungguh beruntung Cucu terlahir dari orang tua yang sangat mengasihinya.  Ia mengenyam pendidikan dasarnya di SLB di Bandung sejak SD umum di Garut (tempat kelahirannya) enggan menerima Cucu. Usianya baru lima tahun saat orang tuanya meminta Cucu tinggal bersama kakaknya yang tengah merampungkan kuliah di Bandung. Seminggu sekali orang tuanya berkunjung.  “Sedih  juga  kalau mengingat itu. Negatifnya, aku dijauhkan dari orang tua saat usia kanak. Positifnya, aku menjadi orang, menjadi diriku sendiri. Kebayang kalau orang tuaku menyembunyikanku. Mungkin aku akan ngesot-ngesot di rumah.” Tak jauh berbeda dengan orang lain, Cucu pun berhasil menuntaskan pendidikannya hingga S1, jenjang pendidikan yang masih sangat jarang di daerah asalnya, Garut. Kini ia pun bisa menunjukkan bahwa dirinya juga bekerja layaknya orang “normal.” Suatu hari, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Faisal Rusdi, orang tua dan keluarganya menolak keputusannya; menolak Cucu menikah dengan Faisal yang kondisinya lebih “berat” dari Cucu. Bagi Cucu, hal ini mungkin membangkitkan luka lama orang tuanya. Luka lama bagaimana keluarga dan orang tua dicemooh tetangga dan saudara. Luka lama tentang bagaimana orang tuanya berjuang menerima kehadiran Cucu di tengah keluarga. Berkat perjuangan, kesabaran, dan ketekunan keduanya meyakinkan orang tua, kini orang tua menerima apa pun pilihan dan keputusan Cucu.

Tak  banyak  difabel—apalagi  perempuan   difabel—yang   seberuntung  Cucu; mendapat kesempatan pendidikan hingga memperoleh ruang untuk mengaktualisasikan diri melalui pekerjaan. “Secara umum, perempuan difabel akan menerima perlakuan diskriminasi ganda. Kalau secara personal, di zaman sekolah di SLB, mungkin aku juga pernah mengalami, tapi karena aku masih kecil jadi belum menyadari.” Ia mengatakan, dalam rumah tangga pun, suaminya begitu menghormati. Kedudukan mereka setara. “Memang suamiku difabel, tapi dalam kehidupan, menuangkan cinta, mengambil keputusan, dan sebagainya, kita selalu berkomunikasi. Justru suamiku lebih bisa memahami aku.”
Meski demikian, pengalaman tidak menyenangkan bukannya tak ada. Waktu SMA ketika Cucu hendak naik ke angkutan umum, ia dianggap tidak bisa naik sendiri. “Terus aku dipegang bagian belakangnya. Aku bilang, eh, jangan pegang- pegang. Dia bilang, kan, mau nolong. Ya, tapi tanya dulu, dong, jawabku,” begitu cerita Cucu.

Berbincang tentang fasilitas publik yang ada di negeri ini seperti menegakkan benang basah. Fakta tersebut menjadikan Cucu enggan menggunakan kursi roda, apalagi sejak kecil Cucu merasa lebih nyaman menggunakan kruk dibanding kursi roda, hanya pada saat-saat tertentu ia menggunakan kursi roda. “Semua pelayanan publik memang bermasalah. Misalnya, orang yang mau menolong, tidak tahu gimana cara menolongnya. Jadi, aku suka gereget melihatnya. Harusnya, mereka tanya dulu bagaimana kenyamanan si difabelnya.” Pengalaman lain yang Cucu alami adalah menghadapi layanan di bandara. Ia menjelaskan bahwa kebijakan bandara kini justru makin memarginalkan difabel. Begitu juga perempuan hamil dan orang sakit, harus lebih dulu menyerahkan surat keterangan dokter. Khusus penumpang domestik yang memerlukan asistensi, mereka  (pihak  bandara-red)  menetapkan  bahwa  asistensi  disepakati dalam selembar kertas bermaterai Rp6000 yang harus ditandatangani oleh penumpang. Kertas tersebut menyatakan bahwa penumpang itu sakit dan maskapai tidak bertanggung jawab jika terjadi apa-apa. “Jadi, dianggapnya kita ini penghambat. Misalnya terjadi apa-apa, kita bukan orang yang pertama ditolong.” Atas daya kritis Cucu terhadap kebijakan bandara, sering kali ia harus terbentur dengan persoalan tersebut ketika hendak melakukan perjalanan. Bahkan, akibat soal surat asistensi itu, ia pernah membuat Garuda menunda penerbangannya selama satu jam.

Pada tahun 2007, Cucu dan lima orang temannya dari tim IDPs Norwegia hendak ke Yogyakarta. Ia satu-satunya difabel dalam rombongan tersebut. Karena ia enggan menandatangani surat asistensi, pihak Garuda mendatangkan  pilot dan sekretaris general manager Garuda. Atas dalih kebijakan, pihak Garuda tetap tak mengizinkan Cucu untuk terbang. Walhasil, datanglah seorang penumpang yang juga terlambat. “Kalau enggak salah, dia dari Komnas HAM atau staf dari kepresidenan, saya lupa. Dia bilang, ‘Anda bayangkan kalau ini terjadi pada ibu Anda. Ibu Anda harus melakukan perjalanan dan tidak diperbolehkan.’ Pihak Garuda tetap ngeyel, ini peraturan. Dan, bapak itu berkata, ‘Kalau ibu ini tetap tidak diperbolehkan, saya akan lapor presiden saat ini juga.’ Akhirnya, kita bisa melenggang melewati orang-orang yang sudah duduk enak di kelas bisnis.”

“Di hampir seluruh bandara di Indonesia, kecuali Solo dan Yogyakarta. Lagi-lagi karena masalah surat, sampai aku dibilang orang gila oleh staf Adam Air waktu itu. Jadi, saya pikir, kebijakan bandara itu (surat asistensi-red) berlaku untuk semua. Tapi, banyak difabel yang belum menyadari. Jadi, ketika disodorkan kertas mereka tanda tangan saja.”
Masih berkaitan dengan kebijakan bandara, Cucu juga pernah protes karena saat ia dan dua temannya dari Jepang serta tiga volunter sebagai pendamping tiba di bandara Surabaya, pihak bandara malah mendatangkan ambulans di luar pesawat, bukannya kursi roda.

Cucu bercerita, “Berbicara fasilitas publik, sangat menyedihkan. Waktu ngurus pembuatan SIM, dipanggil nama, Cucu Saidah, polisinya malah ngelihatin dari atas ke bawah.
‘Ibu mau bikin SIM?’
‘Ya, iya, Pak, masa mau minta sumbangan.’ ‘Oh… SIM apa, Bu? Ibu bisa nyetir?’
‘Ya, lagi belajar, Pak.’ ‘Mobilnya ada?’
‘Pak, kalau saya ndak punya mobil, tentu saya ndak bikin SIM.’”
Sejak Cucu memutuskan untuk pindah dan menetap di Solo, pengalaman tak lantas selesai. Meski konon Solo kerap dianggap sebagai kota yang ramah bagi difabel, nyatanya Cucu sering kali dianggap sebagai penghuni RC (Rumah Cacat, nama lain dari BBRSBD-Balai Besar Rehabilitasi Sosiali Bina Daksa). “Ceritanya kita belanja ke mal, lalu ketemu seorang ibu dan bertanya,‘Dari RC, ya?’
‘Enggak, saya dari Bandung.’
‘Baru masuk ke RC? Sekolah atau kerja?’ ‘Enggak, saya kerja.’
‘Kerja di mana, di RC?’
‘Eggak, saya di Helen Keller International.’
‘Oh, kenapa ndak kerja di RC aja. Suami saya juga kerja di sana. Bagus di sana.’ ‘Ndak, terima kasih, saya ndak berminat.’
‘Kenapa? Kan, di sana juga ada asrama.’ ‘Ndak, Bu, saya sudah punya pekerjaan.’ ‘Kan, orang cacat di sana semua.’
‘Enggak, Bu, terima kasih. Saya manajer program di Helen Keller Internasional.
Silakan Ibu datang ke kantor saya.’”

Bahkan, ketika jurnalis Jurnal Perempuan menemani Cucu belanja ke sebuah mini market dalam sebuah perjalanan ke Yogya, kasir malah seolah-olah melayani jurnalis ini, padahal jelas-jelas Cucu yang mengeluarkan uang untuk pembayaran. “Perlakuan manusiawi dan kembali kepada diri masing-masing,” harap Cucu.
Bagi Cucu, PR terbesarnya adalah membuat teman-teman sesama difabel bangga atas dirinya sendiri. “Bagaimana kita bisa menerima diri kita sendiri,” kata Cucu. Ia juga percaya bahwa kebutuhan bagi difabel maupun nondifabel adalah sama, menginginkan hidup yang layak dan berkecukupan, baik dari sisi ekonomi maupun profesional, untuk dirinya sendiri maupun keluarga.

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2010
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 65, 2010  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 


Nur Aziza: Pelajaran Melawan Ketidakadilan

27/6/2016

 
Picture
Laki-laki itu mengendap masuk ke arah sebuah kamar di lokalisasi Kramat Tunggak. Terbayang olehnya gairah dan kenikmatan seksual yang kembali akan disalurkannya di sebuah bilik di antara ratusan bahkan ribuan bilik wilayah bisnis seks terbesar di Jakarta ketika itu. Jantungnya berdegup kencang setelah “Mami” dan beberapa pekerja seks lainnya memberi tahu bahwa yang akan ia ajak adalah “anak baru” yang barusan datang dari kampung. Perlahan ia mengetuk pintu. “Silakan masuk,” demikian jawaban dari dalam kamar.

Kamar itu gelap dan menebarkan wangi “khas” bisnis ini. Wangi yang tajam dan terkadang berlebihan untuk ukuran deodoran atau pengharum lainnya. Hidung laki-laki ini sudah sangat akrab dengan segala jenis wewangian di daerah tersebut. Baginya, mungkin juga bagi hidung laki-laki pelanggan lainnya, wangi-wangian ini semakin mendongkrak gairah mereka untuk bercinta. Tiba-tiba saja, hidungnya tidak mencium wewangian itu. Ia kini mencium bau darah, darahnya sendiri. Hidungnya kini benar-benar belang oleh darah yang keluar dan ia usap sendiri. Belum usai kekagetannya, sekonyong-konyong… bak-buk-bak-buk, pukulan itu kini bertubi-tubi menghantam kepalanya, matanya, perutnya, kemaluannya, hingga ia ambruk tersudut. Lampu kamar menyala. Ia temukan dirinya tersungkur di kaki istrinya yang sudah beberapa bulan ia tinggalkan. Sang istri berdiri kokoh sehabis melampiaskan dendamnya “Sebuah pelajaran bagi pengkhianat!” gumamnya lirih.

Cerita di atas bukanlah karangan, tapi sebuah kenyataan yang terjadi di tahun 1998 silam. Dituturkan langsung oleh Nur Aziza, sang istri. Ia kesal karena suaminya menghilang begitu saja meninggalkan beban kehidupan di pundaknya. Baginya, pelampiasan kekesalan itu adalah sebuah pelajaran yang harus ia berikan bagi sebuah bentuk ketidakadilan. Dari kejadian itu, ia mendapat pelajaran pertama yang berharga untuk melawan ketidakadilan; mengorganisasi diri dan berkoalisi dengan mereka yang simpati.

Nur Aziza sengaja mengatur jebakan itu. Ia korek semua keterangan tentang suaminya, semuanya, secara rinci tanpa ada yang kelewatan. Jam berapa ia datang, kepada siapa ia biasanya minta dibawakan perempuan,  kamar mana yang suka  ia tempati untuk berkencan, dan lain-lain. Nur Aziza pun menceritakan semua pengalaman sakit hatinya. Ia lantas bekerja sama dengan beberapa PSK (Pekerja Seks Komersial) dan Mami yang bersimpati padanya. Mereka membantu hingga Nur Aziza bisa benar-benar memberi pelajaran pada suaminya itu.

Dendam itu ternyata belum padam. Nur Aziza mengorbankan dirinya menjadi seorang PSK hanya untuk membuktikan bahwa dirinya juga mampu merebut hati laki-laki lain. Selama kurang lebih enam bulan ia jalani pekerjaan itu, tentu saja dengan sangat berat. Tak ada yang ia beri tahu, bahkan keluarganya sekali   pun. Pengalaman buruk ini ia pendam hingga saat ini. “Tak apa-apa, Mas, nanti saya akan jelaskan kepada keluarga. Saya sekarang sudah siap,” katanya saat ditanya jurnalis Jurnal Perempuan kalau akhirnya keluarga mengetahui hal ini.

Bergantian ia layani laki-laki. Ada perasaan gamang yang luar biasa. Di satu sisi, ia berhasil membuktikan bahwa dirinya mampu melakukan seperti yang dilakukan perempuan lain. Namun, di sisi lain, ia sebenarnya sangat tidak rela jika tubuh yang ia miliki harus ditukar dengan beberapa lembar uang.
 
Bangkitnya Kesadaran
“Saya tidak bisa menggambarkan apa yang saya pikirkan ketika saya harus tidur dengan laki-laki yang berbeda. Meskipun saya sangat selektif dalam memilih konsumen, saya hanya melayani tiga pelanggan tetap, tapi tetap saja ada perasaan tidak rela setiap kali saya harus berhubungan. Sangat berat rasanya. Saya berpikir ini tidak bisa diteruskan,” tuturnya.
Awalnya adalah ketika ia dan beberapa teman seprofesi diberi penyuluhan oleh Yayasan Kesuma Bangsa mengenai bahaya AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Apalagi ketika itu, AIDS sudah mulai datang dan menjangkiti beberapa orang di Indonesia. Pada akhir tahun 1998 itu pula ia mengambil keputusan untuk segera berhenti dari profesi yang telah selama enam bulan ia kerjakan. Penyakit yang mematikan itu menjadi semacam blessing in disguise. Ini bencana, tapi juga membuat Nur Aziza tersadar bahwa risiko penyakit yang salah satu penyebarannya melalui hubungan seks ini bisa mengenai siapa saja, termasuk dirinya. Apalagi dengan profesi sebagai PSK, ancaman itu sangatlah terbuka. Di luar ketakutan itu, ia juga mulai memahami bahwa keinginannya untuk membalas dendam atas sakit hatinya mungkin malah berbalik membahayakan dirinya. Pelajaran kedua ia peroleh dalam melawan ketidakadilan adalah kekuatan untuk menahan diri.

Ia kemudian bekerja untuk Yayasan Kesuma Bangsa. Berkeliling keluar masuk lokalisasi untuk membagi pengalaman dan pengetahuan tentang pentingnya perlindungan kesehatan reproduksi bagi pekerja seks. Dengan gaji hanya Rp15.000 per minggu, ia bertahan. Godaan untuk aktif lagi sebagai pekerja seks kadang timbul bila mengingat jauhnya perbedaan penghasilan antara menjadi pekerja seks dan menjadi sukarelawan semacam yang ia lakukan di Yayasan Kesuma Bangsa. Dalam diri Nur Aziza ada perkelahian antara kebutuhan hidup dan idealisme. Peperangan itu dimenangkan oleh keinginan besar Nur Aziza untuk memberikan pencerahan pada rekan seprofesinya.

Titik balik ini adalah sejarah bagi kehidupan Nur Aziza. “Saya terus mengenangnya.”  Saya akan ceritakan bagian kehidupan saya yang satu ini   pada siapa pun, bahwa sesungguhnya kita bisa berubah. Dari seorang yang hampir tanpa harapan, terhempas, tertindas, bahkan terjual, kini menjadi seorang yang bisa berguna bagi diri sendiri dan orang lain. “Menjadi seseorang yang bisa membagi pengalaman hidupnya buat pelajaran,” katanya ketika diwawancara beberapa waktu lalu di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.

Masyarakat sekitar tentu saja tidak langsung mempercayainya. Menurut Nur Aziza, PSK baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun labelnya tetap sama, yaitu najis dan tidak bisa dipercaya. “Pernah suatu ketika saya masak makanan agak banyak. Makanan itu saya bagi-bagikan pada tetangga. Mudah-mudahan itu akan menjadi silaturahmi, pikir saya. Tapi, saya sangat sedih ketika keesokan harinya saya melihat makanan yang dibagikan sudah ada di tong-tong sampah dalam keadaan tidak tersentuh,” ujarnya.

“Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa sebenarnya tak seorang perempuan pun bercita-cita sebagai pekerja seksyang menjual tubuhnya untuk uang. Semuanya semata-mata keterpaksaan. Memang banyak hal yang jadi penyebabnya, tapi tidak ada yang benar-benar menginginkan pekerjaan ini,” tambahnya. Akan tetapi, tekadnya tidak surut, langkah sudah ditetapkan dan jalan sudah dipilih. Ia bersama dengan Ana Sulikah (kini  Direktur Bandungwangi),  Titin, dan beberapa teman yang sudah dibekali pengetahuan oleh Yayasan Kesuma Bangsa, membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Bandungwangi. Di dalamnya adalah mereka yang masih aktif maupun sudah pensiun sebagai pekerja seks. Misinya adalah memberikan pengetahuan tentang perlindungan kesehatan reproduksi bagi para pekerja seks. Tentu saja awalnya sangat berat. Lagi-lagi, masalah kepercayaan. Apa yang bisa dilakukan oleh PSK-PSK yang berpendidikan rata-rata rendah ini untuk meyakinkan orang agar percaya pada misinya?

“Mereka (para PSK) sering balik bertanya, ‘Kamu sendiri PSK, kok, malah ngasih penyuluhan pada kita?’” katanya menirukan sebagian suara miring yang dialamatkan padanya. Tapi, di sisi lain, statusnya sebagai mantan PSK juga mempermudah ia dan kawan-kawannya di Bandungwangi untuk melakukan pendekatan. Bandungwangi bisa memberikan pengetahuan tanpa menggurui. Mereka belajar bersama, mengeluarkan segala keresahan, dan mencari pemecahan masalah secara bersama- sama. Bila suatu saat kita berkunjung ke Bandungwangi di daerah  Pisangan Lama, Jatinegara, Jakarta Timur, kita akan menjumpai beberapa PSK yang sedang mengerjakan “tugas kelompok” mendata teman-temanya di lapangan. Ada juga yang mengurus tabungan atau simpanan yang suatu saat dimanfaatkan para PSK dampingan, kapan pun mereka membutuhkannya. Mereka sangat dekat satu sama lain hampir tak berjarak.
Bandungwangi, organisasiyang ia turut membangunnya, kini menjadi organisasi yang dikenal gigih melawan perdagangan perempuan dan anak. Beberapa organisasi pemberi dana dari luar negeri, seperti ICMC (International Chatolic for Migration Commision) dan Save the Children turut menyokong kegiatan Bandungwangi.
 
Keresahannya Kini
Ia bukan lagi sekadar mantan PSK, Nur Aziza yang dilahirkan di Jember, 9 September 1973 itu kini adalah seorang manajer program Bandungwangi sekaligus salah seorang anggota Presidium Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (KPI). Ibu dari dua anak laki-laki ini juga pegiat yang peduli pada masalah hak-hak perempuan dan anak yang dipekerjakan untuk bisnis seks. Ia diundang ke seminar-seminar, menjadi pembicara, atau menjadi fasilitator dalam berbagai lokakarya dan pelatihan, bukan hanya di tanah air, melainkan juga di luar negeri. Karena tugasnya itu, ia sudah pergi ke India, Malaysia, dan Singapura untuk mengikuti pertemuan-pertemuan internasional tentang perdagangan perempuan dan anak untuk kepentingan bisnis seks komersial.

Kepedulian Nur Azizah kini telah berkembang. Ia bukan hanya peduli untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan para pekerja seks. Lebih dari itu, ia juga resah dengan semakin banyaknya jumlah perempuan dan anakyang dilacurkan (AYLA) melalui perdagangan perempuan dan anak. Dalam sebuah obrolan di kantor Bandungwangi, didampingi oleh karibnya, Ana Sulikah, mereka sangat resah dengan terus meningkatnya jumlah perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan. Perhatian pemerintah untuk menanggulangi ini tampaknya belum serius meskipun sebenarnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Antidiskriminasi terhadap Perempuan Tahun 1984 dan Konvensi ILO No. 111 Tahun 1985 belasan tahun lalu. Indonesia kini menjadi salah satu negara dengan peringkat perdagangan manusia terburuk di dunia, apalagi dengan situasi sosial ekonomi yang tidak kunjung membaik, banyak keluarga yang terpaksa harus mencari nafkah dengan mengerjakan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, termasuk seks komersial. Perempuan dan anak-anak biasanya menjadi korban.

“Dalam sebuah kultur yang menilai anak sebagai aset keluarga, perdagangan perempuan dan anak sangat subur terjadi. Peran orang tua dalam perdagangan anak sangat tinggi. Awalnya orang mungkin hanya menganggap bahwa perempuan dan anak-anak ini tertipu atau dipaksa oleh calo-calo atau makelar yang datang ke desa-desa mereka. Namun, kini orang tua seperti sudah jadi bagian dari jaringan perdagangan manusia ini. Orang tua banyak menjual langsung anak perempuan mereka pada calo bahkan germo. Setiap bulan mereka mengambil uang yang dihasikan anaknya,” jelas Nur Aziza. Hampir setiap minggu mereka kedatangan orang tua PSK yang rata-rata berasal dari Indramayu.    Mereka mengambil uang yang dengan susah payah dikumpulkan anaknya.

Kini Nur Aziza bersama organisasi Bandungwangi giat keluar masuk desa- desa di wilayah nusantara. Mereka mengadakan diskusi, pelatihan atau lokakarya melawan perdagangan perempuan dan anak. Menurut pengamatannya, setidaknya ada beberapa faktoryang mendorong terjadinya perdagangan perempuan. “Pertama tentu saja kemiskinan. Kedua adalah masalah kultur masyarakat yang patriarkat. Suara perempuan dalam keluarga kurang dihargai. Mereka menjadi bagian dalam keluarga yang harus pasrah menjalankan keputusan yang biasanya ditentukan oleh ayahnya. Ketiga adalah masalah rendahnya pengetahuan perempuan. Ini yang sering menyebabkan mereka tertipu oleh calo-calo yang mengiming-imingi pekerjaan di kota. Pada akhirnya, menjerumuskan mereka sebagai komoditas seks,” papar Nur Aziza.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat memperkirakan jumlah orang yang diperdagangkan mencapai 700 ribu hingga 1 juta orang setiap tahun di dunia. Sepertiga di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Nur Aziza dan kawan-kawannya di Bandungwangi terus memotivasi masyarakat untuk sama- sama berperang melawan perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak. Mereka kini sedang sibuk menyelenggarakan pementasan teater bertajuk “Anak- Anak Bergincu” ke beberapa tempat di Jakarta dan Indramayu. Tujuannya agar masyarakat sadar bahwa genderang perang terhadap perdagangan perempuan dan anak harus ditabuh bersama-sama. Dari pengalamannya ini, ia mendapatkan satu lagi pelajaran bahwa melawan ketidakadilan tidak bisa dilakukan secara personal, tapi melalui usaha yang teroganisasi.

Pelajaran-pelajaran yang ia peroleh dari kehidupannya membuat Nur Aziza sadar bahwa harus ada yang dirombak dalam kehidupan ini. Tapi, ia mengingatkan bahwa perombakan itu tidak bisa didasari oleh angan-angan yang muluk. Ia harus berakar pada pengalaman diri dan pengalaman orang-orang yang akan melakoni perubahan itu. Sebagian pelajaran itu mungkin sudah ia cerna dan ia terapkan secara paripurna. Tapi, ia sedang menjalani kehidupan, pasti akan ada banyak pelajaran baru yang harus ia pahami. Karena menurutnya, hidup itu adalah pelajaran itu sendiri yang paling sukar untuk dimaknai.

Ia merasa tidak pernah menyesali langkah-langkah  kehidupan yang  pernah ia tempuh. Langkah-langkah itulah yang justru membuatnya kini menjadi lebih peduli sesama, sekaligus membuat ia lebih dihargai sebagai manusia. Tentu saja, ia juga menghargai mereka yang masih menjadi bagian dari dunia PSK sebagai manusia. Karena ia peduli, maka ia dan mereka adalah manusia, bukan badak, binatang, atau anonim. (M. B. Wijaksana)
 
Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2003
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 29, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 

Herna Lestari: Kala Gender Masuk di Sekolah Bidan

23/6/2016

 
Picture
Di Indonesia, profesi bidan masih sangat memegang peran penting. Keberadaannya menjangkau hingga pedesaan yang terpencil. Seringkali karena faktor kedekatan emosi, dan tarif yang lebih murah, bidan   lebih dipilih ketimbang dokter kandungan. Namun, jumlah tenaga bidan desa masih berbanding terbalik dengan jumlah wargayang mesti dilayaninya. Sejak tahun 1989, di mana program Bidan di Desa (BDD) kali pertama dicanangkan, jumlah bidan terus menyusut. Dari 62.812 BDD di tahun 2000 menjadi 39.906 di tahun 2003. Kini diperkirakan sekitar 22.906 desa tidak lagi memiliki bidan. Padahal 80% penduduk Indonesia bermukim desa di sekitar 69.061 desa (Profil Kesehatan Indonesia 2000). Dari ketersediaan tenaga bidan yang ada, belum semuanya memahami benar isu gender, bagaimana menjadikan gender sebagai sebuah sudut pandang dalam menerapkan ilmu medisnya. Padahal, profesi bidan sangat berperan, bagi peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak. Yayasan Pendidikan dan Kesehatan Perempuan (YPKP), sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengembangan pendidikan kesehatan, khususnya Kesehatan Reproduksi (Kespro) perempuan mencoba meng-implementasikan pilot program uji coba integrasi gender dan hak- hak reproduksi ke dalam kurikulum di beberapa sekolah kebidanan. Bagaimana proses pengintegrasian dilakukan, apakah ada kendala dalam proses tersebut? Jurnal Perempuan bertemu dengan Herna Lestari, koordinator program di YPKP dan berikut ini hasil wawancaranya.
 
Jurnal Perempuan (JP): YPKP merupakan salah satu lembaga yang concern dengan isu gender dan pernah berupaya memasukkan isu gender dalam kurikulum di sekolah kebidanan. Waktu itu bagaimana prosesnya?
Herna Lestari (HL): YPKP didirikan oleh beberapa pemerhati masalah kesehatan reproduksi. Kita concern dengan tingginya AKI (Angka Kematian Ibu). Artinya, walaupun (angkanya) menurun tapi sebenarnya tidak menurun secara signifikan, kan? Jadi kita ingin bagaimana caranya agar AKI ini tidak terus meningkat tapi justru turun, berkurang secara signifikan karena kita juga sudah komitmen dengan MDGs (untuk) menurunkan angka kematian ibu. Kegiatan kami waktu didirikan tahun 2003 itu selain memberikan beasiswa kepada 90 perempuan dari keluarga tidak mampu yang mempunyai kekerabatan dengan dukun, kami melakukan kerjasama dengan empat sekolah, empat prodi kebidanan dari empat Poltekkes (Politeknik Kesehatan) di Jakarta, Malang, Jambi, dan Bandung. Kami mengembangkan modul, ada sembilan modul yang diintegrasikan dengan isu gender. Karena walaupun Poltekkes-Poltekkes itu mempunyai silabus yang ada aturannya, ada panduannya, tetapi mereka tidak punya modul yang benar-benar bisa dipegang oleh pengajar, menjadi standar untuk pengajar menyampaikan materi. Artinya, kalau dosennya beda, (maka) beda lagi penyampaiannya walaupun topiknya sama. Kami coba bangun, sama- sama bekerja membuat modul. Modul-modul itu sekarang sudah jadi dan sudah diterapkan, beda dengan modul-modul pendidikan selama ini. Kami mencoba mengajak pengajar-pengajar ini untuk lebih interaktif, karena isu-isu gender, kepemimpinan, reproduksi itu tidak bisa diberikan secara teoritis. Kalau  cuma teoritis mudah sekali lupa, jadi bagaimana caranya materi itu diberikan secara interaktif, dengan permainan, dengan kasus sehingga mereka lebih bisa mencerna.

JP : Bagaimana bentuk penerapannya, apakah isu gender terintegrasi dalam setiap mata kuliah atau ada mata kuliah tersendiri mengenai bahasan gender?
HL: Di awal, kita meminta agar materi dalam modul-modul disampaikan kepada penerima beasiswa dari YPKP, tapi pada perkembangannya ternyata sekolah- sekolah menganggap bahwa modul ini cukup baik. Pada ahirnya modul diberikan tidak hanya kepada mahasiswa ini (para penerima beasiswa), sekolah tetap menggunakan modul-modul itu. Interest terhadap modul ini ternyata tidak hanya di sekolah ini saja, sekarang sudah banyak sekolah-sekolah yang meminta kami untuk memberikan pelatihan. Modul tidak berhenti di sini saja, dengan LSM, dengan pemerintah dari Pusdinakes (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan) waktu itu, kami mengembangkan modul, kami berikan cara penyampaiannya sehingga mereka tahu bagaimana cara menggunakan modul tersebut. Ada dua modul sebetulnya, modul untuk pegangan siswa, dan modul panduan pengajaran untuk dosennya.

JP : Seberapa perlunya kurikulum gender bagi para calon bidan?
HL: Kami concern dengan angka kematian ibu. Nah, di desa-desa ternyata seringkali masalah-masalah Kespro itu tidak sekedar masalah klinis. Artinya, bukan sekedar, oh, karena pendarahan dia meninggal. Jadi masalah Kespro di desa itu terkait dengan masalah-masalah isu sosial. Di dalam keluarga, karena yang mengambil keputusan adalah bapak, jadi si ibu kalau mau ke Puskesmas atau ke Posyandu, ya, mesti ijin dulu. Kalau mendapat izin ia pergi, kalau enggak, ya enggak pergi. Atau terkadang, di lapangan, ibu-ibu malas bertemu dengan hak provider, karena seringkali hak provider suka judgement. Misalnya, menggunakan kata-kata yang tidak mengenakkan, jadi dia (para ibu) enggan untuk memeriksakan atau melahirkan (melalui) tenaga kesehatan. Mereka merasa diperlakukan tidak sebagai “manusia”.  Berbeda dengan,  misalnya,  ke dukun. Dukun itu seperti ibunya sendiri. Nah, kami melihat itu sebagai isu yang perlu masuk dalam modul-modul. Jadi, ada isu gender bagaimana memberikan pelayanan kepada perempuan, tidak menganggapnya sebagai objek tetapi sebagai manusia, ada unsur sosialnya.

JP : Apakah ada hambatan dalam proses mengintegrasikan kurikulum gender ini?
HL: Jelas ada. Kami mulai masuk dengan kata-kata gender, kemudian kami berhadapan dengan dosen-dosen yang punya frame sendiri. Padahal gender ini ‘kan kami integrasikan tidak hanya ke (soal) Kesehatan Reproduksi, tapi juga ke (isu) agama. Nah, ke agama ini karena memasukkan isu-isu gender, seakan- akan perempuan itu menuntut lebih dan bertentangan. Jadi tidak mudah. Waktu kami mengadakan pelatihan, ada konflik. Dosen-dosen merasa seperti mau diapain gitu, karena buat mereka isu gender bukan sesuatu yang biasa. Belum lagi jika berhadapan dengan birokrasi, karena ini lembaga institusi pendidikan, jadi kalau meminta kerja sama itu urutannya mesti dari atas dan itu cukup panjang (prosesnya). Walaupun direktur kami Prof. Gulardi cukup disegani oleh bidan-bidan, tapi kami pelaksana hariannya menemukan banyak hambatan. Saya misalnya, kebetulan tidak punya background sebagai bidan atau dokter, itu juga kadang-kadang menjadikan komunikasi agak susah. Jadi banyak sekali hambatannya, tapi pelan-pelan kami bangun dari awal, kami belajar dari kesalahan, mencoba toleransi satu sama lain, ahirnya kami bisa.
JP : Bagaimana proses penerapan modul tersebut? Apakah dilakukan oleh YPKP sendiri atau melibatkan pihak lain?
HL: Tadinya modul-modul itu kami semua yang mengembangkan. Artinya baik untuk pegangan siswa maupun panduan untuk mengajar, kami sendiri yang menulisnya. Modul untuk siswa sebenarnya berupa bahan bacaan untuk mahasiswa, yang satu lagi panduan untuk pengajar. Ternyata dosen-dosen tidak mudah menerapkan apa yang diolah oleh kami dan LSM, banyak istilah-istilah yang tidak terlalu dimengerti oleh mereka. Akhirnya, kami balik, mereka yang menulis cara pengajarannya, cara menyampaikannya. Selebihnya kami diskusi, ini enaknya pakai film, ini enaknya pakai contoh kasus. Paling tidak dosen dilibatkan dalam pengembangan modul. Gender itu memang isu yang nggak bisa sekali diberikan langsung dipahami. Pertama, kami beri pengetahuan yang basic tentang gender, tentang kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi. Kami beri pelatihan dosen selama sepuluh hari. Kami harapkan dosen ini yang akan menyampaikan materi itu kepada mahasiswa. Selama 10 hari itu responnya banyak sekali. Akhirnya setiap kali ada pelatihan, materi gender itu selalu diulang supaya mereka tetap ingat, lebih memahami, lebih meresapi apa yang dimaksud dengan gender.

JP : Bagaimana respon dari para peserta waktu pertama kali ada pelatihan mengenai integrasi kurikulum gender?
HL: Waktu pertama kami ajak kerjasama mereka nggak keberatan, senenglah, namanya peningkatan pengetahuan. Tapi pas kami masuk ke materi gender itu memang perlu waktu cukup lama agar mereka memahaminya. Setelah diterapkan, kami datangi, monitor, kami kasih masukan, feedback, selain datang, kami juga memberi form untuk evaluasi, baik kepada dosennya maupun mahasiswa, apakah mereka cukup mengerti dengan materi yang disampaikan oleh dosen atau yang ada dalam buku bacaan. Dari situ kami perbaiki (modulnya).

JP : Apakah program ini berpengaruh terhadap pola pikir maupun perilaku baik akademisi maupun para calon bidan?
HL: Sampai sekarang ini jauh lebih baik ya. Artinya mahasiwa penerima beasiswa ini memang dari kelompok yang marginal. Anak-anak ini memang kami ingin angkat supaya mereka juga bisa memberikan perubahan di desanya. Termasuk dalam menyampaikan materi ini, mereka datang dari kebutuhan yang berbeda, mungkin dari kecil juga mendapatkan pemahaman perempuan itu seperti apa. Ternyata challenge ini bisa dilalui juga oleh bidan-bidan.

JP : Menurut Anda, seberapa besar urgensinya memasukkan kurikulum gender dalam sekolah kebidanan?
HL: Perlu sekali. Menurut saya, semacam provider, bidan, dokter, mereka lebih bisa memahami. Walaupun mereka perempuan, kadang-kadang karena tidak tahu gender, dia tidak memahami hak-hak perempuan. Ya, kadang-kadang tidak punya empati, tidak punya simpati. Tapi dengan mengetahui tentang gender, mereka lebih bisa punya empati, tidak diskriminatif. Sejauh ini mereka (para calon bidan) lebih bisa simpati, lebih empati pada perempuan.

JP : Sejauh ini bagaimana peran Anda dalam proses integrasi gender?
HL: Untuk keseharian saya banyak berhubungan dengan mahasiswa, dengan mitra, tapi bukan berarti saya semua, Prof. Gulardi memegang peran penting.

JP : Menurut Anda, bagaimana perubahan antara sebelum dan sesudah dilakukannya integrasi kurikulum gender?
HL: Ya jelas berubah sekali. Di awal, pemahaman tentang isu-isu keperempuanan, isu-isu gender masih kurang. Mereka (para siswa di sekolah kebidanan) pada akhirnya melihat bahwa kesempatan itu tidak hanya untuk anak-anak laki-laki tetapi juga untuk anak perempuan, dan mereka (menjadi) lebih percaya diri. Jika pada awalnya mereka mencoba menghindari, seperti tidak punya rasa percaya diri dan kalau berbicara dengan orang cenderung mundur, tapi kini mereka kelihatan smart, lebih berani, lebih bisa mengemuka-kan pendapat. Walaupun ada laki-laki mereka bisa bicara. Yang jelas, mereka lebih trampil dibanding yang dulu. Selain melalui pendidikan, kami juga memberi kesempatan, misalnya kalau ada event-event internasional, mereka persentasi. Dalam Asia Pacific Conference on Reproductive Health of the Malaysia pada tahun 2005, mereka berani melakukan presentasi di depan forum internasional. Termasuk (bahasa) Inggrisnya juga berkembang.

JP : Ke depan, apa harapan Anda dengan diintegrasikannya isu gender dalam kurikulum pendidikan?
HL: Harapan saya, integrasi gender harus ada, tidak hanya di sekolah kebidanan. Kami mencoba kembangkan tidak hanya di Poltekkes tapi juga di semua akademik bidan di Indonesia. Ini memang membuat mereka lebih bisa melayani perempuan, terutama lebih kepada masyarakat. Seharusnya juga tidak hanya bidan, tapi juga petugas-petugas kesehatan yang lain, misalnya perawat, karena mereka juga berinteraksi dengan masyarakat. Kalau datang ke rumah sakit seringkali kita tidak diperlakukan secara manusiawi. Kadang-kadang kita juga malas datang. Padahal kita itu raja, kita datang dengan membayar, tidak gratis tapi seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya, mungkin karena mereka tidak mendapatkan pemahaman.

JP : Apakah dengan demikian program integrasi YPKP ini akan meluas tidak hanya ke sekolah kebidanan?
HL: Ada usaha juga untuk memasukkan kurikulum gender ini ke (sekolah) kedokteran. Kalau sampai masuk ini hebat sekali. Sekarang ini masih dalam proses, ya, masih mencoba. YPKP ini juga pilot di empat tempat. Sekarang kami mencoba mengembangkan ke luar Poltekkes, jadi yang sudah masuk adalah Nias, Aceh berkaitan dengan tsunami, banyak bidan yang meninggal karena tsunami. Kami membantu dengan membangun calon bidan muda yang posisinya kosong waktu itu. Ke depan kami mencoba memperluas jaringan. Kami ingin empat Poltekkes yang kami bina di Jakarta, Bandung, Malang, dan Jambi ini menjadi semacam centre untuk mengembangkan keteram-pilan bagi mitra-mitra, Poltekkes lain atau akademi bidan lainnya. Isu gender ini bener- bener jadi mainstream, tidak hanya menjadi wacana tapi diterapkan. Untuk sementara ini kami masih concern pada bidan karena bidan sangat potensial, sangat dekat dengan masyarakat dibanding provider yang lain dan mereka yang menjadi ujung tombak kesehatan ibu dan anak.

JP : Siapa saja mahasiswa yang berhak mendapat beasiswa YPKP?
HL: Mahasiswa ini datang dari 9 propinsi. Dari jambi 18 orang, Riau, dari kecamatan Kepulauan Seribu, dari Banten Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan NTB. Sebagian dari mereka yang dari luar Jawa itu direkrut oleh pemerintah daerahnya sebagai bidan desa. Ada yang masih dibiayai, masih kontrak, ada juga yang sudah ditetapkan sebagai bidan PTT. Akan tetapi tidak semuanya direkrut karena beberapa (desa) sudah ada bidan. Padahal, anak-anak ini terikat perjanjian dengan YPKP bahwa mereka akan kembali ke desanya. Akhirnya, kami perlebar, sepanjang mereka tidak keluar dari kabupatennya (walaupun tidak di desa asalnya) tidak apa-apa. Belajar dari pengalaman ini, kami  ingin Insya Allah  ke depan masih ada beasiswa yang dialokasikan kepada sekitar 70-80 orang. Kami mengharapkan partisipasi dari pemerintah daerah. Anak-anak ini kan potensial karena mereka akan punya nilai lebih dibanding mahasiswa yang lain karena sudah mendapatkan pendidikan (gender), memiliki perspektif gender dan sosial. Kalau ada kerjasama dengan pemerintah, anak-anak ini terjamin. Kalau mereka selesai sekolah mereka tahu dimana akan bekerja. Karena yang kami pilih memang daerah-daerah yang angka kesehatan ibunya kurang. Dengan kerjasama, pemerintah daerah bisa berkontribusi untuk meningkatkan kapasitas atau meningkatkan status kesehatan ibu dan anak di tempatnya. Anak ini (mahasiswa) juga akan lebih terjamin masa depannya. Ke depan, YPKP akan tetap memberikan beasiswa tapi tidak seperti dulu. Dulu kan beasiswa mencakup biaya operasional pendidikan, per diem-nya, uang kost, sampai uang buku. Kami berharap, oke, YPKP tetap mendukung uang operasional pendidikan, tapi yang lainnya ditanggung oleh pemda. Kami harapkan dengan adanya peningkatan alokasi dana pendidikan untuk setiap daerah, rasanya ini menjadi suatu hal yang tidak terlalu berat untuk daerah. (Rufiah Padijaya dan Dewi Setyarini)
 
Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2008
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 61, 2008 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
​

Tati Krisnawati: PRT ini Persoalan Besar yang Membutuhkan Revolusi Pemikiran

13/6/2016

 
Picture
Meskipun peran Pekerja Rumah Tangga (PRT) sangat besar dalam medorong kehidupan sosial, ekonomi, bahkan politik,  nasib  para  PRT  masih sangat mengkhawatirkan. Mereka rawan dengan  berbagai tindakan kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah sendiri seperti tidak memiliki visi yang jelas untuk melindungi nasib pekerja yang mayoritasnya dilakoni perempuan ini. Usaha-usaha yang telah dilakukan seperti masih jauh panggang dari api. Faktanya, berbagai jenis kekerasan terhadap PRT terus berlangsung. Jurnalis M. B. Wijaksana berkesempatan melakukan wawancara dengan Tati Krisnawati, anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan menggali persoalan-persoalan pokok yang terkait dengan PRT.
 
Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana Komnas Perempuan melihat permasalahan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam hubungannya dengan persoalan perempuan secara keseluruhan?
Tati Krisnawati (TK): Dari informasi permukaan yang kita lihat di surat kabar maupun laporan-laporan diskusi, atau ada juga laporan yang agak menyeluruh dari berbagai organisasi masyarakat mengenai Pekerja Rumah Tangga, dapat dilihat bahwa 99% pekerjanya adalah perempuan. Kami melihat bahwa mereka sangat rentan terhadap kekerasan, baik karena lingkup kerja mereka di dalam rumah yang jauh dari pemantauan maupun karena (perlindungan) hukum terhadap mereka hampir tidak ada; apakah sebagai buruh atau sebagai anggota keluarga. Selain itu, masyarakat melihat pekerjaan mereka sebagai bentuk pekerjaan perempuan yang harus dilakukan dengan pengabdian, cinta, kasih sayang, dan sebagainya yang tidak pernah diukur sebagai pekerjaan profesional yang harus dihargai dengan nilai ekonomis. Dengan demikian, Komnas Perempuan melihat bahwa PRT sebagai kelompok masyarakat yang rentan terhadap kekerasan. Karena itu, mandat yang dibebankan pada kami juga akan melingkupi persoalan mereka.

JP: Apa yang telah dilakukan Komnas Perempuan untuk mengangkat isu PRT ini menjadi isu publik?
TK: Kami memulainya dengan riset pendahuluan, terus kami lakukan Focus Group Discussion (FGD) di lima wilayah. Di Kalimantan kita lakukan di Pontianak, di Sumatra kita lakukan di Lampung, di Jawa Tengah kita lakukan di Yogya, di Jawa Barat kita lakukan di Karawang, dan satu lagi di Mataram. Kita berharap mendapatkan gambaran, apakah ada pola atau keragaman dan spektrum apa yang ada dalam PRT. Dari FGD yang mengundang pihak-pihak, seperti  buruh  migran,  PRT  di  luar negeri  dan di  dalam  negeri,  NGO yang bergerak untuk pendampingan, dan akademis, kita mendapatkan gambaran tiga hal terpenting.

Pertama, PRT itu keragaman jenis pekerjaannya sangat luas. Kalau di Depnaker itu ada tujuh elemen yang dimasukan dalam PRT, yaitu cleaning, washing, cooking, baby sitting, dan sebagainya; ternyata kita menemukan komposisi yang lebih luas dan beragam dalam pekerjaan PRT. Kedua, semuanya mendambakan rumusan apa itu “kerja layak” dan ukuran-ukurannya. Memang ada ukuran seperti upah yang layak atau jam kerja yang layak, namun rumusan kerja layak itu sangat beragam berdasarkan pengalaman PRT masing-masing. Ketiga, ternyata dari diskusi atau wawancara yang lebih mendalam, kami menemukan bahwa pendekatan yang diperlukan tidak cukup jika hanya berperspektif hubungan industrial atau hubungan buruh-majikan. Perlu dikaji lebih jauh unsur-unsur positif dari hubungan kekeluargaan atau bentuk-bentuk bargaining yang sifatnya tidak kontraktual, tapi lebih pada kesadaran masing- masing pihak untuk menghargai kontribusi dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. PRT membutuhkan pekerjaan, tempat tinggal, pengayoman, dan sebagainya. Di sisi lain, majikan memerlukan orang yang mereka percaya di rumahnya, privasi, dan lain-lain. Kami ditantang untuk mengembangkan pendekatan yang bukan menggunakan pendekatan buruh-majikan, melainkan ukuran-ukuran lain tentang makna produktivitas atau makna adil bagi semua.

JP: Tapi bukankah sulit membayangkan hubungan yang adil antara pekerja dan majikan dalam situasi psikologi yang sudah timpang?
TK: Betul sekali, karena tiga persoalan mendasar dalam persoalan PRT ini adalah posisi perempuan dalam masyarakat, perempuan sebagai orang miskin, dan perempuan sebagai PRT. PRT perempuan mengalami tiga jenis diskriminasi. Ini persoalan besar yang membutuhkan revolusi pemikiran tentang hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Jadi, infiltrasinya bukan hanya pemetaan antara buruh-majikan, tapi secara keseluruhan hubungan antara posisi perempuan dalam masyarakat. Jadi, arena “perangnya” besar.
Dalam situasi kemiskinan, laki-laki  dan  perempuan  memerlukan  kerja ke luar untuk memenuhi kebutuhan pokok, pekerjaan rumah ditinggalkan. PRT-PRT yang bekerja di keluarga lower class, tidak mungkin mendapatkan penghargaan yang layak. Hubungan mereka menjadi hubungan antara orang miskin dan orang miskin. Bisa dilihat sebagai eksploitasi orang miskin oleh orang miskin, bisa dilihat sebagai poverty sharing, bisa juga dilihat sebagai solidaritas.  Keunikan akar masalah  ini  memang  harus didekati dengan cara yang kompleks. Penataannya tidak bisa dilakukan dengan tambal sulam, meski bukan berarti penataan hubungan industrial tidak efektif sama sekali. Namun, itu hanya akan efektif di tingkat middle class ke atas. Sementara, di mayoritas orang miskin yang mempekerjakan PRT, ini juga harus dipersoalkan. Mereka tidak memenuhi standar upah karena upah mereka sebagai buruh atau sebagai PNS tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

JP: Apakah pendekatan yang hanya menekankan pada advokasi PRT telah cukup memadai, sementara yang lebih menjadi persoalan adalah majikan yang tidak mampu menjamin standar kelayakan kerja?
TK: Pertama, pendekatannya memang harus multidimensi. Tapi,  bagaimana pun, saya percaya dengan beberapa pendekatan yang dilakukan terhadap PRT. Bagaimana PRT merumuskan pekerjaan dia, beban kerja dia, sumbangsih dia pada majikan atau masyarakat. Kesadaran ini akan turut membantu semua pihak memikirkan relasi yang adil dari perspektif pekerja sendiri. Bisa jadi ukuran yang dikembangkan pekerja berdasarkan pengalamannya berbeda dengan para ahli perburuhan di tingkat pabrik. Yang dibutuhkan adalah ruang untuk mendiskusikan proses yang diperoleh oleh PRT untuk didialogkan dengan perspektif lain. Jadi, ini akan menyangkut, misalnya, perbaikan sistem penggajian pegawai negeri atau pekerja lain. Kalau pekerja menuntut upah seperti ini, seharusnya dilihat sebagai usaha untuk mendukung perbaikan upah buruh dan pekerja lain. Seharusnya, ini jangan ditolak oleh para majikan, tapi dijadikan sebagai bentuk dukungan pada perbaikan sistem penggajian.

Kedua, mengenai perempuan, bahwa bagaimana pun pekerjaan domestik masih menjadi tanggung jawab  tunggal  perempuan.  Masyarakat  melihat  ini masih merupakan pekerjaan yang memiliki gender. Ini juga sekaligus menjadikan wacana di masyarakat agar mereka berbagi pekerjaan di antara laki- laki dan perempuan dalam anggota keluarga yang tentu menyangkut perbaikan hubungan perempuan-laki-laki dalam keluarga.

JP:
Menurut sebuah laporan, ada 2,5 juta PRT. Mereka adalah pekerja informal yang kontribusinya bagi pengurangan angka pengangguran sangat besar. Tapi, mengapa pemerintah belum menganggap PRT sebagai persoalan penting?
TK: Saya kira pengambil keputusan pemerintah itu masih mengandung bias gender. Mereka masih tidak melihat pekerjaan domestik memberikan kontribusi sangat berarti bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kehidupan lainnya. Bias gender yang masih kukuh ini mengakibatkan PRT menjadi tidak dihitung. Tapi, dan ini juga menyedihkan, kalau masalah perda (Peraturan Daerah), mereka eksis. Mengapa eksis? Karena untuk pajak. Jadi, perda yang dibuat itu adalah untuk kepentingan penarikan retribusi dari pendapatan PRT.

JP: Ada sebagian orang menilai bahwa persoalan PRT tidak bisa lepas dari terbukanya kesempatan perempuan yang bekerja di ruang publik. Bukankah ini persoalan yang dilematis bagi perempuan?
TK: Itu terjadi ketika subjek dalam masalah ini hanya satu, yaitu perempuan, maka terjadi masalah ini. Makanya, ketika perempuan masuk ruang publik, masalah domestik harus dibicarakan bersama laki-laki dan perempuan, bukan diserahkan pada perempuan lagi. Ketika perempuan pergi ke ruang publik hampir semua pekerjaan domestik ini diserahkan kembali pada perempuan. Berarti tidak ada perubahan dalam kerangka domestik-publik pemilahan kerja secara gender. Jadi sasaran kita bersama sebagai masyarakat adalah ruang domestik ini adalah ruang laki-laki dan perempuan. Juga, pekerjaan domestik itu mendapatkan penghargaan yang memadai sehingga perempuan yang menetap di ruang ini tidak ditempatkan sebagai orang terbelakang, tidak dianggap tidak berprestasi, dan sebagainya. Kita harus mengubah anggapan tersebut, bahwa di dunia domestik pun, dihargai sunguh-sungguh, bukan hanya eufemisme. Jadi, tak ada dilema.

JP: Tren anak-anak Pekerja Rumah Tangga semakin tinggi, di satu sisi mereka punya hak sebagai anak, sementara di sisi lain keterpaksaan ekonomi membuat mereka memilih pekerjaan tersebut. Bagaimana menurut Anda?
TK: Menurut saya, yang pertama adalah tidak adanya ekspolitasi. Jadi, bisa saja seorang anak bekerja untuk satu jenis pekerjaan tertentu dan dia capable untuk pekerjaan tersebut dan dia mendapatkan upah yang layak, dapat mendapatkan ruang untuk aktualisasi. Jika itu terpenuhi, saya tidak akan strict menyatakan tidak boleh. Pilihan sekolah tidak menjadikan orang secara otomatis memiliki ruang aktualisai diri, kalau bekerja pun bisa mengaktualisasikan diri.
Untuk saya, yang terutama ukurannya adalah tidak ada eksploitasi. Jadi, kalau ada PRT umur 16—17 tahun dengan perlindungan yang jelas, misalnya, pekerjaan dia memasak saja tidak dicampur segala macam, dia ahli di situ,  dia suka di situ, mendapatkan upah yang layak, dan dia bisa mengembangkan pekerjaan menjadi sesuatu yang bernilai, kenapa tidak? Yang penting, tidak ada eksploitasi, ada penghargaan, dan ada ruang buat aktualisasi diri.

Yang  jadi  masalah  kita, dia menjadi  PRT  seumur-umur karena  persepsi sosial yang menganggapnya rendah, dia akan jadi rendah selama-lamanya. Yang menjadi concern gerakan perempuan adalah, pekerjaan domestik itu dianggap pekerjaan reproduktif yang dinilai tidak akan ada peningkatan, padahal belum tentu, misalnya saja, tentang memasak; makan apa saja yang sehat, bagaimana agar memasak tetap menjaga vitaminyang dikandungnya, dan lain-lain. Itu, kan, proses pengetahuan yang dapat dikembangkan. Bagaimana pun soal makanan adalah masalah esensi yang sering tidak kita perhitungkan. Jadi, pendekatannya bukan hanya soal pendekatan upah, melainkan juga soal bagaimana kualitas kerja, relasi sosial, atau soal relasi dengan kehidupan. Pelecehan terhadap mereka ini harus dibongkar, bahwa setiap orang, siapa saja punya tanggung jawab bagi perbaikan dirinya dan masyarakat. (MB. Wijaksana)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2005
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 39, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.




Sri Redjeki Sumaryoto: Tanggung Jawab Negara Memberdayakan Perempuan

10/6/2016

 
Picture
Dalam sambutannya di sebuah buku panduan Pastikan Partai Anda jadi Pilihan, Sri Redjeki Sumaryoto, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mengatakan, “Tingkat partisipasi perempuan dalam perumusan, pengambil, dan penentu keputusan untuk kebijakan publik masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari jumlah perempuan yang berada pada posisi strategis, baik pada bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kondisi ini mengidentifikasikan pada kita bahwa peran politik perempuan masih belum maksimal. Sebagai dampaknya, banyak kebijakan dan program pembangunan yang ditujukan kepada perempuan masih belum peka gender, yaitu belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki, serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai tujuan dan sasaran akhir pembangunan.”

Kalimat yang diutarakannya ini merepresentasikan bahwa periode Kabinet Gotong Royong di bawah pimpinan Presiden Megawati belum selesai menjawab persoalan-persoalan perempuan dalam tahap kebijakan dan partisipasi politik perempuan. Belum lagi persoalan lainnya yang tak kalah mendesak, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, serta masalah buruh migran. Melalui berbagai kebijakan, negara diharapkan menunjukkan perhatian dan komitmennya yang sungguh-sungguh untuk mengeluarkan perempuan dari ketertindasannya secara sosial, ekonomi, dan politik. Jurnalis Junal Perempuan, Mariana Amiruddin dan M. B. Wijaksana mewawancarai Sri Redjeki Sumaryoto untuk menggali lebih jauh masalah ini.
 
Jurnal Perempuan (JP): Apa penilaian Ibu tentang lima tahun pemerintahan Megawati dalam memberdayakan perempuan?
Sri Redjeki Sumaryoto (SRS): Sebenarnya saya tidak bisa melakukan penilaian sebab saya bagian dari Kabinet Megawati, Kabinet Gotong Royong. Dalam kabinet ini ada tujuh program atau agenda yang harus saya laksanakan. Pertama, penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, memberikan arah pada agenda reformasi. Bangsa kita sudah memiliki keputusan ke arah demokratisasi yang jelas dan tertuju pada kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat di sini termasuk perempuan sebagai subjek yang harus ikut terlibat karena jumlahnya yang besar. Saya kalau ke daerah-daerah tidak lupa memberi imbauan agar perempuan tahu tentang agenda reformasi.
Ketiga, adanya peranan negara dalam memberdayakan perempuan. Saya sendiri masuk dalam siklus lima tahunan, dalam periode ini ada tiga menteri yang berperan, yaitu Tuty Alawiyah, Khofifah Indar Parawansa, dan saya sendiri.

Kementerian ini sudah berdiri sejak tahun 1978, berarti sudah berjalan sekian tahunsebelumnya. Posisisayadi sini melanjutkan tugas mereka memberdayakan perempuan melalui kebijakan yang saya keluarkan. Kebijakan tersebut harus sesuai dengan isu yang sedang berlangsung, terutama pada saat periode saya.
Keempat, merealisasikan komitmen kita tentang nasib perekonomian bangsa ini berdasarkan pada kerakyatan, termasuk masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketika saya masih duduk sebagai badan pekerja di legislatif, saya tidak luput melahirkan kebijakan mengenai KKN ini. Bagi saya, ini salah satu amanat reformasi yang harus direkomendasikan kepada pemerintah  pada waktu itu. Keenam, politik luar negeri bebas-aktif, dan ketujuh adalah menyukseskan Pemilu 2004.

Kabinet Gotong Royong yang tidak penuh selama lima tahun saya jalani  ini hasilnya tidak begitu kelihatan. Kenyataannya, memang agenda-agenda reformasi tidak sepenuhnya tercapai. Akan tetapi, dengan diselenggarakannya pemilu saat ini, ternyata masyarakat kita tidak bodoh. Mereka semakin kritis, menuntut sesuatu yang realistis, yaitu rasa aman dan masa depan yang lebih jelas.

JP: Apa yang membuat agenda-agenda tersebut sulit terlaksana?
SRS: Pertama, kita masih mengalami krisis ekonomi, kedua tidak mudah melakukan sesuatu di tengah-tengah dan sudah menjelang akhir seperti posisi saya sekarang ini yang tidak penuh lima tahun. Namun, kita perlu ingat bahwa adanya kementerian ini sebetulnya sudah menunjukkan komitmen negara tentang pentingnya pemberdayaan perempuan. Kenyataannya, kita memang mengalami hambatan-hambatan, seperti faktor budaya, pemahaman, dan operasional. Maka, bila kita melakukan suatu upaya untuk melakukan gerakan masyarakat untuk menurunkan angka kematian ibu akibat melahirkan, misalnya, itu tidak semata-mata dilakukan oleh kementerian ini, tetapi juga departemen-departemen lain yang langsung menangani persoalan tersebut. Kerja kita memang tidak kelihatan, karena tugas kitaadalah membuat kebijakan dan berkoordinasi dengan sektor. Kita bisa bermitra dengan pihak lain seperti LSM, misalnya, dalam mengadvokasi, memfasilitasi mitra kita tersebut dalam melakukan sosialisasi kebijakan yang kita keluarkan.
Hambatan ketiga adalah dukungan dana yang terlalu kecil. Bila kita lihat berapa jumlah dukungan anggaran yang diberikan pada kementerian ini dikaitkan dengan banyaknya isu yang harus kita selesaikan, tentunya sangat kecil.  Padahal,  isu-isu  tersebut  menyentuh  persoalan-persoalan  mendasar perempuan. Kementerian lain bicara triliunan, kita bahkan tidak sampai 50 miliar.

Keempat, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memiliki keterbatasan dalamhaloperasional.Akibatnya,operasional harusditujukanpadadepartemen- departemen. Namun, departemen-departemen kita masih menganggap isu perempuan tidak penting atau tidak menjadi prioritas. Mereka masih melihat persoalan lain lebih berarti daripada masalah mendasar perempuan. Mungkin kalau Anda mengikuti bagaimana perjalanan kabinet ini, prioritas utama adalah recovery (pemulihan) ekonomi, (menyelesaikan) persoalan negara ini dengan IMF, dan masalah keamanan di beberapa daerah konflik, walaupun dua persoalan itu pasti ada dampaknya juga bagi perempuan. Saya mengatakan, prioritas bagi perempuan harus kita perjuangkan dan tidak boleh bosan untuk berhenti menyampaikan atau memberi suatu usulan supaya tetap menjadi isu yang harus segera diselesaikan. Banyak sekali masalah-masalah yang belum terselesaikan di tengah kita, belum lagi dengan pemerintahan baru yang pasti punya kebijakan baru, orang-orang baru, atau bahkan kementerian ini yang mungkin saja dianggap tidak dibutuhkan lagi.

JP: Rancangan Uundang-Undang KDRT sudah lama dibuat sejak tahun 1999, tetapi sampai sekarang belum dibahas, begitu pula dengan persoalan buruh migran. Mengapa?
SRS: Memang dua persoalan itu harus kita lakukan secara serentak dan menjadi prioritas kita untuk tahun 2004 ini. Karena itu, ada tiga yang menjadi target utama kita untuk mengeluarkan undang-undang, yaitu KDRT, perdagangan perempuan dan anak, serta buruh migran.

JP: Setelah pemilu dan diikuti pergantian dewan, akankah pembahasan Rancangan Undang-Undang itu kembali dari awal sehingga pengesahan undang-undang tersebut menjadi semakin sulit?
SRS: Saya masih optimis, karena itulah yang saya bayangkan dan kemukakan setiap kali ada pertemuan di kementerian ini. Saya memahami bagaimana kondisi dewan karena saya cukup lama di sana. Saya sudah bilang  teman-teman di sini bahwa kita harus komitmen pada hal-hal yang sudah disepakati, terutama agenda-agenda yang telah disebutkan tadi walaupun pemilu sudah dilakukan. Kita sudah mengikat mereka (DPR).

JP: Strategi apa yang dilakukan kementerian ini untuk mengikat anggota DPR?
SRS: Sebelum pemilu, kita sudah lakukan lobi terus-menerus dan minta suatu komitmen bahwa nanti penyelesaian beberapa undang-undang yang berkaitan dengan persoalan mendasar perempuan ini, tidak tergantung kepada hasil pemilu 2004. Kita tahu bahwa DPR masih sama, begitu juga dengan orang- orangnya, dan mereka (DPR baru) akan dilantik Oktober 2004, jadi DPR lama masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

JP: Bagaimana Anda bisa optimis hasil pemilu sekarang ini akan tetap meneruskan agenda-agenda yang sudah ditetapkan?
SRS: Sekali lagi, saya optimis. Namun, saya juga tidak mungkin optimis tanpa bantuan pihak lainnya, terutama dalam kementerian ini. Karena itu, saya mengajak teman-teman lainnya, seperti LSM perempuan, bahwa masalah pemberdayaan perempuan ini masih belum selesai. Kita membuat komitmen yang kuat untuk diajukan ke pemerintah yang akan datang terhadap program- program pemberdayaan perempuan. Kita aktif seperti itu bukan supaya kementerian ini tetap eksis, melainkan adanya data yang menunjukkan bahwa posisi perempuan Indonesia masih lebih buruk daripada laki-laki. Bagaimana kita mau membangun negara kita bila yang satu berada di bawah yang lain? Saya pun berharap persoalan ini diopinikan pula oleh teman-teman LSM.

JP: Bagaimana bila pemerintahan yang akan datang tiba-tiba melikuidasi (meniadakan) Kementerian Pemberdayaan Perempuan?
SRS: Kita sudah membuat satu tim kelembagaan, mencoba untuk mengkaji dan melobi serta merumuskan beberapa alternatif, salah satunya kalau terjadi likuidasi itu. Maka, apa pun yang terburuk terjadi, tetap kita berharap agenda- agenda perempuan itu tidak dilupakan. Saya minta supaya ada  kalender  kerja untuk semua hal yang kita lakukan di kementerian ini dan kita ajukan kepada calon-calon presiden. Itu salah satu strategi kita untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

JP: Siapa yang paling kecewa kalau kementerian ini dilikuidasi?
SRS: Banyak sekali, di antaranya masalah perempuan semakin tidak menjadi perhatian. Misalnya, setiap kebijakan kita selalu mengajukan strategi pengarusutamaan gender yang kita sosialisasikan dan kampanyekan. Bila kementerian ini sudah tidak ada, ya, sudah, mereka tidak peduli apakah laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak mengerti dampaknya terhadap perempuan Indonesia, mereka tidak mengerti itu, termasuk tidak ada harapan terlaksananya kebijakan pengarusutamaan gender di daerah-daerah. Paling berat buat kita adalah komitmen kita pada dunia internasional yang tidak bisa kita bebankan padadepartemen lain. Setiapkali kementerian harus memberikan laporan tentang kondisi perempuan di negara ini. Itulah argumen kita soal pentingnya keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kita juga membuat penelitian seberapa besar masyarakat membutuhkan kementerian ini. Kelihatannya hasil dari sampling kita ini cukup bagus, perempuan memiliki tempat untuk mengadukan persoalannya. Makanya, kita harus siapkan, sosialisasikan manfaat dan pentingnya kementerian ini. Tidak mungkin orang membela kita kalau kita tidak pernah membela mereka.

JP: Anda yakin akan dibela?
SRS: Sebab begini, ketikasaya masih di DPR, beberapa kalisayaselalu bicara tentang pentingnya kementerian ini, pada saat siklus lima tahunan atau pemerintahan baru akan terjadi. Kementerian ini sering kali menjadi pertanyaan pada saat menjelang pemerintahan baru. Kita dengan sendirinya mengatakan, “Wah, enggak benar ini kalau Kementerian Pemberdayaan Perempuan tidak ada.” Kita bicara begitu tanpa diminta oleh menterinya sendiri pada waktu itu. Kita sadar persoalan perempuan harus diselesaikan pula melalui kebijakan. Tanpa kementerian ini, tidak mungkin hal itu bisa dilakukan. (Mariana Amiruddin dan MB. Wijaksana)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2004
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 35, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.




Maftuchah Yusuf: Ibunya adalah Sebongkah Batu

1/6/2016

 
Picture
Seorang anak bertanya pada ayahnya, “Ayah, ibuku ada di mana? Aku rindu ingin melihatnya.” Sang Ayah hanya menunjuk sebongkah batu dan berkata, “Itu ibumu, peluklah dia jika kamu merindukannya.”
Pertanyaan itu terus diulang setiap kali anak itu teringat akan ibu. Jawaban sang Ayah tetap sama, “Batu itu ibumu.” Ia bertanya pada semua orang, tetangga, saudara, pembantu, dan teman sepermainannya, jawaban mereka juga sama, “Batu itu adalah ibumu.” Setiap kali ia teringat ibu, ia peluk batu itu erat-erat. “Aku ingin melihat ibu. Teman yang lain punya ibu, saya tidak,” katanya pada batu itu diiringi isak tangis.

Itulah pengalaman Maftuchah Yusuf ketika kecil. Ia terpaksa harus berpisah dengan ibunya saat berusia baru sepuluh bulan karena orang tua mereka bercerai. Sejak itu pula pencarian sosok ibu tidak pernah berhenti. Maftuchah pernah dirawat oleh Mbok Kromo di Boyolali, tempat kelahirannya, yang ia kira ibunya. Setelah lepas dari si Mbok, ia disayang oleh guru-guru Belanda di sekolahnya, dan kemudian ia menganggap mereka itulah ibunya. Kehilangan sosok ibu sejak belia tentu saja menyedihkan. Tapi, itu bukan alasan untuk membuat hidup menjadi hancur.

Lalu, siapakah Maftuchah Yusuf? Mungkin bagi orang awam namanya tidak cukup dikenal. Namun, bagi koleganya, rekan sejawatnya, dan mahasiswa bimbingannya, sosok ini teramat istimewa. Maftuchah Yusuf bukan saja guru besar di Universitas Negeri Jakarta (dulu bernama IKIP Jakarta), Universitas Trisakti, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Maftuchah juga sosok guru yang berdedikasi besar pada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Enam puluh tahun lebih dari usianya ia baktikan sebagai guru. Sebelum menjadi guru besar, ia telah melewati pengabdiannya sebagai guru kecil, guru sedang, hingga gelar profesor yang kini berhak disandangnya.

Di usianya yang menginjak 83 tahun ini, Maftuchah Yusuf terus berkarya dan tidak pernah menyerah pada “hukum alam” atas usianya yang terus bertambah. Ia terus mengajar di Universitas Trisakti, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Negeri Jakarta hingga kini. Dia juga masih aktif di berbagai organisasi masyarakat dan perempuan. Maftuchah adalah anggota World Confference on Peace and Religion, Kepala Lembaga Pembinaan dan Kelestarian Lingkungan dan Penghijauan (Universitas Trisakti), dan masih menulis buku.

Keberanian Maftuchah untuk menjalani kehidupan tanpa kenal menyerah ia buktikan beberapa kali. Pada usia 31 tahun, dua kelenjar adrenalinnya harus diangkat. Dokter menemukan tumor di kedua kelenjar adrenalin tersebut. Para dokter di University of Medical Centre and The Methabolic Research Unit malah memvonis bahwa Maftuchah hanya akan bertahan sepuluh tahun lagi. Tentu saja kesimpulan dokter ini sangat memukul perempuan kelahiran Boyolali, 10 Juni 1920 ini. Ia memang sempat putus asa, tapi karena dorongan suaminya, (alm.) Teuku Yusuf (mereka menikah tahun 1947) yang terus memberinya semangat, semua kenyataan itu ia hadapi dengan berani. “Life goes on. Hidup saya tidak boleh berhenti karena penyakit ini. Begitu pikir saya saat itu. Meskipun untuk bertahan hidup, saya harus menelan pil hidrocortison setiap hari,” kata doktor bidang pendidikan kependudukan ini.

Cobaan lainnya pernah juga ia lewati. Setelah menyelesaikan Hollandsch Inlandse School (HIS) Muhammadiyah, ia melanjutkan ke Hollandsch Inlandse Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Atas di Solo tahun 1936. Saat itu, sangat sedikit perempuan yang bisa sekolah sampai jenjang pendidikan setinggi HIK. Selain disebabkan masalah kesulitan ekonomi, pola budaya saat itu membuat perempuan harus menerima kenyataan untuk dikawinkan pada usia muda. Kedua kakak perempuannya sudah menikah pula di usia 12 tahun. Ia sendiri sebenarnya sudah diminta menikah, tetapi ditolaknya permintaan ayahnya itu. Maftuchah ingin terus bersekolah. Tentu butuh keberanian besar untuk menolak perintah menikah pada zaman itu, apalagi ayahnya adalah pengurus pesantren sekaligus penghulu di desanya.

Tahun ketiga di HIK, Maftuchah berhasil mengambil diploma. Tapi, uang kiriman ayahnya mulai seret. Saat itulah ia memutuskan untuk keluar sementara dari HIK dan mengajar di sebuah Sekolah Dasar di Salatiga. Ia mengajar dari pagi hingga siang hari. Maftuchah belajar sangat keras, terkadang hingga dini hari, dan rutinitas itu ia jalankan selama beberapa tahun. Dan, badannya tidak mampu menyanggah cara hidupnya itu. Beberapa kali ia pingsan hingga ayahnya menjemput. Ia pun dirawat di sebuah rumah sakit di Mojokerto.

Kondisinya waktu itu sangat mengkhawatirkan. Akibat demam tinggi selama beberapa hari, ia menjadi terlihat seperti orang linglung. Menurut pengakuannya, beberapa kali ia mencoba untuk mengakhiri hidup dengan berbagai cara. Pernah ia memakan cairan raksa yang ada dalam termometer. Pernah pula ia memakan biji sawo untuk merusak usus-usus dalam tubuhnya. Maftuchah putus asa. Ayahnya nyaris membawa gadis yang sebelumnya sangat bengal ini ke rumah sakit jiwa. Beruntung seorang laki-laki berdarah Arab berhasil ikut menyelamatkan jiwa Maftuchah. Ketika selamat, keinginannya hanya satu, ia ingin mengikuti ujian di HIK yang tinggal beberapa hari lagi. Ayahnya yang telah berjanji untuk memenuhi segala keinginan jika ia sembuh, terpaksa mengabulkan permintaan Maftuchah putri tercintanya meskipun ia tahu anak itu belum benar-benar sehat.

Dengan kondisi badan yang belum pulih, ia mengikuti ujian HIK di Solo dan ia berhasil lulus sekolah. “Jangan bayangkan ujian zaman Belanda dengan Ujian Akhir Nasional di zaman sekarang. Zaman dulu, ujian itu benar-benar menentukan kelulusan seorang murid. Soal-soalnya luar biasa sukar dan tidak bisa dipelajari dengan sistem kebut semalam seperti mahasiswa sekarang,” tuturnya. Dari 28 peserta yang mengikuti ujian, hanya tiga orang yang lulus. “Padahal, hanya saya sendiri yang belajar di rumah, dua lainnya belajar di sekolah,” kata Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah ini.
Tahun 2000 lalu saat merayakan ulang tahunnya yang ke-80, Maftuchah meluncurkan tiga buku secara bersamaan, antara lain Mencipta Generasi Membangun Bangsa, Peran Perguruan Swasta dalam Pembangunan, dan Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan. Buku-bukunya sekaligus menegaskan perhatiannya yang sangat besar pada masalah-masalah pendidikan, lingkungan hidup, dan perempuan.

Pendidikan, Lingkungan Hidup, dan Perempuan
Maftuchah Yusuf dikenal sebagai orang yang sangat tegas dan lantang saat bersuara. Pemikiran-pemikirannya diakui sangat lugas dan jelas. Saat ditanya soal mutu pendidikan Indonesia, tanpa segan-segan ia mengatakan, “Pendidikan di Indonesia malah membodohkan. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan orientasi pendidikan. Sistem pendidikan kita tidak memiliki empat pilar yang dibutuhkan.” Lebih lanjut ia menjelaskan keempat pilar itu, learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.

“Sistem pendidikan kita hanya text book, sekadar memenuhi ketentuan kurikulum,” katanya. Itulah sebabnya mengapa hasil pendidikan kita melahirkan orang-orang yang tidak kreatif dan tidak toleransi. Tak heran bila sistem pendidikan kita gagal untuk membangun character and national building. Ketiadaan pembentukan karakter dan semangat kebangsaan inilah yang menimbulkan berbagai peristiwa konflik SARA. “Orang tidak lagi toleran terhadap kelompok atau masyarakat lain. Orang tidak lagi mampu melihat sisi baik seseorang,” ujarnya prihatin.

Menurut mantan Presidium IKIP Jakarta tahun 1966—1967, fungsi pendidikan di Indonesia sudah direduksi menjadi instrumen untuk mendapatkan pekerjaan, untuk bertahan hidup, padahal fungsi pendidikan yang lainnya adalah mempertahankan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan lingkungan. Rendahnya tingkat pendidikan ini yang menjadi penyebab berbagai kerusakan lingkungan.

Cemas dengan kondisi lingkungan hidup di Jakarta khususnya, Maftuchah menjadi salah seorang yang merintis pendirian Lembaga Pembinaan Kelestarian Lingkungan dan Penghijauan (LPKLP) di Universitas Trisakti. Lembaga ini bergerak dalam pembinaan kelestarian lingkungan melalui penelitian dan penghijauan serta pendidikan dan pengabdian pada masyarakat. Salah satu kegiatan yang dilakukan lembaga ini adalah memperkenalkan para pemulung di Jakarta dengan Teknologi Efektif Mikroorganisme. Maftuchah dan kawan-kawannya melatih mereka agar mampu memanfaatkan sampah menjadi pupuk organik yang bermutu dan bermanfaat secara eknomis. Berkat aktivitasnya dalam dunia persampahan itulah, beberapa waktu lalu gubernur Jakarta Sutiyoso memberinya gelar “Profesor Sampah”.

Dunia perempuan pun tak luput dari perhatiannya. Maftuchah adalah salah satu pendiri Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Dalam kapasitasnya sebagai pendiri organisasi perempuan, ia diundang untuk mengikuti International Women Confrence di Mexico City dan Kopenhagen. Namun, Maftuchah tetap prihatin dengan situasi perempuan Indonesia. Masyarakat kita yang patriarki telah melakukan domestikasi perempuan pada posisi-posisi tidak menguntungkan. Berabad-abad perempuan diposisikan pada sebuah citra baku 3M, masak, macak, dan manak (memasak, bersolek, dan beranak). Ia menganjurkan agar perempuan terdorong untuk memiliki 2M, yaitu makarti (memiliki ilmu pengetahuan) dan mandiri. Makarti berarti bahwa perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan supaya ia bisa berbakti pada masyarakat, sementara mandiri mengandung makna memiliki sikap dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suami.

Maftuchah tidak habis pikir mengapa seorang perempuan mau dipoligami suaminya karena alasan-alasan ekonomi dan agama. “Itu terjadi karena perempuan secara ekonomi sangat tergantung pada suami. Sementara pengetahuan mereka tentang agama sangat rendah. Makanya, mereka pasrah saja ketika suami mereka meminta izin untuk menikah lagi,” jelasnya. Di luar semua itu, ia menganggap bahwa poligami adalah proses dehumanisasi perempuan. Ia sangat kuat memegang prinsip bahwa laki-laki yang berpoligami bukan lagi manusia. Sebabnya, laki-laki yang melakukan poligami telah merendahkan harkat perempuan menjadi sebuah layanan jasa seks atau sebuah milik pribadi. Tidak tanggung-tanggung, kata-kata ini pernah ia ucapkan dalam sebuah sidang di PBB.

Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan 2M ini. Karena meski sederhana, prinsip ini berkonsekuensi sangat luas. Menurutnya, pola pembangunan manusia Indonesia seutuhnya harus menyentuh aspek ini. Hak dan kewajiban perempuan jangan dibedakan dengan laki-laki. Salah satu caranya adalah dengan memberikan peluang untuk memperoleh pendidikan secara adil. “Melihat jumlah perempuan yang sangat banyak tapi tidak sebanding dengan kualitasnya, siapa pun akan mudah menilai bahwa ada yang salah dari konsep pembangunan kemanusiaan yang telah dijalankan Indonesia,” ujar penerima Bintang Jasa Utama Nararya tahun 1995 ini.

“Buat Orang Lain Bahagia, Setidaknya Satu Orang Setiap Hari”
Salah satu yang paling membuatnya sedih selama hidupnya adalah ketika ia ditinggal suami tercintanya, Teuku Yusuf pada 1983. Kepergian sang suami membuatnya merasa kehilangan separuh jiwa dan raganya. Kadang terlintas untuk segera menyusulnya. Beban batinnya ketika itu sangat berat sampai ia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Untunglah, ia segera ingat pada Tuhan yang selama ini telah melindunginya.

Maftuchah menyadari betul semua ujian hidupnya bisa ia lalui karena pertolongan Tuhan. Tiada kata yang paling sering ia ucapkan, kecuali bersyukur bahwa Tuhan telah melindungi seumur hidupnya. Beberapa kali selama wawancara, perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren ini mengucap syukur atas berkah yang diberikan Tuhan selama ia mengarungi kehidupan yang tidak ringan ini. Wujud syukurnya pada Tuhan ia buktikan dalam prinsip hidupnya yang sangat dikenal rekan-rekannya. “Buat orang lain bahagia, setidaknya satu orang saja setiap hari. Pilih orang yang terdekat dalam hidup Anda, bisa ibu, ayah, anak, atau istri. Membuat mereka bahagia, berarti membuat hidup kita jadi lebih bermakna,” tuturnya.

Melihat apa yang sudah diperolehnya saat ini, Maftuchah bisa jadi bukan telah membuat satu orang bahagia setiap hari, melainkan lebih dari itu. Keempat putra-putrinya sangat bangga pada sang Ibu, koleganya bahagia bekerja bersamanya, mahasiswanya bahagia karena pernah dibimbing sang guru, orang-orang lemah di sekitarnya bahagia karena bantuan perempuan ini telah membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Tapi, sekali lagi, ia merasa belum saatnya untuk berhenti berkarya. Maftuchah mewarisi sifat ibunya, tangguh bagai batu! (M. B. Wijaksana)

Catatan Belakang:

Tulisan ini dibuat pada tahun 2003
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Irawati Harsono: Perwira Khusus untuk Ruang Pelayanan Khusus

26/5/2016

 
Picture
Kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman. Bangku keras, polisi acuh, birokrasi menyesatkan, mesin ketik kuno raksasa yang bergerak begitu lambat merekam kesaksian kita, membuat kita harus mengulangi berkali-kali kisah mengerikan kejahatan yang ingin kita lupakan saja. Asap rokok yang mencekik leher, orang-orang berpakaian preman yang berlagak lebih tahu daripada yang berseragam, dll. Sekarang, bayangkan Anda seorang perempuan dan Anda bukan baru saja kecolongan DVD player dari kamar kos Anda yang jendelanya lupa ditutup. Di sini, Anda kehilangan keperawanan Anda yang dirampas laki-laki yang menerjang pintu yang sudah Anda kunci rapat-rapat. Tempat terakhir yang ingin anda kunjungi sekarang adalah kantor polisi tadi.

Ini bukan hal yang tidak disadari oleh polisi sendiri. Polwan, paling tidak. Irawati Harsono, seorang perwira Polri, sepuluh tahunan yang lalu membaca sebuah buku yang dipinjamkan oleh temannya seorang polisi Belanda. Buku itu menjelaskan konsep Police Women’s Desk, sebuah meja (atau ruangan) khusus dalam sebuah pos polisi untuk menangani pengaduan perempuan yang mengalami kejahatan, diawaki juga oleh polisi-polisi perempuan. Sejak itu, Irawati ingin membuat sistem serupa di kantor-kantor polisi di Indonesia. Ia menamakannya Ruang Pelayanan Khusus atau RPK.

Bisa ditebak, ini bukan ide yang terus disambut hangat sampai kemudian, huru-hara Mei ‘98 pecah. Irawati menganggap inilah saatnya angin mulai bertiup ke arahnya, “Dan saya sadar, tidak mungkin juga memulai semua ini top-down, kita bikin bottom-up saja. Coba saja enam bulan dulu, terus kita evaluasi. Tapi, tentu saja saya juga merayu Bu Rusmanhadi, istri Kapolri waktu itu, teman saya waktu di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Hahaha.”

Dengan menggabungkan gerilya bottom-up dan lobi top level ini, Irawati mulai bergerak. Dibantu, antara lain oleh Saparinah Sadli, ia mulai melatih para Polwan di polres-polres (Kapolresnya telah ditelepon oleh Kapolda, Kapolda telah ditelepon oleh Kapolri, dan Kapolri telah dibujuk oleh Bu Kapolri). Setelah tanggal 1 September 1998 mendirikan Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak DERAP–WARAPSARI (Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan oleh para pensiunan Polwan), akhirnya sebanyak sembilan RPK dibuka di seantero Jakarta pada lima hari sebelum Hari Kartini, 16 April 1999.

Namun, setelah enam bulan berjalan, ternyata masalah pertama yang muncul adalah sulitnya memasarkan konsep RPK ini sebagai cara tepat untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. “Banyak laki- laki yang merasa dipojokkan, polisi itu sendiri yang kemarin baru saja berantem dengan istrinya, misalnya,” jelas Irawati.
 
Di sinilah masalah perdagangan orang jadi penting. “Kongres Amerika ternyata punya sebuah komisi yang memeriksa kesigapan negara-negara menangani kasus perdagangan orang. Sebenarnya, ini masalah uang. Kongres berusaha mengurangi jumlah bantuan yang harus diloloskannya. Soal perdagangan orang, ini bisa dijadikan alasan,” kata Irawati. “Waktu itu tahun 2002, tidak ada UU tentang perdagangan orang dan tidak ada data. Karena statistik kriminal Mabes Polri, kan, mengacu pada KUHP, kriminalitas di situ, ya, berarti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, pemalsuan dokumen, dll. Sementara, perdagangan orang, kan, ya, semuanya itu!” jelasnya lagi. Berdasarkan laporan komisi kongres itu, Indonesia ditempatkan di Tier 3, tingkat paling rendah. “Itu sama saja negara kita dianggap tak beradab. Ya, memang benar kalau kita lihat gadis-gadis berumur 14 tahun sudah dilacurkan di Batam,” komentar Irawati. Seperti biasa, soal status dan reputasi bisa langsung membugarkan birokrasi yang tadinya terkantuk-kantuk. Menko Kesra langsung membuat Rencana Aksi Nasional atau RAN yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan polisi, Departemen Sosial, dan LSM-LSM untuk memecahkan masalah perdagangan orang ini.

Pada praktiknya, RAN berguna untuk melatih kerja sama antara polisi-polisi di berbagai tempat, kerja sama yang diperlukan untuk melacak perdagangan orang yang lincah berpindah-pindah tempat, kerja sama yang tidak biasa dilakukan bintara-bintara Indonesia. “Misalnya, seorang bapak di Indramayu lapor, ‘Pak, anak saya kemarin telepon dari Riau, ia dipaksa jadi pelacur.’ Mungkin sekali si Polisi akan bereaksi, ‘Lho, Pak, itu, kan, kejahatannya terjadi di sana, itu, kan, kerjaannya polisi sana,’” contoh Irawati. Berkat RAN ini, peringkat Indonesia dinaikkan ke Tier 2. Akan tetapi, hal     ini justru membuat Irawati kecewa. “Saya bilang sama orang kongres itu, ‘Saya menyesal Anda sudah menaikkan Indonesia ke Tier 2. Sekarang semua orang pasti jadi puas, nanti tidak akan terjadi apa-apa.’ Dan, benar, kan?”

Memang, ternyata dengan tidak adanya UU yang mengatur, RAN yang ditetapkan Menko Kesra tersebut menjadi tidak ada hasilnya. Tetap tidak banyak kasus perdagangan orang yang sampai ke meja polisi (apalagi ke meja RPK) dan prosesnya seperti biasa juga, tetap digerogoti korupsi di mana-mana karena aparat yang seharusnya menjalankan RAN itu, justru sering menjadi pos-pos penting dalam perdagangan orang, seperti untuk menyediakan paspor dan KTP palsu. “Tidak mungkin itu terjadi tanpa campur tangan pegawai negeri,” kata Irawati. Awal 2006, Indonesia diturunkan peringkatnya menjadi 2.5 “Sebenarnya tetap 2, tapi masuk watchlist,” jelas Irawati.

Irawati berpendapat bahwa perdagangan orang, seperti juga pemasyarakatan RPK tadi, adalah masalahyang menyatudengan masalah kebudayandan kemiskinan di Indonesia. Memisahkannya sama susahnya dengan memisahkan bayi kembar siam. Mungkin sebaiknya jangan. Ia memberi contoh, “Soal memulangkan korban, misalnya, enggak gampang. Enggak bisa kitaselalu langsung memulangkan mereka ke rumahnya. Kalau dulu ia dijual sama bapaknya, bagaimana?” Irawati menganggap bahwa budaya patriarki Indonesia sering membenarkan kesewenangan bapak kepada anak perempuannya. Kesewenangan yang pastinya lahir dari himpitan kemiskinan juga. Irawati menceritakan satu contoh lagi, “Tahu Rawa Malang? Itu lokalisasi pelacuran pindahan dari Kramat Tunggak, di pinggir sungai yang sudah mengendap-endap, hitam. Ada seorang bapak yang datang ke situ seminggu sekali untuk minta nafkah dari anaknya yang jadi pelacur.”

Irawati juga menyebutkan bahwa banyak gadis pelacur seperti itu, “diijon” bapaknya pada usia 14 tahun, karena indoktrinasi agama yang tidak benar. Jadi, gadis pelacur itu berpikir bahwa yang dilakukannya, walaupun menyiksa, tetap sebuah bentuk pengabdian kepada orang tua yang nantinya akan diganjar pahala. Karena berbagai keruwetan moral di atas, satu-satunya hal yang bisa disimpulkan sekarang tentang perdagangan orang menurut Irawati adalah bahwa semua ini terlalu kompleks untuk ditangani secara dramatis.

Dengan demikian, masalah perdagangan orang yang tadinya coba digunakan untuk mempopulerkan RPK, ternyata masih perlu dipopulerkan juga. Paling tidak, semua orang harus sadar bahwa perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern slavery atau perbudakan modern dan yang dirugikannya—terutama— adalah perempuan. Mempersiapkan masyarakat untuk bisa menerima ide baru memang problem klasik Indonesia. Irawati mengumpamakan RPK tadi seperti jantung baru yang ditempelkan ke tubuh lama. Tugas penggerak-penggerak perempuanlah yang mempersiapkan tubuh lama untuk dapat menerima jantung barunya, antara lain dengan menyadarkan mereka tentang gawatnya masalah perdagangan orang sehingga setiap kantor polisi sebaiknya punya sebuah RPK kalau mereka memang ingin masalah ini ditangani secara serius dan manusiawi; juga mengawasi kerja RPK-RPK begitu mulai berfungsi dan distrukturisasi oleh undang-undang. Seperti halnya sebuah jantung baru, ia ada bukan berarti ia akan otomatis bekerja.

Sebagai seorang pensiunan Polwan, Irawati bisa bersaksi bahwa sejarah kepolwanandi Indonesiapenuhdengankisahperjuanganpembaruanyang membara sebentar, kemudian redup lagi karena sikap dingin patriarki dan maskulinitas yang tetap mendominasi Polri (Polwan hanya 3% dari seluruh polisi dan 70% dari  mereka adalah  bintara,  perwira rendah).  Penggerak-penggerak perempuan ini harus mengawasi hal-hal yang mungkin kelihatan kecil, tapi sebenarnya vital untuk kelangsungan RPK; bahwa di situ korban yang melapor boleh menangis, boleh minum dulu, boleh istirahat dulu, dan selalu dilayani dengan empati dan sabar. Seorang Polwan, si minoritas berpangkat rendah tadi, mungkin bisa melihat seorang korban dilayani tengah malam oleh polisi laki-laki yang mungkin malah melontarkan komentar-komentar seksis, tetapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.Seperti kata Irawati tadi ketika ia sedang berbicara tentang pengaruh Komisi Perdagangan Orang Kongres Amerika, “RPK tidak bakal jalan tanpa tekanan dari luar.” (Mikael Johani)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2006
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 46 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.



Siti Musdah Mulia: Allah Hanya Melihat Takwa, Bukan Orientasi Seksual Manusia

16/5/2016

 
Picture
Orientasi seksual lesbian telah dipandang sebagai orientasi yang “lian” oleh masyarakat. Sebabnya, menurut Siti Musdah Mulia, seorang tokoh feminis muslimah yang progresif, terletak pada konstruksi yang dicitrakan dalam budaya patriarki sehingga baik atau buruk, benar atau salah, tergantung dari sudut pandang laki-laki dan bukan dari kalangan perempuan. Berikut ini perbincangan Dewi Setyarini dari Jurnal Perempuan dengan perempuan kelahiran Bone, 50 tahun lalu, yang pada tahun 2007 kemarin mendapatkan penghargaan International Women of Courage Award dari pemerintah Amerika Serikat.
 
Jurnal Perempuan (JP): Menurut Anda, apa itu seksualitas dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap isu ini?
Siti Musdah Mulia (SMM): Masyarakat cenderung memandang seksualitas sebagai hal yang menjijikkan sehingga tidak pantas atau tabu dibicarakan di ruang publik, apalagi di hadapan anak-anak remaja. Menurut saya, seksualitas adalah sebuah proses sosial yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau berahi. Seksualitas adalah sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial (the socially constructed expression of erotic desire). Sesuatu yang bersifat positif dalam hidup manusia.

JP: Seksualitas perempuan acap kali salah dimengerti, apa sebabnya, dan bagaimana seharusnya seksualitas perempuan diperbincangkan?
SMM: Seksualitas perempuan adalah suatu hal yang independen dan menjadi hak perempuan sepenuhnya. Moralitas perempuan tidak dapat dinilai dari seksualitasnya dan tidak dapat dinilai berdasarkan sudut pandang  laki-laki.  Ia memiliki keunikan sendiri dan juga normalitas sendiri sebagai individu sebagaimana halnya laki-laki. Akan tetapi, ideologi patriarki memiliki peran yang menentukan dalam mengonstruksi citra publik tentang tubuh perempuan. Konstruksi patriarki tentang tubuh perempuan telah sedemikian merasuk ke dalam benak masyarakat. Tidak heran jika sudut pandang laki-laki lalu menjadi standar nilai dalam melihat tubuh perempuan. Standar inilah kemudian menjadi acuan menilai tubuh perempuan dalam semua aspek kehidupan.

Setiap manusia punya hak dan kebebasan atas tubuhnya. Perempuan mempunyai hak dan kebebasan atas tubuhnya sendiri, ia berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, melainkan sesuatu yang positif. Perempuan punya hak untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri.
Tubuh perempuan bukan sumber dosa dan keonaran sebagaimana sering diungkapkan dalam masyarakat. Pikiran dan pandangan yang kotor tentang tubuh itulah sumber malapetaka yang sesungguhnya. Nilai-nilai moral yang dideskripsikan oleh laki-laki ini sangat timpang karena dibuat berdasarkan asumsi laki-laki. Penilaian moralitas yang tidak adil ini membawa kepada lahirnya berbagai stereotip tentang tubuh perempuan. Tubuh perempuan selalu dianggap sebagai penggoda, perusak kesucian laki-laki, pembawa bencana, dan sejumlah stereotip negatif lainnya.

JP: Ada anggapan seksualitas itu natural dan disesuaikan dengan pasangannya, misalnya seksualitas perempuan disesuaikan dengan pasangan laki-lakinya, apa komentar Anda?
SMM: Bagi saya pendapat tadi keliru. Sejatinya, seksualitas selalu berkaitan dengan konstruksisosial. Konstruksisosial mengenai seksualitas mengikuti pola relasi gender, yakni relasi gender yang masih sangat timpang. Mengapa? Relasi gender masih didominasi oleh ideologi dan sistem patriarki. Sistem patriarki yang bersifat paternalistis masih membelenggu perempuan. Sistem patriarki membenarkan laki-laki menguasai, mengontrol kehidupan perempuan dalam seluruh aspeknya: sosial, hukum, politik, moral, dan agama. Sistem ini pada ujungnya melahirkan pembagian peran dan posisi yang sangat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan.

Seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas. Laki-laki selalu harus dalam posisi subjek. Sebaliknya, perempuan hanyalah objek, yaitu objek seks. Inilah yang membuat masyarakat menginginkan laki-laki harus agresif dan wajar jika perempuan dijadikan objek seks, dan pada gilirannya pandangan ini melegitimasi laki-laki melakukan pelecehan, perkosaan, dan kekerasan seksual.

JP: Islam dipahami sangat memusuhi homoseksual yang konon diambil dari kisah umat Nabi Luth, bagaimana tanggapan Anda?
SMM: Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf: 80—84 dan QS. Hud: 77—82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit, baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalahperilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath. Umumnya, masyarakat mengira setiap homo pasti melakukan sodomi untuk pemuasan nafsu biologisnya, padahal tidaklah demikian. Sodomi bahkan dilakukan juga oleh orang-orang hetero.

JP: Apa tanggapan Anda tentang pernikahan homoseksual—gay atau lesbian—bagaimana Islam memandang prinsip-prinsip pernikahan?
SMM: Penelitian saya terhadap 106 ayat Al-Qur’an yang bicara soal perkawinan dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip perkawinan Islam menganut prinsip monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan (al- taraadli), kesetaraan (al-musaawah), keadilan (al-’adaalah), kemaslahatan (al- mashlahat), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokratis (al-dimuqrathiyyah). Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah  tangga  yang bahagia dan sejahtera (sakiinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah); dan untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Konsekuensinya, pengertian perkawinan menjadi: ‘Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.’

Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (QS. Ar-Rum: 21, QS. Az-Zariyat: 49, dan QS. Yasin: 36), di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, tetapi bisa homo dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam. Sayangnya, tidak banyak manusia mau memahami ciptaan-Nya.

JP: Apa kritik Anda terhadap pandangan miring dan perlakuan yang meminggirkan lesbian?
SMM: Masyarakat kita senang dipuji sebagai masyarakat religius, tetapi religiusitas mereka sangat terkait dengan simbol-simbol agama, bukan dengan esensi agama itu sendiri. Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia, dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial, dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.
Masyarakat cenderung menilai kesalehan atau ketakwaan seseorang berdasarkan pada aspek-aspek susila ketimbang sosial. Tidak heran jika kalangan agama lebih peka pada persoalan lesbian, pornografi, prostitusi, homoseksualitas daripada problem sosial yang nyata, seperti kekerasan, kemiskinan, busung lapar, korupsi, kerusakan lingkungan, dan trafficking. Itulah ironisnya!

JP: Apakah dengan menjadi seorang lesbian seseorang kehilangan agamanya?
SMM: Setiap manusia, apa pun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius. Sayangnya, penilaian religiusitas di masyarakat cenderung mengandalkan simbol-simbol agama yang pada gilirannya membawa seseorang lebih mementingkan aspek luar, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, dan semacamnya. Pemahaman keagamaan yang kehilangan esensinya sangat berbahaya. Sebab, yang tersisa hanyalah simbol-simbol yang dapat digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dan untuk kepentingan apa saja. Setiap orang lalu mengklaim simbol-simbol tadi sebagai indikasi perilaku kesalehan atau ketakwaan, dan di sinilah awal mula kehancuran dalam peradaban manusia.
Agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia. Dalam hal orientasi seksual, misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual, dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, esksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan.

JP: Bagaimanakah seorang lesbian dapat tetap menghayati agamanya?
SMM: Tidak ada perbedaan antara lesbian dan bukan lesbian di hadapan Tuhan. Tuhan melihat manusia semata-mata berdasarkan takwa, bukan pada suku, agama, dan orentasi seksualnya. Bicara soal takwa, hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khayrat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau takwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad SAW., serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Ia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk, dan peduli kepada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertakwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini. (Dewi Setyarini)

Catatan Belakang: 
[1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2008
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 58, 2008 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.


Sri Danti: Negara dan Pemahaman CEDAW yang Lemah

10/5/2016

 
Picture
Meskipun sudah hampir 21 tahun kita meratifikasi Konvensi CEDAW, namun kita masih mempunyai sejumlah kelemahan, khususnya  mengenai implementasi Konvensi CEDAW ini. Pemerintah telah menunjuk Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) untuk menjadi leading sector pelaksanaan konvensi ini. Sebagai kementerian nonteknis, tugas ini bukanlah mudah, karena harus bersinergi dengan departemen-departemen teknis lainnya. Bukan saja menghadapi masalah struktur yang berat, menghadapi pola pikir jajaran instansi terkait yang masih menganggap remeh isu perempuan juga menjadi hambatan yang sangat serius. Bagaimana sejauh ini implementasinya dan apa yang menjadi hambatan utama KPP dalam mengimplementasikan Konvensi CEDAW? Berikut pemaparan Dra. Sri Danti, M.A., Asisten Deputi Urusan Pendidikan Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2006 dalam wawancaranya dengan jurnalis Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro[1].
 
Jurnal Perempuan (JP): Apa yang bisa dilaporkan dari implementasi konvensi CEDAW ini?
Sri Danti (SD): Selama 21 tahun ada banyak yang dilakukan, ya. Kita bisa melihat dari sejumlah kebijakan publik. Kalau kita bicara kesetaraan gender, sebetulnya kita sudah ada di Inpres No. 9 tahun 2000. Ada juga undang-undang mengenai HAM yang juga mengimplementasikan CEDAW, yaitu UU Pemilu dan sejumlah kebijakan-kebijakan mengenai kelembagaan. Fungsi KPP sendiri dalam implementasi CEDAW adalah berkoordinasi dengan instansi teknis terkait, seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sebagainya. KPP bukan sebagai pihak yang melakukan karena KPP bukan implementing agency. KPP adalah koordinator yang fungsinya merumuskan kebijakan-kebijakan untuk penghapusan diskriminasi. Kenapa perlu lembaga yang mengoordinasikan? Karena isu perempuan itu cross cuting, ya, atau lintas sektor yang tidak hanya dilakukan oleh satu departemen, tetapi oleh semua departemen terkait. Sama halnya dengan konvensi CEDAW, kalau kita lihat, di dalam konvensi itu banyak macamnya, yaitu pendidikan, kesehatan, politik, trafficking, keluarga, lembaga perkawinan, dan sebagainya.

JP: Selama ini apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya?
SD: Terus-terang, masih banyak hambatan dalam pelaksanaan konvensi CEDAW itu. Pertama, belum banyak orang paham isi konvensi tersebut. Ini karena konvensi yang diratifikasi 21 tahun lalu, namun sosialisasinya kita akui masih lemah;  karena yang  menangani  CEDAW,  terus terang,  tadinya tidak jelas di mana, jadi akhirnyasekarang kitaangkatkembali dengan strategi baru. Konvensi ini pernah kita terjemahkan, namun sosialisasinya masih terbatas karena kekurangan dana dan belum banyak harapan untuk mensosialisasikannya, itu yang menjadi permasalahan kedua.

JP: Bagaimana dengan instansi terkait lainnya berkaitan dengan implementasi konvensi ini?
SD: Departemen terkait lainnya masih perlu pembenahan. Dengan adanya mutasi sistem dan struktur yang terus berubah-ubah, akhirnya substansi konvensi CEDAW pemahamannya tidak melembaga, maka implementasinya masih terhambat. Tetapi, bukan berarti  mereka  tidak  melaksanakan.  Mereka melaksanakan, walaupun mereka tidak tahu bahwa apa yang dilakukan merupakan langkah CEDAW. Misalnya, mereka melaksanakan pengarusutamaan gender, itu, kan, dalam kerangka pelaksanaan CEDAW juga. Begitu pula dengan pembentukan gender focal point di masing-masing instansi untuk mengoordinasikan pelaksanaan, program yang responsif gender, dan sekarang sudah hampir di semua sektor. Jadi, yang muncul di permukaan adalah PUG (Pengarusutamaan Gender), bukan CEDAW, padahal payungnya itu, ya, CEDAW itu sendiri.

JP: Bagaimana seharusnya bentuk implementasi CEDAW ini untuk instansi terkait?
SD: Mestinya terlembaga, ya. Jadi, kalau pejabatnya pindah, substansinya tidak berubah dan sudah dipahami. Jika dalam struktur departemen terlembaga, maka jika orang yang bertanggung jawab menjadi focal point itu pindah, tentu lembaga yang ditinggalkannya tetap. Selama ini orangnya pindah, instansinya ikut hilang juga. Persoalannya juga, rata-ratayang menjadi focal point, apalagi di daerah-daerah itu, bukan eselon 2 yang tidak punya fungsi koordinasi. Padahal, namanya focal point itu, ya, harus decision maker yang bisa mengoordinasikan orang dan pemahaman-pemahamanyang tidak gampang itu. Orang ngomongin gender, orang selalu mikirnya perempuan, dan kalau sudah perempuan, mereka seolah-olah malas untuk membahasnya.

JP: Ada perbedaan signifikan antara pemahaman CEDAW dan PUG?
SD: Sangat signifikan, mereka itu tidak paham bahwa CEDAW itu landasan payungnya PUG sehingga mereka lebih memahami Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG. Kita paham, kita memang tidak terlalu mensosialisasikan konvensi itu. Jadi ada jurang memang, tetapi sekarang sudah harus mulai diperkenalkan lagi karena memang orang yang tidak paham substansi hukum itu, kan,  agak sulit memahami konvensi ini.
 
JP: Apa dengan demikian signifikansinya akan mempengaruhi pelaksanaan?
SD: Tidak, tidak apa-apa. PUG itu sebenarnya strategi untuk melaksanakan CEDAW. Konvensi CEDAW itu, kan, penghapusan diskriminasi, maka mereka sudah ada program, misalnya pendidikan untuk penghapusan buta huruf perempuan, kesehatan penurunan AKI, atau perdagangan perempuan, mereka sudah melakukan semua, tetapi mereka tidak menyadari bahwa payungnya adalah CEDAW. Jadi, yang harus diutamakan oleh kita sekarang adalah mengintensifkan sosialisasi Konvensi CEDAW tersebut.

JP: Apa aspek penting bagi bangsa Indonesia dengan meratifikasi Konvensi CEDAW ini?
SD: CEDAW itu, kan, landasan internasional. Kenapa kita ratifikasi, karena tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, itu yang pertama. Namun, yang lebih penting lagi karena konvensi ini digunakan untuk menegakkan hak asasi manusia dengan pendekatan right based, pendekatan kemanusiaan, laki-laki dan perempuan itu sama, yaitu manusia dan sangat universal. Jadi, pentingnya memahami konvensi ini adalah sebagai pendekatan payung pemberdayaan perempuan yang dijalankan.

JP : Bagaimana dengan aparatur penegak hukum?
SD: Mereka belum paham. Kita akui sosialisasi memang kurang, tetapi sedang kita intensifkan. Kita ingin, mereka yang sudah tersosialisasi  terpilih,  kita beri mereka TOT (Training of Trainers). Seharusnya, mereka yang sudah mendapatkan training bisa mensosialisasikan ke orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi kendala-kendala fokus program yang berbeda dan ini menjadi hambatan di hampir sejumlah departemen.

JP: Adakah persoalan lain yang menjadi hambatan utama?
SD: Ada, yaitu advokasi. Kalau kita advokasi, kan, harus mengubah pola pikir pejabat, nih, masalahnya, ketika kita mengundang pejabat, mereka selalu mewakilkan, jadi tidak pernah mereka sendiri yang duduk di situ, karena sekali lagi, mereka menganggap masalah perempuan adalah masalah perempuan sendiri, bukan masalah kita bersama. Mereka tidak membayangkan bahwa kalau kita memberdayakan perempuan, maka separuh masalah di Indonesia, sebetulnya, bisa terselesaikan, karena perempuan Indonesia, hampir separuh penduduk Indonesia, dan yang miskin banyak juga terjadi pada perempuan. Itu yang belum dipahami oleh pejabat-pejabat di sejumlah instansi.
 
JP: Lalu apa strategi ke depan dalam mensosialisasikan CEDAW ini?
SD: Kita akan mensosialisasikan ini ke beberapa provinsi. Kita harapkan setelah mereka dapat sosialisasi, bisa dilanjutkan sosialisasinya ke bawah. Namun, tidak hanya sosialisasi, tetapi juga bisa diimplementasikan dan itu menjadi tanggung jawab departemen teknis.

JP: Lalu bagaimana mengawasinya?
SD: Kita punya program kerja untuk menyusun laporan, monitoring pelaksanaan CEDAW, dan anggotanya sendiri dari instansi terkait.

JP: Sudah siapkah infrastruktur dan sistem yang mendukung pelaksanaan ini?
SD: Terus terang, capacity building-nya masih kurang. Selama ini hanya memakai suatu kelembagaan. Misalnya, di departemen kami sudah ada  focal  point, kita pakai dan kita tambah ilmunya. Lalu, mereka yang di  daerah, ada  biro PP (Biro Pemberdayaan Perempuan). Kalau selama ini yang disosialisasikan materinya PUG, maka kita tambahkan ilmunya pada substansi CEDAW. Tentu saja kementerian kita memfasilitasi apa yang dapat kita beri, seperti bantuan teknis, maka kita memberikan pelatihan. Karena kita tidak semuanya pintar dalam hal ini, maka kita bekerja sama dengan para mantan pejabat, NGO, atau pihak asing sebagai fasilitator. Kita mengharapkan mereka bisa melanjutkan ke bawah karena tangan kita terbatas, dana kita juga terbatas.

JP: Kapan Indonesia terakhir melaporkan implementasi CEDAW di Indonesia ini ke PBB?
SD: Kita sudah melaporkan yang pertama, kedua dan ketiga digabung, dan terakhir untuk laporan keempat dan kelima tahun 1995—2003, kita sudah mengirimkannya tahun 2005 lalu, dan kita sekarang sedang menunggu komentar mereka.

JP: Dalam laporan kemarin apa saja hambatannya?
SD: Hambatannya data itu, kita sangat lemah untuk laporan, terutama untuk departemen terkait karena mereka tidak mengerti CEDAW. Yang kedua, kebanyakan dari mereka hanya project oriented, setelah membuat kegiatan, ya, begitu saja, tidak ada laporan, tidak ada data, dan sebagainya. Lalu, mereka tidak ada data terpilah, data terpilah itu lemah sekali di departemen karena untuk membuat data terpilah mahal sehingga kita cukup sulit sekali untuk mengukur keberhasilan yang sudah dicapai. Laporan kita itu banyak yang kualitatif dan mestinya, kan, ada statistiknya juga. Sekali lagi, kelemahan kita sesungguhnya di reporting dan recording.

JP: Apa strategi baru untuk mengatasi masalah tersebut?
SD: Salah satu cara kita untuk pertama kali adalah membentuk Pokja, orangnya juga kita harapkan tidak ganti-ganti. Kedua, kalau dulu bikinnya borongan dalam jangka waktu delapan tahun—karena tidak ada yang bertanggung jawab untuk menyusun, padahal mestinya ada yang incharge laporan ini—maka, sekarang ini kita mulai bikin tahunan, mulai 2004—2008. Saya juga menunggu data dari teman-teman, dan kenyataannya sulit. Saya tidak tahun mengapa, padahal CEDAW ini bukan pemerintah, melainkan negara, dan kalau negara itu elemennya banyak, termasuk NGO, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Kita hanya diserahi tugas untuk melaporkan saja. Anehnya, kalau sudah persoalan laporan, biasanya pada lari semua.

JP: Dibandingkan dengan negara lain, bagaimana implementasi CEDAW di Indonesia?
SD: Indonesia relatif maju karena kita sudah ada lembaga yang menangani perempuan, di negara lain belum tentu. Kita dianggap sudah maju, kita punya institusinya, menterinya, peraturan kebijakan lain yang mendukung, strategi, dan infrastruktur di daerah. Namun, karena kita besar, maka tidak semua tertangani dengan cepat. (Eko Bambang Subiyantoro)

Catatan Belakang:
[1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2006
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 45, 2006 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.


<<Previous
Forward>>

    Author

    Redaksi Jurnal Perempuan 

    Archives

    February 2021
    January 2021
    September 2017
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com