Mayling Oey-Gardiner, pengajardi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sejak tahun 1971, adalah Guru Besar FEUI, perempuan pertama yang dikukuhkan pada tahun 2001 dan menjadi Ketua Senat Akademi dan Sekretaris Dewan Guru Besar FEUI untuk periode 2003—2007. Pendidikan tinggi sempat dienyam oleh Mayling Oey di dua sekolah tertua di Amerika Serikat, yaitu College of William and Mary (1968—1970) dan Harvard University (1972—1974). Mayling Oey adalah orang Indonesia pertama yang mencapai Ph.D di bidang demografi yang diperolehnya dari Australian National University tahun 1982. Mayling banyak berperan di lembaga penelitian dan konsultasi Insan Hitawasana Sejahtera (IHS) yang berfokus pada masalah sosial, ekonomi, dan demografi, seperti kemiskinan, gender, dan keterbatasan akses kaum marginal pada sarana dan prasarana sosial serta pelayanan publik. Di samping itu, Mayling baru menyelesaikan tugas sebagai anggota DRN (Dewan Riset Nasional) periode 2005—2011 dan sejak 2008 menjadi anggota AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).[1] Pengabdian Mayling Oey pada masyarakat ditujukan oleh keterlibatannya dalam berbagai LSM dalam maupun luar negeri. Tulisan berbentuk artikel dan buku telah banyak dihasilkan, beberapa di antaranya The Role of Manufacturing in Labour Absorption: Indonesia since the 1970s, Changing Works Patterns of Women in Indonesia during 1970, serta buku berjudul Demographic Factbook of Indonesia. Buku-buku Mayling lainnya berjudul Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini dan Indonesian Women: The Journey Continues. Untuk pidato pengukuhan sebagai Guru Besar FEUI, Mayling Oey menyiapkan “Mendobrak Langit-Langit Kaca: Lambat Memang namun Tak Terelakkan”. Jurnal Perempuan mewawancarai Mayling Oey tentang kebijakan dalam hal kependudukan berkaitan dengan status ekonomi perempuan dan dampaknya pada kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Di rumah yang teduh dan penuh buku, kami diajak ke pondok kerjanya untuk membahas segala persoalan ini dengan panjang lebar. Jurnal Perempuan (JP): Ibu Mayling adalah ahli pertama di Indonesia dalam bidang demografi. Apakah yang perlu kita ketahui tentang demografi? Mayling Oey (MO): Demografi bila dipahami secara awam adalah mempelajari soal perubahan penduduk yang disebabkan oleh ada yang dilahirkan (juga disebut fertilitas) dan ada yang meninggal (disebut juga mortalitas), juga ada yang pindah masuk (migrasi masuk), dan ada pula yang pindah keluar (migrasi keluar)—berkaitan dengan TKI. Di samping itu, demografi juga mempelajari tentang lamanya hidup seseorang atau sekelompok orang dan dinamika kependudukan berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi dan tentu saja kesejahteraan. Dengan latar belakang pendidikan saya sebelumnya, yaitu sosiologi, demografi yang saya geluti tidak menekankan pada matematika atau hitungannya, tetapi lebih mempelajari aspek sosial dari kependudukan itu. Misalnya, kesejahteraan berhubungan terbalik dengan harapan hidup. Semakin kurang sejahtera seseorang, kemungkinan umurnya semakin pendek, atau sebaliknya, semakin sejahtera, semakin tinggi kemungkinan dia bisa hidup lebih lama. Kalau tidak sejahtera, kemungkinan dia lebih rentan terhadap penyakit sehingga bisa menyebabkan kematian. Umumnya, yang lebih sejahtera lebih mampu bersekolah, lebih mampu menjaga kesehatan. Misalnya, saya bisa bayar dokter karena saya sudah cukup sejahtera. Orang yang lebih atau kurang sejahtera, seperti apakah pendidikan dan kesehatannya? Bagaimana pola dan cara hidupnya? Semua itu dapat dipelajari. Studi kependudukan dapat dipahami dengan pertanyaan awam: mengapa kematian bayi tinggi? Mengapa ibu yang melahirkan, ada yang meninggal ada yang tidak? Itu kalau kita bicara soal kematian ibu. Lalu, pekerjaan apa yang dilakukan oleh mereka yang lebih sejahtera atau yang kurang sejahtera? Biasanya semua itu sangat terkait dengan perekonomian. Sampai sekarang yang masih sukar dicapai adalah meningkatkan proporsi angkatan kerja di sektor formal. Data BPS tahun 2011 menunjukkan bahwa hanya 1/3 (34%) pekerja terserap dalam sektor formal (Sakernas Agustus 2011). Sebaliknya, 2/3 terpaksa mencari sesuap nasi di sektor informal. Apakah sektor formal itu? Yaitu sektor yang terlindungi oleh hukum. Pekerja sektor formal diikat dengan tanggung jawab dan hak yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja, lembaga yang berbadan hukum yang harus mengikuti aturan negara. Karena mengikuti aturan negara, maka pekerjaannya terlindungi oleh aturan negara tersebut. Sektor informal yang meliputi 2/3 keseluruhan pekerja, banyak diisi perempuan. Jadi, perempuan kecenderungannya lebih banyak di sektor informal atau sektor yang tidak terlindungi. Dulu banyak literatur yang mengatakan, “Perempuan mau saja diperlakukan tidak adil, mereka diam saja.” Menurut saya, mereka berperilaku demikian bukan karena tidak berani, melainkan memang kelemahan status mereka. Mereka memang tidak mampu untuk berjuang setingkat laki-laki. Status mereka dipekerjakan jauh lebihrentan daripada laki-laki walaupun belakangan ini memang terjadi perubahan. JP : Perubahan seperti apa yang dimaksud? MO: Perubahannya sangat dipengaruhi perubahan mendasar di pendidikan. Pendidikan sekarang makin dapat diakses oleh perempuan. Mungkin 20 tahun yang lalu perempuan ketinggalan, tetapi sekarang tidak lagi. Anak perempuan diberi akses sama pada pendidikan seperti anak laki-laki. Hal ini tidak hanya berlaku pada tingkat pendidikan terendah, tetapi hingga perguruan tinggi. Perkembangan di Indonesia sebenarnya searah dengan yang terjadi di dunia. Paling menarik adalah gejala di dunia, termasuk Indonesia, mengenai perkembangan di tingkat perguruan tinggi yang jauh lebih cepat untuk perempuan daripada laki-laki. Antara 1970 hingga 2008, jumlah siswa perempuan meningkat lebih dari tujuh kali (dari 10,8 juta menjadi 80,9 juta), sedangkan jumlah siswa laki-laki hanya meningkat empat kali (World Bank, World Development Report 2012: 108). Kalau dahulu kesenjangan gender begitu lebar, sekarang sudah praktis tak ada dan bahkan telah berbalik. Contohnya, semester lalu saya mengajar empat kelas. Isinya lebih banyak perempuan semua. Di pascasarjana, dari 14 mahasiswa, 10 adalah perempuan. Ini merupakan pengalaman pertama untuk saya ketika perempuan begitu dominan di kelas saya. Siangnya saya mengajar di S1 yang mencatat 20 dari 34 mahasiswa saya adalah perempuan. Ini di fakultas ekonomi. Di sekolah swasta yang agak mahal, rupanya juga lebih banyak perempuan. Hipotesis saya dulu adalah bahwa laki-laki lebih banyak sekolah daripada perempuan karena memang dalam keterbatasan keuangan keluarga, prioritas diberikan kepada laki-laki, karena waktu itu kesempatan kerja untuk perempuan sangat terbatas sehingga investasi dalam pendidikan kurang memberikan hasil bagi keluarga di kemudian hari. Dulu, perempuan kelas menengah atas diberi tahu, buat apa sekolah nanti, kan, juga berakhir di dapur saja. Memang masuk akal karena ketika itu perempuan hampir tidak ada kesempatan kerja, hanya akan berakhir di dapur. Perubahan status ekonomi ini sebetulnya juga didorong oleh pendidikan, yang di satu pihak memperluas wawasan dan kemampuan, di lain pihak sistem pendidikan juga membuka kesempatan kerja bagi perempuan. Hal ini dimulai sejak 1970-an ketika Indonesia punya uang berlebih yang tiba-tiba, dihasilkan bukan karena kita kerja, melainkan karena harga jual minyak bumi yang tiba- tiba naik dan cadangan masih banyak. Sebagian dana itu dialirkan ke sektor sosial, sebagai, misalnya, program SD Inpres yang membutuhkan tenaga guru, pekerjaan yang layak bagi perempuan. Inilah kesempatan pertama bagi perempuan memperoleh pekerjaan di sektor formal sebagai pegawai negeri karena persyaratan SD Inpres adalah agar terdapat sekurang-kurangnya satu sekolah per desa. Program ini betul-betul meluas. Akibat lain adalah bahwa sekolah menjadi dekat. Kalau sebelumnya perempuan tidak diperbolehkan sekolah karena jarak sekolah yang sangat jauh, SD Inpres mendekatkan sekolah pada rakyat. Itulah awal orang mengatakan, “Ternyata perempuan itu bisa juga dapat pekerjaan.” Dan, pekerjaan tersebut di sektor formal. Investasi kedua waktu itu adalah dalam bidang kesehatan. Bersamaan dengan program SD Inpres, juga diberlakukan program puskesmas. Kalau SD pada tingkat desa, puskesmas pada tingkat kecamatan. Memang belum banyak, tetapi jauh lebih banyak dari sebelumnya. Puskesmas juga membuka kesempatan kerja bagi perempuan. Kedua program ini betul-betul mendobrak kepercayaan bahwa perempuan tidak perlu sekolah karena, toh, hanya berakhir di dapur. Sejak itu orang tua sadar bahwa anak perempuan tetangga bisa menjadi pegawai negeri karena sekolah. Berarti, anak perempuan yang bersekolah akan lebih mampu mengurus orang tua ketika mereka menjadi tua, sebagai jaminan hari tua. Tahun ‘70-an, fertilitas (angka kelahiran) masih tinggi dan mulailah BKKBN berperan untuk mensosialisasikan sesuatu pengertian yang salah, yaitu “banyak anak banyak rejeki”. Sebenarnya, keadaan yang berlaku adalah bahwa banyak anak banyak kemiskinan. Ketika itu, banyak sekali program pembangunan sosial dan ekonomi terjadi bersamaan. Pada masa itu, fertilitas tinggi, mortalitas (angka kematian) juga tinggi, dan orang tua perlu kepastian bahwa nanti waktu mereka tua, masih ada yang mengurus mereka. Kalau anak cuma satu atau dua, begitu tua siapa yang mengurus dia? Semua ini juga berkaitan dengan agama. Semua agama mengatakan menikah itu untuk reproduksi, disuruh beranak- pinak. Kalau sekarang, anak yang diharapkan mengurus dia diganti tabungan atau harta untuk bisa bayar ke dokter. Dengan adanya pendidikan, dengan sarana prasarana kesehatan membaik, orang juga bisa hidup lebih lama. JP : Bagaimana dengan periode tahun berikutnya? MO: Pada pertengahan 1980, kita tidak begitu kaya lagi. Harga disesuaikan kebutuhan anggaran. Waktu harga minyak naik lagi, cadangan sudah berkurang dan tidakseimbang lagipengeluaran kitadengan kebutuhan. Apakahyangterjadi bila anggaran berkurang? Di mana pun termasuk Indonesia, akan dilakukan pengurangananggarandi sektorsosial,yaitupendidikandan kesehatan. Memang kelihatan waktu itu ada penurunan sedikit, sementara dirasakan harus ada sesuatu yang dilakukan. Waktu itu menteri keuangan melaksanakan deregulasi atau mengurangi regulasi yang memungkinkan swasta lebih berperan. Aturan perbankan diubah, lalu bank-bank berjamuran. Demikian juga berbagai aturan perizinan diubah. Akibatnya terjadi yang dinamakan substitusi impor, ketika asing berinvestasi di sektor industri Indonesia. Kita mulai menghasilkan barang-barang jadi yang sebelumnya diimpor. Industri padat karya berskala internasional seperti merek sepatu Nike dan lain-lain berkembang di Indonesia. Inilah yang membuka kesempatan kerja bagi perempuan yang dianggap lebih sabar dan teliti. Fakta ini mengubah pandangan orang tua tentang pendidikan anak perempuannya. Pendidikan buat anak perempuan akan sangat berarti, akan memungkinkan anak perempuannya memperoleh kesempatan kerja yang dibayar. Orang tua mengetahui bahwa pendidikan membawa harapan, termasuk harapan mengurus dirinya di hari tuanya. Perubahan itulah yang menyadarkan orang tua akan pentingnya kesediaan orang tua berinvestasi dalam pendidikan anak perempuannya. JP: Kembali tentang sektor formal dan pendidikan yang kini dapat diakses perempuan, apakah sudah cukup? MO: Tentu saja masih jauh dari cukup. Masalahnya, perekonomian kita belum mampu membuka kesempatan kerja di sektor formal dengan kecepatan yang memadai keluaran sistem pendidikan tinggi. Walaupun demikian, sebagaimana saya ungkapkan sebelumnya, di Indonesia pun perempuan makin mendominasi mahasiswa perguruan tinggi. Keadaan Universitas Indonesia memberi gambaran yang dapat dianggap sebagai pedoman perkembangan komposisi gender mahasiswa perguruan tinggi umumnya. Di antara pelamar tahun akademik 2011—2012, 55% adalah perempuan. Mahasiswa baru 55% adalah perempuan, lulusan universitas 50% perempuan, lulusan cumlaude 70% perempuan. Di sektor formal, perempuan sudah banyak masuk, tetapi begitu sebagai pengambil keputusan, “pintu ditutup”. Karena KKN masih banyak terjadi di daerah yang masih mengandalkan organisasi tradisional, maka dalam pemilihan dan penempatan PNS tetap saja prioritas diberikan kepada pria. Jadi, kalau lihat skala nasional, tetap masih hanya di beberapa kota seperti di Jakarta yang makin banyak karyawannya adalah perempuan. Di lembaga pemerintah eselon rendahan, makin banyak diduduki perempuan yang memang juga lebih mampu secara akademis. Hal ini berkaitan dengan lebih sukarnya untuk perempuan memperoleh kesempatan kerja dan kedudukan manajerial di pemerintahan, maka perempuan yang berhasil memang diperoleh secara lebih selektif. JP : Apakah akan berubah? MO: Ya. Saya percaya bahwa keadaan harus berubah. Dengan Indonesia terus berusaha mengejar pembangunan, maka organisasi lembaga pemerintahan juga harus berubah menuju organisasi modern dan rasional, memberikan kedudukan pada yang mampu. Perubahan itu akan terjadi dengan pendidikan. Karena pendidikan, bagaimana pun juga, memberikan perluasan wawasan, kemampuan, dan menaikkan kepercayaan diri. JP : Bicara ekonomi dan perempuan, muncul banyak konsep tentang feminisasi kemiskinan. Bagaimana menurut Ibu? MO: Terus terang, saya tidak tahu bagaimana mengukur feminisasi kemiskinan secara nasional. Kalau dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu, iya. Maksud saya, dalam banyak masyarakat, perempuan hidup lebih lama. Maka, di antara yang miskin dan tua dan makin tua, kebanyakan adalah perempuan. Tapi, secara nasional tidak bisa diukur karena secara nasional, kemiskinan itu diukur dari pendapatan atau pengeluaran rumah tangga. Di situ jumlah laki- laki dan perempuan hampir sama. Kalau dikatakan makin banyak perempuan yang jadi tua, misalnya Merapi meletus, yang menjadi korban kebanyakan perempuan dan tidak ada bantuan dari negara, itu iya. Feminisasi kemiskinan itu sebetulnya konsep dari subkontinen sekitar India yang belum tentu benar untuk di sini. Begitu juga konsep di Amerika yang belum tentu bisa benar untuk di sini. Budaya dan agama India menentukan status perempuan di bawah laki-laki dan perempuan praktis menjadi milik keluarga laki-laki ketika menikah. Di Amerika benar ketika perceraian meningkat perempuan menjadi sulit karena tanggungan setelah cerai harus diurus sendiri. Meskipun dapat perlindungan sosial dari negara, itu tidak cukup, dan itu jumlahnya banyak. Di sini kita tak bisa ukur, kecuali secara nasional. Kalau dikatakan itu tadi (feminisasi kemiskinan), di antara perempuan yang masih single banyak sekali yang kaya, yang main di bursa. Jumlah mereka ini mengimbangi kelompok perempuan yang miskin itu. Jadi, kalau dirata-ratakan secara nasional, tidak ada feminisasi kemiskinan. Belum lagi yang muda-muda berpendidikan tinggi seperti bankir, memangnya mereka miskin? Begitu pun dengan ibu rumah tangga yang tinggal di apartemen. Ibu muda juga ada yang bergaji besar sekali. Kalau saya bertemu, mereka yang muda-muda mampu belanja di toko, di mal yang mahal-mahal. Mereka ini mengimbangi yang kalau dihitung total, they’re very educated, high incomes yang angkanya saja puluhan juta, belanjanya merek-merek mahal. Pertumbuhan mereka bahkan lebih cepat dari yang tua dan miskin itu. JP: Apakah komitmen kita tentang MDGs (Millenium Development Goals) akan tercapai? MO: Dalam bidang kesehatan tidak akan tercapai. Bidang pendidikan, ya, sudah tercapai. Kalau diukur sebagai Angka Partisipasi Kasar[2] yang digunakan pemerintah, maka untuk tingkat SD sudah mencapai 112%, tingkat SLTP 80%, tingkat SLTA 63%, namun untuk tingkat pendidikan tinggi baru mencapai 16% (BPS, Susenas 2010). JP : Bila SD, SMP, sampai SMA berhasil mencapai lebih dari 50%, mengapa tingkat perguruan tinggi hanya 16%? MO: Inisoal demand dan supply karena tidak banyak pekerjaanyang membutuhkan pendidikan tinggi sehingga permintaan akan pendidikan tinggi juga terbatas. Pada tingkat pascasarjana, permintaan pendidikan tergantung dari bidang ilmu. Saya bicara dengan Dikti. Saya dari fakultas ekonomi yang guru besarnya sedikit sekali, terutama akuntansi dan manajemen. Kita mau merekrut lulusan kita untuk melanjutkan pendidikannya ke pascasarjana. Hal itu tidak mudah karena mereka memilih langsung kerja. Sementara, di fakultas sains, penuh doktor dan profesor, justru karena tidak laku (di lapangan kerja). Mahasiswa mencari yang mudah karena hanya meminta secarik kertas saja (ijazah). Pasar pendidikan tidak untuk mencari pengetahuan, tetapi “membeli ijazah”. Kalau perguruan tinggi swasta, programnya cenderung occupational. Jadi, yang dibuka adalah program yang mengajarkan skills (keterampilan), bukan ilmu pengetahuan. Program seperti ini, biasanya akuntansi, manajemen, arsitektur, desain produk, desain komunikasi visual, komunikasi, psikologi, dsb. Negara lain, seperti Malaysia, berani investasi di bidang pendidikan. Di Indonesia, pendidikan disubsidi sampai 20% dari APBN dan APBD. Sayangnya, sebagian besardigunakan untuk gajian, sedangkan bagian yang benardigunakan untuk mengembangkan pendidikan, tinggal sedikit, antara 10—20%. JP : Bagaimana dalam hal kesehatan? MO: Di MDGs kita berjanji untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) hingga 3/4 dari keadaan tahun 1990 atau menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Perkiraan terakhir (yang juga tidak terlalu pasti) menunjukkan angka 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup untuk periode 2003—2007 (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2007). Memang, masa lampau Indonesia berhasil menurunkan AKI dari 390 untuk periode 1990—1994 menjadi 334 untuk periode 1993—1997 dan 307 untuk periode 1998—2002 (SDKI), cukup drastis, yaitu sekitar 21%. Namun, menurunkan AKI dari 200-an kematian tidak terlalu mudah. Jadi, kalau angkanya masih jelek sekali, memperbaiki gampang. Kalau sudah membaik, perbaikannya tidak begitu gampang. Salah satu alasannya begini. Memang kelahiran yang dibantu dengan tenaga terdidik meningkat, sekarang sebagian besar kelahiran sudah ditangani tenaga terdidik, terdiri dari dokter umum (1%), dokter ahli kandungan (12,6%), dan perawat, bidan, atau bidan di desa (59,4%) (SDKI 2007). Tetapi, sekarang penyebab kematian ibu adalah karena kasus yang sulit, yaitu bukan soal kelahiran normal. Kalau kelahiran sukar, dampak kematian seperti pendarahan harus cepat ditangani. Untuk ke Puskemas yang letaknya di ibu kota kecamatan, kemungkinan terlalu jauh, terutama bagi yang kurang mampu. Nah, makin banyak pendarahannya. Sesampai di puskesmas, ternyata kasusnya lebih sulit dari yang diperkirakan. Puskesmas terdekat sering tidak dapat menanganinya dan merekomendasi agar ditangani di rumah sakit. Sementara, rumah sakit letaknya di kabupaten. Sampai puskesmas saja, si ibu sudah pingsan, sampai rumah sakit akhirnya banyak yang meninggal. Jadi, ini soal mata rantai yang kepanjangan. Dan, jangan lupa, kebanyakan bidan itu swasta, begitu pula dokternya. Segi lain, pengetahuan bidan terbatas. Bidan di desa sering tidak dapat mengidentifikasi komplikasi karena tidak punya pengetahuan yang dibutuhkan. Kemudian dia harusapa, juga tidak tahu. Saya ke Papua, kepadatan penduduknya rendah sekali, jaraknya berjauhan. Saya waktu di Wamena, untuk ke kecamatan sebelah itu jaraknya berjam-jam. Sampai sana tidak ada bidan. Bidannya di kota. Atau pula, bidan yang ada, pengetahuannya sangat terbatas. Bagaimana mau mengajari, sekolahnya saja tak ada. Desa sangat kurang sekolah. Jadi, bagaimana dia tahu kalau ada komplikasi? JP : Apakah kesulitan tersebut disebabkan pula oleh tidak adanya program atau kebijakan daerah setempat? MO: Pusat (nasional) tetap memegang peran besar. Daerah memang tidak ada uang walau sebetulnya itu menjadi tanggung jawab daerah. Misalnya, untuk membayar bidan, anggaran sudah dihabiskan untuk hal-hal lain. Dulu, program imunisasi mudah karena sentralisasi. Adanya desentralisasi, adanya otonomi, tapi tidak bertanggung jawab pada konstituennya, tanggung jawab pada kantong sendiri. Sekarang, program pemerintah banyak yang kerjanya membangun gedung. Puskemas banyak yang bagus, tetapi begitu masuk bagian darah, saya tidak betah karena kotor. Bayangkan, bagian darah dengan ruangan yang kotor? Saya jadi memilih rumah sakit swasta yang terjamin kebersihannya. Kita ini tidak punya sense. Dapat membangun gedung, tapi lihatlah dalamnya. Pemerintah hampir tidak menyediakan dana pemeliharaan. Kalau dahulu tidak ada kapro (kepala proyek) pemeliharaan, sekarang tidak ada satker (satuan kerja) pemeliharaan. Yang ada, ya, proyek membangun gedung dan membeli barang, seperti proyek Palembang dan Hambalang yang sekarang menjadi kasus yang ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2012 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 74, 2012. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. [2] Angka Partisipasi Kasar diukur sebagai rasio antara semua penduduk yang mengikuti suatu tingkat pendidikan dibagi penduduk usia tingkat pendidikan bersangkutan. Karena masih banyak siswa SD terlambat memulai sekolah dan harus mengulang kelas, maka mereka berusia melebihi usia formal SD, 12 tahun. Hal ini lebih banyak ditemukan di antara anak kurang mampu. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |