Maria Farida Indrati yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah 14 Juni 1949, adalah hakim perempuan pertama yang terpilih di Mahkamah Konstitusi Indonesia (MK) dengan masa jabatan 2008—2013 [1]. Maria Farida sebelumnya menjadi guru besar ilmu perundang-undangan di Universitas Indonesia dan menjabat sebagai ketua Bidang Perundang-Undangan, ketua Komisi Perundang-Undangan di Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, anggota tim perumus dan anggota tim penyelaras pada Komisi Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, serta anggota Board of Advisor, International Consortium on Law and Development (ICLAD)-Boston University Program on Legislative Drafting for Democratic Social Change. Maria pernah menjadi anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan Republik Indonesia sebagai ahli dalam perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Maria Farida juga memperdalam ilmunya di bidang Pendidikan Teknik Perundang-Undangan (legal drafting) di Leiden, Belanda; Pendidikan Legislative Drafting Boston University School of Law, Amerika Serikat; serta The Residence Course in Legislative Theory, Methodology and Techniques, Boston University School of Law Boston, Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan, Jurnal Perempuan mewawancarai Maria Farida di ruang kerjanya di Mahkamah Konstitusi saat jeda memimpin sidang uji materi undang-undang bersama hakim-hakim lainnya. Ketika ditanya apa yang mendorong Maria Farida menjadi hakim MK, Maria menjawab bahwa sebetulnya ia ditelepon oleh Watimpres yang diminta oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mengikuti tes sebagai hakim MK. Ia tidak pernah berpikir akan lolos dari tes tersebut karena selama ini konsentrasinya mengajar yang menurutnya pekerjaan paling menyenangkan. Sebelum dipilih oleh presiden untuk mengikuti tes pemilihan hakim MK, teman-temannya sudah mendorongnya, tetapi ia berkali- kali menyatakan lebih senang mengajar. “Ketika presiden memilih saya, saya merasa tidak pantas untuk menolak,” tegasnya. Ketika menghadapi tes, Maria Farida tidak melakukan persiapan apa-apa, kecuali membuat satu Curriculum Vitae dan makalah singkat mengenai MK yang tidak pernah ia buat sebelumnya. Selain itu, ia juga harus menyatakan persetujuan seandainya lulus dan terpilih menjadi hakim MK. Maria Farida memang telah beberapa kali direkomendasikan oleh berbagai ahli hukum untuk melamar sebagai hakim MK, dan kali ini ia masuk di dalamnya. Pada saat menghadap presiden, Maria pernah berkata bahwa presiden jangan kecewa kalau ia memutuskan hal-hal yang tidak berpihak kepada presiden. Ketika ditanya bagaimana pengalaman pertamanya sebagai hakim perempuan satu-satunyadi MK, ia menegaskan bahwa iatidakdibedakandi antarahakim-hakim pria. “Kadang-kadang, ada pertemuan 80 sampai 100 orang dan perempuannya hanya saya sendiri, dan saya sudah terbiasa seperti itu.” Berkaitan dengan tema Jurnal Perempuan yang mengangkat masalah perempuan dan keluarga, Maria Farida bercerita bahwa baru-baru ini terjadi perdebatan terkait uji materi Pasal 43 UU Perkawinan tahun 1974 tentang Status Anak di Luar Nikah yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum diuji, salah satu pasal berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.” Setelah diuji, materi menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.” Artinya bahwa MK telah menyatakan sah bahwa anak yang lahir di luar nikah memiliki pengakuan keperdataan. Pertentangan keras ini muncul dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap MK telah melegalkan perzinaan. Sementara itu, MK menyatakan bahwa putusan tersebut menekankan agar orang tua di luar nikah dalam hal ini laki-laki tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya atas hubungannya yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Tujuan putusan tersebut supaya anak mendapatkan hak perdata dan tercatat sebagai warga negara dan untuk melindungi anak di luar nikah dari sebutan “anak haram” yang sarat diskriminasi. Maria menyatakan bahwa keputusan tersebut dibuat sangat lama, yaitu dari perkara tahun 2010. Perkara yang menyangkut hukum agama, hukum moral, dan adat menurutnya memang sangat kompleks, sementara tugas hakim MK adalah merumuskan hukum positif yang dikaji dengan Undang-Undang Dasar. Masalahnya, di balik kajian-kajian tersebut selalu berkaitan dengan hukum- hukum yang tidak tertulis (hukum agama dan adat–red) sehingga dalam membuat keputusan menjadi sangat lama, tetapi perlu ada kesepakatan akhir. Maria mengamati bahwa UU perkawinan masih ada masalah, seperti dalam syarat-syarat perceraian, bagaimana mungkin seorang istri yang sakit keras atau tidak punya anak dapat menjadi alasan untuk memutuskan perceraian? “Bukankah kalau kita menikah, maka kita menerima pasangan dalam keadaan sehat dan sakit, keadaan susah dan senang?” Karena itu, Maria menganggap bahwa UU perkawinan tidak menunjukan perlindungan penuh pada hak perempuan dan anak. Masalah UU yang tidak melindungi perempuan, simpulnya, menjadi rumit ketika hukum positif terbentur pada hukum agama dan hukum adat. Dalam hal warisan, ia menyatakan Indonesia belum memiliki hukum warisan nasional karena berbagai macam adat dan agama memiliki ketentuan sendiri. Inilah sulitnya menciptakan hukum positif. Seperti di Tapanuli, tentu anak laki-laki lebih diutamakan, sementara Minangkabau lebih pada anak perempuan. Sementara itu, dalam hukum Islam, laki-laki dan perempuan, pembagiannya adalah dua banding satu. Di sinilah persinggungan hukum positif dengan hukum adat dan agama. Sangat sulit menetapkan rumusan yang ideal untuk UU perkawinan karena bergantung pada agama dan adat apa. Kalaupun mungkin, perlu menetapkan ukuran yang baku, tetapi tanpa melenyapkan perbedaan-perbedaannya karena berpotensi terjadi perselisihan. Di agama Katolik, menikah itu cukup sekali saja dan diatur oleh agama itu sendiri. Sementara agama lainnya, seperti Islam, perceraian dibolehkan. Tidak mudah menciptakan aturan yang sama dalam perkawinan karena masyarakat masih meyakini hukum agama dan adat, tetapi menurutnya memang seharusnya ada jalan. Mengenai UU jaminan sosial, terutama soal keluarga, ekonomi, dan pengasuhan, Maria menyatakan Indonesia sudah memiliki UU tentang jaminan sosial nasional, tetapi masih untuk pegawai negara yang kenyataannya memang membedakan laki-laki dan perempuan. Padahal, sebetulnya, setiap undang-undang selalu ada pasal yang menyatakan berlaku untuk setiap orang. Seandainya hal itu yang dihormati, tentu tidak ada diskriminasi dalam rumusan-rumusannya, dan tentu perlu ada perbedaan secara kodrati, seperti cuti hamil dan haid yang tidak mungkin diberlakukan pada laki-laki. Ketika ditanya mengapa Maria Farida tidak setuju dengan UU kesetaraan gender, bukan karena ia tidak setuju pada kesetaraan gender itu sendiri, melainkan sebaiknya tujuan kesetaraan gender diterapkan dalam aturan di bawah UU yang sudah ada, seperti pendidikan dan kesehatan. Melalui pendidikan, seseorang akan mudah mencari kesesuaian tentang kesetaraan satu dengan yang lain. “Misalnya, kita punya UU sistem pendidikan dan wajib belajar. Kalau semua orang belajar, termasuk kaum ibu yang banyak tidak mengenyam pendidikan, bila dibuat aturan nonformal, seperti paket A, B, dan C, maka ia mulai memiliki kesadaran tentang kesetaraan, termasuk dalam mendidik anak-anak mereka. Misalnya, banyak fakta perempuan yang berpendidikan, tidak mau menikahkan anaknya di usia dini dan menganggap bahwa usia pernikahan haruslah matang dan perlu persiapan karena setiap orang tua ingin pernikahan anak-anaknya langgeng. Pada akhirnya, hukum agama yang memperbolehkan anak dinikahi di usia dini, akan mengikuti perkembangan masyarakat yang berpendidikan.” Sementara itu, menurutnya, UU kesetaraan gender lebih pada hal-hal yang umum sehingga sulit memberikan kewenangan pada pemerintah dalam melaksanakannya. Misalnya, bagaimana aturan tentang kuota 30% di parlemen perlu diisi oleh perempuan. Seperti itu lebih mudah dilaksanakan atau lebih seperti dalam bentuk peraturan-peraturan daerah. Bila terlalu umum, maka UU yang sebetulnya bagus itu hanya akan menjadi macan di atas kertas. Sejak awal Maria Farida mengurai bahwa kesulitan membangun hukum positif yang melindungi perempuan adalah pertentangan dengan hukum adat dan agama, padahal hukum positif adalah yang tertinggi dan dibuat oleh negara. Akan tetapi, bagi masyarakat yang masih tradisional dan atas banyak faktor lain, mereka lebih memegang kuat nilai agama dan adat. Misalnya, ada yang menikahkan anaknya terburu-buru karena kondisi keluarga. Karena itu, Maria selalu menekankan pentingnya aspek pendidikan dan diikuti dengan kesejahteraan untuk menjadikan masyarakat memahami bahwa hukum positif didasarkan pada kebutuhan masyarakat atas hak-hak dan perlindungan warga negara secara konstitusional. Kembali mengenai kesetaraan gender, sebetulnya dapat diintegrasikan, misalnya dalam UU kesehatan yang mudah diterapkan, seperti merumuskan bahwa rumah sakit perlu memiliki spesialis dokter perempuan untuk pasien- pasien perempuan yang memiliki keluhan kesehatan berbeda dengan laki-laki, sementara UU kesetaraan gender, bagaimana mengaturnya? Peraturan yang lebih rendah akan mudah diterapkan melalui koordinasi antarkementerian dan unit- unit di bawahnya, seperti posyandu, PKK, puskesmas, dan lain sebagainya. Maria Farida menyatakan bahwa dirinya tidak ingin dilihat “ada” sebagai hakim perempuan, tetapi sebagai hakim yang memiliki kemampuan. Namun, dari seorang hakim perempuan, Maria Farida dalam beberapa wawancara yang tersebar di media, menunjukkan betapa pentingnya UU yang memperhatikan kepentingan perempuan, baik atas hak maupun perlindungannya sebagai warga negara. (Mariana Amiruddin) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2012 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 73, 2012. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |