Karlina Supelli: Pemahaman Kesejarahan Gerakan Perempuan Penting dalam Memaknai Kebangsaan*16/4/2021
*Artikel Wawancara ini dimuat dalam JP 98 Perempuan dan Kebangsaan Dr. Karlina Supelli adalah salah satu filsuf perempuan Indonesia. Saat ini Karlina merupakan dosen tetap pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Perempuan kelahiran Jakarta, 15 Januari 1958 ini memiliki minat yang mendalam pada kosmologi dan filsafat. Sebelum menggeluti bidang filsafat Karlina dikenal sebagai ahli astronomi, 15 tahun lamanya ia bertekun pada bidang tersebut. Pergelutannya dengan ilmu kosmologi melahirkan pertanyaan dalam diri Karlina tentang bagaimana suatu bermula. Kegelisahan inilah yang menjadi titik pijaknya untuk mengenal, memahami dan setia pada filsafat. Sejak tahun 1994 Karlina memulai karier akademisnya di bidang filsafat, hingga meraih gelar doktor di Program Studi Filsafat Universitas Indonesia dengan disertasi berjudul Wajah-Wajah Alam Semesta, Suatu Kosmologi Empiris Konstruktif. Sejak saat itu Karlina berfokus pada dunia akademik. Mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian pada masyarakat menjadi keseharian Karlina saat ini. Tidak hanya tertarik pada bidang kosmologi dan filsafat, Karlina juga sempat terlibat pada dunia aktivisme. Kepeduliannya pada isu kemanusiaan dan kesetaraan gender mendorong Karlina untuk terlibat langsung pada gerakan Suara Ibu Peduli (1998). Bagi Karlina kesadaran tentang kehidupan bersama yang baik penting untuk terus dihidupi di masyarakat Indonesia. Baginya perjuangan di tingkat diskursus dan praksis harus terus dilakukan dalam upaya menyelamatkan demokrasi.
Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan kebangsaan? Bagaimana pandangan Ibu mengenai kebangsaan Indonesia? Kebangsaan adalah sebuah konsep dengan sejarah yang panjang. Pengertian kebangsaan bisa dilihat dalam relasinya dengan dua hal yaitu dengan kultural dan politik. Konsep kebangsaan sendiri sebetulnya adalah konsep kultural sedangkan konsep masyarakat berkait dengan politik. Ketika konsep kebangsaan dijadikan sebagai gerakan kebangsaan nasionalisme maka ia menjadi gerakan politik. Gerakan kebangsaan adalah himpunan kultural yang direkabayangkan, ditanamkan ke dalam memori kolektif dan memiliki tujuan politik. Bicara tentang kebangsaan artinya kita perlu kembali ke konteks sejarah tepatnya pada masa kolonial Belanda menerapkan politik etis di nusantara. Salah satu programnya adalah melaksanakan pendidikan sistem Barat yang melahirkan intelektual- intelektual muda bumiputra. Rumusan kebangsaan yang ada adalah hasil refleksi para intelektual muda saat itu dan Bung Karno merupakan salah satu tokoh yang memulai pergerakan nasional. Gerakan kebangsaanlah yang melahirkan cita-cita kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia saat itu menjadi mungkin karena Hindia-Belanda telah menjadi negara administratif kolonial. Hal yang menarik dari ide bangsa Indonesia adalah adanya cita-cita untuk membentuk suatu komunitas kultural yang memiliki cita-cita politik yang dengan keragaman etnis, agama dan kesukuan, tetapi semuanya bergabung di dalam satu payung yaitu bangsa Indonesia. Fondasi gagasan kebangsaan Indonesia adalah ide civic dan bukan etnosentrisme. Sejak terbentuknya Hindia-Belanda sebagai bentuk administratif, muncullah ide dari Ibu dan Bapak pendiri bangsa untuk merdeka dan mengambil bentuk negara-bangsa. Artinya status administratif Hindia-Belanda saat itu berperan penting dalam pembentukan kebangsaan Indonesia. Konsep kebangsaan menjadi cita-cita politik saat dipakai sebagai ekspresi identitas. Untuk bisa menjadi identitas artinya kita perlu menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, karena tidak bisa kita menyatakan cita-cita politik dengan memakai identitas Hindia-Belanda. Bangsa Indonesia merupakan himpunan dari berbagai suku di nusantara. Di dalam kebangsaan Indonesia ada cita- cita politik tentang kesatuan Negara Republik Indonesia. Dalam identitas ke- Indonesia-an identitas kultural ditampung ke dalam ide-ide civic. Apakah konsep kebangsaan di Indonesia sudah mengakomodasi perspektif, pengalaman dan kesejarahan perempuan dan kelompok marginal? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami perdebatan antara feminisme dan nasionalisme di Indonesia. Pertentangan dua gagasan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Eropa. Jika kita membaca Sarinah: kewadjiban wanita dalam perdjoangan Republik Indonesia, di dalamnya akan terlihat dilema ini yang dipahami oleh Bung Karno, yakni tegangan antara feminisme dan nasionalisme dalam proses menjadikan Indonesia. Dilemanya seperti ini, gagasan nasionalisme menjadikan identitas bangsa sebagai fondasi perjuangan, sedangkan feminisme menjadikan identitas gender sebagai basis perjuangan. Dalam dilema tersebut, Bung Karno menganggap bahwa ide gender dapat memecah-belah perjuangan dan tidak merujuk pada kesatuan. Ada anggapan bahwa laki-laki (dipojokkan/ dilabel) sebagai patriarki dalam perjuangan feminisme sehingga gagasan ini dipandang akan memecah kesatuan laki-laki dan perempuan. Artinya ada pandangan—yang umum waktu itu termasuk di Barat—bahwa gagasan feminisme dan nasionalisme sebagai dua hal yang saling bertentangan. Namun, kemudian muncul pertanyaan apakah benar gagasan nasionalisme tidak dapat menampung ide-ide kesetaraan gender? Penting agar kita kembali pada sejarah perjuangan perempuan Indonesia di masa awal. Perempuan berpartisipasi di dalam gerakan kebangsaan dan membawa visi dan nama gerakan perempuan. Pada kongres perempuan pertama, kedua, dan kongres perempuan setelah Sumpah Pemuda, kita dapat melihat bahwa perjuangan perempuan menginginkan kemerdekaan dengan landasan nasionalisme yang mengakomodasi dan mengenali sumbangan perempuan. Untuk menanggapi tegangan ini, Sukarno saat itu mengadakan kursus tentang “masalah-masalah wanita” yang kemudian tertuang dalam buku Sarinah. Ide ini lahir karena Sukarno ingin meraih dukungan semua pihak, semua gerakan untuk revolusi. Usulan Bung Karno saat itu adalah bahwa persolan gender akan diperjuangkan setelah nasionalisme Indonesia telah stabil dan mapan. Ini yang sulit bagi feminisme, karena bagaimana kita bicara soal masyarakat yang adil, beradab dan toleran terhadap pluralitas bila persoalan ketidakadilan gender tidak dipahami dan diperjuangkan sejak awal. Bila kita hendak bicara soal kebangsaan kita perlu masuk ke gagasan budaya civic. Artinya sebagai bangsa kita menentukan bagaimana penyelenggaraan hidup bersama. Dengan demikian, bila kita bicara konsep nations tidak bisa misalnya kelompok tertentu mau memakai aturan dan adatnya sendiri, karena kita telah mengakui identitas sebagai bangsa Indonesia. Ide civic adalah ide bahwa bangsa ini walaupun terdiri dari banyak suku dan agama tetapi dalam berkomunikasi, dalam menyelenggarakan kebaikan bersama, kita bertopang pada ide bahwa kita adalah warga negara dan bangsa Indonesia yang tidak mengejar kepentingan masing-masing berdasarkan perbedaan suku, agama dan gender. Di Indonesia yang menarik adalah perempuan telah ikut dalam pemilu pertama tahun 1955. Pada masa itu di belahan negara Eropa dan Amerika, hak politik perempuan dalam pemilu banyak yang belum diakui. Pada peristiwa ini kita melihat bahwa ide nasionalisme dalam skala besar telah mengakomodasi hak politik perempuan di Indonesia, tetapi lain halnya bila kita masuk ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan bersama mencerminkan sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki tidak dibedakan karena berangkat dari ide civic. Namun kita perlu jeli membedakan antara tataran konseptual dan praktik keseharian, karenaide civic padatatarankonseptualmensyaratkankesetaraan laki-laki dan perempuan, tetapi faktanya masih tidak demikian. Kita bisa lihat pula Pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Idealnya konsep ini menampung seluruh keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia, artinya ia mampu mengakomodasi Sunda Wiwitan dan kepercayaan lain. Namun, faktanya tidak demikian. Saat ini kita dihadapkan pada fakta adanya kelompok-kelompok yang hendak mengeklaim kebangsaan kita atas nama ide-ide primordialisme tertentu, antara lain keinginan untuk kembali ke agama tertentu sebagai dasar bernegara. Dalam hal keberagaman kita juga dihadapkan pada peminggiran kelompok marginal, LGBT salah satunya, meskipun kita tahu bahwa sila kelima memandatkan keadilan sosial bagi semua. Artinya, gagasan dasar dalam sila ini dapat mengakomodasi hak setiap warga negara. Problem kita saat ini adalah bagaimana menerapkan gagasan-gagasan ideal ini dalam hidup berbangsa. Jika kita melihat sejumlah produk hukum kita, jelas bahwa dalam praktik kebangsaan banyak kepentingan yang belum tertampung. Misalnya kita bisa lihat pada produk hukum UU Perkawinan yang memisahkan secara tegas bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah ibu rumah tangga. Apakah sudah ada klausul tambahan bahwa bila perempuan bisa memenuhi pasal satu maka apakah pasal kedua tentang mengurus rumah tangga bebannya dibagi dua. Tidak ada klausul tambahan yang mengatur itu. Konsep kebangsaan telah mengatur hal-hal yang umum, tetapi tidak menubuh dalam tataran praktis. Hal serupa juga terjadi pada kebijakan tentang HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) perempuan, bahwa kebutuhan khusus perempuan tidak dikenali dan tidak diakomodasi. Penting bagi kita untuk juga bersikap kritis terhadap konsep kesetaraan, karena konsep kesetaraan yang dibangun dalam bingkai patriarki tentu tidak akan mengakomodasi kepentingan perempuan dan tidak pula membawa keadilan. Ada sejumlah anggapan bahwa cita-cita feminis telah tercapai dengan lebih terbukanya akses politik dan pendidikan bagi perempuan, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan feminis bukan gerakan individu yang egoistik. Feminisme adalah gerakan untuk perempuan secara keseluruhan. Artinya tercapainya cita-cita feminis ketika kesetaraan gender sudah terwujud secara menyeluruh dan bukan parsial. Kita tahu bahwa sejumlah persoalan seperti kesejahteraan buruh perempuan, perkawinan anak, poligami dan banyak persoalan lain masih luput dari perhatian pemerintah dan masyarakat. Walaupun demikian, saya percaya bahwa ide nasionalisme dan feminisme tidak saling bertentangan. Gagasan nasionalisme perlu dipahami melalui konsep bahwa bangsa itu terdiri dari laki-laki dan perempuan serta dibangun berdasarkan ide-ide civic. Civic artinya komitmen kepada kebaikan bersama sebagai sesama manusia yang setara dan bukan berlandaskan ide-ide sektarian. Saya pikir Pancasila sudah bicara soal gagasan umum, yakni soal kemanusiaan dan keadilan, tetapi kita perlu periksa praktiknya dalam hidup sehari-hari seperti apa. Apakah benar persoalan-persoalan ketidakadilan sudah dibongkar? Kebangsaan harusnya soal aspirasi bersama, dalam pandangan Ibu sejauh apa keterlibatan perempuan dalam kontekstualisasi konsep dan nilai kebangsaan di Indonesia saat ini? Ada kesalahpahaman tentang perjuangan perempuan. Perjuangan perempuan dianggap sudah mencapai tujuannya bila perempuan sudah berada di posisi politik tertentu. Sementara bila kita lihat lebih kritis, apakah keberadaan perempuan pada posisi itu sudah memengaruhi hidup perempuan secara keseluruhan? Ini yang perlu kita pertanyakan dalam melihat keterlibatan perempuan dalam memaknai kebangsaan Indonesia. Akan tetapi tentu saja ada capaian yang penting untuk kita akui, bahwa telah ada perubahan dalam UU, pendirian Komnas Perempuan, lalu perubahan peraturan di kepolisian tentang bagaimana memperlakukan korban perkosaan dan capaian-capaian lainnya. Upaya-upaya ini adalah capaian yang diusahakan oleh para perempuan dalam mendefinisikan hidup bersama yang baik. Kita bicara soal kebangsaan artinya kita bicara soal kepentingan bersama. Ide penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, ide tentang keadilan bagi perempuan, menjadi ide tentang hidup bersama yang baik (bonum commune). Namun, hari-hari ini kita digusarkan oleh upaya-upaya memberangus gagasan kebaikan hidup bersama. Gagasan ini mulai dijajah, dirampok, dan diklaim oleh ide- ide sektarian. Dalam hal ini keberadaan perempuan menjadi direntankan, dan dalam kondisi ini gagasan mengenai kebebasan pilihan tidak lagi diperhatikan. Gagasan-gagasan nikah muda, domestikasi perempuan, poligami yang menggunakan justifikasi agama untuk menindas perempuan gencar dipromosikan. Saat ini ide kebangsaan dan prinsip-prinsip civic yang melandasinya hendak dihilangkan secara sistematis. Masuknya gagasan sektarian dalam pendidikan dan kebijakan penting kita waspadai karena jika tidak nasionalisme kita akan menjadi rapuh. Apa pentingnya memahami dan mengetahui sejarah perjuangan politik perempuan dalam kaitannya dengan kehidupan kebangsaan khu- susnya di Indonesia? Penting sekali. Kita perlu pelajari kembali hasil-hasil kongres perempuan. Dalam kongres-kongres tersebut para perempuan memperjuangkan banyak hal mulai dari pendidikan, kesejahteraan ibu dan anak, isu poligami dan lainnya. Waktu itu isu poligami saja telah memecah suara perempuan karena sebagian kelompok gerakan wanita muslim saat itu belum memiliki kerangka konseptual tentang ajaran-ajaran agama, berbeda dengan saat ini mereka telah mengembangkan pemahaman, antara lain berdasarkan tafsir ulang atas Kitab Suci dan kajian atas Kitab Kuning (kitab-kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu yang merupakan salah satu elemen utama dalam pengajaran di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama). Saat ini sebagian perempuan muslim telah memiliki pemahaman bahwa poligami memang ada dalam agama tetapi praktik menjadi adil nyaris tidak mungkin. Artinya ada perkembangan dalam interpretasi teks keagamaan. Perlu pula dicatat bahwa pada tahun 1930-an awal terjadi pergerakan isu di dalam gerakan perempuan bahwa seluruh perjuangan perempuan masuk menjadi bagian gerakan nasionalisme untuk gerakan kemerdekaan. Sejarah gerakan perempuan Indonesia adalah hal yang sangat penting dan saya merasa prihatin karena generasi saat ini sudah tidak terlalu mengenali sejarah perempuan. Hari-hari ini gerakan perempuan direduksi menjadi sekadar LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) padahal di masa pembentukan negara ini gerakan perempuan cakupannya jauh lebih luas dari itu. Gerakan perempuan saat itu tidak bicara soal proyek-proyek jangka pendek tetapi mereka memiliki visi jangka panjang tentang kemajuan perempuan secara keseluruhan, misalnya mereka memikirkan tentang pendidikan perempuan seluas bangsa. Gerakan perempuan saat itu sangat luar biasa hingga akhirnya Suharto menghancurkan gerakan perempuan (khususnya Gerwani) di Indonesia. Orde Baru melunakkan gerakan perempuan dengan menjadikannya sebagai gerakan Dharma Wanita. Gerakan perempuan yang semula kritis terhadap kehidupan bernegara dan menyadari betul arti penting keterlibatan perempuan dalam politik dilunakkan untuk mendukung pemerintahan saat itu. Orde Baru secara sistematis membuat perempuan Indonesia terputus dari kesejarahan kebangsaan. Penting bagi generasi muda untuk memahami sejarah gerakan perempuan karena yang kita miliki sekarang adalah hasil kumulasi sejarah perjuangan panjang. Saat ini memang telah ada sejumlah capaian yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan perempuan, namun sense of movement dan radikalisme untuk memperjuangkan kebaikan hidup bersama apakah masih ada? Menurut saya ide-ide pergerakan perempuan di masa lalu adalah ide yang radikal dan kita perlu menghidupkan semangat itu kembali. Kita perlu kembali ke akar yang paling dasar mengapa feminisme lahir dan mengapa kebangsaan lahir. Tahun ini Indonesia menginjak usia 20 tahun reformasi, sejauh apakah perubahan terjadi pada pemahaman dan praktik kehidupan kebang- saan? Apakah di usia 20 tahun reformasi ini demokrasi telah dihidupi dengan lebih baik? Reformasi artinya re-form atau membentuk ulang. Ada juga yang memaknai reformasi sebagai kembali ke ide paling dasar. Akan tetapi saya lebih memilih menggunakan kata membentuk ulang karena sesungguhnya Indonesia memang telah memiliki ide demokrasi namun di masa Orde Baru sebenarnya kita belum memiliki demokrasi. Reformasi saya maknai sebagai membentuk ulang Indonesia sesuai dengan cita-cita awal mengapa negara ini ada. Artinya kita perlu kembali ke gagasan kebangsaan dan ide- ide civic, bahwa para pendiri bangsa merekabayangkan Indonesia dengan gagasan tersebut dan bukan dengan gagasan keagamaan ataupun etnisitas. Reformasi sebagai agenda kembali ke praktik bernegara, berpemerintahan, dan berbangsa berdasarkan alasan adanya (raison d’être) Republik Indonesia. Reformasi artinya merefleksikan cita-cita republik ini ke depan hendak dijadikan seperti apa. Indonesia adalah becoming atau selalu berada di proses menjadi. Indonesia sebagai fakta sesuai cita-cita itu bagi saya belum ada. Inilah 20 tahun reformasi kita yang pada mulanya berfokus terutama pada tataran birokrasi, tetapi persoalannya adalah mental, perilaku dan ide- ide tentang hidup berbangsa yang tidak diolah. Dalam upaya menghidupi reformasi civil society berupaya membentuk ulang seluruh peraturan agar demokrasi bisa berdiri tegak demi menjamin masyarakat demokratis. Namun, dalam proses itu makna dari civil society itu sendiri belum sepenuhnya dipahami. Kita perlu ingat bahwa cita-cita reformasi adalah reformasi birokrasi dan penguatan civil society, tetapi tampaknya kita mengabaikan cita-cita penguatan civil society. Kita perlu kembali pada gagasan Aristoteles tentang civil society, berangkat dari ide masyarakat dalam polis. Masyarakat yang hidup di polis adalah orang- orang yang hidup bersama dan patuh pada konstitusi demi kebaikan hidup bersama. Dalam perkembangannya, gagasan civil society lalu dimaknai sebagai organisasi masyarakat tetapi di Indonesia maknanya direduksi sebagai LSM. Civil society hidup dan mematuhi konstitusi demi komitmen untuk mencapai kebaikan hidup bersama. Ini menjadi mungkin oleh tumbuhnya budaya civic. Lahirlah istilah civility yakni tata laku, sikap budaya, dan cara bertindak, cara hidup menurut asas-asas civic. Civility bukan sekadar hidup menurut asas sopan-santun. Akan tetapi dalam perkembangannya (sejarah bangsawan Eropa) civility memang lalu dimaknai sebagai beradab dalam artian sebagai sikap-sikap gentleman. Kita perlu kembali ke ide awal konsep civic sebelum terkorupsi dan terkooptasi oleh berbagai ide lainnya. Civil society adalah dasar kebangsaan. Pancasila merupakan budaya civic. Setelah 20 tahun reformasi penguatan civil society berjalan melalui penguatan LSM tetapi masyarakat secara keseluruhan tidak tersentuh. Ironis bahwa perlahan sebagian masyarakat kita malah terjerumus ke dalam ide- ide sektarian. Bila kita merefleksikan 20 tahun reformasi kita perlu kembali ke pengertian bahwa Indonesia bukan negara dengan dasar agama atau etnisitas, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip civic. Ada keprihatinan bahwa setelah 20 tahun reformasi yang terjadi adalah semata-mata demokrasi prosedural. Demokrasi prinsip dasarnya adalah kesamaan hak politik yang oleh prosedur demokrasi sendiri dapat menyingkirkan hak kelompok minoritas. Berdasarkan prinsip dasar itulah bila ada hak kaum minoritas yang tergusur, pemerintah perlu mengambil langkah berdasarkan rasionalitas etis dan bukan rasionalitas instrumental, yang dimanifestasikan lewat prosedur affirmative action, pembentukan undang-undang, dll. Dalam beberapa hal peraturan dibuat dalam upaya membela minoritas, tetapi pada akhirnya tetap saja suara mayoritas yang diikuti, contohnya peraturan menteri tentang pembangunan rumah ibadah. Dalam kondisi semacam ini teori-teori feminisme dan filsafat dibutuhkan untuk membongkar persoalan yang muncul setelah 20 tahun reformasi. Penting bagi kita semua, khususnya generasi muda untuk memahami sejarah bangsa, pengertian civil society, konsep kebangsaan dan feminisme. Walaupun kita masih berhadapan dengan sejumlah persoalan, saya tidak pesimis melihat 20 tahun reformasi. Kita perlu merawat harapan. Ide tentang negara dan kebangsaan tetap diperlukan. Harapan ada pada generasi muda, kecintaan kepada bangsa, ide-ide global dan kemajuan teknologi. Kita saat ini diterpa oleh kemajuan yang tidak terelakkan tetapi ada sejarah yang tidak dapat kita tinggalkan. Dalam Novel Kafka, kita diingatkan bahwa sebetulnya masa kini tidak pernah ada—ini adalah permasalahan metafisika kekinian (the metaphyisic of presence). Dalam praktik, ini berarti bahwa di masa kita sekarang ini, harapan itu terletak pada ide-ide dan kreativitas anak muda, tetapi sejarah masa lalu tetap perlu menjadi topangan dan masa depan sebagai cita-cita. Ambil contoh. Saat ini ada anggapan bahwa pelanggaran HAM masa lalu tidak penting untuk dipersoalkan karena sudah terjadi di masa lalu dan kita harus berorientasi pada masa depan. Akan tetapi kesejarahan sebetulnya sangat penting karena sejarah menyoal tentang ingatan kolektif, khususnya di Indonesia banyak sekali korban pelanggaran HAM termasuk perempuan. Ingatan adalah hal yang politis. Reformasi bisa berjalan hingga hari ini karena ia berdiri dan dibangun dari darah para korban Mei 1998, tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Reformasi hanya bisa dimaknai bila kita memahami sejarahnya. Apakah generasi muda menyadari mengapa peristiwa reformasi terjadi? Apakah cita-cita reformasi sudah tercapai? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab bila kita kembali ke sejarah. Jadi saya tidak pesimistik melihat bangsa ini. Namun demikian kita tetap perlu bergerak cepat dan sistematis untuk tidak membiarkan ide-ide civic hilang. Kita perlu menyadari bahwa saat ini kita dihadapkan pada sejumlah persoalan yang sangat serius, bukan sekadar persoalan radikalisme tetapi juga adanya upaya menyempitkan pemikiran anak muda dan perempuan melalui ide-ide agama. Indonesia adalah perjuangan kita, sehingga kita perlu selalu optimistik meskipun dihadapkan pada sejumlah persoalan. Kita tidak boleh menjadi pesimis karena pesimistik akan membawa kita pada sikap apatis. Kita perlu sadari bahwa demokrasi haruslah radikal. Perlu kita sadari bahwa demokrasi adalah tentang hidup bersama. Bagaimana Ibu melihat gejala menguatnya konservatisme dan sektarianisme sejak era reformasi? Pluralitas agama, suku dan lainnya adalah ontologi Indonesia yang tidak bisa dilenyapkan, karena faktanya bahkan tiap individu berbeda satu dengan yang lain. Ada perbedaan yang kodrati dan ada juga perbedaan yang disebabkan oleh faktor kultural. Perbedaan adalah fakta hidup juga fakta metafisis. Hanya orang yang berani menghadapi perbedaan yang kemudian mampu menghargai pluralitas. Kita bisa punya berbagai perbedaan tetapi perbedaan semestinya tidak menghancurkan hidup bersama. Pertarungan antara yang satu dengan yang banyak adalah persoalan yang muncul dalam konteks kebangsaan Indonesia. Yang satu adalah negara, tetapi di dalamnya ada keberagaman yang banyak. Perdebatannya selalu diantara yang satu dengan yang banyak, negara yang satu adalah fakta politik, begitu juga keberagaman di dalamnya, keduanya tidak dapat disangkal. Kita butuh kerja keras yang cepat untuk menumbuhkan kesadaran tentang penghargaan atas keberagaman, jangan sampai keberagaman itu ditindas oleh gagasan sektarian yang ingin menjadikan gagasannya sebagai kebenaran tunggal untuk semua. Sebetulnya tidak ada alasan tunggal untuk lahirnya gejala sektarian dan konservatisme. Politik memanfaatkan kekecewaan, kemarahan dan kebingungan masyarakat. Sentimen agama, ras dan hal-hal yang menyangkut emosi dan afeksi ini dieksploitasi sedemikian rupa. Cara manusia mengambil putusan sangat dipengaruhi oleh afeksi, nalar membantu kita untuk mencapai putusan. Ide-ide agama menyentuh afeksi, inilah penyebab mengapa ide ini mudah mengerakkan orang. Dengan kemajuan teknologi digital emosi sosial ini dilecut dan digerakkan. Agama sebagai kekuatan afektif belum dijadikan sebagai program deradikalisasi. Sifat afektif ini yang perlu mendapat perhatian melalui dekonstruksi ide-ide teologis dan ini perlu dilakukan dari dalam agama sendiri. Ide civic dan ide sektarian tidak sejajar. Ide civic adalah produk manusia. Sementara gagasan- gagasan agama bersifat sakral dan diyakini sumbernya turun dari yang Ilahi. Keduanya tidak bersanding sejajar bagi orang beriman. Martha Nussbaum pernah bertanya, mengapa ide-ide yang baik dan rasional tidak mampu mengubah seseorang? Jawabannya adalah karena ide itu tidak menyentuh rasa perasaan (sisi afektif) seseorang. Untuk itu Nussbaum masuk ke dalam ide-ide Stoa tentang bagaimana mengolah emosi. Persoalan ketidakadilan membuat ide sektarian menjadi subur. Kelompok sektarian menjanjikan masyarakat yang adil dengan ide keagamaan. Ide tersebut menjadi berterima di kalangan pengikutnya karena refleksi atas realitas sosial yang memang jauh dari keadilan. Banyak faktor yang melahirkan konservatisme, ada kait-kelindan yang begitu rumit antara kemiskinan, ketidakadilan, kekecewaan, kebingungan dan lain sebagainya. Orang-orang mempertanyakan dan mencari apa itu kebenaran, mereka ingin hidup baik di tengah tantangan hidup yang sulit seperti ini. Sebagian orang yang latar keagamaannya terbatas akan tunduk begitu saja mengikuti pemimpin agama yang ia ketahui. Orientasi mereka adalah menjadi patuh, taat, demi mendapatkan surga. Ini adalah bentuk dari rasionalitas ketaatan. Ide-ide civic dan perjuangan perempuan terancam dengan pemikiran macam ini. Ide-ide civic hanya bisa kita rawat dengan berpikir kritis dan sebetulnya banyak ide-ide civic yang bersumber dari ajaran keagamaan. Apa dan bagaimana konsekuensi dari menguatnya konservatisme dan sektarianisme dalam kehidupan berbangsa terhadap kaum perempuan? Kebangsaan adalah hidup bersama demi kemaslahatan umum. Hidup bersama inilah yang ingin dihancurkan oleh ide-ide sektarian. Kelompok sektarian membaca teks secara intratekstual, bukan intertekstual. Mereka tidak memperhatikan konteks suatu teks. Hal ini berakibat pada tafsir sempit, terbatas, dan harfiah. Padahal banyak isi teks keagamaan yang perlu dibaca secara metaforis. Kelompok sektarian tidak toleran terhadap pluralitas. Perbedaan bukan hanya tidak dihargai tetapi hendak dilindas. Orang yang berbeda keyakinan dihargai hanya sejauh mereka tidak terlibat dalam penyelenggaraan kepentingan yang hendak mereka capai. Perempuan akan didomestikasi dan tidak dilibatkan dalam kehidupan politik. Perempuan akan disingkirkan dari posisi-posisi yang menentukan kebijakan. Kelahiran Perda (Peraturan Daerah) diskriminatif adalah manifestasi dari sektarianisme. Di tahun 2003 ada keinginan mengganti Mukadimah UUD 1945 menjadi Piagam Jakarta, tetapi dalam sidang MPR upaya ini gagal. Sidang MPR saat itu menolak usulan tersebut. Ide sektarian lalu masuk lewat pintu belakang. Ketika Mukadimah UUD 1945 tidak dapat diubah, ide-ide sektarian menyusup lewat UU Pendidikan 2003 dan Perda-Perda. Di tahun 2003 para pedagog berteriak meminta agar kebijakan ini ditolak tetapi mereka kalah. Implikasinya adalah masuknya ide-ide sektarian pada ranah politik yang termanifestasi dalam sejumlah kebijakan publik khususnya kebijakan pendidikan dan juga pada sejumlah Perda. Menguatnya kelompok sektarian akan membuat perempuan menjadi rentan karena mereka akan dijauhkan kembali dari akses politik dan didomestikasi. Menurut Ibu apa yang harus dilakukan dalam upaya mendorong konsep kehidupan bersama yang menghargai perbedaan dan kesetaraan, khususnya bagi kaum perempuan? Kita perlu menghidupkan kembali iklim kritis dan dialogis. Penting juga memanfaatkan teknologi yang ada untuk menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan. Kita perlu terus memperjuangkan gagasan keadilan dan kebaikan bersama secara konsisten dan sistematis. Seseorang tidak menjadi adil karena terus-menerus dicekoki gagasan tentang keadilan, tetapi karena terbiasa berbuat adil, bagaimana mendorong gagasan ini menjadi habitus. Artinya kita tidak sekadar bicara hal-hal yang normatif tetapi menurunkan gagasan tersebut agar dapat dipraktikkan secara konsisten dalam kehidupan bersama. Kita perlu menurunkan gagasan feminisme menjadi praksis sosial dan tidak hanya pada tataran konseptual. Perubahan senantiasa berangkat dari hal-hal yang sederhana sehari-hari tetapi dilakukan secara konsisten. Apakah pendidikan politik dan pendidikan etika bagi warga negara dibutuhkan dalam upaya menghidupi konsep kebangsaan yang demokratis? Jika iya, pendidikan politik yang seperti apa? Ide hidup berdasarkan kebaikan bersama, keadilan gender, kesetaraan dan toleransi perlu menjadi program dalam pendidikan kita. Gagasan ini perlu menjadi habitus masyarakat kita lewat pendidikan, tetapi sayangnya sistem pendidikan kita lemah di situ. Pendidikan kita tidak membadankan gagasan-gagasan tersebut. Pendidikan politik dan etika sangat dibutuhkan untuk memastikan keberlangsungan demokrasi. Politik adalah penataan hidup bersama, di dalam politik selalu ada pertarungan ide-ide. Pertarungan ini idealnya adalah upaya untuk menentukan ide mana yang paling baik untuk mewujudkan kebaikan hidup bersama. Inilah yang menyebabkan dua kontestan politik salilng bertarung sedemikian rupa karena keduanya memiliki gagasan berbeda tentang cara mencapai kehidupan bersama yang paling baik. Pendidikan politik sangat penting dilakukan sedini mungkin, bahkan pada tingkat SD (Sekolah Dasar). Artinya kita perlu mengajarkan anak untuk memilih dan memilah ide-ide dan sikap yang mendukung pencapaian kebaikan bersama. Anak-anak perlu mulai diperkenalkan bahwa dalam kepemimpinan tidak masalah dipimpin oleh laki-laki atau perempuan. Prinsip kesetaraan adalah bagian dari pendidikan politik yang bisa langsung kita ajarkan dan terapkan dalam keseharian. Kita cenderung memberikan solusi dalam tataran konseptual, kita lupa membadankan sebuah gagasan, dan tidak menjadikan gagasan sebagai kebiasaan. Untuk itu pendidikan perlu dirancang untuk membadankan gagasan politik dan etika secara konsisten pada anak. Metode pedagogi perlu lebih dikembangkan agar para siswa dapat diajak lebih kritis dan reflektif dalam menanggapi hal- hal yang terjadi di masa lampau (sejarah) dan yang terjadi saat ini. Metode pendidikan kita kurang kognitif dalam arti perkembangan kognitifnya baru pada tingkat yang paling mendasar, sekadar rote learning (hafalan) atas teori tetapi kemampuan berefleksi dan imajinasi kurang dikembangkan. Kebijakan pendidikan kita juga bermasalah karena para pedagog tidak dilibatkan dalam memformulasikan kebijakan tersebut. Sejauh apa perspektif feminis telah diperhatikan dalam memahami dan memaknai kehidupan kebangsaan di Indonesia? Kebangsaan berisi ide tentang kehidupan bersama yang menghargai pluralitas. Di Indonesia perspektif feminis masih sangat terbatas. Kita bisa lihat masih sedikit kebijakan yang berperspektif feminis. Salah satu contoh diterapkannya perspektif feminis dalam memaknai kebangsaan adalah pernah muncul gagasan di suatu daerah untuk menjadikan penurunan angka kematian ibu (AKI) sebagai standar kesuksesan kerja bupati. Dalam penyelenggaraan kebijakan daerah misalnya, Bupati Bantul pernah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menjamin target tersebut tercapai. Ia membangun sejumlah rumah singgah di daerah yang jauh dari rumah sakit (RS). Jadi jika ada ibu yang hamil, masyarakat sekitar harus melaporkan ke RS terdekat tentang usia kandungan dan kondisi ibu tersebut. Perspektif feminis dapat dan perlu diterapkan dalam kehidupan kebangsaan. Perspektif feminis teraplikasikan dalam kehidupan kebangsaan bila politik sudah mengakomodasi kepentingan perempuan. Perlu ada kesadaran bahwa perempuan adalah bagian dari kehidupan bersama, warga negara yang punya hak dan kebutuhan yang perlu diperhatikan. Tidak ada bangsa yang adil bila sebagian anggotanya direndahkan dan ditindas. Oleh karena itu perempuan perlu terlibat dalam kehidupan politik dan perempuan yang terlibat itu perlu memahami gagasan-gagasan feminisme. Artinya mereka yang berada di posisi politik tertentu perlu menggaungkan dan memastikan advokasi cita-cita kesetaraan. Kita masih perlu melihat apakah kebijakan- kebijakan yang ada saat ini telah mengakomodasi aspirasi perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |