“Mengajarkan baca tulis itu mudah, yang paling sulit adalah mengajarkan budi pekerti.” Kutipan di atas diutarakan oleh Sri Rossyanti, salah satu dari dua ibu guru di sela-sela kesibukannya mengajar anak kelas 4 SD di Sekolah Darurat Kartini, Ancol, Jakarta Utara[1]. Kalimat tersebut hampir selalu ditekankan sepanjang wawancara berlangsung sebagai substansi dasar proses belajar yang mereka lakukan. Pelajaran budi pekerti itu menurut mereka penting, mengingat situasi lingkungan anak didik adalah lingkungan yang akrab dengan pola kehidupan sosial yang keras. Di tempat mereka mengajar, kemiskinan akibat ketimpangan struktur ekonomi memaksa masyarakat setempat hidup dalam pola pertaruhan dan perebutan. Siapa yang kuat, ia yang akan menang. Perilaku ini diekspresikan melalui tindakan memaksa, memukul, berjudi, mabuk, dan membunuh. Bagi mereka melakukan semua itu bukanlah hal yang sulit. Namun, sesungguhnya, itu bukan perilaku dasar mereka, ada perasaan harga diri mereka jatuh sebagai orang-orang kalah dan terus terpinggirkan oleh sistem pembangunan yang kurang memberi perhatian terhadap keberadaan mereka. Hidup mereka serba kekurangan, jangankan berpikir soal sekolah, untuk makan saja mereka harus bertarung satu sama lain. Mereka memilih tidak sekolah daripada tidak makan. Lagi pula sistem pendidikan kita memang tidak menunjukkan uluran tangan bagi orang seperti mereka, padahal mereka adalah sumber daya yang dapat dipakai dengan segala keahlian yang mereka punya untuk membantu kondisi negeri yang krisis ini. Seperti yang pernah ditulis oleh Eko Prasetyo dalam bukunya berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sekolah bagi orang miskin membuat mereka bertambah miskin. Logikanya mudah, ini disebabkan biaya sekolah sekarang terlalu mahal. Situasi inilah yang menggerakkan hati para perempuan seperti Sri Rossyanti (Rossy) dan Sri Irianingsih (Rian) atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Guru Kembar dalam mendedikasikan kemampuannya bagi anak-anak keluarga miskin untuk bisa sekolah. Kemampuan keilmuan dan materi yang mereka miliki telah disumbangkan sepenuhnya bagi anak-anak kolong jembatan tol untuk bisa menikmati pendidikan. “Mereka memang miskin, tetapi adalah hak mereka untuk dapat mengenyam pendidikan. Itulah yang membuat kami ingin berbuat sesuatu, agar mereka bisa terlepas dari jeratan persoalan pendidikan,” ujar Sri Irianingsih. Sekolah Darurat Kartini Suara bising berbagai jenis mobil dan dentuman keras sejumlah truk berat yang sesekali menggetarkan ruang kelas, tidak pernah berhenti melintas. Suara itu sangat dekat melintas sekitar 10—75 cm di atas kepala anak-anak yang sedang belajar. Desingan dan getaran seolah-olah menjadi bagian dari proses belajar mereka. Maklum saja hal ini terjadi, karena atap sekolah yang mereka gunakan adalah ruas jalan tol yang selalu dilewati oleh berbagai jenis kendaraan berat. “Tidak takut lagi, karena sudah terbiasa,” begitu ungkap Anis salah satu murid kelas 2 Sekolah Darurat Kartini yang berada di kawasan Rawabebek, Jakarta Utara. Sekolah Kartini ini memang dalam kondisi darurat. Ia berada di antara perkampungan penduduk yang menghuni kolong jalan tol Rawabebek. Sepanjang kolong ini memang telah menjadi blok-blok perumahan masyarakat yang tunawisma atau tidak memiliki tempat tinggal. Sebagian besar dari mereka bekerja mengumpulkan barang-barang bekas. Daerah ini kumuh, dengan jalanan yang becek ketika musim hujan dan berdebu ketika musim panas. Sekolah Darurat Kartini di Rawabebek ini memang kelihatan miris. Di bawah kolong jembatan tol, sekolah ini terbagi menjadi dua tingkat. Di lantai dasar untuk sekolah anak-anak play group, sementara di lantai atas untuk murid-murid TK A, TK B, dan SD kelas 1—4. Penerangan di ruangan ini tentu saja sangat kurang, hanya beberapa lampu dengan daya kecil dan sisanya mengambil sedikit sinar matahari yang menyelinap melalui celah jembatan tol. Antara kelas yang satu dan kelas yang lain tidak ada pembatas, hanya deretan bangku-bangku yang agak terpisah. Tidak hanya bising oleh anak-anak yang berteriak, tetapi juga oleh lalu-lalang mobil yang melintas dan sesekali terjadi getaran. Selain di Rawabebek, lokasi Sekolah Darurat Kartini juga berada di kolong jalan tol Ancol. Tidak jauh berbeda situasinya, letak sekolah ini cukup ironis karena berseberangan langsung dengan Gandhi International School dengan bangunan yang megah dan bayaran yang sangat mahal, sedangkan Sekolah Darurat Kartini gratis tanpa dipungut biaya. Di Sekolah Darurat Kartini, meskipun sama-sama di bawah kolong jalan tol, namun lokasi di Ancol ini agak lebih baik. Dalam satu kawasan terdapat halaman yang agak luas dan digunakan untuk murid TK, sisanya ruangan berukuran 3 x 5 sebanyak 4 petak untuk murid kelas 1—4 SD. Tidak ada atap khusus, atap yang digunakan sama, yaitu jalan tol. Namun, atap jalan tol ini lebih tinggi sehingga suara bising mobil dan getaran tidak terlalu terasa. Meskipun juga mengikuti standar kurikulum, apa yang diajarkan di Sekolah Darurat Kartini ini cukup sederhana. Pelajaran berbagai ilmu pengetahun selalu dikontekstualkan dengan situasi lingkungan para murid. Hal-hal yang diajarkan pun lebih mengenadan lebih dekat dengan mereka. Pola pendekatan kontekstual ini sangat membantu para anak didik mengenal lingkungannya sehingga mereka bisa menerapkan atau memahaminya lebihcepat. Misalkan, adapertanyaan, siapa ketua RW daerah sekitar. Lalu, dari pertanyaan itu sekaligus pula dijelaskan pengertian tentang sistem serta susunan atau struktur masyarakat dan pemerintahan yang ada di negara ini. Meskipun sekolah mereka darurat, beberapa perlengkapan mereka juga menunjukkan aktivitas sekolah, seperti seragam sekolah, buku-buku, dan kurikulum yang diikuti juga berdasarkan sistem pendidikan yang berlaku. Sekolah Darurat Kartini hingga saat ini ada di empat tempat yaitu: Sekolah Darurat Kartini di Muara Angke, di pinggir rel kereta; Sekolah Darurat Kartini di Pluit yang merupakan sekolah keterampilan; Sekolah Darurat Kartini di Ancol untuk anak TK dan SD; serta Sekolah Darurat Kartini di Rawabebek untuk TK, SD, dan SMP. Untuk di Rawabebek, Sekolah Darurat Kartini dilaksanakan di tenda besar milik TNI-AL. Sampai saat ini, Sekolah Darurat Kartini sudah menampung sekitar 2.000 lebih murid sekolah. Dedikasi Ibu Guru Kembar Hadirnya Sekolah Darurat Kartini tentu tidak bisa lepas dari peran dua orang perempuan Rossy dan Rian atau lebih dikenal dengan sebutan Ibu Guru Kembar. Disebut ibu guru kembar karena mereka memang saudara kembar. Mereka lahir di Semarang, 4 Februari 1950; Rossy lahir lebih dulu lima menit dari Rian. Rossy dan Rian adalah anak keenam dan ketujuh dari sembilan bersaudara. Dedikasinya yang tinggi pada kepedulian pendidikan tidak terlepas dari lingkungan keluarga yang sebagian besar adalah guru dan dosen. Rossy yang alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan dari perkawinannya dengan seorang dokter. Dua orang anaknya mengikuti jejak bapaknya menjadi dokter dan dua lainnya adalah insinyur. Dua orang anaknya sudah menikah. Sementara itu, Rian yang alumni Fakultas Bahasa IKIP Semarang dikaruniai dua orang anak, laki- laki dan perempuan yang keduanya sudah menikah. Suami Rian adalah seorang Laksamana Laut, namun terlebih dulu berpulang ke rahmatullah. Sekolah Darurat Kartini ini pertama kali berdiri pada tahun 1996. “Pada tahun 1996, kita sedang jalan-jalan ke Mega Mall Pluit. Sewaktu kami pulang, di jalan ada tawuran pelajar. Karena saya takut kena sasaran, mobil langsung saya belokkan ke kolong jembatan. Saya berhenti di depan warung di bawah kolong. Sesampai di sana saya melihat, kok, banyak sekali, ya, ibu-ibu yang menganggur, duduk-duduk di gubuk-gubuk. Lalu, saya coba berbicara dan saya tawarin, mau enggak kursus menjahit? Mereka bilang mau, besoknya saya bawa mesin jahit dan memberi kursus untuk ibu-ibu,” ujar Rossy. Menurut Rossy, ia terperangah sewaktu mengajar para ibu tersebut karena banyak sekali anak-anak usia sekolah yang mengelilingi. “Saya heran lagi, banyak sekali anak-anak berkumpul, bukannya ini waktunya sekolah? Lalu mereka menjawab, mereka tidak sekolah, dan di situlah saya tersentuh,” ujar Rossy. “Dalam benak saya, kalau mereka tidak sekolah, bagaimana bangsa Indonesia mau maju?” katanya. Sejak itu Rossy dan Rian mulai sungguh-sungguh meluangkan waktunya menyelenggarakan pendidikan anak-anak di bawah kolong. Mereka siap untuk melakukan apa saja. “Awalnya sekolah ini hanya menggunakan kardus bekas yang kita gelar. Lama-lama yang minat sekolah cukup banyak. Setelah enam bulan berjalan, sedikit demi sedikit kami mulai membangun dalam bentuk kelas meskipun sederhana, sampai akhirnya jadi seperti sekarang,” ujar Rossy. Untuk membangun sekolah tersebut, tidak terlalu sulit. Selain atas jasa Ibu Guru Kembar yang telah mengeluarkan tabungannya, pembangunan sekolah ini mendapat dukungan dari masyarakat setempat sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi. Masyarakat sekitar cukup senang dengan kepedulian Ibu Guru Kembar ini untuk membangun sekolah. Kehadirannya dapat membantu mereka menyekolahkan anaknya secara gratis. Sekolah dibangun dengan bantuan masyarakat, mulai dari tukang kayu hingga para ibu juga turut mengangkut pasir untuk menutup rawa-rawa. Dengan begitu, tanahnya menjadi keras dan bisa digunakan. Ibu Guru Kembar tidak setengah-setengah melakukan hal ini demi pendidikan anak-anak. Kalau secara materi, mungkin tidak bisa dihitung berapa yang sudah dikeluarkan. “Saya tidak tahu berapa banyak yang sudah kita keluarkan. Saya tidak pernah menghitung,” ujar Rian. Jumlahnya tentunya cukup besar. Ibu Guru Kembar sadar bahwa mereka benar-benar tidak mempunyai uang untuk sekolah yang mereka bangun, apalagi memenuhi perlengkapan sekolah. Atas kesadaran itulah, Ibu Guru Kembar ini dengan ringan hati mengeluarkan dana pribadinya untuk membeli seluruh perlengkapan sekolah, mulai dari seragam, buku, alat tulis, dan sebagainya. Begitu juga dengan pendidikan keterampilan, Ibu Guru Kembar telah menyediakan semua kebutuhannya. Para peserta didik diharapkan bisa berkonsentrasi kerja, bahkan mereka tidak segan-segan memberi modal kerja kepada para peserta didik agar bisa menjadi berdaya. Seperti pengakuan Ibu Nana, ia telah mendapat kursus gratis rias pengantin Jawa. Sekarang, Ibu Nana bisa merias sendiri dan membuka jasa rias pengantin. “Saya sudah menerima dua kali order. Lumayan, bisa menambah penghasilan keluarga,” ujar Ibu Nana. Selain itu, sejumlah ibu yang mengikuti keterampilan memasak juga sudah menerima banyak order membuat kue. Itu baru persoalan materi, belum lagi dedikasi nonmateri yang tentu tidak sedikit yang telah Ibu Guru Kembar ini keluarkan. Hampir sepanjang hari ia habiskan dengan anak-anak didiknya di empat tempat. Jam pertama mengajar adalah pukul 07.00—10.00 di Sekolah Darurat Kartini Ancol. Setelah selesai, pukul 10.00—13.00 Ibu Guru Kembar melanjutkan ke Sekolah Darurat Rawabebek. Selanjutnya, pukul 13.00—15.00 Ibu Guru Kembar ini melanjutkan mengajarnya di Sekolah Keterampilan Pluit. Setelah dari Pluit, mereka pulang ke rumah dulu di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selepas magrib, mereka melanjutkan mengajar di Sekolah Darurat Kartini Muara Angke untuk bidang keterampilan. Aktivitas yang cukup padat ini mereka lakukan setiap hari, dari Senin hingga Sabtu. Apa yang mereka lakukan untuk mengajar ini tidak bergantung pada siapa pun, hampir semua aktivitas yang berjalan mereka lakukan berdua secara independen. Untuk melakukan aktivitas dari satu sekolah ke sekolah lainnya saja, mereka mengendarai mobil sendiri secara bergantian. Jika lepas waktu makan, mereka menyiapkan sendiri makanannya yang dibawa dari rumah. “Kami tidak pernah beli sebab kami selalu bawa makanan sendiri dari rumah. Pagi-pagi sekali kami bangun, mempersiapkan kebutuhan kita, lalu berangkat,” ujar Rossy. Dengan makanan yang dibawa sendiri, selain hemat karena mereka dapat mengatur anggaran pengeluaran untuk makan, kadar makanan sehat pun terjaga. Itulah mengapa Ibu Guru Kembar ini meskipun sudah menginjak usia kepala lima, secara fisik tetap sehat. Mereka berdua pun memiliki penampilan unik, dengan topi bundar khas mereka dan warna baju yang mereka pilih. Tujuannya untuk menunjukkan kebersihan, kerapian, dan disiplin. Di tengah suasana yang kumuh, mereka tetap bersih dan rapi. Penampilan mereka juga untuk menunjukkan bagaimana mereka menghormati lingkungan. Melawan Kemiskinan Tujuan paling mendasar dari aktivitas yang mereka lakukan adalah mengentaskan kemiskinan dengan “memotong rantai-rantai”-nya, baik secara struktur maupun kultur. Mereka yakin bahwa setiap orang mempunyai etos kerja dan kemampuannya sendiri, tinggal bagaimana kemauan individu dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk lepas dari jerat kemiskinan. “Tujuan kita adalah mengentaskan kemiskinan dan mengubah martabat mereka yang tinggal di kolong jembatan. Kemiskinan membuat mereka tertutup dan tidak percaya diri akan kemampuannya. Mereka sulit berkomunikasi dengan orang luar sehingga mereka kurang mempunyai wawasan dan kesempatan,” ujar Rossy. Faktor lingkungan memang sangat mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari. Pasrah pada nasib terkadang membuat mereka tidak melakukan apa pun untuk perubahan bagi dirinya. Ibu Guru Kembar yakin bahwa masyarakat di kolong jembatan ini bisa bekerja serta mengembangkan diri asal ada kesempatan serta orang-orang yang mendorong dan memberi mereka berbagai macam keterampilan sebagai modal dasar yang membuat percaya diri. “Kalau cuma mengajar mudah, anak-anak SD di sini sama pintarnya dengan anak-anak SD di sekolah lain, cuma tingal membangun kepercayaan diri dan mengubah kebiasaan buruk. Faktor lingkungan cukup kental mempengaruhi mereka. Saya mengajar paling tidak tiga jam, sedangkan mereka hidup di lingkungan yang keras selama 21 jam,” ujar Rossy. Apa yang dilakukan Ibu Guru Kembar sampai hari ini tampaknya belum mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya dari Departemen Pendidikan Nasional. Bahkan, menurut Ibu Guru Kembar, apa yang pemerintah lakukan dianggap masih kurang layak dalam hal penyediaan pendidikan. Sebenarnya meski tidak mendapat dana bantuan pendidikan dari pemerintah, Ibu Guru Kembar tidak terlalu memperhitungkan karena sejak awal memang mereka berniat secara mandiri memberi sumbangsih kepada anak-anak dan dunia pendidikan. Ibu Guru Kembar mampu menyediakan ruang bagi mereka yang tersubordinasi. Mereka tidak menginginkan apa pun, baik uang, popularitas, maupun kedudukan. Mereka ingin hidup anak-anak tak sekolah itu menjadi lebih nyaman dan berhasil di masa depannya. “Apayang kita lakukan tidak untuk kepentingan pribadi, mencari uang, mencari popularitas, atau mencari kedudukan dalam struktur negara. Besok meninggal pun, ya, sudah tidak ada lagi yang harus dicari. Kita meninggal hanya dengan membawa kebaikan kita. Karena itu, hidup ini kami gunakan sebaik-baiknya dan tidak merugi,” ujar Rian. “Kita sedih melihat banyak sekali masalah kemiskinan, kekerasan, dan ketidakpedulian. Itulah yang ingin kita lakukan, peduli pada mereka yang tidak mendapatkan perlakuan atau lingkungan yang lebih baik. Kami merasa lebih bersyukur dan lebih beruntung dari mereka. Itulah yang ingin kami bagikan kepada mereka, baik ilmu maupun materi, lainnya tidak,” tambah Rian. Bandingkan dengan sistem pendidikan kita umumnya, kita masih ingat bagaimana setiap siswa diminta uang sebesar 150 ribu rupiah hanya untuk melakukan ujian persamaan dan mendapatkan ijazah. Melihat pilihan Ibu Guru Kembar dalam menjalankan pendidikan untuk anak-anak miskin secara independen, seharusnya negeri ini berterima kasih karena tanggung jawab yang seharusnya dilakukan negara dilakukan oleh mereka. “Orang-orang birokrat, saya bilang, jadi seperti drakula, mengisap darah rakyat miskin. Teganya meminta uang kepada mereka untuk pendidikan yang sebenarnya hak mereka dan kewajiban negara yang harus dijalankan. Sudah banyak data yang menunjukkan dana alokasi pendidikan tidak tepat sasaran,” ujar Rossy dengan gemas. Menanam Tunas Di tengah kepedulian sosial yang semakin langka, kehadiran serta tindakan Ibu Guru Kembar memang cukup membanggakan. Mereka adalah guru dalam arti yang sesungguhnya. Mereka seolah tidak pernah lelah. Ibu Guru Kembar tidak hanya melawan bisingnya beton jalan tol, tetapi juga kerasnya sistem sosial. Banyak orang memang tidak mengerti apa yang dilakukan Ibu Guru Kembar ini. Namun, kita semua akan tahu kelak di kemudian hari bahwa yang dilakukan mereka adalah menanam benih. Dari sana, akan tumbuh tunas-tunas yang ketika mengembang dan tumbuh besar, akan menembus kekarnya beton jalan tol sebagai gambaran kerasnya kehidupan sosial dan pembangunan yang tak memberi mereka tempatguna menikmati hidupyang layak. Padasaat itulah kitaakan mengetahui arti penting sebuah perlawanan dan kepedulian yang dilakukan oleh dua perempuan ini. (Eko Bambang Subiyantoro) Catatan Belakang: [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |