Di Indonesia, profesi bidan masih sangat memegang peran penting. Keberadaannya menjangkau hingga pedesaan yang terpencil. Seringkali karena faktor kedekatan emosi, dan tarif yang lebih murah, bidan lebih dipilih ketimbang dokter kandungan. Namun, jumlah tenaga bidan desa masih berbanding terbalik dengan jumlah wargayang mesti dilayaninya. Sejak tahun 1989, di mana program Bidan di Desa (BDD) kali pertama dicanangkan, jumlah bidan terus menyusut. Dari 62.812 BDD di tahun 2000 menjadi 39.906 di tahun 2003. Kini diperkirakan sekitar 22.906 desa tidak lagi memiliki bidan. Padahal 80% penduduk Indonesia bermukim desa di sekitar 69.061 desa (Profil Kesehatan Indonesia 2000). Dari ketersediaan tenaga bidan yang ada, belum semuanya memahami benar isu gender, bagaimana menjadikan gender sebagai sebuah sudut pandang dalam menerapkan ilmu medisnya. Padahal, profesi bidan sangat berperan, bagi peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak. Yayasan Pendidikan dan Kesehatan Perempuan (YPKP), sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengembangan pendidikan kesehatan, khususnya Kesehatan Reproduksi (Kespro) perempuan mencoba meng-implementasikan pilot program uji coba integrasi gender dan hak- hak reproduksi ke dalam kurikulum di beberapa sekolah kebidanan. Bagaimana proses pengintegrasian dilakukan, apakah ada kendala dalam proses tersebut? Jurnal Perempuan bertemu dengan Herna Lestari, koordinator program di YPKP dan berikut ini hasil wawancaranya. Jurnal Perempuan (JP): YPKP merupakan salah satu lembaga yang concern dengan isu gender dan pernah berupaya memasukkan isu gender dalam kurikulum di sekolah kebidanan. Waktu itu bagaimana prosesnya? Herna Lestari (HL): YPKP didirikan oleh beberapa pemerhati masalah kesehatan reproduksi. Kita concern dengan tingginya AKI (Angka Kematian Ibu). Artinya, walaupun (angkanya) menurun tapi sebenarnya tidak menurun secara signifikan, kan? Jadi kita ingin bagaimana caranya agar AKI ini tidak terus meningkat tapi justru turun, berkurang secara signifikan karena kita juga sudah komitmen dengan MDGs (untuk) menurunkan angka kematian ibu. Kegiatan kami waktu didirikan tahun 2003 itu selain memberikan beasiswa kepada 90 perempuan dari keluarga tidak mampu yang mempunyai kekerabatan dengan dukun, kami melakukan kerjasama dengan empat sekolah, empat prodi kebidanan dari empat Poltekkes (Politeknik Kesehatan) di Jakarta, Malang, Jambi, dan Bandung. Kami mengembangkan modul, ada sembilan modul yang diintegrasikan dengan isu gender. Karena walaupun Poltekkes-Poltekkes itu mempunyai silabus yang ada aturannya, ada panduannya, tetapi mereka tidak punya modul yang benar-benar bisa dipegang oleh pengajar, menjadi standar untuk pengajar menyampaikan materi. Artinya, kalau dosennya beda, (maka) beda lagi penyampaiannya walaupun topiknya sama. Kami coba bangun, sama- sama bekerja membuat modul. Modul-modul itu sekarang sudah jadi dan sudah diterapkan, beda dengan modul-modul pendidikan selama ini. Kami mencoba mengajak pengajar-pengajar ini untuk lebih interaktif, karena isu-isu gender, kepemimpinan, reproduksi itu tidak bisa diberikan secara teoritis. Kalau cuma teoritis mudah sekali lupa, jadi bagaimana caranya materi itu diberikan secara interaktif, dengan permainan, dengan kasus sehingga mereka lebih bisa mencerna. JP : Bagaimana bentuk penerapannya, apakah isu gender terintegrasi dalam setiap mata kuliah atau ada mata kuliah tersendiri mengenai bahasan gender? HL: Di awal, kita meminta agar materi dalam modul-modul disampaikan kepada penerima beasiswa dari YPKP, tapi pada perkembangannya ternyata sekolah- sekolah menganggap bahwa modul ini cukup baik. Pada ahirnya modul diberikan tidak hanya kepada mahasiswa ini (para penerima beasiswa), sekolah tetap menggunakan modul-modul itu. Interest terhadap modul ini ternyata tidak hanya di sekolah ini saja, sekarang sudah banyak sekolah-sekolah yang meminta kami untuk memberikan pelatihan. Modul tidak berhenti di sini saja, dengan LSM, dengan pemerintah dari Pusdinakes (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan) waktu itu, kami mengembangkan modul, kami berikan cara penyampaiannya sehingga mereka tahu bagaimana cara menggunakan modul tersebut. Ada dua modul sebetulnya, modul untuk pegangan siswa, dan modul panduan pengajaran untuk dosennya. JP : Seberapa perlunya kurikulum gender bagi para calon bidan? HL: Kami concern dengan angka kematian ibu. Nah, di desa-desa ternyata seringkali masalah-masalah Kespro itu tidak sekedar masalah klinis. Artinya, bukan sekedar, oh, karena pendarahan dia meninggal. Jadi masalah Kespro di desa itu terkait dengan masalah-masalah isu sosial. Di dalam keluarga, karena yang mengambil keputusan adalah bapak, jadi si ibu kalau mau ke Puskesmas atau ke Posyandu, ya, mesti ijin dulu. Kalau mendapat izin ia pergi, kalau enggak, ya enggak pergi. Atau terkadang, di lapangan, ibu-ibu malas bertemu dengan hak provider, karena seringkali hak provider suka judgement. Misalnya, menggunakan kata-kata yang tidak mengenakkan, jadi dia (para ibu) enggan untuk memeriksakan atau melahirkan (melalui) tenaga kesehatan. Mereka merasa diperlakukan tidak sebagai “manusia”. Berbeda dengan, misalnya, ke dukun. Dukun itu seperti ibunya sendiri. Nah, kami melihat itu sebagai isu yang perlu masuk dalam modul-modul. Jadi, ada isu gender bagaimana memberikan pelayanan kepada perempuan, tidak menganggapnya sebagai objek tetapi sebagai manusia, ada unsur sosialnya. JP : Apakah ada hambatan dalam proses mengintegrasikan kurikulum gender ini? HL: Jelas ada. Kami mulai masuk dengan kata-kata gender, kemudian kami berhadapan dengan dosen-dosen yang punya frame sendiri. Padahal gender ini ‘kan kami integrasikan tidak hanya ke (soal) Kesehatan Reproduksi, tapi juga ke (isu) agama. Nah, ke agama ini karena memasukkan isu-isu gender, seakan- akan perempuan itu menuntut lebih dan bertentangan. Jadi tidak mudah. Waktu kami mengadakan pelatihan, ada konflik. Dosen-dosen merasa seperti mau diapain gitu, karena buat mereka isu gender bukan sesuatu yang biasa. Belum lagi jika berhadapan dengan birokrasi, karena ini lembaga institusi pendidikan, jadi kalau meminta kerja sama itu urutannya mesti dari atas dan itu cukup panjang (prosesnya). Walaupun direktur kami Prof. Gulardi cukup disegani oleh bidan-bidan, tapi kami pelaksana hariannya menemukan banyak hambatan. Saya misalnya, kebetulan tidak punya background sebagai bidan atau dokter, itu juga kadang-kadang menjadikan komunikasi agak susah. Jadi banyak sekali hambatannya, tapi pelan-pelan kami bangun dari awal, kami belajar dari kesalahan, mencoba toleransi satu sama lain, ahirnya kami bisa. JP : Bagaimana proses penerapan modul tersebut? Apakah dilakukan oleh YPKP sendiri atau melibatkan pihak lain? HL: Tadinya modul-modul itu kami semua yang mengembangkan. Artinya baik untuk pegangan siswa maupun panduan untuk mengajar, kami sendiri yang menulisnya. Modul untuk siswa sebenarnya berupa bahan bacaan untuk mahasiswa, yang satu lagi panduan untuk pengajar. Ternyata dosen-dosen tidak mudah menerapkan apa yang diolah oleh kami dan LSM, banyak istilah-istilah yang tidak terlalu dimengerti oleh mereka. Akhirnya, kami balik, mereka yang menulis cara pengajarannya, cara menyampaikannya. Selebihnya kami diskusi, ini enaknya pakai film, ini enaknya pakai contoh kasus. Paling tidak dosen dilibatkan dalam pengembangan modul. Gender itu memang isu yang nggak bisa sekali diberikan langsung dipahami. Pertama, kami beri pengetahuan yang basic tentang gender, tentang kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi. Kami beri pelatihan dosen selama sepuluh hari. Kami harapkan dosen ini yang akan menyampaikan materi itu kepada mahasiswa. Selama 10 hari itu responnya banyak sekali. Akhirnya setiap kali ada pelatihan, materi gender itu selalu diulang supaya mereka tetap ingat, lebih memahami, lebih meresapi apa yang dimaksud dengan gender. JP : Bagaimana respon dari para peserta waktu pertama kali ada pelatihan mengenai integrasi kurikulum gender? HL: Waktu pertama kami ajak kerjasama mereka nggak keberatan, senenglah, namanya peningkatan pengetahuan. Tapi pas kami masuk ke materi gender itu memang perlu waktu cukup lama agar mereka memahaminya. Setelah diterapkan, kami datangi, monitor, kami kasih masukan, feedback, selain datang, kami juga memberi form untuk evaluasi, baik kepada dosennya maupun mahasiswa, apakah mereka cukup mengerti dengan materi yang disampaikan oleh dosen atau yang ada dalam buku bacaan. Dari situ kami perbaiki (modulnya). JP : Apakah program ini berpengaruh terhadap pola pikir maupun perilaku baik akademisi maupun para calon bidan? HL: Sampai sekarang ini jauh lebih baik ya. Artinya mahasiwa penerima beasiswa ini memang dari kelompok yang marginal. Anak-anak ini memang kami ingin angkat supaya mereka juga bisa memberikan perubahan di desanya. Termasuk dalam menyampaikan materi ini, mereka datang dari kebutuhan yang berbeda, mungkin dari kecil juga mendapatkan pemahaman perempuan itu seperti apa. Ternyata challenge ini bisa dilalui juga oleh bidan-bidan. JP : Menurut Anda, seberapa besar urgensinya memasukkan kurikulum gender dalam sekolah kebidanan? HL: Perlu sekali. Menurut saya, semacam provider, bidan, dokter, mereka lebih bisa memahami. Walaupun mereka perempuan, kadang-kadang karena tidak tahu gender, dia tidak memahami hak-hak perempuan. Ya, kadang-kadang tidak punya empati, tidak punya simpati. Tapi dengan mengetahui tentang gender, mereka lebih bisa punya empati, tidak diskriminatif. Sejauh ini mereka (para calon bidan) lebih bisa simpati, lebih empati pada perempuan. JP : Sejauh ini bagaimana peran Anda dalam proses integrasi gender? HL: Untuk keseharian saya banyak berhubungan dengan mahasiswa, dengan mitra, tapi bukan berarti saya semua, Prof. Gulardi memegang peran penting. JP : Menurut Anda, bagaimana perubahan antara sebelum dan sesudah dilakukannya integrasi kurikulum gender? HL: Ya jelas berubah sekali. Di awal, pemahaman tentang isu-isu keperempuanan, isu-isu gender masih kurang. Mereka (para siswa di sekolah kebidanan) pada akhirnya melihat bahwa kesempatan itu tidak hanya untuk anak-anak laki-laki tetapi juga untuk anak perempuan, dan mereka (menjadi) lebih percaya diri. Jika pada awalnya mereka mencoba menghindari, seperti tidak punya rasa percaya diri dan kalau berbicara dengan orang cenderung mundur, tapi kini mereka kelihatan smart, lebih berani, lebih bisa mengemuka-kan pendapat. Walaupun ada laki-laki mereka bisa bicara. Yang jelas, mereka lebih trampil dibanding yang dulu. Selain melalui pendidikan, kami juga memberi kesempatan, misalnya kalau ada event-event internasional, mereka persentasi. Dalam Asia Pacific Conference on Reproductive Health of the Malaysia pada tahun 2005, mereka berani melakukan presentasi di depan forum internasional. Termasuk (bahasa) Inggrisnya juga berkembang. JP : Ke depan, apa harapan Anda dengan diintegrasikannya isu gender dalam kurikulum pendidikan? HL: Harapan saya, integrasi gender harus ada, tidak hanya di sekolah kebidanan. Kami mencoba kembangkan tidak hanya di Poltekkes tapi juga di semua akademik bidan di Indonesia. Ini memang membuat mereka lebih bisa melayani perempuan, terutama lebih kepada masyarakat. Seharusnya juga tidak hanya bidan, tapi juga petugas-petugas kesehatan yang lain, misalnya perawat, karena mereka juga berinteraksi dengan masyarakat. Kalau datang ke rumah sakit seringkali kita tidak diperlakukan secara manusiawi. Kadang-kadang kita juga malas datang. Padahal kita itu raja, kita datang dengan membayar, tidak gratis tapi seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak seharusnya, mungkin karena mereka tidak mendapatkan pemahaman. JP : Apakah dengan demikian program integrasi YPKP ini akan meluas tidak hanya ke sekolah kebidanan? HL: Ada usaha juga untuk memasukkan kurikulum gender ini ke (sekolah) kedokteran. Kalau sampai masuk ini hebat sekali. Sekarang ini masih dalam proses, ya, masih mencoba. YPKP ini juga pilot di empat tempat. Sekarang kami mencoba mengembangkan ke luar Poltekkes, jadi yang sudah masuk adalah Nias, Aceh berkaitan dengan tsunami, banyak bidan yang meninggal karena tsunami. Kami membantu dengan membangun calon bidan muda yang posisinya kosong waktu itu. Ke depan kami mencoba memperluas jaringan. Kami ingin empat Poltekkes yang kami bina di Jakarta, Bandung, Malang, dan Jambi ini menjadi semacam centre untuk mengembangkan keteram-pilan bagi mitra-mitra, Poltekkes lain atau akademi bidan lainnya. Isu gender ini bener- bener jadi mainstream, tidak hanya menjadi wacana tapi diterapkan. Untuk sementara ini kami masih concern pada bidan karena bidan sangat potensial, sangat dekat dengan masyarakat dibanding provider yang lain dan mereka yang menjadi ujung tombak kesehatan ibu dan anak. JP : Siapa saja mahasiswa yang berhak mendapat beasiswa YPKP? HL: Mahasiswa ini datang dari 9 propinsi. Dari jambi 18 orang, Riau, dari kecamatan Kepulauan Seribu, dari Banten Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan NTB. Sebagian dari mereka yang dari luar Jawa itu direkrut oleh pemerintah daerahnya sebagai bidan desa. Ada yang masih dibiayai, masih kontrak, ada juga yang sudah ditetapkan sebagai bidan PTT. Akan tetapi tidak semuanya direkrut karena beberapa (desa) sudah ada bidan. Padahal, anak-anak ini terikat perjanjian dengan YPKP bahwa mereka akan kembali ke desanya. Akhirnya, kami perlebar, sepanjang mereka tidak keluar dari kabupatennya (walaupun tidak di desa asalnya) tidak apa-apa. Belajar dari pengalaman ini, kami ingin Insya Allah ke depan masih ada beasiswa yang dialokasikan kepada sekitar 70-80 orang. Kami mengharapkan partisipasi dari pemerintah daerah. Anak-anak ini kan potensial karena mereka akan punya nilai lebih dibanding mahasiswa yang lain karena sudah mendapatkan pendidikan (gender), memiliki perspektif gender dan sosial. Kalau ada kerjasama dengan pemerintah, anak-anak ini terjamin. Kalau mereka selesai sekolah mereka tahu dimana akan bekerja. Karena yang kami pilih memang daerah-daerah yang angka kesehatan ibunya kurang. Dengan kerjasama, pemerintah daerah bisa berkontribusi untuk meningkatkan kapasitas atau meningkatkan status kesehatan ibu dan anak di tempatnya. Anak ini (mahasiswa) juga akan lebih terjamin masa depannya. Ke depan, YPKP akan tetap memberikan beasiswa tapi tidak seperti dulu. Dulu kan beasiswa mencakup biaya operasional pendidikan, per diem-nya, uang kost, sampai uang buku. Kami berharap, oke, YPKP tetap mendukung uang operasional pendidikan, tapi yang lainnya ditanggung oleh pemda. Kami harapkan dengan adanya peningkatan alokasi dana pendidikan untuk setiap daerah, rasanya ini menjadi suatu hal yang tidak terlalu berat untuk daerah. (Rufiah Padijaya dan Dewi Setyarini) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 61, 2008 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |