Anita Dhewy Jurnal Perempuan [email protected] Gunretno adalah petani sekaligus koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang bersama komunitasnya Sedulur Sikep, gigih mempertahankan tanahnya dan menolak pendirian pabrik semen PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati pada 2006. Perjuangan Gunretno dan Sedulur Sikep membuahkan hasil dengan dimenangkannya gugatan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung pada 2009. Kemenangan ini diikuti dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. Sedulur Sikep sendiri adalah masyarakat adat yang tinggal di sepanjang kawasan Pegunungan Kendeng, membentang dari Blora dan Pati di Jawa Tengah hingga Bojonegoro di Jawa Timur. Mereka adalah pengikut ajaran Samin Surosentiko—yang bernama asli Raden Kohar—seorang tokoh dari Blora yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890 dengan menolak membayar pajak karena membebani petani dan mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan Saminisme oleh antropolog Amrih Widodo disebut sebagai fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara dan menjadi bagian dari gerakan petani. Karena itu perlawanan dan penolakan yang dilakukan Sedulur Sikep terhadap korporasi semen hari-hari ini memiliki akar sejarah yang panjang dalam konteks gerakan perlawanan petani di Indonesia.
Setelah berhasil ditolak di Sukolilo, Pati, pada 2012 PT Semen Gresik yang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia justru memperoleh izin di Tegaldowo, Rembang yang diikuti dengan pembangunan pabrik pada 2014. Maka Gunretno bersama Sukinah dan masyarakat Rembang melakukan perlawanan, menuntut penghentian rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia. Pada 16 Juni 2014 bertepatan dengan peletakan batu pertama PT Semen Indonesia di Rembang, ratusan ibu-ibu menggelar aksi dengan memblokir akses jalan di areal tapak pabrik agar truk-truk yang mengangkut material tidak dapat masuk ke lokasi tapak pabrik. Aksi mereka dihadang oleh aparat kepolisian. Mereka kemudian mendirikan tenda di dekat pintu masuk tapak pabrik. Hingga tulisan ini dibuat (sudah lebih dari dua tahun sejak didirikan), yu Sukinah dan ibu-ibu yang lain masih bertahan di tenda. Gunretno juga membantu perjuangan warga di kecamatan Tambakromo dan Kayen, Pati, yang diincar oleh pabrik semen yang lain yakni PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa. Warga telah melakukan gugatan atas terbitnya izin pabrik dan penambangan tersebut dan dimenangkan lewat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada tanggal 17 November 2015. Namun pemerintah Kabupaten Pati dan PT SMS mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya. Sementara gugatan warga Rembang dan Wahana Lingkungan hidup (Walhi) atas izin penambangan PT Semen Indonesia (dahulu PT Semen Gresik) ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada 16 April 2015. Majelis hakim beralasan dalam rencana pendirian pabrik, tergugat telah memenuhi kewajiban dengan melakukan asas keterbukaan publik, di antaranya sosialisasi kepada perangkat desa dan masyarakat. Di Gombong, Kebumen, penolakan terhadap pembangunan pabrik semen juga dilakukan warga terhadap PT Semen Gombong (Medco Group). Selain wilayah tersebut upaya pembangunan pabrik semen juga gencar dilakukan di wilayah lain seperti Wonogiri dan Maros (Sulawesi Selatan). Gunretno dan masyarakat pegunungan Kendeng tak surut berjuang. Sejumlah aksi digelar untuk menolak pembangunan pabrik semen di Rembang dan di Pati atau di Jawa. Pada 12 dan 13 April 2016, 9 Kartini Kendeng yaitu Sukinah, Sutini, Giyem, Karsupi, Deni, Surani, Ambarwati, Murtini dan Ngadinah menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara dengan menyemen kaki mereka. Di hari kedua Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno menemui Sukinah dkk dan menyampaikan pesan bahwa Presiden Jokowi akan menjadwalkan pertemuan. Gunretno dan Sukinah (mewakili 9 Kartini Kendeng) kembali menggelar Aksi Kartini Kendeng Nyelameti Presiden Joko Widodo pada 21 Juni 2016 di depan Istana Negara bertepatan dengan ulang tahun Jokowi. Pada kesempatan ini juga, pagi hari sebelum aksi berlangsung Gunretno bersama sejumlah akademisi bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan dan perusahaan semen. Jurnal Perempuan berbincang dengan Gunretno usai aksi bersama di depan istana tentang gerakan yang dibangunnya untuk menjaga dan melindungi alam, ruang kehidupan masyarakat Kendeng, juga upayanya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pegunungan Kendeng dengan mata air yang dimilikinya bagi kehidupan mereka serta upayanya melakukan advokasi penolakan pabrik semen termasuk merawat keberadaan Sedulur Sikep. Sikap dan tindakan Gunretno yang mengedepankan empati, menumbuhkan kesadaran kritis dan rasa keberpihakan terhadap alam atau yang disebutnya sebagai ibu bumi dan masyarakat petani dapat dikatakan sebagai pendekatan feminis. Kalau saya lihat gerakan yang kang Gun dan kawan-kawan lakukan itu selalu ada proses pendokumentasian, nah kesadaran akan pentingnya dokumentasi ini awalnya bagaimana ya? Mulainya ya belajar dari pengalaman sendiri akan pentingnya dokumentasi, pentingnya memiliki bukti, jadi awalnya karena kebutuhan akan bukti. Jadi begini, aku sebagai Sedulur Sikep kebetulan dibutuhkan di beberapa kelompok tani, ketika kemudian aku sering difitnah, aku merasa kalau aku berdebat secara lisan tidak akan selesai, karena penting buatku untuk mendokumentasikan setiap kegiatanku. Jadi aku walaupun dari Sedulur Sikep, tapi sejak awal sudah melek teknologi. Untuk dokumentasi mulai dari alat rekaman pita kaset, disket itu semua penting. Karena aku sering punya pengalaman difitnah, ketika aku punya bukti berupa rekaman visual, maka berhenti fitnah itu. Jadi dokumentasi penting untuk dilakukan. Dari situlah dalam proses perjalananku kemudian aku menyiapkan orang untuk belajar dokumentasi terlebih dulu. Karena mereka (pihak perusahaan) menggunakan senjata memecah-belah dengan fitnah. Jadi kalau kita punya dokumentasi akan sangat membantu. Karena itu alat-alat mulai dari kamera, lalu alat untuk skype, seperti itu kawan-kawan sudah aku bekali dari awal. Kang Gun membangun jaringan dan punya banyak relasi ya, adakah hambatan atau tantangan yang dihadapi untuk membangun jaringan dan menggerakkan kawan-kawan? Hm, sebenarnya niat untuk membangun jaringan ini bukannya tidak sengaja, tapi memang bisa dikatakan aku itu selalu menceritakan apa yang sebenarnya. Nah jadi dengan cerita-ceritaku itu kemudian ada yang tertarik, bersama-sama. Tertarik itu ada yang modelnya semangat ketika awal lalu lama-kelamaan menjadi tidak semangat. Ada juga yang ketika tahu secara mendalam dan merasa hanya sekadar begitu, lalu kemudian merasa tidak cocok. Ketika tidak cocok lalu kemudian menjelek-jelekkan. Yang seperti ini juga ada. Tetapi memang pada dasarnya yang penting ikhlas dan mengatakan apa adanya saja. Itu buatku cukup. Jadi kalau hambatan ya tetap ada dan semua itu menjadi proses belajar. Selama ini strategi yang kang Gun gunakan untuk menghadapi upaya fitnah atau pecah belah itu bagaimana? Ada berbagai cara ya. Salah satunya yang bisa dikatakan sebagai strategi juga, contohnya aku disebut mendapat bantuan dana atau funding dari mana-mana, lalu punya mobil, punya sawah dimana-mana, ya dituduh sebanyak apapun pada dasarnya tidak benar. Tapi memang melelahkan jika tuduhan itu tidak ditanggapi. Salah satunya dengan dokumentasi, tapi itu juga tidak cukup. Sampai ada strategi ketika kemarin itu aku banyak difitnah, lalu cara yang kulakukan apakah harus ada sumpah di tempat yang disakralkan bagi mereka? Itu yang biasanya membuat mereka kemudian tidak berani. Jadi kemarin ketika longmarch jalan kaki 20 kilometer di Pati itukan tengah malam, jadi ada orang-orang yang datang ke rumahku menyampaikan mas Gun kalau berani datang ke salah satu desa ini kalau memang benar-benar menolak semen. Di sana ternyata kemudian dikatakan bahwa aku selalu membuat pertemuan dengan mengundang warga. Ini perintah kang Gun, misalnya begitu, padahal aku tidak menyuruh. Kemudian dikatakan ini orangnya tidak datang karena dia sudah tidak berani dengan warga sini, karena dia suka memanfaatkan orang. Jadi orang-orang diundang dengan mengatasnamakan aku, padahal aku tidak menyuruh. Beberapa kali ada kejadian sampai seperti itu. Jadi itukan benar-benar fitnah karena aku tidak mengundang. Nah lalu mereka membuat saksi pembenaran, dengan mengatakan kemarin sudah kumarah-marahi orangnya, nanti kalau dia berani datang, potong tanganku. Sementara aku tidak tahu apa-apa. Kejadiannya sampai seperti itu. Nah ini membuat orang semakin emosi, semakin ingin mengancam dan membunuhku, sampai seperti itu. Aku tahunya ketika ada orang-orang yang mungkin loyal ya, menanyakan, “Kang tadi bikin pertemuan di sini?”, “Pertemuan apa? Enggak. “Lha ini tadi ada undangan pertemuan di sana.” “Ya sudah didoakan saja. Ada apa?” Lalu dia bercerita, jadi aku akhirnya tahu. Bahkan orang yang dekat denganku, Lik Ngadiman, dibawa-bawa juga. Dikatakan bahwa Lik Ngadiman yang dekat denganku, yang disuruh menyampaikan pesan, dan meski sudah disampaikan lewat teman sendiri, ternyata aku tidak datang. Padahal Lik Ngadiman ya tidak disuruh untuk menyampaikan pesan. Ya semacam itu fitnahnya, dan ini terus dilakukan, mereka punya tim yang mengerjakan itu. Keluarga sejauh ini bagaimana ketika Kang Gun menghadapi berbagai ancaman? Ya mulai dari simbah-simbahku, mulai keluarga satu rumah, dari bapak, ibu, adik, kakak, saudara-saudaraku semuanya sudah paham. Ya mereka selalu mengingatkan untuk berhati-hati. Ya tidak sekadar mengingatkan, kalau ada apa-apa keluarga merapat semua, memang keluarga yang menguatkan, mbak. Keluarga yang saya maksud itu ya bukan hanya yang berasal dari satu bapak dan ibu. Mereka yang selama ini loyal, itu juga sudah seperti keluarga sendiri, meskipun mereka orang lain. Selama ini yang kang Gun lakukan itukan gerakan anti kekerasan begitu ya, dengan misalnya melakukan long march, happening art seperti yang dilakukan di PTTUN Surabaya, lalu menyemen kaki, nyelameti Jokowi, dsb. Ada makna yang dalam yang disampaikan tapi juga tidak membuat orang menjadi marah kalau melihat itu. Nah ini bagaimana kang Gun bisa mengemas gerakan ini menjadi begitu mempunyai kekuatan? Dasarnya sederhana mbak, sebenarnya dasarnya diukur dari diri pribadi. Jadi aku selalu membahasakan bahwa di dunia ini ada dua warna, ada keburukan dan ada kebaikan. Jadi keburukan itu menjadi penyeimbang kebaikan. Tapi jangan lantas senang ketika diri kita sedang berada di tempat yang baik, karena itu yang aku ajarkan jangan ada kebencian terhadap siapapun termasuk lawan. Ketika calon majelis hakim yang memimpin persidangan kasus Pati itu Santer Sitorus yang pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi, orang-orang sudah merasa pesimis. Sikap pesimis ini sebenarnya tidak bagus, sudah tidak ada rasa percaya. Mungkin aku umpamakan aku pernah bersalah, ketika aku berusaha untuk berubah, justru ada kondisi yang memvonis, itu rasanya seperti apa. Karena itu aku selalu membahasakan bagaimana ibaratnya tetap tajam namun tidak menyakiti, seumpamanya keras juga tidak melampaui yang sewajarnya. Mau menjelek-jelekkan Santer, aku tidak bisa, jadi ya positif saja, nanti pasti ada jalan. Ya didoakan bahwa kain putih memanjang yang ditulisi dengan doa itu mudah-mudahan mengingatkan Santer. Di luar itu, kekhawatiran apakah doa tersebut akan terkabul atau tidak, ya ada. Tapi pesimis itu salah satu penyakit. Jadi harus tetap optimis bahwa kalau benar caranya, bersih niatnya, tetap ada jalan. Nah strategi atau ide seperti ini biasanya muncul secara spontan. Ya memang aku mengumpulkan sedalam mungkin semua yang kudapat, data-data dari situasi yang ada ku timbang, ku matangkan. Selalu seperti itu dan biasanya prosesnya berlangsung dengan cepat. Misalnya ketika menyemen kaki, persiapannya tidak sampai lima hari lalu langsung berangkat ke Jakarta, hasilnya ternyata bisa berjalan. Padahal kalau yang lainnya lewat proses, ada pertemuan, ini dan itu. Sedang yang di pengadilan Surabaya dengan menggunakan kain putih itu gagasannya muncul sehari sebelumnya. Sempat kupikir-pikir, iya atau tidak. Akhirnya iya. Lalu mencari kain putih seratus meter, pesan di Solo sehari sebelumnya. Ya seperti itu. Kalau tembang-tembang yang biasa dinyanyikan ketika menggelar aksi itu bisa diceritakan bagaimana maknanya? Ya semua kegiatan aksiku itu aku melahirkan tembang-tembang. Selalu beda karena konteksnya beda. Katakanlah waktu di DPR ya, tanggal 16 Juni itukan memperingati dulur-dulur (saudara-saudara) Rembang yang sudah dua tahun di tapak pabrik, di tenda, kami membuat tembang. Seringnya membuat sendiri, hanya kadang aku menggali dari orang yang tahu tentang nembang. Pada waktu dulu, ada mbak Tantri yang kebetulan lebih tahu tentang aku, lalu sering aku memberikan bahan yang akhirnya menjadi tembang. Tapi sebelum kenal mbak Tantri ya aku bikin sendiri, mau dikatakan kolaborasi juga bisa. Ketika long march 20 kilometer itukan bagaimana caranya orang bisa tersentuh sehingga bisa ikut bersama-sama (dalam rombongan), karena kami inikan minoritas, orang Sedulur Sikep. Lalu ketika aku yang punya ide, ada celah orang itu nggak setuju. Nah maka kami menggandeng salah satunya mas Gufron. Lalu jadilah lagu: Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili, kemudian tambahannya La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Nah bagi kami itu tabu mengeluarkan kata-kata, sebenarnya takut, tapi nggak apa-apa, karena kalau sedulur-sedulur Muslim kan biasa. Jadi karena mayoritas Muslim, ya ini dipadukan. Nah kejadian-kejadian seperti itu biasanya spontan mbak. Sore itu sepuluh menit sebelum terlaksana, aku berpikir, long march 20 kilometer malam hari, kalau hanya diisi orasi, mungkin orang nggak senang. Tapi ketika selama 4 jam hanya menyuarakan itu, dua ribu orang menggunakan oncor lalu melantunkan itu, dari barisan depan, tengah dan belakang, diulang-ulang, mungkin bisa membuat orang yang melihat menjadi tersentuh. Pada akhirnya ada yang gabung ikut berjalan, ada yang dengan sepeda membawakan air dan memberikan minuman kepada orang yang berjalan, arti menyentuh hati mereka. Nah waktu di Surabaya kami juga membuat tembang, ini terkait gugatan banding dari Bupati Pati, ketika kalah di PTUN Pati lalu banding di PTTUN Surabaya. Nah aku dengar bahwa salah satu calon hakim ada yang bermasalah. Santer Sitorus pernah diperiksa oleh KPK karena suap. Satu hari sebelum berangkat untuk aksi, sore jam 3 aku dapat berpikir bagaimana ada kain putih seratus meter, terus ditulisi doa itu tadi, ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, sambil diangkat dan Sembilan Kartini berjalan dengan membawa bendera merah putih sambil membaca geguritan, diiringi ibu pertiwi. Ibu-ibu yang mengangkat kain putih juga mengenakan kain putih pinjungan. Jadi ini ada tembangnya juga: kain pinjung mengko werdi panjang punjung / slamet lan raharjo ibu pertiwi ibu bumi / saking serakah lan angkara ning manungso / putih iku pralambang sucining kalbu / mugi dayanana mring sedaya para hakim / mutuske adil mring yuna nusantara. Jadi kami tetap selalu berpikir positif, mugo-mugo putusane kanggo keapikane nusantara (mudah-mudahan putusannya untuk kebaikan nusantara). Jadi walaupun dia dipandang banyak orang tidak baik, kami selalu berpikir bahwa tidak ada orang yang senang menjadi jelek, semua orang ingin menjadi baik. Ketika dia sudah punya laku yang tidak baik, mungkin kita juga harus berterima kasih karena baik dan jelek itu sudah jadi imbangannya, itu yang selalu ku pegang. Pada akhirnya yang terjadi, di semua kegiatanku, polisi, tentara, mungkin sedikitpun tidak punya celah untuk mencari kesalahanku. Dan ini yang terjadi persoalan Kendeng dari awal dan tidak hanya Kendeng sih. Dari sebelumnya kami kan memang persoalan lingkungan, sebelum ada pabrik semen juga sudah ada persoalan. Nah waktu di Surabaya kami buat 4 tembang pucung. Lalu ketika di Rembang, Rembang itukan sudah dua tahun ibu-ibu mengetahui lalu-lalang mobil-mobil alat berat, membawa material untuk mendirikan konstruksi pabrik, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, sudah melapor bahwa di sana ada perusakan, tapi tidak dihiraukan. Jadi kubikin tembang: Amung butuh waktu rong tahun lumaku kanggo ngrusak alam / lemah subur den keduki, sedaya nuruti serakahe kapital / ora krungu opo nutupi pangrungu pengembating praja / sajak ora do peduli, ndulu lan nggulati gelare kahanan / wis rong tahun, prihatine para ibu ono jroning tenda / labuh nggrungkepi pertiwi tan kendat anyekapi sandang boga / siro ibu pertiwi kang setyo tuhu tyas iki percoyo / ndika kang bakal ngadili polah manungsa kang uwus nyawiyah ndika. Jadi kalau ibu-ibu ini ditindak, tidak dihormati, disakiti, tetap akan dibela ibu bumi. Lalu prosesnya bagaimana ya Kang sampai kemudian yu Sukinah yang dipilih memimpin di Rembang dan kenapa yu Sukinah? Nggak tahu sih, ini juga mungkin dari alam, bahwa ada Sukinah. Jadi persoalan Rembang sudah hampir dua tahun, aksi-aksi nggak dihiraukan untuk aksi di wilayah Kabupaten. Satu saat ini harus diangkat secara nasional, bahwa di sini ada banyak pelanggaran. Nah waktu itu ya cukup lewat telepon ya, aku hubungi, mengajak ke Jakarta, entah nanti ke Komnas HAM, atau ke KPK, pokoknya ini disuarakan. Nah waktu itu aku banyak urusan persoalan Kendeng, di Pati, di Grobogan, jadi aku cuma bilang nanti berangkat naik bus, turun di Pulo Gadung, lalu ke tempat pak Bondan Gunawan, ketemu di sana. Waktu itu rencananya aku naik kereta, karena banyak urusan, tiket kadang jadi nggak keruan. Lalu aku diantar teman untuk cari tiket kereta, ternyata habis. Akhirnya naik bus. Nah aku nggak tahu ya, kebetulan satu bus dengan warga Rembang dan tempat duduknya urut, jadi yang depan aku, lalu Sukinah dan warga Rembang. Kami bisa ketemu satu bus padahal tidak janjian. Lalu aku berpikir dalam hati, ini ada apa ya. Jadi berangkat ke Jakarta sama-sama. Setelah di Jakarta, lalu menyusun strategi akan bertemu siapa, kami biasanya minta tolong ke teman-teman jaringan untuk membuat pemberitahuan entah ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atau ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kami minta tolong ke jaringan salah satunya HUMA. Namun yang sering terjadi ternyata lobiku lebih cepat untuk bertemu dengan siapa saja selama ini. Ketika aksi di Kedutaan Besar Jerman waktu itu, lalu terpikir spontan untuk mendatangi Kementerian ESDM, ya langsung berangkat. Ternyata di sana dikasih ruang dan tidak hanya menyampaikan surat saja, tapi diterima dengan baik. Kembali lagi ke soal Sukinah, ketika di tempat pak Bondan, aku menggali riwayat Sukinah. Jadi tidak langsung dipilih begitu, kami lihat salah satunya kemampuan mereka berbicara. Selain Sukinah ada juga Prin (Joko Prianto). Kesejarahan riwayat Sukinah kugali, Prin juga. Akhirnya ya sudah, Sukinah kamu yang jadi Senopatinya Rembang. Seperti itu yang terjadi. Di Gombong juga seperti itu. Kalau untuk pengaderannya katakanlah seperti itu, prosesnya bagaimana ya Kang? Ya salah satunya sederhana ya, kami ini bukan mengajarkan, tapi seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung pada kita mengeluarkan sesuatu. Ketika Sukinah itu sering bersama aku, Prin bersama aku, ya akan mendapatkan sesuatu yang lebih banyak. Jadi sebenarnya lebih pada ayo sama-sama belajar, aku juga masih belajar. Sederhana seperti itu. Selama ini sedulur sikep dikenal memiliki kedekatan dengan alam, bisa diceritakan Kang bagaimana tradisi ini bisa terbangun? Mungkin ini ya taruhlah aku cerita saja tentang Sedulur Sikep, sampai sekarang tidak sekolah formal, hanya ingin menjadi petani, tidak ada yang berdagang, terus perkawinannya tidak dicatatkan ke pemerintah. Ini pilihan hidup, bukan berarti menolak. Kami merasa ini sudah jadi pilihan, jadi hidup dengan cara ini bagi kami sudah cukup. Jadi taruhlah orang-orang itu ketika tidak puas dengan pemerintah terus menghujat, beda dengan Sedulur Sikep. Jadi konsisten pilihan hidupnya dengan cara seperti itu, itu bagian dari membangun keseimbangan. Sederhana mbak, kami bilang bahwa, yo ono sing nulis, ono sing macul, kuwi gathuke, nek nulis kabeh do megah macul (ya ada yang menulis, ada yang mencangkul, itu menjadi imbang, kalau semua menulis, nanti tidak ada yang mencangkul) jadi itukan keseimbangan. Terus persoalan belajar, ini memang pilihan ya, jadi semua orang yang belajar biasanya kan punya gegayuhan, punya cita-cita, lha kalau di Sedulur Sikep itukan hanya ingin mbecikno laku, mbenerno ucapan (memperbaiki tingkah laku dan ucapan) dan itu cukup belajar dengan bapak ibu. Kalau untuk mencukupi kebutuhan hidup dan hanya lewat bertani, juga cukup belajar dengan bapak ibu. Jadi aku merasa ini konkret karena pilihannya sederhana sekali kan. Lha maka dari itu jahat ya ketika kami itu melakukan tolak semen dan dianggap punya pamrih. Pamrihnya dimana? Karena kami itu banyak sedulur (saudara) ya nggak mungkin aku manfaatkan, aku mencalonkan diri jadi lurah atau DPR ya nggak mungkin karena nggak punya ijazah. Lalu kalau jadi pejabat ya nggak mungkin. Nah ini memang yang selalu dibangun mereka bahwa seolah-olah gerakan kami ketika dulu menolak semen Gresik disuarakan kami dibiayai oleh Indocement. Sekarang nyatanya Indocement juga aku tolak kan. Lha terkait Sedulur Sikep punya kedekatan dengan alam itu ya memang sudah ditanamkan dari kecil, belajar bersama keluarga, ke sawah, seperti itu. Lalu mungkin ada kekhawatiran untuk menyebutkan ya, misalnya, “Aku hidup itu ada yang menciptakan.” “Siapa?” “Gusti Allah”, “Gusti Allah itu siapa?” Perdebatan tentang ini sampai sekarang jawabannya ada di keyakinan. Tapi pada kenyataannya bumi yang kita injak ini yang memberi kita hidup. Ini nyata atau tidak? Jadi kalau tadi ada doa (dalam aksi Kartini Kendeng Nyelameti Presiden Jokowi yang digelar di depan Istana bertepatan dengan hari kelahiran Jokowi pada 21 Juni 2016, Sukinah dan Gunretno mendaraskan lagu/doa yang digubah Gunretno) yang bunyinya, “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili,” (Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili) itukan nyata sebenarnya. Nah ini kadang dipandang seolah-olah Sedulur Sikep itu tidak punya keyakinan, tidak percaya adanya Sang Pencipta atau Gusti atau apa. Memang dari kami kalau terlalu disebut itu juga khawatir ya, bahwa kita hanya mementingkan untuk “menyebut” tapi tingkah lakunya nggak cocok dengan apa yang sering disebut itu. Sebenarnya dari kami ketika sering disebut itu justru malah menyepelekan. Nah ketika tidak disebut, lalu dianggap tidak punya Gusti, seperti itu yang terjadi. Maka kami sadar ketika simbah-simbah kami zaman (penjajahan) Belanda itukan memang diadu domba bahwa Sikep itu tidak punya atau tidak percaya dengan Gusti Allah, dia itu kafir seperti itu. Jadi memang dicarikan musuh sesama masyarakat. Tapi memang keyakinan Sedulur Sikep ya percaya, wong iku sak dermo nglakoni (orang itu sebatas menjalani). Artinya sak dermo itukan ya percaya ana sing murgi gesang (percaya ada yang memberi hidup), tapi nggak harus disebut. Cukup bahwa bagaimana kita hidup itu bisa berguna untuk orang banyak, itu saja. Bertani itukan menjadi kehidupan dan penghidupan Sedulur Sikep dan saya dengar yang dijalankan itu pertanian organik, bisa diceritakan Kang, bagaimana pola pertanian yang dipraktikkan Sedulur Sikep? Tidak menyebut secara keseluruhan Sedulur Sikep, tapi menyebut Gunretno sebagai Sedulur Sikep. Maksudnya berorganik itu tidak mudah, ketika menyebut Sedulur Sikep kan pandangannya seolah-olah semua Sedulur Sikep sudah berorganik, lebih tepat Gunretno sebagai Sedulur Sikep yang sudah berorganik. Aku tidak hanya berbicara teori tapi sudah menjalankan pertanian organik selama 20 tahun. Kalau ditanya kenapa, ya sederhana saja, ketika tanah kita cintai dengan sungguh-sungguh maka sebaliknya kita juga akan dicintai. Jadi ketika selama ini kawan-kawan berlomba untuk meningkatkan produksi dengan mengeluarkan biaya produksi yang lebih tinggi, sesungguhnya pada akhirnya petani justru menjadi buruh di lahannya sendiri. Itu jika dilihat dari perhitungan ekonomi. Menjalankan pertanian organik harus diawali dari pola pikir terlebih dahulu . Selama pola pikir seseorang belum berubah, maka untuk melakukan pertanian organik dari mulai menggarap lahan hingga mengelola lingkungan secara organik akan mengalami kesulitan. Jadi harus dimulai dari diri kita sendiri, harus dibangun dulu jiwanya. Karena penyakitnya biasanya ketika seseorang tidak memiliki rasa percaya terhadap dirinya sendiri, itu menjadi sumber awal dari penyakitnya. Karena dia tidak akan percaya diri dengan apa yang dilakukan. Tidak akan percaya bahwa yang dia lakukan itu memang sesuatu yang riil jadi kebutuhan. Salah satu contoh kalau kita kekurangan, maksudnya kekurangan dalam hal untuk mencukupi kebutuhan hidup diri kita sendiri, sebenarnya yang punya kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita, ya diri kita sendiri. Tapi setelah kita punya kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut kadang kita tidak bersyukur. Tidak bersyukur pada diri kita sendiri yang berusaha melakukan sesuatu untuk diri sendiri. Akhirnya itu yang menjadi sumber tidak percaya pada diri sendiri, tapi percaya pada orang lain yang semestinya mereka tidak tahu ukuran yang tepat untuk diri kita. Ingin makan kurang beras, mesti yang bisa mencukupi diri kita sendiri. Tapi di saat kita bisa mencukupi sendiri tidak ada syukur dan penghargaan terhadap diri sendiri akhirnya selalu heran, heran dengan mungkin promosi, teori yang lebih bagus, rasa heran itu sampai menghilangkan jati dirinya bahwa sesungguhnya lebih berharga ketika kita sendiri bisa menyelesaikan persoalan apapun. Ini juga butuh keimanan. Ketika ada yang ngomong, menanam padi kok jarang-jarang, aku kan sudah pakai sistem SRI (system of rice intensification), sistem SRI itu bisa dikatakan kita menanam dengan jarak tanaman yang lebih lebar dan ada penjelasan rasionalnya. Jika dalam pertanian konvensional orang menggunakan jarak tanam sekitar 15 cm, jarak tanam yang aku gunakan 20 atau 25 cm. Jika ditarik garis bundar, kawasan akar yang akan memakan unsur hara tanah menjadi lebih luas, sehingga kebutuhan tanaman tercukupi. Dengan tercukupinya unsur hara tanaman, maka menjadikan tanaman tersebut memiliki daya tahan dan sehat serta cepat berbuah. Dengan cara seperti ini biaya produksi yang kukeluarkan selalu kecil. Kawan-kawan kena hama, aku tidak. Ini yang aku lakukan. Sudah kukasih contoh seperti ini kadang orang tidak percaya. Di antara Sedulur Sikep apakah ada juga yang mempraktikkan pertanian organik? Iya mulai ada, semi organik. Adikku Gunarti, lalu Lik Kuat, Lik Kukuh, ya ada beberapa sudah mulai semi, jadi semi itu tidak 100% organik. Lalu di Blora, ada Sedulur Sikep Lik Tejo, juga ada kawan-kawan di luar Sikep yang kenal aku sudah mulai ada satu dua orang yang meniru caraku. Jadi Sedulur Sikep lainnya rata-rata masih menggunakan pola bertani yang biasa ya? Iya, banyak yang seperti itu, masih dengan pola yang biasa. Tapi sudah mulai mengarah ke semi organik dan mengurangi pestisida, mengurangi penggunaan pupuk kimia. Sudah ke arah sana, tapi untuk total tidak menggunakan bahan kimia seperti yang kulakukan dalam menanam padi sepertinya belum ada yang berani. Ketakutan dari sedulur atau kawan-kawan petani yang lain itu karena khawatir gagal atau karena apa ya? Begini jadi bukan dalam arti takut gagal, bukan, lebih pada penurunan produksi dan pasar. Pasar tidak menjamin mereka karena hasil produk organik katanya mahal. Nah itu yang tadi saya katakan ketika timbul kekhawatiran, istilah khawatir itu sendiri sudah menjadi penyakit. Berbeda ketika aku bertani organik, targetku bukan untuk mencari untung, targetku adalah aku bisa mengonsumsi beras yang sehat. Jadi tujuannya memang untuk diri sendiri. Berbeda seperti misalnya kalau hasil produksiku meningkat aku bisa beli ini itu, maka itu sudah menjadi penyakit. Jadi memang dibutuhkan penggunaan teknologi yang tepat. Misalnya pada umumnya pemupukan dilakukan pada saat padi berumur 15 hari, misalnya seperti itu. Lalu masa tanam benih itu harus berumur 21 hari atau 30 hari. Nah cara-cara yang kulakukan tidak seperti itu. Aku perhatikan apakah persemaian benih itu sudah layak untuk dipindahkan atau belum, jadi bukan berdasarkan perhitungan hari, tapi kesiapan mereka untuk dipindahkan, itu ukurannya misalnya sudah berdaun empat. Nah untuk berdaun empat itukan ada yang butuh 21 hari, 31 hari, ada yang 12 hari. Setelah berdaun empat bisa dipindah, lebih siap, dan itu tidak terlalu tua juga tidak terlalu muda, jadi idealnya diukur dengan jumlah daun, seperti itu cara-caranya. Lalu pemupukan juga demikian. Ibaratnya seperti orang, seseorang itu lapar butuh makan itu bukan karena jam kan, tetapi karena rasa, merasanya sudah lapar, tidak harus menunggu sampai jam 12 ya mesti makan. Tapi orang pada umumnya karena hitungan jam atau waktu. Jadi bagaimana memahami kehidupan tanaman yang ditanam, ikut merasakan pertumbuhan tanaman yang ditanam. Ini penting dan ini memang tidak segampang yang dikatakan, memang hal-hal seperti ini membutuhkan ketelatenan. Jadi begitu terkait pertanian organik itu. Membuat orang menjadi merdeka lahir batin itu memang pada akhirnya kembali pada diri sendiri. Orang mau dikasih sandang pangan sebanyak apapun kalau pikirannya belum menerima ya tidak akan bisa merasa merdeka. Kang Gun mengolah tanah berapa hektar? Aku mengolah tanah tidak sampai satu hektar, tanah kepunyaanku sendiri tidak sampai satu hektar. Tapi sering juga aku menyewa di tempat lain. Seperti kemarin awalnya aku menolak semen di Sukolilo, tempatku. Ketika Sukolilo menang, aku menyewa tanah di wilayah Tambakromo dan aku memang sengaja melakukan itu karena ini bukan sekadar tolak semen, aku memberi contoh bahwa cara mengolah sawah yang benar seperti yang kulakukan dan di situ menjadi media bagi orang-orang untuk bertemu denganku dan aku bercerita tentang apa yang kulakukan. Tapi kemarin setelah putusan menang, aku berhenti menyewa. Tapi kalau tanah milikku sendiri hampir seluas satu hektar. Nah yang ditanam padi saja atau ada yang lain bergantian begitu Kang? Oh bergantian, dua kali padi, satu kali palawija, tapi tergantung, perlu disesuaikan, misalnya aku tidak menanam jagung. Benih jagung sekarang dikuasai oleh para penguasa pupuk, sama korporasinya dengan penguasa pupuk. Pupuk satu paket dengan benih. Jadi benih yang dijual tersebut membutuhkan banyak pupuk kimia, kalau tidak dipupuk ya tidak tumbuh, tidak produktif. Nah karena itu perlu dihindari, tanaman-tanaman hibrida itu rakus akan pupuk. Maka dari itu aku menanam yang lainnya, bagaimanapun hasilnya tidak apa-apa. Misalnya kacang, dia tidak perlu dipupuk, jika tumbuh syukur, jikapun tidak mereka dapat menjadi pupuk tersendiri bagi tanah di bawahnya. Ya seperti itu. Kalau di Sedulur Sikep biasanya yang bertani laki-laki dan perempuan sama saja atau ada bagian dan peran tertentu? Bersama-sama, rumah diurus bersama, sawah juga diurus bersama. (Bareng-bareng, ngomah yo dicandak bareng, sawah yo dicandak bareng). Diterbitkan di: Jurnal Perempuan, Edisi 90, Vol. 21 No. 3, Agustus 2016, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
Ardhan
14/3/2017 01:44:31 am
semangaat teruus . Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |