Djenar Maesa Ayu, seperti yang banyak dikatakan orang, terkenal sebagai perempuan pengarang yang jujur, vulgar, dan jorok. Tak jarang selain digemari, ia juga dimusuhi banyak orang karena pribadi dan karya-karyanya. Namun, ada apa sebenarnya di balik kehidupan pribadinya? Djenar memiliki cerita yang berkaitan dengan pengalaman identitas seksnya. Banyak kejujuran yang ingin ia sampaikan dalam setiap tulisannya yang vulgar dan jorok itu. Ia ingin berteriak bahwa perempuan punya banyak persoalan atas pengalaman seksulitasnya. Persoalan itu muncul karena masalah seksualitas perempuan begitu ditutup-tutupi. Hal ini yang menurutnya justru merugikan perempuan, karena perempuan tidak dibiarkan memiliki kesadaran tentang tubuh dan keberadaan seksualitasnya di tengah masyarakat. Sering kali pelecehan seksual, perkosaan, dan kekerasan terjadi karena perempuan dibentuk untuk takut pada seksualitasnya sendiri sehingga mereka tidak dapat membandingan mana pelecehan, perkosaan, kekerasan, dan mana yang tidak. Djenar Maesa Ayu adalah anak dari pasangan sutradara (alm.) Sjumandjaya dan bintang film senior Tuti Kirana. Penulis dengan karya berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan sedang merampungkan novel ini memiliki banyak pengalaman seksualitas sebagai perempuan sejak kecil. Semua ini terbentuk dari keluarga dan lingkungannya sehingga ia merasa pemahaman seksualitas sejak dini itu penting, terutama bagi perempuan. Seks baginya adalah bagian dari hidup yang secara alamiah terjadi pada siapa pun. Ia bercerita bahwa pengetahuan tentang seks sudah dipahaminya sejak kecil karena pola hidup keluarganya yang begitu terbuka. Ia sadar bahwa tipe keluarganya tidak sama dengan keluarga orang kebanyakan. Bayangkan, ketika itu di tahun ‘70-an, kebanyakan keluarga umumnya orang Indonesia masih tabu dengan keterbukaan seks, sementara Djenar merasa beruntung lebih kaya daripada anak-anak lainnya dalam hal pengetahuan seks mengenai dirinya. Seks menurutnya bukan sekadar aktivitas seksual, tetapi juga organ reproduksi, relationship dengan pasangan, baik sebelum maupun sesudah menikah, dan identitas jenis kelamin dan peran gender. Itu banyak ia pelajari dari kedua orang tuanya yang kebetulan sempat mengalami perceraian. “Saya masih ingat waktu orang tua saya cerai, umur saya masih satu tahun. Biarpun begitu, saya tidak merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam rumah karena bagi saya semuanya sudah menjadi terbuka satu dengan yang lain, orang tua dan anak. Keanehan itu menjadi terasa ketika saya ke luar rumah. Sejak itu saya merasa aneh dan tidak percaya diri, merasa diasingkan karena saya berbeda dengan anak-anak lain yang punya satu ibu dan satu ayah.” Saya memang hidup dari keluarga dengan bapak seorang sutradara dan ibu seorang aktris terkenal yang pada waktu itu dianggap memiliki dunia yang rusak dan kacau. Masyarakat yang membuat hidup saya menjadi begitu menanggung beban, sementara saya di keluarga merasa baik-baik saja. Saya dibilang produk broken home dan dianggap terlalu bebas. Bahkan, waktu remaja, teman saya dilarang bermain dengan saya oleh orang tuanya karena orang tua saya dibilang rusak. Padahal, saya merasa, di sisi lain perceraian bisa menguntungkan karena bila dilanjutkan saya lebih tidak suka melihat orang tua saya ribut setiap hari, selingkuh di depan saya setiap hari dalam sebuah perkawinan.” Djenar merasa beruntung, menurutnya, ibunya berhasil mendidik kesadaran tentang seksualitas anak perempuannya. Umur sembilan tahun, ibunya sudah menjelaskan tentang organ reproduksi, yaitu keberadaan rahim dan vagina. Ibunya selalu memberi pilihan padanya dalam menjalankan hidup, berkaitan dengan kesadaran tentang organ reproduksinya itu. Ibunya menyarankan satu hal, di balik kebebasan pilihannya itu, perempuan harus tahu apa risiko kehamilan, jangan sampai anak perempuan hamil karena tidak tahu dan tidak siap. Banyak orang tua yang tidak mendidik anak perempuannya tentang seksualitas sejak dini sehingga ketika si anak “kebobolan”, takut dilaknat orang tua dan masyarakat, lalu diam-diam melakukan aborsi ke dukun karena tidak punya uang. “Saya punya teman yang vaginanya dimasukkan kayu dan sampai sekarang tidak bisa punya anak. Dari kejadian itu, saya merasa orang tua saya selama ini tidak membiarkan saya menjadi bodoh. Mereka tidak melakukan kesalahan besar. Saya merasa orang tua yang tidak terbuka dalam hal seks pada anak perempuannya adalah kesalahan besar. Karena berkat orang tua saya, saya jadi tahu betul apa yang harus saya lakukan dengan organ reproduksi saya. Ketika berhubungan seksual, saya sudah banyak dibekali oleh orang tua tentang risikonya. Ketika menginjak usia 18 tahun, hidup saya sudah begitu bebas dan justru kebebasan itu membuat saya bertanggung jawab dan tidak bodoh pada diri sendiri. Semua saya sadari sehingga saya tidak rugi seperti kebanyakan perempuan, tidak mati di tangan dukun, atau merasa menyesal berkepanjangan. Andaikan saya harus aborsi pun, saya harus tahu untuk apa kepentingannya, bahwa itu bukan menjadi sesuatu yang saya sesalkan karena saya tahu semua itu.” Begitu pula soal keperawanan, ini adalah hal yang paling Djenar lawan. Buatnya, keperawanan hanya mitos dan menjadi salah satu penyebab terjadinya pemerkosaan sadis dan pelakunya lolos. Begitu pula kekerasan dalam rumah tangga, asalnya bisa dari persoalan keperawanan. “Saya tidak peduli tentang keperawanan karena saya bukan binatang, dan saya tidak mati ketika menjadi perempuan yang tidak perawan. Maka, jangan harap perempuan yang perawan merasa dirinya terhormat karena perawan itu bisa hilang kapan saja karena kita menari, mengendarai sepeda dan kuda. Perempuan yang menjunjung tinggi keperawanan akan kaget ketika di malam pertamanya ia tidak punya itu, dan laki-laki bodoh akan seenaknya menuntut. Keperawanan membuat perempuan repot. Itu masih masalah kecil, tetapi bahwa perhatian saya adalah ketika anak-anak gadis belia diperkosa lalu keluarganya merasa keperawanan itu penting, merekalah yang menutupi perkosaan itu. Dan, berarti, keluarga telah menjadi oknum. Itu kekejaman yang luar biasa bagi anak perempuan dan kemanusiaan.” Di masa kecilnya, Djenar mengaku bahwa ia tidak disukai guru-gurunya karena tidak seperti anak perempuan lain yang “seharusnya”. Waktu sekolah, Djenar sudah menganggap guru-gurunya seperti penis: superior. Ketika mereka merasa punya power, mereka tidak menerima murid perempuan yang berani dan bebas seperti Djenar. Meskipun demikian, masih ada guru yang begitu sayang dan baik padanya, tetapi tidak banyak. “Banyak guru menganggap saya adalah ancaman, bahkan semua orang menganggap saya ancaman.” Djenar mengenal seks sejak umur 14 tahun. Perasaannya waktu itu biasa-biasa saja. “Seks itu bagi saya suatu proses seperti manusia mengenal lawan jenis, mengenal cinta, terluka, lalu seks menjadi bagiannya. Jadi, bukan sesuatu yang wah sama sekali. Kalau bicara masyarakat Indonesia yang katanya tabu memandang seks, saya pikir itu karena hipokrit saja. Semua orang melakukan aktivitas seks, semua orang di dunia! Semua manusia melakukan hal yang sama karena itu sesuatu yang wajar, tetapi menjadi tidak wajar ketika seks dikategorikan sebagai “yang buruk”, padahal semua orang melakukannya.” Djenar memiliki dua anak perempuan yang dalam usia belianya sudah sangat mengenal seks. Djenar merasa bersyukur atas hal ini karena banyak orang tua yang menutupi anak perempuannya tentang bentuk penis dengan mengatakan, “Jangan kasih liat “punya” bapaknya.” Sebabnya, ketika ia duduk-duduk di sekolahan anaknya bersama ibu-ibu yang lain, dalam obrolan mereka, ternyata pelecehan seksual terjadi setiap hari pada anak-anak itu. “Misalnya, karena si anak tidak tahu bahwa penis adalah organ seksual laki-laki, ketika si anak ini melihat penis bapaknya yang lagi mandi, ia langsung berkomentar, ‘Kok, kayak punyanya Pak A?’ yang ternyata adalah supirnya sendiri. Lalu, bapaknya tanya, ‘Kok, kamu tahu?’ Lalu, jawabnya, ‘Suka diajak main Lolly Pop...’” Djenar merasa itulah kejahatan terbesar ketika orang menutup-nutupi sesuatu yang harus diketahui, lihatlah akibatnya. “Pengetahuan seks bukanlah tentang orang yang mau melakukan hubungan seksual, tetapi bagaimana mereka bisa bertanggung jawab dengan hubungan seks itu sendiri dan bagaimana mereka bisa mengapresiasi dirinya sendiri. Duh, kalau sampai anak saya tidak tahu seks, lebih baik saya jangan jadi orang tua saja.” Djenar bercerita bahwa anak-anak perempuan generasi sekarang luar biasa kritis dan lebih mudah mendapatkan informasi. Maka, komunikasi janganlah sampai terputus, menurutnya. “Bacalah perkembangannya, misalnya mereka bilang kata-kata jorok, padahal mereka tidak tahu apa yang mereka katakan. Saya langsung menjelaskan ke mereka bahwa itu artinya hubungan seksual. Anak saya bahkan menceritakan detail-detail percintaannya. Saya bersyukur karena, daripada, ia tiba-tiba bilang, ‘Ma, aku infeksi karena menggugurkan kandungan...’ Atau, ia tidak tahu sama sekali, tiba-tiba badannya panas, meradang. Bahkan, anak saya yang umurnya lima tahun sudah tahu seperti apa itu penis.” Bagi Djenar, laki-laki pun harus membantu anak-anak dalam keterbukaan mereka soal seks. Tetapi, menurutnya, laki-laki kebanyakan ambigu dalam menyikapi seks perempuan. Di satu sisi, mereka menginginkan perempuan yang bisa memuaskan mereka; mereka perlu perempuan yang baik, yang menyerahkan diri. Tetapi, di sisi lain, mereka butuh perempuan yang “lebih”, yang agresif dan ekspresif tentang seks, dan ketika perempuan melakukannya, mereka akhirnya menghukum perempuan itu sebagai “bukan pasangan yang baik” untuk dijadikan teman hidup. Dalam hal ini, laki-laki harus lebih adil pada perempuan dan tidak lagi memposisikan dirinya sebagai penentu dan penilai. Mengenai perempuan yang memiliki kecenderungan homoseksual (lesbian), Djenar mengatakan bahwa di satu sisi, lesbian memang menjadi tren, tetapi di sisi yang lain, perempuan lesbian ada yang memang sudah dilahirkan demikian. “Kalau tidak salah, ada dalam kedokteran dikatakan, satu dari tujuh anak perempuan yang dilahirkan memiliki gen yang menyimpang, seperti menjadi lesbian. Maka, apakah ketika ia lahir ia harus dihukum sebagai yang tidak normal?” Menurutnya, itu hanya cara orang melihat “yang lain” sehingga sesuatu dikatakan normal dan tidak normal. Bagi Djenar, orang yang punya tubuh dan pemikirannya tidak normal adalah yang meyakini mitos keperawanan. “Saya rasa itulah yang tidak normal atau cacat. Jadi, semuanya relatif. Kalau saya, sih, mendukung mereka (lesbian).” (Mariana Amiruddin) Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 41, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
SojaMcDonell
3/1/2017 03:07:23 am
Hello girls, Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |