Desti Murdijana adalah Direktur Eksekutif Yayasan Pikul (Pengembangan Institusi dan Kapasitas Lokal) yang memiliki kegiatan di wilayah NTT, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Isu kemiskinan sangat relevan dengan kegiatan Pikul, terutama fokusnya pada isu perempuan, termasuk akhir-akhir ini kasus busung lapar yang melanda wilayah-wilayah yang ia teliti. Dalam wawancara ini, Jurnal Perempuan akan menggali persoalan situasi kemiskinan di daerah-daerah dampingannya, terutama di NTT pada tema terjadinya kasus busung lapar, tentu dalam hal ini kaitannya dengan pengabaian hak perempuan. Berikut hasil wawancara dengan Desti Murdijana oleh Jurnal Perempuan, Sofia Kartika[1]. Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana kondisi kemiskinan di Kupang khususnya dan Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya, terutama munculnya kasus busung lapar akhir-akhir ini? Desti Murdijana (DM): NTT dikenal sebagai salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Kemiskinan ini sering dihubungkan dengan wilayah yang kering, memang harus diakui beberapa wilayah di NTT mengalami kekeringan rutin hampir setiap tahun. Namun, masih perlu dilihat kembali apakah masyarakat NTT miskin karena lahannya kering atau ada faktor yang lain. Harus diingat pula bahwa NTT menduduki peringkat ke-6 korupsi dari seluruh provinsi di Indonesia. Lebih jelasnya, saya berikan data bagaimana perkembangan penduduk miskin di provinsi NTT tahun 2003 yang lalu. Tabel 1. Perkembangan Penduduk Miskin Provinsi NTT Tahun 2003 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Data Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) tahun 2004. Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan. Dari tabel tersebut kita dapat melihat bahwa jumlah penduduk miskin di NTT sebesar 30,74%. Adalah jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan data nasional, yaitu sebesar 18,2%. Kemiskinan di NTT relatif menjadi masalah yang paten, isu kemiskinan memang menjadi isu yang mudah “dijual” ke lembaga donor tanpa ada usaha yang jelas tentang apa yang sudah dilakukan. Pemberian raskin (beras miskin) misalnya, di beberapa tempat di NTT dirasakan membuat rakyat menjadi tergantung pada bantuan beras, selain juga isu korupsi yang mengiringi pembagian beras tersebut. “Kami jadi tambah miskin dengan raskin,” ini adalah ungkapan seorang ibu di Kabupaten Kupang. Mengapa? Karena masyarakat lebih senang beli raskin daripada harus susah payah menanam jagung dan ubi yang selama ini juga menjadi bahan makanan pokok mereka. Tanpa terasa, bantuan raskin ternyata memperlemah daya tahan masyarakat lokal untuk bertahan dengan bahan pangan lokal. Harus diingat, tidak semua wilayah di NTT bisa ditanami padi, bahwa hampir semua wilayah yang mudah adalah untuk ditanami jagung, ubi, dan kacang-kacangan. JP : Apa yang menyebabkan kasus busung lapar di NTT? Apakah benar persoalan kemiskinan sebagai pemicu? DM: Masalah Busung Lapar adalah masalah yang mencuat di atas masalah yang lebih besar, yaitu masalah malnutrisi atau gizi buruk. Masalah malnutrisi adalah masalah klasik di NTT. Bila semua orang sekarang prihatin dengan adanya masalah busung lapar, harusnya kita lebih prihatin lagi karena ternyata tidak ada respons yang kuat dari pemerintah untuk menangani masalah gizi buruk/malnutrisi yang setiap tahun diidentifikasi sebagai salah satu masalah anak-anak, terutama balita di semua kabupaten di NTT. Seperti dalam data berikut ini. Tabel 2. Data Gizi di NTT tahun 2005 Pos Kupang, 1 Juni 2005
Sumber: Dinas Kesehatan NTT Dari analisis berbagai sumber yang dikumpulkan oleh Yayasan Pikul tadi, jelas bahwa penyebab malnutrisi bukanlah satu-satunya faktor penyebab busung lapar, melainkan juga beberapa penyebab lainnya. Pertama, menurut kalangan praktisi gizi dan kesehatan seperti dokter dan perawat, kalangan eksekutif seperti kepala Dinas Kesehatan, bupati, dan wagub mengatakan bahwa busung lapar disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat, posyandu yang kurang berpartisipasi pada masyarakat karena dana operasional tidak ada. Kemudian, karena masyarakat yang miskin menderita penyakit lainnya, seperti malaria, cacingan, TBC, dan ISPA. Selain itu, karena tradisi pola asuh dalam keluarga di NTT kurang memiliki pengetahuan gizi, beranak banyak, dan banyak anak-anak yang dititipkan, serta biasanya yang diutamakan untuk makan adalah bapak. Kekeringan dan rawan pangan menurut mereka juga bagian dari penyebab busung lapar meskipun masih menjadi perdebatan sampai hari ini. Kedua, menurut kalangan pengamat, legislatif, dan akademisi, busung lapar terjadi disebabkan oleh kebijakan pembangunan terutama yang menyangkut pangan, seperti bagaimana orientasi mereka yang masih hanya memikirkan “lahan basah”, cara pandang yang monokultur, serta penataan konsumsi yang disubsistenkan ke pasar. Selain itu, menurut mereka, karena anggaran kesehatan yang terlalu sedikit akibat tindak korupsi dan latar belakang wilayah yang miskin. Ketiga, menurut pemerintah nasional, seperti pernyataan wakil presiden maupun menteri kesehatan, dalam merespons hal ini, hanya menganggap busung lapar terjadi karena kemiskinan, posyandu yang tidak berfungsi, serta penyelewengan dana kesehatan karena penerapan desentralisasi. Keempat, menurut para keluarga korban sendiri, busung lapar akibat miskin, miskin, dan miskin.... Melihat begitu kompleks penyebab dari malnutrisi atau busung lapar di NTT, masih sulit untuk dikatakan penyebab mana yang dominan sehingga memunculkan masalah tersebut. Yang jelas, kemiskinan memang menjadi salah satu faktor dari masalah yang muncul. JP : Kasus busung lapar diketahui identik dengan kebutuhan gizi anak, berarti kita juga bicara kebutuhan gizi ibu. Apakah itu berarti kasus busung lapar ini berkaitan langsung dengan persoalan perempuan? DM: Benar. Bahwa dalam setiap data tentang kemiskinan di NTT, tidak pernah muncul data tentang perempuan. Misalnya, berapa banyak dari keluarga miskin yang kepala keluarganya adalah perempuan tidak pernah dihitung. Berapa banyak dari keluarga miskin yang masih memiliki lahan? Tidak ada data, padahal data ini penting karena bila lahan dimiliki oleh perempuan, maka kepemilikannya akan diambil oleh keluarga besar yang dalam situasi tertentu akan semakin memiskinkan perempuan. Belum lagi, semakin banyak perempuan yang harus menjadi kepala rumah tangga karena suami merantau, suami meninggal karena sakit, dan suami menikah lagi. Fakta lain, dalam situasi yang miskin, perempuan memegang peran-peran strategis, baik menjadi tulang punggung keluarga, penyelamat keluarga, bahkan harus menjadi martir. Di banyak masyarakat NTT, ketika keluarga tidak lagi bisa mendapatkan uang untuk beli makanan, maka perempuan akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari bahan makanan yang bisa dimakan. Sebagai contoh, perempuan Sumba, dalam situasi kekurangan makanan, mereka akan mencari ubi hutan (semacam gadung) yang akan mereka jemur dan kemudian diolah menjadi bahan makanan. Di Timor Tengah Selatan, perempuan akan memanfaatkan biji asam untuk makanan pengganti sambil menunggu mendapatkan makanan pokok. Berkaitan dengan masalah busung lapar ini, memang masalah perempuan dalam konteks tersebut kurang mendapatkan perhatian. Padahal, ditemukan beberapa fakta, seperti banyak anak yang busung lapar lahir dari ibu-ibu yang mengalami anemia pada masa kehamilannya. Kasus busung lapar banyak ditemukan pada keluarga miskin dengan jumlah anak lebih dari tiga orang. Ini terkait dengan semakin mahalnya alat kontrasepsi dan bantuan kontrasepsi untuk keluarga miskin tidak sepenuhnya mengenai sasaran. Banyak anak malnutrisi yang diabaikan oleh ibunya karena ibunya kurang informasi dan tidak bisa mengambil keputusan atas nasib anaknya (keputusan untuk membawa ke dokter atau ke posyandu, sering tergantung pada suami). Dalam beberapa kasus ditemukan, bila ada uang sedikit berlebih, bapak akan menggunakannya untuk membeli rokok, daripada menggunakannya untuk bayar bemo (angkutan umum) untuk periksa anaknya ke puskesmas. Bahkan, pada anak-anak yang mengalami gizi buruk, dikhawatirkan ibunya mengalami situasi yang sama. JP : Bagaimana dengan persoalan kebijakan, apakah perempuan dilibatkan dalam masalah-masalah ini? DM: Harus diakui, suara perempuan belum terakomodasi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Masalahnya, selain belum ada political will dari penguasa untuk memperbesar ruang tersebut, juga perempuan di NTT masih sangat sedikit yang mendapatkan kesempatan untuk memahami hak-hak mereka serta mengakses informasi tentang hal tersebut. Kuota 30% perempuan di legislatif juga masih menjadi tanda tanya besar karena proporsi perempuan yang menjadi anggota dewan masih sangat kecil. Bahkan, di beberapa kabupaten mengalami penurunan. Penguatan basis perempuan memang menjadi pekerjaan rumah utama bagi lembaga-lembaga yang peduli dan berpihak pada rakyat. Berkaitan dengan anggaran, kita ambil contoh anggaran kesehatan di Kupang. Pada tahun 2003, anggaran Kota Kupang untuk kesehatan perempuan sebesar Rp40.191 per orang per tahun. Bila dibagi setiap bulan, maka seorang perempuan miskin mendapatkan subsidi kesehatan hanya sebesar Rp3.349, sama dengan harga sekilo beras. Jumlah ini menurun pada tahun 2004 karena pada tahun tersebut anggaran kesehatan untuk penduduk miskin sebesar Rp28.311 per orang. Secara umum, budget untuk kesehatan (umum) di Kota Kupang hanya 4,5% dari keseluruhan APBD. Dana ini pun sebagian besar digunakan untuk membayar gaji pegawai. Bicara gender budgeting, tampaknya masih sangat jauh dari harapan. JP : Apakah faktor kebudayaan termasuk hal yang mempengaruhi kasus busung lapar di berbagai wilayah yang Anda geluti? DM: Posisi perempuan dalam tatanan adat NTT ada di bawah laki-laki. Ada beberapa suku yang sistem adatnya matrilineal, tetapi sistem tersebut hanya berlaku secara parsial. Untuk proses pengambilan keputusan, sistem matrilineal ini relatif tidak digunakan lagi, intinya laki-laki tetap menjadi pengambil keputusan yang utama. Dalam praktik keseharian masyarakat NTT, perempuan di desa selain bekerja menyelesaikan semua urusan rumah tangga, mereka juga harus ikut terlibat dalam mengurus kebun dan ternak. Beban kerja perempuan cukup berat, namun tidak disertai dengan asupan makanan yang memadai karena masih menjadi kebiasaan, bila ada makanan, yang diutamakan adalah bapak, kemudian anak, dan yang terakhir ibu. Tidak ada perlakuan khusus pada ibu hamil sehingga sangat mudah ditemui, ibu-ibu dalam keadaan hamil, masih harus bekerja di kebun, mencari kayu bakar, atau mengambil air minum yang jaraknya jauh dari rumah. Kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang biasa terjadi di masyarakat NTT sehingga tidak sedikit korban kekerasan yang menganggap itu bukan masalah, atau bila mereka ingin keluar dari rumah, mereka takut semakin mendapatkan kekerasan dari suami. Bentuk kepatuhan istri pada suami adalah menerima dengan pasrah segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang harus dialami anak-anak. Pemahaman agama yang kuat bahwa apa yang disatukan oleh Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia, membuat mereka bertahan dalam penderitaan. Belis (maskawin) juga menjadi sumber persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Belis dilihat sebagai alat tukar, bukan lagi sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan. Karena itu, masih cukup banyak anggapan yang berlaku bahwa dengan diberi belis, maka perempuan menjadi milik laki-laki. Dengan kata lain, pihak laki-laki (dan keluarganya) bisa melakukan apa saja kepada perempuan tersebut, temasuk memperlakukannya sebagai budak. Situasi seperti di atas memang memperbesar kerentanan perempuan pada derajat kesehatan yang rendah dan akan semakin diperburuk ketika mereka hidup dalam kemiskinan. JP : Apa kira-kira langkah strategis untuk mengatasi pemiskinan perempuan? DM: Mengatasi kemiskinan dan perempuan yang dimiskinkan bukan soal mudah, apalagi di NTT, di mana masalah ini sudah terjadi bertahun-tahun. Saya akan fokus pada apa yang bisa dilakukan untuk perempuan di NTT, yaitu menurut saya, harus ada kerja paralel pada tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah penguatan basis perempuan dengan pengorganisasian dan pendidikan perempuan secara masif. Maka, bila ada pertanyaan, siapa yang harus melakukan ini? Mungkin harus dengan mengumpulkan sejumlah politisi yang masih punya hati nurani, yaitu akademisi yang mau terjun ke basis, aktivis mahasiswa yang mengurus isu perempuan, aktivis LSM yang tidak berorientasi pada proyek, pemuka agama yang berpihak pada rakyat, dan juga anggota masyarakat yang memiliki kepedulian untuk membangun jaringan yang luas agar menguatkan barisan perempuan. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran, membangun kesamaan visi tentang pentingnya keluar dari kemiskinan dan pemiskinan, dan mempunyai suara yang sama untuk menolak berbagai intervensi yang akan merusak kehidupan mereka, serta merumuskan cara hidup yang sesuai dengan tradisi mereka, namun memberikan ruang yang besar kepada perempuan terhadap akses dan kontrol. Tingkat kedua adalah lembaga-lembaga nonpemerintah yang selama ini bekerja untuk masyarakat, termasuk di antaranya adalah LSM, gereja, dan lembaga pengabdian masyarakat. Untuk melepaskan diri dari dominasi agenda donor dan tidak bekerja secara sektoral dan tersegmen, perlu melihat masalah kemiskinan secara lebih integral dan melakukan kajian yang tidak hanya menghasilkan wacana, tetapi sebuah aksi konkrit yang dalam pelaksanaannya sarat dengan pelibatan rakyat, termasuk perempuan sebagai agen utama perubahan. Tingkat ketiga adalah pemerintah. Untuk NTT, sulit membayangkan ada perubahan mendasar dalam 5 tahun ke depan. Namun, bila rakyat (dan perempuan) bisa semakin cerdas, dan cukup mampu membangun pressure group bagi pemerintah, mungkin pemerintah akan menjadi cerdas juga dan lebih bisa menunjukkan perannya sebagai pelayan rakyat. Lewat pemerintah yang cerdas dan tidak korup, diharapkan dapat menghasilkan strategi penuntasan kemiskinan yang lebih mengenai sasaran dengan tetap mengutamakan kepentingan rakyat (dan perempuan). (Sofia Kartika) [1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2005 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 42, 2005. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |