Sudah dua dekade Azriana Rambe Manalu aktif di gerakan perempuan baik sebagai pengacara probono bagi perempuan korban kekerasan maupun sebagai aktivis perempuan yang membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas. Pada April 2015 Azriana terpilih sebagai Ketua Komnas Perempuan, lembaga negara yang berfokus pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak perempuan, untuk periode 2015-2019. Posisinya saat ini sebagai Komisioner Komnas Perempuan bukanlah kali pertama, pada 2007 hingga 2009 ia juga tercatat sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Keterlibatannya dalam gerakan perempuan dimulai pada tahun 1998 ketika Azriana memutuskan untuk bergabung bersama LBH APIK Aceh. Ia pun semakin intens dalam kerja-kerja gerakan bersama Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh sejak 2002. Tahun pertama kepemimpinannya di Komnas Perempuan, Azriana berfokus salah satunya pada upaya mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebuah rancangan undang-undang yang digagas Komnas Perempuan bersama mitra lembaga pengada layanan sejak 2014 sebagai payung hukum perlindungan dan pemulihan perempuan korban kekerasan seksual.
Menjadi Pengacara Probono dan Aktivis Perempuan Azriana—yang akrab disapa Nana—lahir di Lhoksuko dan tumbuh besar di Aceh. Ia menyelesaikan studi sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Persentuhannya dengan isu-isu perempuan dimulai setelah dia menjadi pengacara di LBH Iskandar Muda Lhoksumawe sejak tahun 1995. Ketika itu ia banyak ditugaskan untuk menangani kasus- kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) atau pemerkosaan, singkatnya kasus-kasus dengan perempuan sebagai korban atau yang dikriminalkan. Mereka pada umumnya adalah perempuan dengan latar belakang ekonomi ke bawah. Nana mengaku sebagai pengacara muda dan baru yang bekerja dengan berpegang pada pengetahuan yang didapatkan dari bangku kuliah, pada awalnya dia belum tahu bahwa kasus-kasus yang ditanganinya tersebut merupakan kasus kekerasan berbasis gender. Hingga kemudian pada tahun 1998 Nana bertemu dengan kawan-kawan aktivis perempuan, seperti Samsidar, Suraiya Kamaruzzaman dan Rani yang banyak menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan membutuhkan masukan dari perspektif hukum. Nana menuturkan ketika itu tidak banyak pengacara perempuan di Aceh, lagipula rata-rata pengacara yang ada juga tidak bekerja untuk kasus-kasus yang probono, sebaliknya pengacara biasanya menangani kasus-kasus yang berbayar. Perkenalannya dengan kawan-kawan aktivis perempuan tersebut membuatnya sering berdiskusi dengan mereka dan tak jarang ia memberi masukan terkait kasus-kasus yang mereka tangani. Pada tahun 1998 tersebut banyak kantor-kantor pemerintahan di Aceh yang berhenti beraktivitas atau vakum karena konflik. Pengadilan termasuk salah satu instansi yang tidak beraktivitas pada masa tersebut. Karena itu Nana kemudian tidak bisa menjalankan profesinya sebagai seorang pengacara. Dalam situasi tersebut ia bertemu dengan kawan-kawan aktivis perempuan yang kemudian membuatnya terus masuk semakin dalam ke dalam kerja-kerja gerakan, hingga akhirnya ia lebih banyak bekerja di gerakan daripada menjadi pengacara. Ketika kemudian tahun 2004 situasi di Aceh berangsur-angsur kembali kondusif, Nana tetap memilih untuk tidak lagi beracara kecuali untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebelumnya pada 2003 Nana memutuskan untuk bergabung bersama LBH APIK Aceh dan sejak itu hampir seluruh waktunya dipakai untuk beracara sebagai pengacara probono selain juga lebih banyak membantu kawan-kawan di LBH APIK. Nana juga banyak melatih paralegal, menurutnya hal tersebut lebih menyenangkan daripada menangani kasus-kasus yang kadang-kadang dengan sistem hukum yang ada membuat kepintaran dan strategi yang dimiliki seorang pengacara tidak bisa menjadi jaminan untuk memenangkan perkara mengingat lebih banyak faktor x yang kadang-kadang membuat frustasi dengan sistem hukum yang seperti itu. Maka sampai sekarang Nana jadi lebih banyak terlibat di kerja- kerja gerakan dan bekerja di belakang layar dengan misalnya membantu kawan-kawan aktivis membuat surat gugatan. Ia pun hampir tidak memiliki waktu lagi untuk beracara ke pengadilan. Terlebih saat ini dengan posisinya sebagai komisioner Komnas Perempuan tentu tidak memungkinkan bagi dirinya untuk menjalankan tugas-tugas sebagai pengacara. Lebih lanjut Nana mengungkapkan bahwa selama menangani kasus-kasus kekerasan, Nana mengaku dirinya merasa “terganggu” pada kasus-kasus kekerasan seksual dengan korbannya anak-anak. Ada perasaan sedih mengingat sedini itu sudah harus mengalami hal yang sangat buruk terlebih mereka besar di tengah masyarakat dengan kultur patriarkat, hingga menimbulkan pertanyaan bagaimana nanti jika mereka sudah besar dan harus berumah tangga dan kemudian pengalaman kekerasannya itu justru menjadi masalah baru buat mereka. Hal ini dirasakan Nana mengganggu sekali. Menjalani hampir sebagian besar dari hidupnya di Aceh bagi Nana merupakan sebuah pengalaman yang memperkaya dirinya. Nana mengungkapkan pada masa konflik, perempuan Aceh harus tetap menjalankan kehidupan dalam ketakutan dan tidak mungkin pergi ke luar kampung seperti yang dilakukan para laki-laki karena anak-anak mereka harus tetap sekolah dan harus tetap makan. Kehidupan tetap berjalan meskipun dalam situasi yang mencekam. Ketika situasi sudah damai pun ternyata perempuan tidak bisa sepenuhnya hidup nyaman tanpa rasa takut. Sekarang ketakutan tetap dirasakan dan ruang gerak perempuan tetap terbatasi walaupun dengan situasi yang berbeda. Bahkan sekarang beberapa kebijakan justru mendiskriminasi perempuan. Suara perempuan tidak didengar atau situasinya dibuat sangat tidak nyaman bagi perempuan untuk hadir ke forum-forum pengambilan keputusan. Yang didengar dalam pengambilan keputusan hanyalah suara laki-laki dan itu kemudian lahir dalam bentuk aturan. Sehingga akhirnya perempuan tetap saja bukan siapa-siapa. Azriana melihat bahwa tantangan yang dihadapi perempuan Aceh berganti-ganti. Orang-orang yang membatasi gerak perempuan berganti-ganti baju sehingga membuat perempuan seperti kehabisan cara menghadapi situasi seperti itu. Bahkan sekarang ini kadang-kadang perempuan digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan yang lain. Jadi mereka berdiri di barisan kelompok-kelompok yang punya kepentingan untuk merumahkan perempuan. Di luar itu Nana mengungkapkan bahwa pengalaman jatuh bangun yang dialami perempuan Aceh yang tidak dirasakan oleh perempuan yang tidak tinggal di wilayah seperti Aceh justru menjadi sumber pengetahuan. Ia menemukan strategi-strategi pendampingan justru dari hambatan yang ia hadapi dan bukan dari buku. Hambatan membuatnya berpikir mencari jalan keluar. Jadi menurut Nana kreativitas seseorang teruji di situasi yang sebenarnya tidak ideal. Hal ini yang kemudian ia syukuri saat ini walaupun mungkin dulu ia sempat merasa tidak senang. Jadi Aceh bagi Nana memberikan banyak sekali pelajaran. Pelajaran bagaimana berstrategi menghadapi musuh yang tidak tunggal dan berganti-ganti wajah baik dalam situasi konflik, situasi bencana, pascabencana, maupun dalam situasi damai. Nana mengaku dirinya belajar strategi dari semua situasi tersebut. Pengalaman tersebut dirasakan Nana sangat membantu ketika dirinya bertemu dengan persoalan yang hampir mirip. Lebih lanjut Nana mengatakan bahwa segala persoalan kekerasan terhadap perempuan terjadi di Aceh dan ia sudah menyaksikan, mengetahui, dan mendengar langsung dari korbannya, lalu dengan posisinya saat ini ia dihadapkan dengan buku-buku. Situasi ini menurut Nana justru memudahkan dirinya untuk belajar. Karena hal-hal yang dijelaskan di dalam kajian tersebut adalah hal-hal yang dulu ia dengarkan dari ibu A, ibu B, ibu C, dst. Hal ini membuatnya merasa bersyukur. Jadi menurut Nana pengalaman- pengalamannya dulu sangat membantu ketika sekarang ia menjadi Komisioner Komnas Perempan. Terlebih Komnas Perempuan memiliki mandat spesifik untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan dirinya punya banyak hal yang bisa ia gunakan untuk diintegrasikan di dalam kajian-kajian Komnas Perempuan. Pengalamannya sebagai aktivis di Aceh membantunya untuk menemukenali berbagai kerentanan perempuan terkait kekerasan. Karena itu Nana merasa bahwa pengalaman di lapangan juga sama pentingnya dengan pengetahuan yang kita dapat di tempat kuliah atau di sekolah. Nana mengaku dirinya merupakan tipikal orang yang suka memiliki banyak teman dan ia merasa bersyukur dapat bertemu dan memiliki teman- teman dan orang-orang baik dan penting dalam setiap pekerjaan yang dijalaninya. Perjumpaan dan pertemanan ini membuka peluang bagi dirinya ke tempat-tempat lain sekaligus mengetahui lebih banyak hal. Lebih dari itu mereka juga berkontribusi untuk membentuk dirinya hingga seperti sekarang. Nana juga mengungkapkan bahwa hal yang ia syukuri adalah terlahir di keluarga yang memahami pilihannya. Nana menuturkan ibunya adalah seorang aktivis di masanya yang sangat aktif di gerakan PKK zaman itu. Jadi walaupun cara berpikir ibunya berbeda dengan dirinya terkait isu gender, namun ia dan ibunya mempunyai semangat yang sama untuk dapat bermanfaat bagi orang lain. Lahir di dalam keluarga yang memiliki nilai bahwa berguna bagi orang lain merupakan hal yang utama membuat Nana merasa nyaman dengan pilihan pekerjaan yang dilakoninya. Walau kadang- kadang ia merasa kurang punya waktu. Nana melihat mungkin seandainya ia menjadi pengacara saja, barangkali dirinya tidak sesibuk seperti sekarang. Nana menuturkan ibunya meninggal tahun 2013 dan ia tidak selalu punya cukup waktu untuk menemani ibunya kontrol ke dokter. Nana kadang merasa menyesal karena ia seharusnya bisa memanfaatkan waktunya dengan lebih baik semasa ibunya masih ada, seharusnya ia bisa punya waktu lebih banyak karena tidak seorang pun yang tahu siapa yang pergi terlebih dulu. Mengingat ibunya meninggal lebih dulu, ia merasa menyesal tidak mempunyai cukup waktu untuk ibunya. Mendorong Regulasi yang Pro Perempuan dan Perubahan Cara Pandang Masyarakat Azriana menjelaskan bahwa proses pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2012 memperlihatkan adanya perkembangan pola dan bentuk kekerasan seksual baik di wilayah konflik bersenjata ataupun pascakonflik. Sementara itu, di tengah semakin beragam dan berkembangnya kasus-kasus kekerasan seksual, hukum yang ada tidak berjalan maju secepat perkembangan kasusnya sendiri. Lebih lanjut Nana mengatakan bahwa untuk kasus kekerasan terhadap perempuan kita memang mempunyai KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang bisa digunakan oleh perempuan korban kekerasan untuk mengakses keadilan tetapi kita tahu KUHP kita juga sudah tidak mampu menjawab perkembangan dari kasus kekerasan seksual. Jika kita amati, KUHP hanya mengenal dua bentuk kekerasan seksual yang secara tegas disebutkan yakni pencabulan dan pemerkosaan. Nana mengungkapkan bahwa pernah ada pasal yang bisa digunakan untuk melindungi perempuan dari pelecehan seksual, tetapi kemudian pasal itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena ada yang mengajukan gugatan atas pasal itu dan kemudian pasal tersebut tidak lagi bisa digunakan karena dianggap sebagai pasal karet, yakni perbuatan tidak menyenangkan yang bisa digunakan untuk apapun. Oleh Mahkamah Konstitusi pasal ini dicabut, dampaknya kemudian untuk kasus pelecehan seksual digunakan pasal tentang pencabulan yang korbannya butuh pembuktian yang lebih kuat daripada pelecehan seksual. Jadi korban harus benar-benar bisa membuktikan tindakan pencabulan yang dialaminya untuk kemudian bisa diproses secara hukum. Hal yang lain adalah mekanisme pembuktian yang ada di KUHP cukup menyulitkan bagi perempuan korban. Ini mengingat KUHP mensyaratkan adanya hasil visum atau minimal adanya dua orang saksi yang mengetahui dan bisa menjelaskan bahwa kekerasan itu terjadi. Nana menjelaskan dalam pengalamannya untuk menyediakan semua alat bukti tersebut, bukanlah hal yang mudah bagi perempuan korban. Ini mengingat tidak semua kasus kekerasan seksual cukup kondusif untuk dilaporkan oleh korban. Hal yang lain juga meski korban berani melaporkan, belum tentu orang mau bersaksi untuk mendukung dia dalam mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Sebagian besar yang terjadi kemudian justru ketika kasus kekerasan seksual terungkap, korban menjadi terpublikasi dan dia bisa dipermalukan. Lebih lanjut Nana mengatakan bahwa masyarakat kita masih melihat soal kekerasan seksual sebagai hal yang juga dipicu oleh korban sendiri. Jadi reviktimisasi kerap dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual ketika kasus mereka terungkap dan ini yang kemudian membuat banyak korban memilih untuk tidak mengungkapkan kasusnya dan melaporkannya. Dengan kondisi semacam ini maka kemudian Komnas Perempuan berpikir perlu melakukan intervensi di wilayah hukum karena meskipun hukum bukan satu-satunya yang bisa menyelesaikan kasus kekerasan seksual, tetapi ketika kita menginginkan tidak terjadi impunitas untuk pelaku kekerasan seksual, maka kita membutuhkan regulasi yang mengatur hal tersebut. Menurut Nana ketika kita ingin negara mempunyai komitmen yang serius untuk penghapusan kekerasan seksual, maka mau tidak mau kita harus bicara regulasi yang bisa memastikan negara akan menjalankan kewajibannya untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Jadi karena itu Komnas Perempuan memandang regulasi perlu dimiliki oleh Indonesia untuk bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual, walaupun regulasi bukan satu-satunya. Jadi ada hal-hal lain yang juga perlu kita lakukan supaya kekerasan seksual terhadap perempuan benar-benar dapat dihentikan. Azriana bersama Komnas Perempuan sempat mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2016. Akan tetapi rapat pleno Badan Legislatif DPR pada akhir Januari 2016 tidak memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam prolegnas prioritas 2016, namun RUU ini masuk dalam daftar prolegnas 2015-2019. Nana mengungkapkan Komnas Perempuan memang tidak menetapkan target bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini harus disahkan pada tahun ini juga. Ini mengingat Komnas Perempuan menyadari ada situasi yang tidak mudah yang harus dihadapi. Selain itu menurut Nana hal yang terpenting adalah bagaimana menumbuhkan paradigma di kalangan anggota dewan untuk melihat bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan kejahatan. Nana menjelaskan bahwa dalam proses revisi KUHP sekalipun kekerasan seksual masih dimasukkan dalam tindak pidana kejahatan terhadap kesusilaan. Padahal ini merupakan persoalan yang paling mendasar sehingga sebaik apapun revisi di dalam KUHP, ketika kekerasan seksual masih diletakkan sebagai persoalan kejahatan terhadap kesusilaan bukan kejahatan terhadap tubuh, maka yang menjadi prioritas untuk dilindungi adalah rasa susila masyarakat dan bukan korban yang martabatnya sebagai manusia dihancurkan akibat kekerasan seksual tersebut. Perkembangan revisi KUHP jadi mencerminkan orang-orang yang ada di belakangnya. Nana menjelaskan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan salah satu rancangan undang-undang yang membutuhkan perubahan paradigma dalam melihat suatu masalah. Karena itu Komnas Perempuan tidak ingin terburu-buru mendorong rancangan undang- undang ini untuk dibahas di parlemen sementara belum cukup waktu untuk menumbuhkan paradigma tentang kekerasan seksual di kalangan orang-orang kunci di parlemen. Nana khawatir yang terjadi kemudian rancangan undang-undang ini justru menjadi boomerang. Ia mengatakan tentu kita semua tidak ingin RUU Kekerasan Seksual akan berakhir seperti UU Pornografi. Meskipun UU Pornografi bukan merupakan usulan Komnas Perempuan, tetapi kuatnya penolakan juga kuatnya penghakiman terhadap tubuh perempuan serta keinginan untuk mengatur tubuh perempuan ternyata cukup memengaruhi pandangan publik, memengaruhi cara berpikir di parlemen, sehingga menghasilkan UU yang justru mengkriminalkan perempuan. Nana tidak mau UU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bernasib seperti itu. Bahkan sebaliknya ia berharap upaya-upaya kriminalisasi perempuan yang muncul di dalam UU Pornografi bisa diperbaiki lewat UU Penghapusan Kekerasan Seksual ini. Seperti misalnya soal kerentanan perempuan di sektor industri hiburan yang jika kita mengacu pada UU Pornografi maka aturan tersebut menempatkan perempuan sebagai pelaku pornografi. Tetapi lewat UU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut Nana ingin negara bisa melihat bahwa perempuan-perempuan di industri hiburan justru potensial untuk dieksploitasi. Nana menegaskan bahwa tidak masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam prolegnas prioritas 2016 bukanlah suatu hal yang membuatnya berkecil hati, justru situasi ini harus dilihat secara positif bahwa kita masih punya cukup waktu untuk menggalang dukungan dan membangun wacana publik yang lebih baik tentang kekerasan seksual. Meski demikian Nana merasa yang terpenting adalah upaya-upaya untuk membangun pemahaman bahwa UU ini dibutuhkan, UU ini perlu ada di Indonesia untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual termasuk anak-anak perempuan dan juga anak-anak laki-laki. Menurutnya pemahaman ini perlu dibangun terus-menerus. Jadi targetnya bukan semata-mata soal pengesahan, tapi soal perubahan cara pandang terhadap kekerasan seksual baik di tingkat parlemen maupun di tingkatan publik. Nana kemudian menceritakan pengalamannya melakukan lobi kepada fraksi-fraksi di DPR untuk mendapatkan dukungan mereka terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar masuk dalam daftar prolegnas 2015- 2019. Dari 8 fraksi yang ia temui, yang mengusulkan secara tegas hanya 1 fraksi yakni Nasdem. Sementara fraksi-fraksi lain ketika ditemui mereka mengatakan siap untuk dukung dsb, tetapi kemudian yang muncul dalam bentuk tindakan hanya dari satu fraksi. Nana mengaku Komnas Perempuan juga melakukan pendekatan lewat Kaukus Perempuan Parlemen karena ia merasa perempuan lebih bisa memahami kenapa RUU ini perlu ada dan ia mendapat dukungan dari beberapa anggota DPR perempuan di Kaukus Perempuan Parlemen. Namun itu dirasa tidak cukup karena sikap mereka tidak mewakili sikap fraksi. Berkaca dari pengalaman itu, Nana mengatakan bahwa tidak terlalu mudah juga untuk mengondisikan semua anggota dewan agar melihat bahwa UU ini dibutuhkan, ada situasi yang sudah mendesak untuk UU ini disahkan. Selain itu Nana juga melihat ada situasi yang lebih serius dari sekadar penolakan terhadap UU ini yakni situasi ketika keberadaan UU ini justru kemudian digunakan untuk semakin membatasi ruang gerak perempuan. Karena itu harapannya dengan diskusi yang intens dan mendalam dengan beberapa anggota dewan, setidaknya bisa dibangun wacana baru. Sehingga dibutuhkan champion dari anggota dewan yang bisa memastikan sekiranya UU ini nantinya disahkan, maka UU tersebut dapat benar-benar melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan mencegah berulangnya kasus-kasus kekerasan seksual. Ketika ditanya kemungkinan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang) mengingat ada situasi darurat kekerasan seksual, Nana mengatakan bahwa ketika berbicara tentang kekerasan seksual, masyarakat lebih mudah menunjukkan kepedulian dan memberikan perhatian jika kekerasan seksual itu dialami oleh anak-anak dan bukan oleh perempuan dewasa. Selain itu, meskipun pemerintah sudah menetapkan Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual sejak tahun 2014, tetapi sekarang ketika Komnas Perempuan menggulirkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, masih muncul pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu diajukan. Seperti misalnya kenapa harus ada UU khusus, bukannya sudah diatur di UU yang lain. Di sisi lain dibutuhkan waktu yang panjang untuk menjelaskan kepada mereka kalau UU yang lain itu mengatur soal kekerasan seksual dengan sangat terbatas. Nana menjelaskan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) hanya bisa melindungi perempuan korban kekerasan seksual yang mengalaminya dalam lingkup rumah tangga, di luar lingkup itu tidak bisa memakai UU PKDRT. Begitu juga dengan UU Perlindungan Anak, ia hanya untuk melindungi perempuan yang dalam usia anak. Sedang UU Trafficking hanya untuk kekerasan seksual yang terjadi dalam konteks migrasi. Lalu bagaimana dengan perempuan di luar persoalan itu semua, perempuan di luar dimensi tersebut, bagaimana cara mereka untuk bisa mengakses keadilan ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual? Nana mengugkapkan menjelaskan hal ini kepada pemerintah dan kepada anggota dewan bukanlah hal yang mudah. Orang akan cepat bersepakat ketika dikatakan bahwa anak-anak kita perlu dilindungi dari kekerasan seksual. Tetapi ketika disebutkan bahwa perempuan perlu dilindungi dari kekerasan seksual, pernyataan yang muncul berikutnya adalah tudingan bahwa perempuan juga ikut berkontribusi hingga kekerasan seksual terhadap dirinya terjadi. Jadi menurut Nana ada respons yang berbeda ketika membangun dukungan kekerasan seksual terhadap anak dan terhadap perempuan dewasa. Nana kemudian menceritakan bahwa pada saat dirinya dan Komnas Perempuan mengadvokasi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, ia kemudian disibukkan dengan wacana hukuman kebiri untuk pelaku kekerasan seksual. Hal ini sempat membuat Nana dan kawan- kawan harus memberi perhatian mengingat waktu itu akan keluar Perpu. Nana mengungkapkan Komnas Perempuan sudah mengirim surat kepada presiden dan menyampaikan pertimbangan agar wacana hukuman kebiri sebaiknya ditinjau ulang dan tidak perlu terburu-buru diterapkan, karena banyak hal harus dipertimbangkan. Nana menegaskan bahwasanya kekerasan seksual tidak akan bisa dihentikan hanya dengan hukuman kebiri. Apalagi jika hukuman kebiri itu ditujukan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, hal itu tidak akan menjawab persoalan kekerasan seksual di Indonesia. Lebih jauh Nana menjelaskan bahwa hukuman kebiri merupakan bentuk hukuman yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, karenanya tidak seharusnya hukuman itu diberlakukan. Selain itu dari hasil pemantauan Komnas Perempuan Nana melihat persoalan kekerasan seksual, seperti misalnya pemerkosaan, tidak selalu terjadi karena dorongan berahi atau hasrat seksual. Di wilayah konflik pemerkosaan bisa terjadi tanpa alasan tersebut dan tidak selalu menggunakan alat kelamin. Jadi menurut Nana selain pertimbangan hak asasi manusia, hukuman kebiri juga tidak menjawab persoalan. Dengan kata lain ada hak asasi orang yang dilanggar tapi kemudian persoalannya sendiri tidak bisa diselesaikan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fakta bahwa pelaku kekerasan seksual mayoritas orang terdekat dengan korban, dan hukuman kebiri mensyaratkan kasusnya diungkapkan, maka muncul pertanyaan, apakah pemerintah yakin hukuman ini akan efektif. Hukuman kebiri sebenarnya belum diperlukan sepanjang pemerintah bisa memastikan hukuman maksimal untuk pelaku kekerasan seksual bisa ditegakkan dan tidak ada upaya-upaya penyelesaian di luar proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Menurut Nana selama ini cukup banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang biasanya rata-rata tidak sampai ke pengadilan. Selain itu banyak juga keluarga yang karena pertimbangan status untuk anak perempuannya kemudian memilih untuk mengawinkan anak perempuannya dengan pelaku pemerkosaan dan akhirnya kasus itu tidak pernah terungkap. Praktik-praktik seperti ini yang kemudian menyebabkan kekerasan seksual pemerkosaan terus berulang karena tidak memberi efek jera pada pelakunya. Efek jera ini tentu bukan dengan hukuman kebiri. Keberhasilan Komnas Perempuan memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam daftar prolegnas 2015-2019 dipandang Nana sebagai pintu masuk bagi langkah-langkah strategis lain yang harus segera dilakukan. Ia mengibaratkan bahwa pintu baru terbuka dan kita harus masuk dan melakukan banyak hal supaya kemudian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa disahkan. Jadi harus ada lobi-lobi yang lebih kuat. Harus ada kertas kajian yang membantu orang melihat bahwa keberadaan RUU itu penting. Artinya justru dengan masuk ke dalam prolegnas tambahan, ini sebenarnya awal mula pertarungan yang sebenarnya. Pertarungan yang sebenarnya ini justru baru bermula karenanya memang banyak hal yang harus dilakukan, memetakan siapa kawan siapa lawan dengan lebih baik dan mendekati orang yang kita anggap di seberang kita kemudian menyiapkan agenda dengan kelompok-kelompok yang mendukung dan melibatkan lebih banyak orang. Nana menjelaskan hal yang membuatnya optimis RUU ini bisa terwujud adalah bahwa saat ini isu kekerasan seksual bukan hanya isunya Komnas Perempuan dan mitra-mitranya lembaga pengada layanan, namun banyak aktivis mahasiswa yang menggangkat isu ini dan mereka dengan komunitasnya melakukan kampanye-kampanye. Nana melihat keberadaan isu kekerasan seksual yang menjadi wacana publik ini sebagai sebuah capaian karena ketika dia sudah jadi wacana publik dan dibahas di DPR maka sebenarnya kita sudah melewati satu kesulitan. Hal yang juga penting adalah selain menjadi wacana menurut Nana pihaknya juga berhasil mengerangkai wacana tersebut dengan konsep yang mereka tawarkan. Lebih jauh Nana mengungkapkan selain penerimaan isu ini di kelompok muda terutama di kalangan mahasiswa hal lain yang juga membuat dirinya merasa optimis adalah keberadaan anggota-anggota dewan di Kaukus Perempuan yang punya kebutuhan yang sama atas lahirnya RUU ini. Selain itu situasi darurat kekerasan seksual yang ditetapkan pemerintah menurut Nana juga menjadi peluang untuk Indonesia agar segera memiliki UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Nana menambahkan DPD RI saat ini bekerja sama dengan Komnas Perempuan untuk mengegolkan RUU ini. Jadi mereka menggunakan sejumlah anggarannya untuk melakukan konsultasi- konsultasi ke daerah tentang RUU ini dan juga menggali masukan dari daerah. Sementara untuk DPR saat ini Fraksi Nasdem sudah mendukung dan Nana mengatakan pihaknya sedang dalam proses penjajakan kerjasama dengan Fraksi PDIP. Situasi ini menurut Nana memperlihatkan proses advokasi berjalan setapak-setapak ke depan dan tidak akan mundur. Pemulihan Korban dan Proses Hukum harus Berjalan Beriring Nana menjelaskan kekerasan seksual berakar pada cara pandang masyarakat terhadap perempuan. Ketika satu masyarakat konstruksi berpikirnya menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua, warga yang tidak penting, pelayan atau objek maka kekerasan seksual akan sangat mudah terjadi. Dalam masyarakat patriarkat yang melihat perempuan sebagai objek, semua keisengan akan menyasar perempuan. Karena itu menurut Nana regulasi bukan satu-satunya cara untuk bisa menghentikan kekerasan seksual karena kita ada dalam masyarakat yang seperti ini. Jadi walaupun ada hukum namun jika masyarakatnya tidak diedukasi maka hukum tidak akan bekerja sebagaimana harusnya. Sehingga memang perlu untuk melahirkan regulasi tetapi juga butuh untuk mengubah cara pandang masyarakat, mengubah budaya yang ada di masyarakat. Karena itu tokoh- tokoh masyarakat, pemuka-pemuka agama harus bekerja lebih keras untuk bisa bersama-sama menghapuskan kekerasan seksual dan semua pihak harus bekerja bersama. Tidak bisa hanya pemerintah saja karena masyarakat memainkan peran penting juga dalam penghapusan kekerasan seksual. Begitu juga tidak hanya Komnas Perempuan saja karena lembaga HAM lainnya dan juga institusi negara lainnya juga mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk memastikan kekerasan seksual dapat diminimalkan. Di sisi lain Nana melihat upaya yang dilakukan pemerintah terutama aparat hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual sejauh ini sebagian besar dari mereka bersikap pasif dan meskipun hukumnya tidak menyatakan kekerasan seksual merupakan delik aduan—seperti misalnya pemerkosaan—namun penegak hukum bersikap pasif, dia akan bekerja kalau kasusnya dilaporkan. Jika kemudian setelah diungkap kasusnya besar, baru muncul respons dari aparat penegak hukum. Sebaliknya ketika kemudian ada upaya-upaya untuk menghentikan proses hukum, tidak ada upaya juga dari aparat penegak hukum untuk memastikan hal itu tidak terjadi. Bahkan mereka tidak bisa menjamin bahwa kasus itu tidak akan berhenti dan akan diproses sampai sebagaimana seharusnya. Jadi aparat hukum bersikap pasif yang dalam hal-hal tertentu justru melakukan pembiaran. Hal ini menurut Nana tidak terlepas dari situasi bahwa aparat penegak hukum kita lahir dan besar dalam kultur masyarakat yang patriarkis. Sehingga dalam pandangan mereka persoalan kekerasan seksual bukan merupakan persoalan serius yang harus dipersoalkan seperti halnya masalah korupsi. Lebih jauh Nana mengungkapkan banyak hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual, bahkan hambatan tersebut datang dari berbagai sisi. Hal pertama yang diinginkan adalah pelaku kekerasan seksual diproses secara hukum dan korbannya dipulihkan serta ada jaminan kita bisa diyakinkan kasus tersebut tidak akan berulang lagi. Tapi dalam kenyataannya ketika kita ingin kasus diproses hukum, kita akan berhadapan dengan hukum yang tidak mengenal seluruh pengalaman kekerasan seksual perempuan korban. Jadi hukum kita netral gender dan dalam banyak hal perempuan korban kekerasan seksual tidak bisa menggantungkan harapannya pada sistem hukum yang seperti sekarang dengan sistem pembuktiannya yang masih konvensional. Nana menjelaskan kita baru punya terobosan untuk UU PKDRT di mana keterangan saksi korban diakui sebagai salah satu alat bukti. Seharusnya untuk kekerasan seksual perlu dibuat seperti itu. Hal kedua masyarakat juga keluarga lebih melihat kekerasan seksual sebagai aib yang harus ditutupi bukan kemudian dibuka dan diungkapkan untuk diselesaikan. Jadi mereka cenderung untuk menyimpan korban dan menutup kasus. Yang terjadi sesungguhnya korban tidak terpulihkan dan kita mengimpunitas pelaku. Karena itu menurut Nana penting untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang kekerasan seksual, bahwa itu adalah kejahatan dan bukan aib. Kekerasan seksual adalah kejahatan yang pelakunya harus dihukum supaya tidak mengulangi kepada perempuan yang lain dan karena kekerasan seksual merupakan kejahatan, maka anggota keluarga kita yang mengalaminya adalah korban yang butuh didukung bukan disalahkan. Cara pandang masyarakat ini harus diperbaiki agar tidak lagi melihat persoalan kekerasan seksual sebagai persoalan moralitas yang rusak, moralitas yang diganggu, namun melihat ini sebagai persoalan kejahatan terhadap perempuan. Artinya persoalan moralitas dikesampingkan, karena ini adalah soal hukum, soal bagaimana orang bertanggung jawab untuk kejahatan yang dia lakukan dan orang yang menjadi korban harus dipulihkan untuk bisa melanjutkan kehidupannya ke depan. Nana menambahkan tantangan bagi penyelesaian kasus kekerasan seksual ada di semua sisi. Namun yang terpenting sebenarnya adalah memastikan agar pemulihan perempuan korban kekerasan seksual berjalan bersamaan dengan proses hukumnya. Jadi tidak boleh semua orang berpikir untuk proses hukum tapi tidak berpikir untuk pemulihan korban. Pemulihan dan proses hukum adalah dua hal yang sama penting. Lebih jauh Nana menjelaskan bahwa pemulihan korban kekerasan seksual tergantung pada kondisi korban hal ini mengingat kekerasan seksual sangat beragam baik tindakan maupun dampaknya. Nana menegaskan yang terpenting adalah apapun bentuk pemulihan yang dipilih hendaknya berdasarkan pada kebutuhan korban. Kadang-kadang banyak orang menggunakan kacamatanya, entah sebagai pendamping, keluarga atau teman untuk memulihkan korban. Seterpuruk apapun korban, dia tetap punya hak untuk menyampaikan apa yang menurut dia perlu dilakukan untuk dirinya dan apa yang terbaik untuk dia. Ini adalah hal pertama yang harus dipertimbangkan. Kadang-kadang pemulihan korban dipandang secara seragam. Pemerintah juga punya kerangka pikir demikian, bahwa pemulihan adalah satu proses yang seragam untuk semua orang, padahal sesungguhnya tidak demikian. Jadi benar-benar harus berangkat dari kebutuhan korban, korban adalah subjek yang harus ditanyai di dalam proses pemulihannya. Yang kedua pemulihan korban terutama korban kekerasan seksual sangat penting melibatkan orang-orang terdekat korban, terutama keluarga, teman. Korban semakin sulit untuk pulih jika keluarga dan orang-orang terdekatnya tidak bisa menerima, dalam konteks menggugat apa yang terjadi terhadap dirinya. Memandang aib yang mereka dapat itu sebagai beban baru untuk kehidupan berikutnya. Hal ini yang kemudian membuat korban jadi terus merasa bersalah. Yang paling penting harus dilakukan sebenarnya adalah membantu korban untuk bangkit dan memastikan layanan medis ataupun layanan lainnya yang diberikan kepada korban tetap menghargai hak-hak korban. Tak jarang korban mengalami reviktimisasi justru diproses-proses pemulihan yang harusnya hal itu tidak perlu dia temui. Nana mengungkapkan budaya di masyarakat belum mendukung untuk pemulihan korban kekerasan seksual bahkan keluarga sendiri kadang-kadang tidak memainkan perannya yang cukup baik dalam mendukung pemulihan korban. Banyak korban kekerasan seksual justru mengalami reviktimisasi dari orang-orang yang seharusnya memberi dukungan kepadanya. Karena itu Nana memandang kekerasan seksual perlu menjadi perhatian kita semua. Nana menjelaskan Komnas Perempuan mengembangkan sejumlah mekanisme yang bisa digunakan oleh lembaga-lembaga pengada layanan dalam melakukan pendampingan untuk perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Mekanisme penanganan bagi pemulihan korban kekerasan ini sudah dikembangkan Komnas Perempuan sejak berdiri dan sudah terdokumentasi dalam bentuk buku dan sebagainya. Nana menambahkan Komnas Perempuan tidak punya mandate pro justitia, tidak seperti Komnas HAM yang bisa melakukan penyelidikan untuk mengantarkan satu kasus kekerasan ke proses hukum pelanggaran HAM. Sebagian besar dari mandat Komnas Perempuan memang digunakan untuk memastikan akses perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual terhadap pemulihan agar semakin hari semakin mudah dan semakin baik. Karena itu lembaga-lembaga layanan harus dibantu dengan berbagai mekanisme kerja yang membuat mereka mudah menangani dengan lebih baik, artinya tidak kontra produktif dengan upaya pemulihan korban. Yang kedua Komnas Perempuan juga mengembangkan sejumlah mekanisme yang mendorong komunitas agar berperan aktif dalam pemulihan korban. Dengan demikian Komnas Perempuan mempunyai mekanisme pemulihan dalam makna luas yakni satu konsep pemulihan yang berangkat dari kesadaran bahwa pemulihan perempuan korban kekerasan seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan terdekatnya, dari keluarga, komunitas, masyarakat dan juga negara lewat kebijakan-kebijakannya. Begitu juga sebaliknya ketika individu tidak pulih, dia juga bisa memengaruhi situasi di sekitarnya. Konsep pemulihan dalam makna luas ini juga memahami bahwa pemulihan perempuan korban kekerasan seksual tidak tunggal dan tidak hanya satu pihak saja yang bisa melakukan. Semua lingkaran di sekitar korban, dari teman sebaya, keluarga, komunitas, masyarakat bahkan negara punya perannya masing-masing untuk memulihkan korban. Nana menambahkan seharusnya kerangka kebijakan negara melihat pemulihan dalam konsep yang seperti itu. Nana menyoroti program pemerintah untuk pemulihan yang hanya berbasis program dan tidak dirancang dengan melibatkan orang-orang yang potensial bagi keberlanjutan program. Jadi ketika program selesai maka berakhir juga pemulihannya tanpa meninggalkan apapun untuk memastikan program tersebut dapat direplikasi kalau sekiranya program tersebut bagus. Sementara di level pemerintah daerah, Nana menjelaskan penyikapan pemerintah daerah terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan seksual cukup beragam. Ia mencontohkan Jawa Tengah misalnya, pemerintah provinsi Jawa Tengah dinilai sudah cukup maju, bahkan saat ini sudah mengembangkan sistem peradilan pidana terpadu penanganan kekerasan terhadap perempuan. Namun memang tidak semua daerah mempunyai respons yang sama, sangat tergantung dari sikap pemerintah daerah dalam memandang persoalan ini. Ada daerah-daerah yang bahkan pemerintah daerahnya justru mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyebabkan perempuan menjadi korban atau memberi pengaruh bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Baik tidaknya pemerintah daerah dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dari anggaran yang disediakan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, kemudian anggaran itu bisa diakses oleh siapa saja, apakah hanya lembaga yang dikelola pemerintah ataukah juga digunakan oleh organisasi masyarakat untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Indikator lain adalah kebijakan yang dihasilkan karena ada daerah yang sama sekali tidak punya kebijakan untuk penanganan perempuan dan anak korban kekerasan. Lebih lanjut Nana memaparkan keberadaan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dapat dilihat sebagai komitmen awal dari pemerintah daerah terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan. Walaupun demikian tidak semua keberadaan P2TP2A didukung, karena banyak juga yang dia hanya dibentuk saja, setelah itu tidak didukung anggaran apapun sehingga lembaga tersebut tidak bisa berjalan sebagaimana seharusnya. Di sebagian daerah justru berubah fungsi, kebanyakan menjadi PAUD, atau dijadikan untuk kantor yang lain karena biasanya gedungnya dibangun oleh pemerintah pusat sementara pemerintah daerahnya tidak merasa perlu memastikan gedung itu berfungsi. Karena itu menurut Nana advokasi di tingkat daerah sangat penting untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual mengingat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa presiden mendelegasikan tugas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kepada pemerintah daerah. Jadi artinya advokasinya untuk urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak harus lebih kuat di daerah. Nana menjelaskan advokasi yang komprehensif dalam penanganan kekerasan seksual mengandung makna bahwa upaya untuk mendorong lahirnya regulasi harus berjalan bersamaan dengan perubahan cara pandang masyarakat dan pengambil kebijakan sehingga advokasi harus berjalan bersamaan dengan upaya-upaya pendidikan. Di sisi yang lain kasus-kasus yang muncul di tengah proses advokasi harus bisa menjadi pengetahuan baru. Jadi kita belajar dari kasus dan kemudian kita gunakan dalam advokasi juga untuk mengedukasi masyarakat. Semua ini harus berjalan bersamaan. Nana mencontohkan misalnya proses untuk mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, harusnya kita bisa selalu melahirkan pengetahuan- pengetahuan baru tentang kekerasan seksual, ada informasi-informasi baru yang harusnya bisa diberikan kepada pengambil kebijakan kepada publik sehingga mereka melihat hal ini sebagai persoalan serius yang perlu ditangani secara serius pula. Pengetahuan dan informasi baru itu bisa didapat dari kasus-kasus yang ditangani. Jadi dari pengalaman kekerasan perempuan korban, pengalaman pendampingan lembaga-lembaga pengada layanan dibangun pengetahuan yang kemudian digunakan sebagai amunisi dalam melakukan advokasi. Hal lain yang juga penting menurut Nana adalah menghubungkan pengalaman personal korban dengan mekanisme yang dibangun negara dan kemudian dengan agenda organisasi masyarakat untuk menyikapinya. Komnas Perempuan berupaya agar proses ini tidak terputus karena pengetahuan di tingkat internasional harusnya berangkat dari pengalaman personal korban. Sebaliknya, kebijakan yang dilahirkan di tingkat global harus bisa memberi pengaruh dan berdampak kepada pemenuhan hak korban di level komunitas, di akar rumput. Karena itu dibutuhkan skema pengelolaan pengetahuan yang cukup baik. Nana menambahkan sampai sekarang Komnas Perempuan masih terus memperkuat kemampuannya untuk menjadi pusat rujukan untuk isu kekerasan terhadap perempuan. Harapan Bagi Perempuan Indonesia Terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Nana memiliki harapan agar perempuan Indonesia dapat membekali dirinya dengan informasi yang cukup dan dengan pengetahuan yang banyak karena kita bisa melakukan kekeliruan akibat tidak punya informasi. Hal kedua, mengingat konstruksi sosial budaya masyarakat masih diskriminatif terhadap perempuan, maka potensi yang dimiliki perempuan harus bisa digunakan untuk mengubah situasi. Sekecil apapun potensi yang dimiliki perempuan harus dipastikankan bisa berkontribusi pada perubahan situasi. Nana berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada perempuan yang bodoh karena pola asuh perempuan membuat dia menjalankan peran-peran pelayanan yang menumbuhkan sensitivitas dan kepedulian yang lebih tinggi. Jadi itu semua adalah modal utama perempuan untuk bisa membantu orang lain dan itu sudah ditanamkan ke diri perempuan, walaupun hal itu dilihat sebagai perlakuan yang diskriminatif, tetapi kemudian hal tersebut membuat perempuan menjadi lebih bisa berempati. Nana menegaskan bahwa tanpa bermaksud bersikap stereotip dengan memandang perempuan lebih berempati sedang laki-laki tidak, namun menurutnya pola asuh tersebut ikut membentuk hal tersebut. Karena itu Nana mengajak para perempuan untuk menggunakan semua kelebihan yang dimiliki sekecil apapun itu untuk bisa berkontribusi bagi perubahan dan ini bisa dilakukan untuk orang terdekat. Nana mengambil contoh persoalan kekerasan terhadap perempuan yang banyak tersembunyi di dalam rumah, di dalam kamar, dan dirasakan sendiri. Jika kita bisa menjadi bagian dari upaya mengungkap dan menghentikan kekerasan tersebut, hal itu sudah merupakan satu manfaat yang luar biasa. Karena itu menurutnya perempuan harus membekali diri dengan banyak informasi. Berteman dan berorganisasi menjadi penting karena itu juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui dan bertukar pengalaman dengan orang lain yang itu semua digunakan untuk mengubah situasi (Anita Dhewy). Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |