
Kalimat di atas terucap dari seorang Mardiyem, bekas jugun ianfu yang kini berusia 73 tahun[1]. Dalam usia uzur, ia tak surut memperjuangkan keadilan bagi sesama jugun ianfu. Mewakili rekan-rekan senasib, ia tak surut memperjuangkan keadilan, menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf secara resmi dan pribadi serta memberikan kompensasi kepada para perempuan yang menjadi “budak nafsu” tentara Jepang selama masa penjajahan Negeri Matahari Terbit itu di Indonesia.
Masyarakat internasional, bahkan para aktivis LSM di Jepang mengundangnya ke Jepang untuk menuturkan pengalaman pahit sejujur-jujurnya di depan forum. Hasil dari perjuangannya adalah Keputusan tanggal 4 Desember 2001 dari Peradilan Internasional di Den Haag, Belanda terhadap kejahatan perang. Keputusannya adalah bahwa Kasiar Jepang Hirohito dan para pejabat senior Jepang lainnya dinyatakan bersalah. Mereka bersalah atas perbudakan yang terjadi pada sekitar 200 ribu perempuan Asia, mulai dari Cina sampai Korea Selatan, termasuk para perempuan usia muda di Indonesia selama penjajahan Jepang pada Perang Dunia II, 1942—1945.
Untuk Mardiyem sendiri, yang terpenting adalah realisasi dari keputusan tersebut. Namun, kenyataannya hingga hari ini, ia dan juga rekan-rekannya hingga uzur usia, harus bertahan hidup dari sumbangan para relawan yang bersimpati. Mereka juga harus tahan menghadapi sikap masyarakat yang menghakimi dan pemerintah Indonesia pun memandang mereka sebagai “aib” yang harus ditutup
rapat-rapat.
Mardiyem Muda
Mardiyem lahir di Yogyakarta sekitar tahun 1929. Ayahnya, Irodjoyo, bekerja sebagai abdi dalem kecil dari seorang bangsawan Yogya, yakni KRT (Kanjeng Ratu Tumenggung) Suryataruna. Meski penghasilan ayahnya kecil, keluarga Mardiyem masih tergolong keluarga yang berkecukupan. Sejak kecil Mardiyem tidak merasakan kasih sayang ibu, karena ibunya meninggal ketika melahirkannya pada usia kandungan baru berjalan tujuh bulan. Ia juga tidak sempat mengenal ketiga kakaknya yang telah meninggal lebih dulu. Namun, ia masih memiliki tiga orang kakak yang lain, yaitu Jainem, Kardiyem, dan Ngatini. Mereka, termasuk dirinya, tumbuh dalam asuhan ayahnya. Walaupun demikian, ia merasa bahagia. Ia mendapatkan kebebasan bermain dengan teman laki-laki, padahal saat itu, masyarakat Jawa masih terikat kuat dengan kultur patriarki yang melarang anak perempuan bermain dengan laki-laki atau bertingkah kelaki-lakian, seperti memanjat pohon atau tertawa keras.
Mardiyem sangat senang bermain petak umpet atau lobrok. Di antara teman-temannya, ia menjadi sosok yang disegani. Ayahnya juga mengajarinya bersikap tabah dan prihatin dalam menghadapi kehidupan. Maka, ketika ayahnya meninggal dunia pada saat umurnya baru sepuluh tahun, ia sangat terpukul. Sepeninggal ayahnya, ia diasuh oleh pamannya, seorang haji, Wak Dul namanya. Berbeda dengan sikap ayahnya yang moderat, pamannya amat memegang nilai-nilai luhur dan adat istiadat Jawa. Merasa tak bebas lagi, Mardiyem memutuskan untuk hidup mandiri dengan jalan menjadi abdi dalem di rumah Ndoro Mangun. Majikannya sangat baik karena memberinya kebebasan untuk berlatih menyanyi sesuai kerja. Pada saat inilah ia mengenal Soerip, seorang penyanyi keroncong yang mengajaknya berlatih menyanyi di Notoprajan.
Ketika Mardiyem berusia 13 tahun, saat itulah pendudukan Jepang di Indonesia dimulai. Cita-citanya masih sama, menjadi penyanyi panggung. Ia lalu mendengar bahwa pemerintah Jepang membuka lowongan kerja bagi perempuan untuk dipekerjakan sebagai pelayan restoran dan pemain sandiwara di Borneo (sebutan pulau Kalimantan pada waktu itu). Ia langsung mendaftarkan diri. Mardiyem dengan kepolosan hatinya begitu gembira, terlebih membayangkan dirinya bila telah menjadi seorang penyanyi. Bahkan, di saat pemberangkatan dan selama perjalanan pun, hatinya berbunga-bunga, penuh sukacita. Setibanya di Telawang, sebuah perkampungan di pinggir Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Mardiyem dengan 24 orang temannya yang kebanyakan berasal dari Ambarawa, Yogyakarta, segera menempati rumah panjang yang telah disekat menjadi 24 kamar. Rumah panjang itu lebih mirip sebuah barak tentara. Setiap orang menempati sebuah kamar berukuran 7,5 meter persegi dengan perlengkapan sebuah tempat tidur, meja, dan kursi. Kamar Mardiyem sendiri bernomor 11 dan ia mendapat panggilan momoye (penyanyi). Firasat buruk segera menyelimuti Mardiyem. Ia begitu risau membayangkan dirinya dan kawan-kawannya akan dijadikan para pelacur.
“Kala itu saya gelisah dan takut sekali. Malam itu saya tidak dapat tidur dan menangis sepanjang malam. Saya teringat almarhum bapak di kampung halaman. Saya tidak tahu mengapa nasib menjadi seperti ini,” demikian penuturan Mardiyem ketika harus menghadapi kenyataan bahwa cita-citanya sebagai penyanyi yang sebenarnya, kandas. Dua hari kemudian, ia mulai didatangi seorang lelaki Jepang berewokan yang belakangan diketahuinya sebagai pembantu dokter di klinik kesehatan. Lelaki itu merayu dan memaksa Mardiyem untuk melayani nafsu berahinya. Mardiyem telah berupaya untuk melepaskan diri, namun cengkeraman tangan lelaki itu melebihi kekuatannya sebagai perempuan. Dengan kasarnya, lelaki itu merenggut keperawanannya yang selama ini dijaganya, seperti penuturannya, “Dengan sekuat tenaga saya berupaya melawan untuk menghindar. Tetapi, cengkeraman tangan lelaki kekar dan berotot itu semakin kuat. Badan saya sampai terangkat naik ke ujung dipan, bahkan terdorong ke dinding. Saya sedih danrasanya sakit sekali.”
Belum hilang rasa nyeri yang dideritanya, datang lagi lelaki kedua, menyetubuhinya tanpa memberinya kesempatan untuk beristirahat. Ia ingat, satu hari itu ada enam orang yang harus dilayaninya. Akibatnya, ia mengalami pendarahan hebat. Namun, itulah hidup yang harus dijalaninya. Hari-hari selanjutnya, bahkan ia harus melayani 10-15 orang tentara Jepang sekaligus dalam sehari. Para tentara menolak untuk menggunakan kapucis (kondom), maka Mardiyem pun hamil. Ketika cicada (pengelola asrama) mengetahui bahwa dirinya hamil, Mardiyem dipaksa menggugurkan kandungannya dengan cara mengurut perut dengan paksa. Mardiyem menjadi jugun ianfu selama kurun waktu 1943-1945. Ia harus siap melayani siapa pun, baik para tentara maupun sipil Jepang. Dan, ia pun harus siap menerima pukulan dan tendangan sepatu lars apabila mereka tidak puas dengan pelayanannya. Satu kali pernah ia tak sadarkan diri setelah menerima tendangan-tendangan, namun tak seorang pun datang menolong.
Menuju Jalan Kebebasan
Suatu hari, kerani (pemberi tiket untuk tamu) asrama Telawang mengumumkan bahwa para penghuni asrama diperkenankan memilih jalan hidup masing-masing. Mulanya Mardiyem bertanya-tanya, apa yang telah terjadi, hingga ia mendengar suara bom berjatuhan di wilayah permukiman tersebut. Secepatnya ia memutuskan pergi ke Banjarmasin dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak di hutan belantara. Selama tiga hari perjalanan, ia harus menahan lapar dan dahaga. Setibanya di Banjarmasin, ia memilih tinggal di perkampungan Dayak.
Salah satu temannya, bernama Ribut, menikah dengan seorang warga Kapuas. Ribut adalah sahabatnya sejak ia masih tinggal di Surabaya. Sebelum berangkat ke Borneo, Ribut sempat berpacaran dengan anak pemilik Hotel Paneleh di Surabaya, tempat Mardiyem dan kawan-kawannya juga tinggal. Mardiyemlah yang melancarkan hubungan keduanya. Ia senang dapat melakukan hal itu karena sesudahnya, Ribut akan membelikannya baju ataupun makanan sebagai ucapan terima kasih. Persahabatan mereka terus berlanjut hingga mereka berada di Telawang. Ia masih ingat nomor kamar Ribut, 15, dan panggilannya adalah “Akiko”. Persahabatanlah yang membuatnya bersedia tinggal di Kapuas. “Saya mau saja diajak ikut Ribut karena saya takut tinggal di kota. Waktu itu banyak tentara sekutu di kota. Saya takut apabila perlakuan seksual menimpa kembali,” demikian alasannya ketika memutuskan untuk tinggal di Kapuas.
Ketika situasi sudah lebih aman, barulah Mardiyem bersedia diajak suami Rubut ke kota untuk mengantarkan barang dagangan berupa emas permata. Di kota, ia bertemu dengan Amit Mangun, seorang tentara KNIL (Koninklijk Nederlandisch Leger) asal Desa Bantul, Yogyakarta. Ketika Amit Mangun memintanya untuk menjadi istrinya, dengan halus Mardiyem menolaknya. “Saya tak mau, saya tak butuh suami. Saya hanya butuh kasih sayang dan perlindungan. Ini sudah dipenuhi oleh sahabat saya dan suaminya yang telah memperlakukan saya seperti saudara kandung.” Penolakan Mardiyem pada awalnya semata-mata karena persoalan traumatisnya terhadap laki-laki. Namun, bujuk rayu Ribut dan suami akhirnya membuat Mardiyem pasrah dan menerima pinangan itu.
Menanggapi Sinisme Masyarakat
Setelah menikah, Mardiyem tinggal dengan suami di asrama KNIL. Di tempat tinggalnya yang baru, ketenangan batin Mardiyem kembali terusik. Cemooh dan kata-kata menyakitkan harus dihadapinya. “Awas, kita kemasukan orang dari ransum Jepang. Hati-hati suami kita bisa disaut (direbut). Mereka itu orang nakal dan haus seks!” Mardiyem menirukan kata-kata yang kerap harus didengarnya pada saat itu. Tak tahan menghadapi teriakan-teriakan tersebut, Mardiyem pun balas menyerang dengan kemarahannya. “Ngapain merebut suami kalian. Apakah setiap bekas ransum Jepang selalu merebut suami orang?” Di sini harga diri Mardiyem terinjak-injak, namun suaminya lagi-lagi menasihatinya agar bersabar dan mencoba melupakan masa lalu.
Bagi Mardiyem, kehidupan berumah tangga bukan hal yang mudah untuk dijalani. Trauma yang dialaminya merupakan beban psikologis yang nyaris membuatnya kehilangan rasa cinta kepada setiap laki-laki. Hanya karena kebaikan dan kesabaran Amit Mangun saja yang mampu membuatnya tenteram, termasuk ketika mengetahui dirinya hamil. Padahal, ia yakin sekali tak bisa hamil lagi karena peristiwa pengurutan perut yang pernah dialaminya dahulu. Tidak dapat hamil merupakan risiko yang harus ditanggung oleh sebagian kecil mantan jugun ianfu. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang saling berhubungan erat antara kerusakan alat reproduksi dan tekanan psikologis, seperti perasaan sudah rusak dan tidak berharga. Kehamilan yang terjadi pada Mardiyem lagi-lagi mengundang tuduhan yang bukan-bukan. Sekali lagi, sikap Amit Mangun dapat membuatnya tenteram.
Untuk menopang kehidupan rumah tangganya, Mardiyem berjualan seprai, sarung bantal, dan pakaian hasil jahitannya sendiri. Selain itu, ia juga memanfaatkan peluang dengan membantu para gerilyawan yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sering kali ia mencuri peluru-peluru senjata suaminya untuk kemudian diberikannya kepada gerilyawan. Itulah sebabnya ia selalu berusaha menawarkan diri membersihkan senjata suaminya sepulang dari patroli untuk kemudian mencuri beberapa peluru. Yang paling membuatnya terkesan adalah ketika ia mengambil brand (senjata dengan peluru beruntun) dari gudang senjata KNIL. “Saya mengalami kesulitan karena senjata itu sangat panjang dan pengawasan juga terlalu ketat. Akhirnya, saya bekerja sama dengan seorang teman. Ia bertugas mengajak ngobrol para pengawas asrama, sedangkan saya menggulingkan senjata itu ke luar pagar. Di luar pagar itu terdapat jurang. Saya tidak peduli satu kelompok itu masih akur. Saya juga sempat takut ketahuan. Tetapi, esok paginya saya dapat surat yang mengabarkan bahwa kiriman saya sudah diterima.”
Kehidupan Mardiyem terus melaju. Tahun 1953, Mardiyem beserta suami kembali ke tanah kelahiran Mardiyem, Yogyakarta. Di kota ini pun, Mardiyem harus menerima perlakuan sinis dari masyarakat yang mencibirnya, bahkan merasa jijik terhadap dirinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa di tengah masyarakat terjadi gunjingan, cemoohan, dan hinaan terhadap mantan jugun ianfu, padahal saat itu ia baru saja memulai berbisnis. “Saya buka katering. Awalnya sangat laku sampai saya punya lima orang pegawai. Tetapi, lama-lama orang tahu kalau saya mantan jugun ianfu, dagangan saya menjadi tidak laku dan bangkrut. Saya sedih dan sakit hati. Apakah saya punya penyakit? Kalau saya punya penyakit, tidak mungkin saya kawin dengan ABRI.”
Menuntut Keadilan di Masa Lansia
Enam puluh tahun memang waktu yang panjang. Namun, bukan waktu yang cukup untuk melupakan masa lalu dengan penderitaan yang hebat sebagaimana yang dialami oleh seorang Mardiyem. Trauma itu membekas dalam dan masih segar dalam ingatannya. Belum lagi, luka fisik seperti sebelah kaki mengecil dan gumpalan darah beku di kepala yang sering menyebabkan sakit kepala. Dan, yang paling menyedihkannya, kehilangan jabang bayi. Semuanya itu membuatnya amat sakit hati. Didorong oleh rasa bersalah, maka ia ingin menebus dosanya dengan menjalin kembali hubungan dengan rekan-rekan senasib semasa di Telawang. Ia ingin berjuang bersama-sama menuntut keadilan.
Kembali ke Telawang, ditelusurinya masa lalunya. Dilacaknya kembali lokasi tempat penampungan dimana ia dan rekan-rekannya melewati hari-hari yang kelam. Tidak berhenti sampai di situ saja, hingga saat ini, ia bahkan harus berkeliling ke luar negeri untuk membeberkan kisah dan perjuangannya. Saat kunjungannya ke Jepang, para aktivis LSM setempat menunjukkan rasa simpati yang mendalam kepada perjuangan para jugun ianfu. Perjalanan yang telah dirintisnya amat panjang namun tugas, dan beban Mardiyem semakin berat karena kebanyakan teman-temannya telah tua, sakit-sakitan, bahkan tutup usia. Mereka semua tetap menaruh harapan besar padanya, memperjuangkan hak-hak mereka agar ditanggapi dan direalisasikan.
Apakah permintaan di atas terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan ketidakberdayaan mereka terhadap kehidupan? Seharusnya, tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat dapat memberikan kontribusi yang besar pada mantan jugun ianfu, bukannya justru mengadili mereka. Mereka sudah terkondisi enggan untuk bersosialisasi dan menutup diri untuk beraktivitas. Kini, saat mereka telah lansia, tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, selain dengan menerima sumbangan para sukarelawan yang bersimpati pada nasib mereka. Mereka harus menahan kesedihan bila mendengar suara-suara yang menganggap mereka sama dengan pengemis jalanan, padahal mereka juga bagian dari warga negara yang sepatutnya mendapat rasa hormat dari pemerintah Indonesia. Mereka berhak dan seyogianya dapat hidup dengan tenang di saat lansia.
Maka, seyogianya pulalah pemerintah bersungguh-sungguh memperhatikan dan membantu mantan jugun ianfu untuk mendapatkan ganti rugi, baik material maupun nonmaterial dari pemerintah Jepang. Mardiyem sendiri akan terus membawa suara teman-teman senasib sambil menunggu keadilan itu datang. Ia tidak dapat hanya berpangku tangan dan berserah diri pada nasib. Harapan teman-teman yang telah mendahuluinya sudah dianggapnya sebagai titah yang mulia dan ia telah menjadi bagian dari harapan itu, keinginannya yang terakhir. Perjuangannya akan terus dilakoninya. (Farida)
[1] Tulisan ini dibuat pada tahun 2002
Pernah diterbitkan di:
Jurnal Perempuan, No. 25. 2002. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.