Dalam sambutannya di sebuah buku panduan Pastikan Partai Anda jadi Pilihan, Sri Redjeki Sumaryoto, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mengatakan, “Tingkat partisipasi perempuan dalam perumusan, pengambil, dan penentu keputusan untuk kebijakan publik masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari jumlah perempuan yang berada pada posisi strategis, baik pada bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kondisi ini mengidentifikasikan pada kita bahwa peran politik perempuan masih belum maksimal. Sebagai dampaknya, banyak kebijakan dan program pembangunan yang ditujukan kepada perempuan masih belum peka gender, yaitu belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi, dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki, serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai tujuan dan sasaran akhir pembangunan.” Kalimat yang diutarakannya ini merepresentasikan bahwa periode Kabinet Gotong Royong di bawah pimpinan Presiden Megawati belum selesai menjawab persoalan-persoalan perempuan dalam tahap kebijakan dan partisipasi politik perempuan. Belum lagi persoalan lainnya yang tak kalah mendesak, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, serta masalah buruh migran. Melalui berbagai kebijakan, negara diharapkan menunjukkan perhatian dan komitmennya yang sungguh-sungguh untuk mengeluarkan perempuan dari ketertindasannya secara sosial, ekonomi, dan politik. Jurnalis Junal Perempuan, Mariana Amiruddin dan M. B. Wijaksana mewawancarai Sri Redjeki Sumaryoto untuk menggali lebih jauh masalah ini. Jurnal Perempuan (JP): Apa penilaian Ibu tentang lima tahun pemerintahan Megawati dalam memberdayakan perempuan? Sri Redjeki Sumaryoto (SRS): Sebenarnya saya tidak bisa melakukan penilaian sebab saya bagian dari Kabinet Megawati, Kabinet Gotong Royong. Dalam kabinet ini ada tujuh program atau agenda yang harus saya laksanakan. Pertama, penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, memberikan arah pada agenda reformasi. Bangsa kita sudah memiliki keputusan ke arah demokratisasi yang jelas dan tertuju pada kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat di sini termasuk perempuan sebagai subjek yang harus ikut terlibat karena jumlahnya yang besar. Saya kalau ke daerah-daerah tidak lupa memberi imbauan agar perempuan tahu tentang agenda reformasi. Ketiga, adanya peranan negara dalam memberdayakan perempuan. Saya sendiri masuk dalam siklus lima tahunan, dalam periode ini ada tiga menteri yang berperan, yaitu Tuty Alawiyah, Khofifah Indar Parawansa, dan saya sendiri. Kementerian ini sudah berdiri sejak tahun 1978, berarti sudah berjalan sekian tahunsebelumnya. Posisisayadi sini melanjutkan tugas mereka memberdayakan perempuan melalui kebijakan yang saya keluarkan. Kebijakan tersebut harus sesuai dengan isu yang sedang berlangsung, terutama pada saat periode saya. Keempat, merealisasikan komitmen kita tentang nasib perekonomian bangsa ini berdasarkan pada kerakyatan, termasuk masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ketika saya masih duduk sebagai badan pekerja di legislatif, saya tidak luput melahirkan kebijakan mengenai KKN ini. Bagi saya, ini salah satu amanat reformasi yang harus direkomendasikan kepada pemerintah pada waktu itu. Keenam, politik luar negeri bebas-aktif, dan ketujuh adalah menyukseskan Pemilu 2004. Kabinet Gotong Royong yang tidak penuh selama lima tahun saya jalani ini hasilnya tidak begitu kelihatan. Kenyataannya, memang agenda-agenda reformasi tidak sepenuhnya tercapai. Akan tetapi, dengan diselenggarakannya pemilu saat ini, ternyata masyarakat kita tidak bodoh. Mereka semakin kritis, menuntut sesuatu yang realistis, yaitu rasa aman dan masa depan yang lebih jelas. JP: Apa yang membuat agenda-agenda tersebut sulit terlaksana? SRS: Pertama, kita masih mengalami krisis ekonomi, kedua tidak mudah melakukan sesuatu di tengah-tengah dan sudah menjelang akhir seperti posisi saya sekarang ini yang tidak penuh lima tahun. Namun, kita perlu ingat bahwa adanya kementerian ini sebetulnya sudah menunjukkan komitmen negara tentang pentingnya pemberdayaan perempuan. Kenyataannya, kita memang mengalami hambatan-hambatan, seperti faktor budaya, pemahaman, dan operasional. Maka, bila kita melakukan suatu upaya untuk melakukan gerakan masyarakat untuk menurunkan angka kematian ibu akibat melahirkan, misalnya, itu tidak semata-mata dilakukan oleh kementerian ini, tetapi juga departemen-departemen lain yang langsung menangani persoalan tersebut. Kerja kita memang tidak kelihatan, karena tugas kitaadalah membuat kebijakan dan berkoordinasi dengan sektor. Kita bisa bermitra dengan pihak lain seperti LSM, misalnya, dalam mengadvokasi, memfasilitasi mitra kita tersebut dalam melakukan sosialisasi kebijakan yang kita keluarkan. Hambatan ketiga adalah dukungan dana yang terlalu kecil. Bila kita lihat berapa jumlah dukungan anggaran yang diberikan pada kementerian ini dikaitkan dengan banyaknya isu yang harus kita selesaikan, tentunya sangat kecil. Padahal, isu-isu tersebut menyentuh persoalan-persoalan mendasar perempuan. Kementerian lain bicara triliunan, kita bahkan tidak sampai 50 miliar. Keempat, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memiliki keterbatasan dalamhaloperasional.Akibatnya,operasional harusditujukanpadadepartemen- departemen. Namun, departemen-departemen kita masih menganggap isu perempuan tidak penting atau tidak menjadi prioritas. Mereka masih melihat persoalan lain lebih berarti daripada masalah mendasar perempuan. Mungkin kalau Anda mengikuti bagaimana perjalanan kabinet ini, prioritas utama adalah recovery (pemulihan) ekonomi, (menyelesaikan) persoalan negara ini dengan IMF, dan masalah keamanan di beberapa daerah konflik, walaupun dua persoalan itu pasti ada dampaknya juga bagi perempuan. Saya mengatakan, prioritas bagi perempuan harus kita perjuangkan dan tidak boleh bosan untuk berhenti menyampaikan atau memberi suatu usulan supaya tetap menjadi isu yang harus segera diselesaikan. Banyak sekali masalah-masalah yang belum terselesaikan di tengah kita, belum lagi dengan pemerintahan baru yang pasti punya kebijakan baru, orang-orang baru, atau bahkan kementerian ini yang mungkin saja dianggap tidak dibutuhkan lagi. JP: Rancangan Uundang-Undang KDRT sudah lama dibuat sejak tahun 1999, tetapi sampai sekarang belum dibahas, begitu pula dengan persoalan buruh migran. Mengapa? SRS: Memang dua persoalan itu harus kita lakukan secara serentak dan menjadi prioritas kita untuk tahun 2004 ini. Karena itu, ada tiga yang menjadi target utama kita untuk mengeluarkan undang-undang, yaitu KDRT, perdagangan perempuan dan anak, serta buruh migran. JP: Setelah pemilu dan diikuti pergantian dewan, akankah pembahasan Rancangan Undang-Undang itu kembali dari awal sehingga pengesahan undang-undang tersebut menjadi semakin sulit? SRS: Saya masih optimis, karena itulah yang saya bayangkan dan kemukakan setiap kali ada pertemuan di kementerian ini. Saya memahami bagaimana kondisi dewan karena saya cukup lama di sana. Saya sudah bilang teman-teman di sini bahwa kita harus komitmen pada hal-hal yang sudah disepakati, terutama agenda-agenda yang telah disebutkan tadi walaupun pemilu sudah dilakukan. Kita sudah mengikat mereka (DPR). JP: Strategi apa yang dilakukan kementerian ini untuk mengikat anggota DPR? SRS: Sebelum pemilu, kita sudah lakukan lobi terus-menerus dan minta suatu komitmen bahwa nanti penyelesaian beberapa undang-undang yang berkaitan dengan persoalan mendasar perempuan ini, tidak tergantung kepada hasil pemilu 2004. Kita tahu bahwa DPR masih sama, begitu juga dengan orang- orangnya, dan mereka (DPR baru) akan dilantik Oktober 2004, jadi DPR lama masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. JP: Bagaimana Anda bisa optimis hasil pemilu sekarang ini akan tetap meneruskan agenda-agenda yang sudah ditetapkan? SRS: Sekali lagi, saya optimis. Namun, saya juga tidak mungkin optimis tanpa bantuan pihak lainnya, terutama dalam kementerian ini. Karena itu, saya mengajak teman-teman lainnya, seperti LSM perempuan, bahwa masalah pemberdayaan perempuan ini masih belum selesai. Kita membuat komitmen yang kuat untuk diajukan ke pemerintah yang akan datang terhadap program- program pemberdayaan perempuan. Kita aktif seperti itu bukan supaya kementerian ini tetap eksis, melainkan adanya data yang menunjukkan bahwa posisi perempuan Indonesia masih lebih buruk daripada laki-laki. Bagaimana kita mau membangun negara kita bila yang satu berada di bawah yang lain? Saya pun berharap persoalan ini diopinikan pula oleh teman-teman LSM. JP: Bagaimana bila pemerintahan yang akan datang tiba-tiba melikuidasi (meniadakan) Kementerian Pemberdayaan Perempuan? SRS: Kita sudah membuat satu tim kelembagaan, mencoba untuk mengkaji dan melobi serta merumuskan beberapa alternatif, salah satunya kalau terjadi likuidasi itu. Maka, apa pun yang terburuk terjadi, tetap kita berharap agenda- agenda perempuan itu tidak dilupakan. Saya minta supaya ada kalender kerja untuk semua hal yang kita lakukan di kementerian ini dan kita ajukan kepada calon-calon presiden. Itu salah satu strategi kita untuk menghadapi kemungkinan terburuk. JP: Siapa yang paling kecewa kalau kementerian ini dilikuidasi? SRS: Banyak sekali, di antaranya masalah perempuan semakin tidak menjadi perhatian. Misalnya, setiap kebijakan kita selalu mengajukan strategi pengarusutamaan gender yang kita sosialisasikan dan kampanyekan. Bila kementerian ini sudah tidak ada, ya, sudah, mereka tidak peduli apakah laki-laki ataupun perempuan. Mereka tidak mengerti dampaknya terhadap perempuan Indonesia, mereka tidak mengerti itu, termasuk tidak ada harapan terlaksananya kebijakan pengarusutamaan gender di daerah-daerah. Paling berat buat kita adalah komitmen kita pada dunia internasional yang tidak bisa kita bebankan padadepartemen lain. Setiapkali kementerian harus memberikan laporan tentang kondisi perempuan di negara ini. Itulah argumen kita soal pentingnya keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kita juga membuat penelitian seberapa besar masyarakat membutuhkan kementerian ini. Kelihatannya hasil dari sampling kita ini cukup bagus, perempuan memiliki tempat untuk mengadukan persoalannya. Makanya, kita harus siapkan, sosialisasikan manfaat dan pentingnya kementerian ini. Tidak mungkin orang membela kita kalau kita tidak pernah membela mereka. JP: Anda yakin akan dibela? SRS: Sebab begini, ketikasaya masih di DPR, beberapa kalisayaselalu bicara tentang pentingnya kementerian ini, pada saat siklus lima tahunan atau pemerintahan baru akan terjadi. Kementerian ini sering kali menjadi pertanyaan pada saat menjelang pemerintahan baru. Kita dengan sendirinya mengatakan, “Wah, enggak benar ini kalau Kementerian Pemberdayaan Perempuan tidak ada.” Kita bicara begitu tanpa diminta oleh menterinya sendiri pada waktu itu. Kita sadar persoalan perempuan harus diselesaikan pula melalui kebijakan. Tanpa kementerian ini, tidak mungkin hal itu bisa dilakukan. (Mariana Amiruddin dan MB. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2004 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 35, 2004 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |