Seorang anak bertanya pada ayahnya, “Ayah, ibuku ada di mana? Aku rindu ingin melihatnya.” Sang Ayah hanya menunjuk sebongkah batu dan berkata, “Itu ibumu, peluklah dia jika kamu merindukannya.” Pertanyaan itu terus diulang setiap kali anak itu teringat akan ibu. Jawaban sang Ayah tetap sama, “Batu itu ibumu.” Ia bertanya pada semua orang, tetangga, saudara, pembantu, dan teman sepermainannya, jawaban mereka juga sama, “Batu itu adalah ibumu.” Setiap kali ia teringat ibu, ia peluk batu itu erat-erat. “Aku ingin melihat ibu. Teman yang lain punya ibu, saya tidak,” katanya pada batu itu diiringi isak tangis. Itulah pengalaman Maftuchah Yusuf ketika kecil. Ia terpaksa harus berpisah dengan ibunya saat berusia baru sepuluh bulan karena orang tua mereka bercerai. Sejak itu pula pencarian sosok ibu tidak pernah berhenti. Maftuchah pernah dirawat oleh Mbok Kromo di Boyolali, tempat kelahirannya, yang ia kira ibunya. Setelah lepas dari si Mbok, ia disayang oleh guru-guru Belanda di sekolahnya, dan kemudian ia menganggap mereka itulah ibunya. Kehilangan sosok ibu sejak belia tentu saja menyedihkan. Tapi, itu bukan alasan untuk membuat hidup menjadi hancur. Lalu, siapakah Maftuchah Yusuf? Mungkin bagi orang awam namanya tidak cukup dikenal. Namun, bagi koleganya, rekan sejawatnya, dan mahasiswa bimbingannya, sosok ini teramat istimewa. Maftuchah Yusuf bukan saja guru besar di Universitas Negeri Jakarta (dulu bernama IKIP Jakarta), Universitas Trisakti, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Maftuchah juga sosok guru yang berdedikasi besar pada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Enam puluh tahun lebih dari usianya ia baktikan sebagai guru. Sebelum menjadi guru besar, ia telah melewati pengabdiannya sebagai guru kecil, guru sedang, hingga gelar profesor yang kini berhak disandangnya. Di usianya yang menginjak 83 tahun ini, Maftuchah Yusuf terus berkarya dan tidak pernah menyerah pada “hukum alam” atas usianya yang terus bertambah. Ia terus mengajar di Universitas Trisakti, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Negeri Jakarta hingga kini. Dia juga masih aktif di berbagai organisasi masyarakat dan perempuan. Maftuchah adalah anggota World Confference on Peace and Religion, Kepala Lembaga Pembinaan dan Kelestarian Lingkungan dan Penghijauan (Universitas Trisakti), dan masih menulis buku. Keberanian Maftuchah untuk menjalani kehidupan tanpa kenal menyerah ia buktikan beberapa kali. Pada usia 31 tahun, dua kelenjar adrenalinnya harus diangkat. Dokter menemukan tumor di kedua kelenjar adrenalin tersebut. Para dokter di University of Medical Centre and The Methabolic Research Unit malah memvonis bahwa Maftuchah hanya akan bertahan sepuluh tahun lagi. Tentu saja kesimpulan dokter ini sangat memukul perempuan kelahiran Boyolali, 10 Juni 1920 ini. Ia memang sempat putus asa, tapi karena dorongan suaminya, (alm.) Teuku Yusuf (mereka menikah tahun 1947) yang terus memberinya semangat, semua kenyataan itu ia hadapi dengan berani. “Life goes on. Hidup saya tidak boleh berhenti karena penyakit ini. Begitu pikir saya saat itu. Meskipun untuk bertahan hidup, saya harus menelan pil hidrocortison setiap hari,” kata doktor bidang pendidikan kependudukan ini. Cobaan lainnya pernah juga ia lewati. Setelah menyelesaikan Hollandsch Inlandse School (HIS) Muhammadiyah, ia melanjutkan ke Hollandsch Inlandse Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Atas di Solo tahun 1936. Saat itu, sangat sedikit perempuan yang bisa sekolah sampai jenjang pendidikan setinggi HIK. Selain disebabkan masalah kesulitan ekonomi, pola budaya saat itu membuat perempuan harus menerima kenyataan untuk dikawinkan pada usia muda. Kedua kakak perempuannya sudah menikah pula di usia 12 tahun. Ia sendiri sebenarnya sudah diminta menikah, tetapi ditolaknya permintaan ayahnya itu. Maftuchah ingin terus bersekolah. Tentu butuh keberanian besar untuk menolak perintah menikah pada zaman itu, apalagi ayahnya adalah pengurus pesantren sekaligus penghulu di desanya. Tahun ketiga di HIK, Maftuchah berhasil mengambil diploma. Tapi, uang kiriman ayahnya mulai seret. Saat itulah ia memutuskan untuk keluar sementara dari HIK dan mengajar di sebuah Sekolah Dasar di Salatiga. Ia mengajar dari pagi hingga siang hari. Maftuchah belajar sangat keras, terkadang hingga dini hari, dan rutinitas itu ia jalankan selama beberapa tahun. Dan, badannya tidak mampu menyanggah cara hidupnya itu. Beberapa kali ia pingsan hingga ayahnya menjemput. Ia pun dirawat di sebuah rumah sakit di Mojokerto. Kondisinya waktu itu sangat mengkhawatirkan. Akibat demam tinggi selama beberapa hari, ia menjadi terlihat seperti orang linglung. Menurut pengakuannya, beberapa kali ia mencoba untuk mengakhiri hidup dengan berbagai cara. Pernah ia memakan cairan raksa yang ada dalam termometer. Pernah pula ia memakan biji sawo untuk merusak usus-usus dalam tubuhnya. Maftuchah putus asa. Ayahnya nyaris membawa gadis yang sebelumnya sangat bengal ini ke rumah sakit jiwa. Beruntung seorang laki-laki berdarah Arab berhasil ikut menyelamatkan jiwa Maftuchah. Ketika selamat, keinginannya hanya satu, ia ingin mengikuti ujian di HIK yang tinggal beberapa hari lagi. Ayahnya yang telah berjanji untuk memenuhi segala keinginan jika ia sembuh, terpaksa mengabulkan permintaan Maftuchah putri tercintanya meskipun ia tahu anak itu belum benar-benar sehat. Dengan kondisi badan yang belum pulih, ia mengikuti ujian HIK di Solo dan ia berhasil lulus sekolah. “Jangan bayangkan ujian zaman Belanda dengan Ujian Akhir Nasional di zaman sekarang. Zaman dulu, ujian itu benar-benar menentukan kelulusan seorang murid. Soal-soalnya luar biasa sukar dan tidak bisa dipelajari dengan sistem kebut semalam seperti mahasiswa sekarang,” tuturnya. Dari 28 peserta yang mengikuti ujian, hanya tiga orang yang lulus. “Padahal, hanya saya sendiri yang belajar di rumah, dua lainnya belajar di sekolah,” kata Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah ini. Tahun 2000 lalu saat merayakan ulang tahunnya yang ke-80, Maftuchah meluncurkan tiga buku secara bersamaan, antara lain Mencipta Generasi Membangun Bangsa, Peran Perguruan Swasta dalam Pembangunan, dan Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan. Buku-bukunya sekaligus menegaskan perhatiannya yang sangat besar pada masalah-masalah pendidikan, lingkungan hidup, dan perempuan. Pendidikan, Lingkungan Hidup, dan Perempuan Maftuchah Yusuf dikenal sebagai orang yang sangat tegas dan lantang saat bersuara. Pemikiran-pemikirannya diakui sangat lugas dan jelas. Saat ditanya soal mutu pendidikan Indonesia, tanpa segan-segan ia mengatakan, “Pendidikan di Indonesia malah membodohkan. Hal ini disebabkan karena ketidakjelasan orientasi pendidikan. Sistem pendidikan kita tidak memiliki empat pilar yang dibutuhkan.” Lebih lanjut ia menjelaskan keempat pilar itu, learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. “Sistem pendidikan kita hanya text book, sekadar memenuhi ketentuan kurikulum,” katanya. Itulah sebabnya mengapa hasil pendidikan kita melahirkan orang-orang yang tidak kreatif dan tidak toleransi. Tak heran bila sistem pendidikan kita gagal untuk membangun character and national building. Ketiadaan pembentukan karakter dan semangat kebangsaan inilah yang menimbulkan berbagai peristiwa konflik SARA. “Orang tidak lagi toleran terhadap kelompok atau masyarakat lain. Orang tidak lagi mampu melihat sisi baik seseorang,” ujarnya prihatin. Menurut mantan Presidium IKIP Jakarta tahun 1966—1967, fungsi pendidikan di Indonesia sudah direduksi menjadi instrumen untuk mendapatkan pekerjaan, untuk bertahan hidup, padahal fungsi pendidikan yang lainnya adalah mempertahankan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan lingkungan. Rendahnya tingkat pendidikan ini yang menjadi penyebab berbagai kerusakan lingkungan. Cemas dengan kondisi lingkungan hidup di Jakarta khususnya, Maftuchah menjadi salah seorang yang merintis pendirian Lembaga Pembinaan Kelestarian Lingkungan dan Penghijauan (LPKLP) di Universitas Trisakti. Lembaga ini bergerak dalam pembinaan kelestarian lingkungan melalui penelitian dan penghijauan serta pendidikan dan pengabdian pada masyarakat. Salah satu kegiatan yang dilakukan lembaga ini adalah memperkenalkan para pemulung di Jakarta dengan Teknologi Efektif Mikroorganisme. Maftuchah dan kawan-kawannya melatih mereka agar mampu memanfaatkan sampah menjadi pupuk organik yang bermutu dan bermanfaat secara eknomis. Berkat aktivitasnya dalam dunia persampahan itulah, beberapa waktu lalu gubernur Jakarta Sutiyoso memberinya gelar “Profesor Sampah”. Dunia perempuan pun tak luput dari perhatiannya. Maftuchah adalah salah satu pendiri Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI). Dalam kapasitasnya sebagai pendiri organisasi perempuan, ia diundang untuk mengikuti International Women Confrence di Mexico City dan Kopenhagen. Namun, Maftuchah tetap prihatin dengan situasi perempuan Indonesia. Masyarakat kita yang patriarki telah melakukan domestikasi perempuan pada posisi-posisi tidak menguntungkan. Berabad-abad perempuan diposisikan pada sebuah citra baku 3M, masak, macak, dan manak (memasak, bersolek, dan beranak). Ia menganjurkan agar perempuan terdorong untuk memiliki 2M, yaitu makarti (memiliki ilmu pengetahuan) dan mandiri. Makarti berarti bahwa perempuan harus memiliki ilmu pengetahuan supaya ia bisa berbakti pada masyarakat, sementara mandiri mengandung makna memiliki sikap dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suami. Maftuchah tidak habis pikir mengapa seorang perempuan mau dipoligami suaminya karena alasan-alasan ekonomi dan agama. “Itu terjadi karena perempuan secara ekonomi sangat tergantung pada suami. Sementara pengetahuan mereka tentang agama sangat rendah. Makanya, mereka pasrah saja ketika suami mereka meminta izin untuk menikah lagi,” jelasnya. Di luar semua itu, ia menganggap bahwa poligami adalah proses dehumanisasi perempuan. Ia sangat kuat memegang prinsip bahwa laki-laki yang berpoligami bukan lagi manusia. Sebabnya, laki-laki yang melakukan poligami telah merendahkan harkat perempuan menjadi sebuah layanan jasa seks atau sebuah milik pribadi. Tidak tanggung-tanggung, kata-kata ini pernah ia ucapkan dalam sebuah sidang di PBB. Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan 2M ini. Karena meski sederhana, prinsip ini berkonsekuensi sangat luas. Menurutnya, pola pembangunan manusia Indonesia seutuhnya harus menyentuh aspek ini. Hak dan kewajiban perempuan jangan dibedakan dengan laki-laki. Salah satu caranya adalah dengan memberikan peluang untuk memperoleh pendidikan secara adil. “Melihat jumlah perempuan yang sangat banyak tapi tidak sebanding dengan kualitasnya, siapa pun akan mudah menilai bahwa ada yang salah dari konsep pembangunan kemanusiaan yang telah dijalankan Indonesia,” ujar penerima Bintang Jasa Utama Nararya tahun 1995 ini. “Buat Orang Lain Bahagia, Setidaknya Satu Orang Setiap Hari” Salah satu yang paling membuatnya sedih selama hidupnya adalah ketika ia ditinggal suami tercintanya, Teuku Yusuf pada 1983. Kepergian sang suami membuatnya merasa kehilangan separuh jiwa dan raganya. Kadang terlintas untuk segera menyusulnya. Beban batinnya ketika itu sangat berat sampai ia jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Untunglah, ia segera ingat pada Tuhan yang selama ini telah melindunginya. Maftuchah menyadari betul semua ujian hidupnya bisa ia lalui karena pertolongan Tuhan. Tiada kata yang paling sering ia ucapkan, kecuali bersyukur bahwa Tuhan telah melindungi seumur hidupnya. Beberapa kali selama wawancara, perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren ini mengucap syukur atas berkah yang diberikan Tuhan selama ia mengarungi kehidupan yang tidak ringan ini. Wujud syukurnya pada Tuhan ia buktikan dalam prinsip hidupnya yang sangat dikenal rekan-rekannya. “Buat orang lain bahagia, setidaknya satu orang saja setiap hari. Pilih orang yang terdekat dalam hidup Anda, bisa ibu, ayah, anak, atau istri. Membuat mereka bahagia, berarti membuat hidup kita jadi lebih bermakna,” tuturnya. Melihat apa yang sudah diperolehnya saat ini, Maftuchah bisa jadi bukan telah membuat satu orang bahagia setiap hari, melainkan lebih dari itu. Keempat putra-putrinya sangat bangga pada sang Ibu, koleganya bahagia bekerja bersamanya, mahasiswanya bahagia karena pernah dibimbing sang guru, orang-orang lemah di sekitarnya bahagia karena bantuan perempuan ini telah membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Tapi, sekali lagi, ia merasa belum saatnya untuk berhenti berkarya. Maftuchah mewarisi sifat ibunya, tangguh bagai batu! (M. B. Wijaksana) Catatan Belakang: Tulisan ini dibuat pada tahun 2003 Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 30, 2003 Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Comments are closed.
|
AuthorRedaksi Jurnal Perempuan Archives
November 2023
Categories |