ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Karlina Supelli: Pemahaman Kesejarahan Gerakan Perempuan Penting dalam Memaknai Kebangsaan*

16/4/2021

 
*Artikel Wawancara  ini dimuat dalam JP 98 Perempuan dan Kebangsaan
Picture

Dr. Karlina Supelli adalah salah satu filsuf perempuan Indonesia. Saat ini Karlina merupakan dosen tetap pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Perempuan kelahiran Jakarta, 15 Januari 1958 ini memiliki minat yang mendalam pada kosmologi dan filsafat. Sebelum menggeluti bidang filsafat Karlina dikenal sebagai ahli astronomi, 15 tahun lamanya ia bertekun pada bidang tersebut. Pergelutannya dengan ilmu kosmologi melahirkan pertanyaan dalam diri Karlina tentang bagaimana suatu bermula. Kegelisahan inilah yang menjadi titik pijaknya untuk mengenal, memahami dan setia pada filsafat. Sejak tahun 1994 Karlina memulai karier akademisnya di bidang filsafat, hingga meraih gelar doktor di Program Studi Filsafat Universitas Indonesia dengan disertasi berjudul Wajah-Wajah Alam Semesta, Suatu Kosmologi Empiris Konstruktif. Sejak saat itu Karlina berfokus pada dunia akademik. Mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian pada masyarakat menjadi keseharian Karlina saat ini. Tidak hanya tertarik pada bidang kosmologi dan filsafat, Karlina juga sempat terlibat pada dunia aktivisme. Kepeduliannya pada isu kemanusiaan dan kesetaraan gender mendorong Karlina untuk terlibat langsung pada gerakan Suara Ibu Peduli (1998). Bagi Karlina kesadaran tentang kehidupan bersama yang baik penting untuk terus dihidupi di masyarakat Indonesia. Baginya perjuangan di tingkat diskursus dan praksis harus terus dilakukan dalam upaya menyelamatkan demokrasi.
 
Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan kebangsaan? Bagaimana pandangan Ibu mengenai kebangsaan Indonesia?

Kebangsaan adalah sebuah konsep dengan sejarah yang panjang. Pengertian kebangsaan bisa dilihat dalam relasinya dengan dua hal yaitu dengan kultural dan politik. Konsep kebangsaan sendiri sebetulnya adalah konsep kultural sedangkan konsep masyarakat berkait dengan politik. Ketika konsep kebangsaan dijadikan sebagai gerakan kebangsaan nasionalisme maka ia menjadi gerakan politik. Gerakan kebangsaan adalah himpunan kultural yang direkabayangkan, ditanamkan ke dalam memori kolektif dan memiliki tujuan politik. Bicara tentang kebangsaan artinya kita perlu kembali ke konteks sejarah tepatnya pada masa kolonial Belanda menerapkan politik etis di nusantara. Salah satu programnya adalah melaksanakan pendidikan sistem Barat yang melahirkan intelektual- intelektual muda bumiputra. Rumusan kebangsaan yang ada adalah hasil refleksi para intelektual muda saat itu dan Bung Karno merupakan salah satu tokoh yang memulai pergerakan nasional. Gerakan kebangsaanlah yang melahirkan cita-cita kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia saat itu menjadi mungkin karena Hindia-Belanda telah menjadi negara administratif kolonial. Hal yang menarik dari ide bangsa Indonesia adalah adanya cita-cita untuk membentuk suatu komunitas kultural yang memiliki cita-cita politik yang dengan keragaman etnis, agama dan kesukuan, tetapi semuanya bergabung di dalam satu payung yaitu bangsa Indonesia. Fondasi gagasan kebangsaan Indonesia adalah ide civic dan bukan etnosentrisme. Sejak terbentuknya Hindia-Belanda sebagai bentuk administratif, muncullah ide dari Ibu dan Bapak pendiri bangsa untuk merdeka dan mengambil bentuk negara-bangsa. Artinya status administratif Hindia-Belanda saat itu berperan penting dalam pembentukan kebangsaan Indonesia. Konsep kebangsaan menjadi cita-cita politik saat dipakai sebagai ekspresi identitas. Untuk bisa menjadi identitas artinya kita perlu menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia, karena tidak bisa kita menyatakan cita-cita politik dengan memakai identitas Hindia-Belanda. Bangsa Indonesia merupakan himpunan dari berbagai suku di nusantara. Di dalam kebangsaan Indonesia ada cita- cita politik tentang kesatuan Negara Republik Indonesia. Dalam identitas ke- Indonesia-an identitas kultural ditampung ke dalam ide-ide civic.
​
Apakah konsep kebangsaan di Indonesia sudah mengakomodasi perspektif, pengalaman dan kesejarahan perempuan dan kelompok marginal?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami perdebatan antara feminisme dan nasionalisme di Indonesia. Pertentangan dua gagasan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Eropa. Jika kita membaca Sarinah: kewadjiban wanita dalam perdjoangan Republik Indonesia, di dalamnya akan terlihat dilema ini yang dipahami oleh Bung Karno, yakni tegangan antara feminisme dan nasionalisme dalam proses menjadikan Indonesia. Dilemanya seperti ini, gagasan nasionalisme menjadikan identitas bangsa sebagai fondasi perjuangan, sedangkan feminisme menjadikan identitas gender sebagai basis perjuangan. Dalam dilema tersebut, Bung Karno menganggap bahwa ide gender dapat memecah-belah perjuangan dan tidak merujuk pada kesatuan. Ada anggapan bahwa laki-laki (dipojokkan/ dilabel) sebagai patriarki dalam perjuangan feminisme sehingga gagasan ini dipandang akan memecah kesatuan laki-laki dan perempuan. Artinya ada pandangan—yang umum waktu itu termasuk di Barat—bahwa gagasan feminisme dan nasionalisme sebagai dua hal yang saling bertentangan. Namun, kemudian muncul pertanyaan apakah benar gagasan nasionalisme tidak dapat menampung ide-ide kesetaraan gender?

Penting agar kita kembali pada sejarah perjuangan perempuan Indonesia di masa awal. Perempuan berpartisipasi di dalam gerakan kebangsaan dan membawa visi dan nama gerakan perempuan. Pada kongres perempuan pertama, kedua, dan kongres perempuan setelah Sumpah Pemuda, kita dapat melihat bahwa perjuangan perempuan menginginkan kemerdekaan dengan landasan nasionalisme yang mengakomodasi dan mengenali sumbangan perempuan. Untuk menanggapi tegangan ini, Sukarno saat itu mengadakan kursus tentang “masalah-masalah wanita” yang kemudian tertuang dalam buku Sarinah. Ide ini lahir karena Sukarno ingin meraih dukungan semua pihak, semua gerakan untuk revolusi. Usulan Bung Karno saat itu adalah bahwa persolan gender akan diperjuangkan setelah nasionalisme Indonesia telah stabil dan mapan. Ini yang sulit bagi feminisme, karena bagaimana kita bicara soal masyarakat yang adil, beradab dan toleran terhadap pluralitas bila persoalan ketidakadilan gender tidak dipahami dan diperjuangkan sejak awal. Bila kita hendak bicara soal kebangsaan kita perlu masuk ke gagasan budaya civic. Artinya sebagai bangsa kita menentukan bagaimana penyelenggaraan hidup bersama. Dengan demikian, bila kita bicara konsep nations tidak bisa misalnya kelompok tertentu mau memakai aturan dan adatnya sendiri, karena kita telah mengakui identitas sebagai bangsa Indonesia. Ide civic adalah ide bahwa bangsa ini walaupun terdiri dari banyak suku dan agama tetapi dalam berkomunikasi, dalam menyelenggarakan kebaikan bersama, kita bertopang pada ide bahwa kita adalah warga negara dan bangsa Indonesia yang tidak mengejar kepentingan masing-masing berdasarkan perbedaan suku, agama dan gender.

Di Indonesia yang menarik adalah perempuan telah ikut dalam pemilu pertama tahun 1955. Pada masa itu di belahan negara Eropa dan Amerika, hak politik perempuan dalam pemilu banyak yang belum diakui. Pada peristiwa ini kita melihat bahwa ide nasionalisme dalam skala besar telah mengakomodasi hak politik perempuan di Indonesia, tetapi lain halnya bila kita masuk ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan bersama mencerminkan sila kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki tidak dibedakan karena berangkat dari ide civic. Namun kita perlu jeli membedakan antara tataran konseptual dan praktik keseharian, karenaide civic padatatarankonseptualmensyaratkankesetaraan laki-laki dan perempuan, tetapi faktanya masih tidak demikian. Kita bisa lihat pula Pancasila sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Idealnya konsep ini menampung seluruh keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia, artinya ia mampu mengakomodasi Sunda Wiwitan dan kepercayaan lain. Namun, faktanya tidak demikian. Saat ini kita dihadapkan pada fakta adanya kelompok-kelompok yang hendak mengeklaim kebangsaan kita atas nama ide-ide primordialisme tertentu, antara lain keinginan untuk kembali ke agama tertentu sebagai dasar bernegara.

Dalam hal keberagaman kita juga dihadapkan pada peminggiran kelompok marginal, LGBT salah satunya, meskipun kita tahu bahwa sila kelima memandatkan keadilan sosial bagi semua. Artinya, gagasan dasar dalam sila ini dapat mengakomodasi hak setiap warga negara. Problem kita saat ini adalah bagaimana menerapkan gagasan-gagasan ideal ini dalam hidup berbangsa. Jika kita melihat sejumlah produk hukum kita, jelas bahwa dalam praktik kebangsaan banyak kepentingan yang belum tertampung. Misalnya kita bisa lihat pada produk hukum UU Perkawinan yang memisahkan secara tegas bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah ibu rumah tangga. Apakah sudah ada klausul tambahan bahwa bila perempuan bisa memenuhi pasal satu maka apakah pasal kedua tentang mengurus rumah tangga bebannya dibagi dua. Tidak ada klausul tambahan yang mengatur itu. Konsep kebangsaan telah mengatur hal-hal yang umum, tetapi tidak menubuh dalam tataran praktis. Hal serupa juga terjadi pada kebijakan tentang HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) perempuan, bahwa kebutuhan khusus perempuan tidak dikenali dan tidak diakomodasi. Penting bagi kita untuk juga bersikap kritis terhadap konsep kesetaraan, karena konsep kesetaraan yang dibangun dalam bingkai patriarki tentu tidak akan mengakomodasi kepentingan perempuan dan tidak pula membawa keadilan.

Ada sejumlah anggapan bahwa cita-cita feminis telah tercapai dengan lebih terbukanya akses politik dan pendidikan bagi perempuan, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan feminis bukan gerakan individu yang egoistik. Feminisme adalah gerakan untuk perempuan secara keseluruhan. Artinya tercapainya cita-cita feminis ketika kesetaraan gender sudah terwujud secara menyeluruh dan bukan parsial. Kita tahu bahwa sejumlah persoalan seperti kesejahteraan buruh perempuan, perkawinan anak, poligami dan banyak persoalan lain masih luput dari perhatian pemerintah dan masyarakat. Walaupun demikian, saya percaya bahwa ide nasionalisme dan feminisme tidak saling bertentangan. Gagasan nasionalisme perlu dipahami melalui konsep bahwa bangsa itu terdiri dari laki-laki dan perempuan serta dibangun berdasarkan ide-ide civic. Civic artinya komitmen kepada kebaikan bersama sebagai sesama manusia yang setara dan bukan berlandaskan ide-ide sektarian. Saya pikir Pancasila sudah bicara soal gagasan umum, yakni soal kemanusiaan dan keadilan, tetapi kita perlu periksa praktiknya dalam hidup sehari-hari seperti apa. Apakah benar persoalan-persoalan ketidakadilan sudah dibongkar?

Kebangsaan harusnya soal aspirasi bersama, dalam pandangan Ibu sejauh apa keterlibatan perempuan dalam kontekstualisasi konsep dan nilai kebangsaan di Indonesia saat ini?

Ada kesalahpahaman tentang perjuangan perempuan. Perjuangan perempuan dianggap sudah mencapai tujuannya bila perempuan sudah berada di posisi politik tertentu. Sementara bila kita lihat lebih kritis, apakah keberadaan perempuan pada posisi itu sudah memengaruhi hidup perempuan secara keseluruhan? Ini yang perlu kita pertanyakan dalam melihat keterlibatan perempuan dalam memaknai kebangsaan Indonesia. Akan tetapi tentu saja ada capaian yang penting untuk kita akui, bahwa telah ada perubahan dalam UU, pendirian Komnas Perempuan, lalu perubahan peraturan di kepolisian tentang bagaimana memperlakukan korban perkosaan dan capaian-capaian lainnya. Upaya-upaya ini adalah capaian yang diusahakan oleh para perempuan dalam mendefinisikan hidup bersama yang baik. Kita bicara soal kebangsaan artinya kita bicara soal kepentingan bersama. Ide penghapusan kekerasan terhadap

perempuan dan anak, ide tentang keadilan bagi perempuan, menjadi ide tentang hidup bersama yang baik (bonum commune). Namun, hari-hari ini kita digusarkan oleh upaya-upaya memberangus gagasan kebaikan hidup bersama. Gagasan ini mulai dijajah, dirampok, dan diklaim oleh ide- ide sektarian. Dalam hal ini keberadaan perempuan menjadi direntankan, dan dalam kondisi ini gagasan mengenai kebebasan pilihan tidak lagi diperhatikan. Gagasan-gagasan nikah muda, domestikasi perempuan, poligami yang menggunakan justifikasi agama untuk menindas perempuan gencar dipromosikan. Saat ini ide kebangsaan dan prinsip-prinsip civic yang melandasinya hendak dihilangkan secara sistematis. Masuknya gagasan sektarian dalam pendidikan dan kebijakan penting kita waspadai karena jika tidak nasionalisme kita akan menjadi rapuh.

Apa pentingnya memahami dan mengetahui sejarah perjuangan politik perempuan dalam kaitannya dengan kehidupan kebangsaan khu- susnya di Indonesia?

Penting sekali. Kita perlu pelajari kembali hasil-hasil kongres perempuan. Dalam kongres-kongres tersebut para perempuan memperjuangkan banyak hal mulai dari pendidikan, kesejahteraan ibu dan anak, isu poligami dan lainnya. Waktu itu isu poligami saja telah memecah suara perempuan karena sebagian kelompok gerakan wanita muslim saat itu belum memiliki kerangka konseptual tentang ajaran-ajaran agama, berbeda dengan saat ini mereka telah mengembangkan pemahaman, antara lain berdasarkan tafsir ulang atas Kitab Suci dan kajian atas Kitab Kuning (kitab-kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu yang merupakan salah satu elemen utama dalam pengajaran di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama). Saat ini sebagian perempuan muslim telah memiliki pemahaman bahwa poligami memang ada dalam agama tetapi praktik menjadi adil nyaris tidak mungkin. Artinya ada perkembangan dalam interpretasi teks keagamaan.

Perlu pula dicatat bahwa pada tahun 1930-an awal terjadi pergerakan isu di dalam gerakan perempuan bahwa seluruh perjuangan perempuan masuk menjadi bagian gerakan nasionalisme untuk gerakan kemerdekaan. Sejarah gerakan perempuan Indonesia adalah hal yang sangat penting dan saya merasa prihatin karena generasi saat ini sudah tidak terlalu mengenali sejarah perempuan. Hari-hari ini gerakan perempuan direduksi menjadi sekadar LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) padahal di masa

pembentukan negara ini gerakan perempuan cakupannya jauh lebih luas dari itu. Gerakan perempuan saat itu tidak bicara soal proyek-proyek jangka pendek tetapi mereka memiliki visi jangka panjang tentang kemajuan perempuan secara keseluruhan, misalnya mereka memikirkan tentang pendidikan perempuan seluas bangsa. Gerakan perempuan saat itu sangat luar biasa hingga akhirnya Suharto menghancurkan gerakan perempuan (khususnya Gerwani) di Indonesia. Orde Baru melunakkan gerakan perempuan dengan menjadikannya sebagai gerakan Dharma Wanita. Gerakan perempuan yang semula kritis terhadap kehidupan bernegara dan menyadari betul arti penting keterlibatan perempuan dalam politik dilunakkan untuk mendukung pemerintahan saat itu. Orde Baru secara sistematis membuat perempuan Indonesia terputus dari kesejarahan kebangsaan. Penting bagi generasi muda untuk memahami sejarah gerakan perempuan karena yang kita miliki sekarang adalah hasil kumulasi sejarah perjuangan panjang. Saat ini memang telah ada sejumlah capaian yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan perempuan, namun sense of movement dan radikalisme untuk memperjuangkan kebaikan hidup bersama apakah masih ada? Menurut saya ide-ide pergerakan perempuan di masa lalu adalah ide yang radikal dan kita perlu menghidupkan semangat itu kembali. Kita perlu kembali ke akar yang paling dasar mengapa feminisme lahir dan mengapa kebangsaan lahir.

Tahun ini Indonesia menginjak usia 20 tahun reformasi, sejauh apakah perubahan terjadi pada pemahaman dan praktik kehidupan kebang- saan? Apakah di usia 20 tahun reformasi ini demokrasi telah dihidupi dengan lebih baik?

Reformasi artinya re-form atau membentuk ulang. Ada juga yang memaknai reformasi sebagai kembali ke ide paling dasar. Akan tetapi saya lebih memilih menggunakan kata membentuk ulang karena sesungguhnya Indonesia memang telah memiliki ide demokrasi namun di masa Orde Baru sebenarnya kita belum memiliki demokrasi. Reformasi saya maknai sebagai membentuk ulang Indonesia sesuai dengan cita-cita awal mengapa negara ini ada. Artinya kita perlu kembali ke gagasan kebangsaan dan ide- ide civic, bahwa para pendiri bangsa merekabayangkan Indonesia dengan gagasan tersebut dan bukan dengan gagasan keagamaan ataupun etnisitas. Reformasi sebagai agenda kembali ke praktik bernegara, berpemerintahan, dan berbangsa berdasarkan alasan adanya (raison d’être) Republik Indonesia.

Reformasi artinya merefleksikan cita-cita republik ini ke depan hendak dijadikan seperti apa. Indonesia adalah becoming atau selalu berada di proses menjadi. Indonesia sebagai fakta sesuai cita-cita itu bagi saya belum ada. Inilah 20 tahun reformasi kita yang pada mulanya berfokus terutama pada tataran birokrasi, tetapi persoalannya adalah mental, perilaku dan ide- ide tentang hidup berbangsa yang tidak diolah.

Dalam upaya menghidupi reformasi civil society berupaya membentuk ulang seluruh peraturan agar demokrasi bisa berdiri tegak demi menjamin masyarakat demokratis. Namun, dalam proses itu makna dari civil society itu sendiri belum sepenuhnya dipahami. Kita perlu ingat bahwa cita-cita reformasi adalah reformasi birokrasi dan penguatan civil society, tetapi tampaknya kita mengabaikan cita-cita penguatan civil society. Kita perlu kembali pada gagasan Aristoteles tentang civil society, berangkat dari ide masyarakat dalam polis. Masyarakat yang hidup di polis adalah orang- orang yang hidup bersama dan patuh pada konstitusi demi kebaikan hidup bersama. Dalam perkembangannya, gagasan civil society lalu dimaknai sebagai organisasi masyarakat tetapi di Indonesia maknanya direduksi sebagai LSM. Civil society hidup dan mematuhi konstitusi demi komitmen untuk mencapai kebaikan hidup bersama. Ini menjadi mungkin oleh tumbuhnya budaya civic. Lahirlah istilah civility yakni tata laku, sikap budaya, dan cara bertindak, cara hidup menurut asas-asas civic. Civility bukan sekadar hidup menurut asas sopan-santun. Akan tetapi dalam perkembangannya (sejarah bangsawan Eropa) civility memang lalu dimaknai sebagai beradab dalam artian sebagai sikap-sikap gentleman. Kita perlu kembali ke ide awal konsep civic sebelum terkorupsi dan terkooptasi oleh berbagai ide lainnya. Civil society adalah dasar kebangsaan. Pancasila merupakan budaya civic. Setelah 20 tahun reformasi penguatan civil society berjalan melalui penguatan LSM tetapi masyarakat secara keseluruhan tidak tersentuh. Ironis bahwa perlahan sebagian masyarakat kita malah terjerumus ke dalam ide- ide sektarian. Bila kita merefleksikan 20 tahun reformasi kita perlu kembali ke pengertian bahwa Indonesia bukan negara dengan dasar agama atau etnisitas, melainkan berdasarkan prinsip-prinsip civic.

Ada keprihatinan bahwa setelah 20 tahun reformasi yang terjadi adalah semata-mata demokrasi prosedural. Demokrasi prinsip dasarnya adalah kesamaan hak politik yang oleh prosedur demokrasi sendiri dapat menyingkirkan hak kelompok minoritas. Berdasarkan prinsip dasar itulah bila ada hak kaum minoritas yang tergusur, pemerintah perlu mengambil langkah berdasarkan rasionalitas etis dan bukan rasionalitas instrumental, yang dimanifestasikan lewat prosedur affirmative action, pembentukan undang-undang, dll. Dalam beberapa hal peraturan dibuat dalam upaya membela minoritas, tetapi pada akhirnya tetap saja suara mayoritas yang diikuti, contohnya peraturan menteri tentang pembangunan rumah ibadah. Dalam kondisi semacam ini teori-teori feminisme dan filsafat dibutuhkan untuk membongkar persoalan yang muncul setelah 20 tahun reformasi. Penting bagi kita semua, khususnya generasi muda untuk memahami sejarah bangsa, pengertian civil society, konsep kebangsaan dan feminisme. Walaupun kita masih berhadapan dengan sejumlah persoalan, saya tidak pesimis melihat 20 tahun reformasi. Kita perlu merawat harapan. Ide tentang negara dan kebangsaan tetap diperlukan. Harapan ada pada generasi muda, kecintaan kepada bangsa, ide-ide global dan kemajuan teknologi. Kita saat ini diterpa oleh kemajuan yang tidak terelakkan tetapi ada sejarah yang tidak dapat kita tinggalkan. Dalam Novel Kafka, kita diingatkan bahwa sebetulnya masa kini tidak pernah ada—ini adalah permasalahan metafisika kekinian (the metaphyisic of presence). Dalam praktik, ini berarti bahwa di masa kita sekarang ini, harapan itu terletak pada ide-ide dan kreativitas anak muda, tetapi sejarah masa lalu tetap perlu menjadi topangan dan masa depan sebagai cita-cita.

Ambil contoh. Saat ini ada anggapan bahwa pelanggaran HAM masa lalu tidak penting untuk dipersoalkan karena sudah terjadi di masa lalu dan kita harus berorientasi pada masa depan. Akan tetapi kesejarahan sebetulnya sangat penting karena sejarah menyoal tentang ingatan kolektif, khususnya di Indonesia banyak sekali korban pelanggaran HAM termasuk perempuan. Ingatan adalah hal yang politis. Reformasi bisa berjalan hingga hari ini karena ia berdiri dan dibangun dari darah para korban Mei 1998, tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Reformasi hanya bisa dimaknai bila kita memahami sejarahnya. Apakah generasi muda menyadari mengapa peristiwa reformasi terjadi? Apakah cita-cita reformasi sudah tercapai? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab bila kita kembali ke sejarah. Jadi saya tidak pesimistik melihat bangsa ini. Namun demikian kita tetap perlu bergerak cepat dan sistematis untuk tidak membiarkan ide-ide civic hilang. Kita perlu menyadari bahwa saat ini kita dihadapkan pada sejumlah persoalan yang sangat serius, bukan sekadar persoalan radikalisme tetapi juga adanya upaya menyempitkan pemikiran anak muda dan perempuan melalui ide-ide agama. Indonesia adalah perjuangan kita, sehingga kita perlu selalu optimistik meskipun dihadapkan pada sejumlah persoalan. Kita tidak boleh menjadi pesimis karena pesimistik akan membawa kita pada sikap apatis. Kita perlu sadari bahwa demokrasi haruslah radikal. Perlu kita sadari bahwa demokrasi adalah tentang hidup bersama.

Bagaimana Ibu melihat gejala menguatnya konservatisme dan sektarianisme sejak era reformasi?

Pluralitas agama, suku dan lainnya adalah ontologi Indonesia yang tidak bisa dilenyapkan, karena faktanya bahkan tiap individu berbeda satu dengan yang lain. Ada perbedaan yang kodrati dan ada juga perbedaan yang disebabkan oleh faktor kultural. Perbedaan adalah fakta hidup juga fakta metafisis. Hanya orang yang berani menghadapi perbedaan yang kemudian mampu menghargai pluralitas. Kita bisa punya berbagai perbedaan tetapi perbedaan semestinya tidak menghancurkan hidup bersama. Pertarungan antara yang satu dengan yang banyak adalah persoalan yang muncul dalam konteks kebangsaan Indonesia. Yang satu adalah negara, tetapi di dalamnya ada keberagaman yang banyak. Perdebatannya selalu diantara yang satu dengan yang banyak, negara yang satu adalah fakta politik, begitu juga keberagaman di dalamnya, keduanya tidak dapat disangkal.

Kita butuh kerja keras yang cepat untuk menumbuhkan kesadaran tentang penghargaan atas keberagaman, jangan sampai keberagaman itu ditindas oleh gagasan sektarian yang ingin menjadikan gagasannya sebagai kebenaran tunggal untuk semua. Sebetulnya tidak ada alasan tunggal untuk lahirnya gejala sektarian dan konservatisme. Politik memanfaatkan kekecewaan, kemarahan dan kebingungan masyarakat. Sentimen agama, ras dan hal-hal yang menyangkut emosi dan afeksi ini dieksploitasi sedemikian rupa. Cara manusia mengambil putusan sangat dipengaruhi oleh afeksi, nalar membantu kita untuk mencapai putusan. Ide-ide agama menyentuh afeksi, inilah penyebab mengapa ide ini mudah mengerakkan orang. Dengan kemajuan teknologi digital emosi sosial ini dilecut dan digerakkan. Agama sebagai kekuatan afektif belum dijadikan sebagai program deradikalisasi. Sifat afektif ini yang perlu mendapat perhatian melalui dekonstruksi ide-ide teologis dan ini perlu dilakukan dari dalam agama sendiri. Ide civic dan ide sektarian tidak sejajar. Ide civic adalah produk manusia. Sementara gagasan- gagasan agama bersifat sakral dan diyakini sumbernya turun dari yang Ilahi. Keduanya tidak bersanding sejajar bagi orang beriman. Martha Nussbaum pernah bertanya, mengapa ide-ide yang baik dan rasional tidak mampu mengubah seseorang? Jawabannya adalah karena ide itu tidak menyentuh rasa perasaan (sisi afektif) seseorang. Untuk itu Nussbaum masuk ke dalam ide-ide Stoa tentang bagaimana mengolah emosi.

Persoalan ketidakadilan membuat ide sektarian menjadi subur. Kelompok sektarian menjanjikan masyarakat yang adil dengan ide keagamaan. Ide tersebut menjadi berterima di kalangan pengikutnya karena refleksi atas realitas sosial yang memang jauh dari keadilan. Banyak faktor yang melahirkan konservatisme, ada kait-kelindan yang begitu rumit antara kemiskinan, ketidakadilan, kekecewaan, kebingungan dan lain sebagainya. Orang-orang mempertanyakan dan mencari apa itu kebenaran, mereka ingin hidup baik di tengah tantangan hidup yang sulit seperti ini. Sebagian orang yang latar keagamaannya terbatas akan tunduk begitu saja mengikuti pemimpin agama yang ia ketahui. Orientasi mereka adalah menjadi patuh, taat, demi mendapatkan surga. Ini adalah bentuk dari rasionalitas ketaatan. Ide-ide civic dan perjuangan perempuan terancam dengan pemikiran macam ini. Ide-ide civic hanya bisa kita rawat dengan berpikir kritis dan sebetulnya banyak ide-ide civic yang bersumber dari ajaran keagamaan.

Apa dan bagaimana konsekuensi dari menguatnya konservatisme dan sektarianisme dalam kehidupan berbangsa terhadap kaum perempuan?

Kebangsaan adalah hidup bersama demi kemaslahatan umum. Hidup bersama inilah yang ingin dihancurkan oleh ide-ide sektarian. Kelompok sektarian membaca teks secara intratekstual, bukan intertekstual. Mereka tidak memperhatikan konteks suatu teks. Hal ini berakibat pada tafsir sempit, terbatas, dan harfiah. Padahal banyak isi teks keagamaan yang perlu dibaca secara metaforis. Kelompok sektarian tidak toleran terhadap pluralitas. Perbedaan bukan hanya tidak dihargai tetapi hendak dilindas. Orang yang berbeda keyakinan dihargai hanya sejauh mereka tidak terlibat dalam penyelenggaraan kepentingan yang hendak mereka capai. Perempuan akan didomestikasi dan tidak dilibatkan dalam kehidupan politik. Perempuan akan disingkirkan dari posisi-posisi yang menentukan kebijakan. Kelahiran Perda (Peraturan Daerah) diskriminatif adalah manifestasi dari sektarianisme. Di tahun 2003 ada keinginan mengganti Mukadimah UUD 1945 menjadi Piagam Jakarta, tetapi dalam sidang MPR upaya ini gagal. Sidang MPR saat itu menolak usulan tersebut. Ide sektarian lalu masuk lewat pintu belakang. Ketika Mukadimah UUD 1945 tidak dapat diubah, ide-ide sektarian menyusup lewat UU Pendidikan 2003 dan Perda-Perda. Di tahun 2003 para pedagog berteriak meminta agar kebijakan ini ditolak tetapi mereka kalah. Implikasinya adalah masuknya ide-ide sektarian pada ranah politik yang termanifestasi dalam sejumlah kebijakan publik khususnya kebijakan pendidikan dan juga pada sejumlah Perda. Menguatnya kelompok sektarian akan membuat perempuan menjadi rentan karena mereka akan dijauhkan kembali dari akses politik dan didomestikasi.

Menurut Ibu apa yang harus dilakukan dalam upaya mendorong konsep kehidupan bersama yang menghargai perbedaan dan kesetaraan, khususnya bagi kaum perempuan?

Kita perlu menghidupkan kembali iklim kritis dan dialogis. Penting juga memanfaatkan teknologi yang ada untuk menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan. Kita perlu terus memperjuangkan gagasan keadilan dan kebaikan bersama secara konsisten dan sistematis. Seseorang tidak menjadi adil karena terus-menerus dicekoki gagasan tentang keadilan, tetapi karena terbiasa berbuat adil, bagaimana mendorong gagasan ini menjadi habitus. Artinya kita tidak sekadar bicara hal-hal yang normatif tetapi menurunkan gagasan tersebut agar dapat dipraktikkan secara konsisten dalam kehidupan bersama. Kita perlu menurunkan gagasan feminisme menjadi praksis sosial dan tidak hanya pada tataran konseptual. Perubahan senantiasa berangkat dari hal-hal yang sederhana sehari-hari tetapi dilakukan secara konsisten.

Apakah pendidikan politik dan pendidikan etika bagi warga negara dibutuhkan dalam upaya menghidupi konsep kebangsaan yang demokratis? Jika iya, pendidikan politik yang seperti apa?

Ide hidup berdasarkan kebaikan bersama, keadilan gender, kesetaraan dan toleransi perlu menjadi program dalam pendidikan kita. Gagasan ini perlu menjadi habitus masyarakat kita lewat pendidikan, tetapi sayangnya sistem pendidikan kita lemah di situ. Pendidikan kita tidak membadankan gagasan-gagasan tersebut. Pendidikan politik dan etika sangat dibutuhkan untuk memastikan keberlangsungan demokrasi. Politik adalah penataan hidup bersama, di dalam politik selalu ada pertarungan ide-ide. Pertarungan ini idealnya adalah upaya untuk menentukan ide mana yang paling baik untuk mewujudkan kebaikan hidup bersama. Inilah yang menyebabkan dua kontestan politik salilng bertarung sedemikian rupa karena keduanya memiliki gagasan berbeda tentang cara mencapai kehidupan bersama yang paling baik.

Pendidikan politik sangat penting dilakukan sedini mungkin, bahkan pada tingkat SD (Sekolah Dasar). Artinya kita perlu mengajarkan anak untuk memilih dan memilah ide-ide dan sikap yang mendukung pencapaian kebaikan bersama. Anak-anak perlu mulai diperkenalkan bahwa dalam kepemimpinan tidak masalah dipimpin oleh laki-laki atau perempuan. Prinsip kesetaraan adalah bagian dari pendidikan politik yang bisa langsung kita ajarkan dan terapkan dalam keseharian. Kita cenderung memberikan solusi dalam tataran konseptual, kita lupa membadankan sebuah gagasan, dan tidak menjadikan gagasan sebagai kebiasaan. Untuk itu pendidikan perlu dirancang untuk membadankan gagasan politik dan etika secara konsisten pada anak. Metode pedagogi perlu lebih dikembangkan agar para siswa dapat diajak lebih kritis dan reflektif dalam menanggapi hal- hal yang terjadi di masa lampau (sejarah) dan yang terjadi saat ini. Metode pendidikan kita kurang kognitif dalam arti perkembangan kognitifnya baru pada tingkat yang paling mendasar, sekadar rote learning (hafalan) atas teori tetapi kemampuan berefleksi dan imajinasi kurang dikembangkan. Kebijakan pendidikan kita juga bermasalah karena para pedagog tidak dilibatkan dalam memformulasikan kebijakan tersebut.

Sejauh apa perspektif feminis telah diperhatikan dalam memahami dan memaknai kehidupan kebangsaan di Indonesia?

Kebangsaan berisi ide tentang kehidupan bersama yang menghargai pluralitas. Di Indonesia perspektif feminis masih sangat terbatas. Kita bisa lihat masih sedikit kebijakan yang berperspektif feminis. Salah satu contoh diterapkannya perspektif feminis dalam memaknai kebangsaan adalah pernah muncul gagasan di suatu daerah untuk menjadikan penurunan angka kematian ibu (AKI) sebagai standar kesuksesan kerja bupati. Dalam penyelenggaraan kebijakan daerah misalnya, Bupati Bantul pernah menerapkan sejumlah kebijakan untuk menjamin target tersebut tercapai. Ia membangun sejumlah rumah singgah di daerah yang jauh dari rumah sakit (RS). Jadi jika ada ibu yang hamil, masyarakat sekitar harus melaporkan ke RS terdekat tentang usia kandungan dan kondisi ibu tersebut. Perspektif feminis dapat dan perlu diterapkan dalam kehidupan kebangsaan. Perspektif feminis teraplikasikan dalam kehidupan kebangsaan bila politik sudah mengakomodasi kepentingan perempuan. Perlu ada kesadaran bahwa perempuan adalah bagian dari kehidupan bersama, warga negara yang punya hak dan kebutuhan yang perlu diperhatikan. Tidak ada bangsa yang adil bila sebagian anggotanya direndahkan dan ditindas. Oleh karena itu perempuan perlu terlibat dalam kehidupan politik dan perempuan yang terlibat itu perlu memahami gagasan-gagasan feminisme. Artinya mereka yang berada di posisi politik tertentu perlu menggaungkan dan memastikan advokasi cita-cita kesetaraan. Kita masih perlu melihat apakah kebijakan- kebijakan yang ada saat ini telah mengakomodasi aspirasi perempuan.















Lita Anggraini: Bias Kelas Masih Menjadi Hambatan Besar Dalam Advokasi RUU Perlindungan PRT*

15/2/2021

 
Picture
Lita Anggraini dikenal sebagai aktivis perempuan yang gigih memperjuangkan isu Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ia bersama kawan- kawan PRT dan para aktivis ada dalam proses advokasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) selama 13 tahun yang hingga kini belum juga diundangkan. Tiga kali pergantian presiden dan tiga kali pula pergantian jajaran wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak menyurutkan Lita yang menjabat sebagai Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) untuk mewujudkan kebijakan yang memberikan perlindungan dan situasi kerja yang layak bagi PRT. JALA PRT sendiri adalah jaringan nasional—yang merupakan kelanjutan dari RUMPUN Tjoet Njak Dein yang Lita dirikan bersama teman-teman aktivis perempuan dari berbagai organisasi seperti KAPAL Perempuan, RUMPUN Gema Perempuan, Serikat PRT Tunas Mulia, SA KPPD Surabaya, Perisai, Koalisi Perempuan Indonesia, Rifka Annisa, Komnas Perempuan, SPEKHAM Solo, LBH Apik Jakarta, Institut Perempuan—yang lahir sejak tahun 2004, berfokus pada advokasi kebijakan, pengorganisasian
dan kampanye publik terkait perlindungan PRT.

Isu perempuan pekerja, khususnya pekerja rumah tangga bukanlah hal yang baru bagi Lita, aktivismenya sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Tahun 1988 ketika ia menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ia bergabung dalam gerakan mahasiswa di Yogyakarta. Tahun 1989 bersama Damairia Pakpahan, Maria Pakpahan, Aida Milasari, Yuni Satya Rahayu, Hening Tyas Sutji, Siti Noor Laila dan Rebeka Harsono, ia membentuk Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta (FDPY) yang secara khusus memperjuangkan persoalan isu perempuan, seperti buruh perempuan dan perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), termasuk di dalamnya ialah petani perempuan dan perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Di tahun 1991 FDPY melalui wakilnya Hening Tyas Sutji melakukan advokasi terhadap perempuan PRT korban kekerasan asal Ngawi yang bekerja di Gresik. Bagi FDPY kasus tersebut adalah bukti nyata bahwa perempuan PRT adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan dan selama ini tidak mendapatkan perhatian khusus dari negara. Menurutnya pekerjaan rumah tangga/kerja domestik/care work memiliki persoalan yang berlapis, yaitu karena adanya bias gender, kelas, dan nilai. Selama ini mayoritas PRT adalah perempuan dari perdesaan yang memiliki pendidikan rendah, selain itu kerja-kerja domestik yang dilakukan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus sehingga perempuan PRT diberikan upah rendah dan kerap kali diperbudak. Berbagai latar belakang tersebut yang membuat FDPY—yang pada tahun 1992 kemudian mengubah nama menjadi RUMPUN (Forum Perempuan)—akhirnya memberikan perhatian khusus dan mulai melakukan riset terkait isu-isu PRT.

Tahun 1995 FDPY berubah menjadi Yayasan Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) dengan lebih memfokuskan diri pada upaya advokasi kebijakan terkait perlindungan PRT dan pengorganisasian perempuan PRT. Kerja-kerja pertama dimulai dari Dareah Istimewa Yogyakarta baik di wilayah asal dan wilayah kerja PRT. Melihat situasi selama melakukan pendampingan dan advokasi, RTND merasa bahwa isu PRT harus menjadi gerakan bersama di tingkat nasional, sebagai isu bersama, common interest, maka Lita mewakili RTND dan kawan-kawan dari berbagai organisasi membentuk Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) pada tahun 2004 dengan tujuan melanjutkan perjuangan yang telah lahir melalui FDPY dan Rumpun Tjoet Njak Dien ke tingkat nasional. Ada tiga tujuan utama JALA PRT yaitu advokasi kebijakan yang melindungi hak-hak PRT, melakukan pengorganisasian serta pendidikan terhadap PRT untuk lahirnya serikat- serikat PRT di seluruh wilayah di Indonesia, dan yang ketiga adalah melakukan kampanye publik mengenai situasi kerja layak dan hak-hak PRT. Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 189 tentang Kerja Layak PRT yang diadopsi tahun 2011 menjadi salah satu instrumen hukum internasional yang memperkuat langkah JALA PRT dalam melakukan advokasi kebijakan berupa UU maupun Peraturan Daerah (Perda) dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 perlindungan hak-hak PRT di Indonesia.

Pekerjaan Domestik Sama Bernilainya dengan Pekerjaan Publik

Dalam kajian ekonomi feminis dijelaskan bahwa selama ini ada bias gender dalam disiplin ilmu dan praktik ekonomi yang melahirkan dikotomi dan label-label pada jenis pekerjaan tertentu. Dikotomi publik-domestik, maskulin-feminin, produksi-nonproduksi, pasar-nonpasar tersebut kemudian mengakibatkan ketidakadilan gender terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya dalam konteks kerja maupun ekonomi. Julie A. Nelson dalam esainya “Feminist Economics” mengkritik bahwa ilmu ekonomi masih jauh dari objektivitas. Studi ekonomi menurutnya hanya fokus pada kerja-kerja yang dilakukan oleh laki-laki, sedangkan kerja-kerja produksi di dalam rumah—yang dikerjakan oleh perempuan tidak masuk dalam perhitungan statistik ekonomi nasional.

Sejalan dengan argumen Nelson di atas, Lita berpendapat bahwa selama ini pekerjaan rumah tangga/pekerjaan domestik memiliki bias berlapis yaitu bias gender dan kelas. Pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan khas perempuan dan dianggap bukanlah pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Selain itu menurut Lita bias tersebut bukan hanya terjadi di level rumah tangga namun juga negara. Dalam perjuangannya mendorong lahirnya UU PPRT, tantangan terbesar menurutnya adalah masih kuatnya anggapan anggota dewan bahwa PRT layak diberikan upah murah, menurutnya ada bias kelas antara majikan dan PRT. Lita mengakui bahwa majikan atau pemberi kerja itu berada di semua level rumah tangga dari menengah ke atas sampai menengah ke bawah, mulai dari pejabat, pengusaha, guru hingga buruh pabrik. Menurut Lita perlu ada pengakuan secara hukum dan sosial yang dibangun bahwa pekerjaan rumah tangga, pekerjaan domestik yang dilakukan PRT sama penting, bernilai dan berharganya dengan pekerjaan lain di ruang publik.

Bagi perempuan kelahiran 1969 ini, pekerjaan domestik yang dilakukan PRT selama ini adalah hal yang vital bagi keberlangsungan rumah tangga dan pekerjaan di ruang publik. Menurutnya ada keterkaitan dan hubungan timbal balik antara pekerjaan domestik dan publik yang keduanya memiliki kontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional dan perekenomian global. Dengan adanya PRT di dalam rumah, majikan/pemberi kerja dapat memfokuskan diri pada karier di ruang publik dan demikian pula anggota keluarga juga bisa beraktivitas secara maksimal karena pengadaan dan pemeliharaan kebutuhan dasar seperti makanan, kebersihan, kesehatan, pengasuhan dalam rumah sudah berjalan. Pemenuhan hak-hak dasar bagi PRT yang sama dan setara dengan hak-hak pekerja lainnya merupakan hal yang patut diperjuangkan baginya. Lita mengungkapkan bahwa perlu ada regulasi yang melindungi dan mengatur pemenuhan hak tersebut mulai dari jam kerja normatif, upah kerja, jaminan sosial, istirahat, libur mingguan, cuti, hak berkumpul berserikat, Tunjangan Hari Raya (THR), Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) hingga perlindungan terhadap kekerasan bagi PRT. Isu PRT ini menurutnya adalah isu yang multisektor dan memiliki efek domino yang besar. Keterkaitan antara domestik dan publik tersebutlah yang perlu diberikan perhatian oleh negara mulai dari struktur upah yang perlu ditentukan hingga adanya subsidi tempat penitipan anak yang masuk dalam jaminan sosial.

UU Perlindungan PRT Untuk Mengurai Benang Kusut Hubungan Kerja PRT

Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 tahun 2011 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga menjadi salah satu instrumen hukum internasional yang menjadi acuan dalam perjuangan pemenuhan hak- hak PRT di Indonesia. Isi konvensi tersebut secara tegas mengakui status PRT sebagai bagian dari pekerja dan memiliki hak-haknya sebagai pekerja. Konvensi ini secara khusus juga dapat dijadikan rujukan bagi pemerintah untuk mengambil berbagai langkah strategis guna melindungi hak-hak PRT dan mewujudkan situasi kerja layak. Pada pasal 1(a) disebutkan bahwa istilah pekerjaan rumah tangga berarti pekerjaan yang dilaksanakan di dalam atau untuk satu atau beberapa rumah tangga. Kemudian pada pasal 1(b) disebutkan bahwa istilah pekerja rumah tangga merujuk pada setiap orang yang terikat di dalam pekerjaan rumah tangga dalam suatu hubungan kerja. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut.

Di Indonesia telah ada produk hukum berupa UU yang ditujukan untuk melindungi hak-hak pekerja, yaitu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski telah ada produk hukum tersebut, namun sayangnya tidak mengakomodir PRT sebagaimana pekerja lainnya.  Kemudian ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang diharapkan dapat menjadi “pintu” status PRT sebagai pekerja yang berhak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak. Namun Permenaker tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan bisa mengikat subjeknya. Sehingga menurut Lita kedua produk hukum tersebut belum mampu menjangkau persoalan PRT secara khusus seperti perihal standar upah, kontrak kerja, jam kerja, jaminan sosial, cuti dan sebagainya. Secara khusus menurutnya dibutuhkan UU yang menguraikan dan mengatur mekanisme kerja dan perlindungan PRT. Lita mengungkapkan bahwa JALA PRT sejak tahun 2004 telah melakukan advokasi untuk mendorong lahirnya UU PPRT yang dapat melindungi hak- hak PRT dalam lingkungan kerja.

Lita Anggraini menegaskan bahwa pengesahan RUU PPRT adalah kebutuhan yang mendesak dan harus segera diundangkan karena situasi kerja PRT yang tidak layak tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk perbudakan modern. Absennya perlindungan hukum bagi PRT di Indonesia juga merugikan posisi negara di dunia internasional. Lita mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah PRT terbanyak—baik PRT domestik maupun migran—bahkan India dan Filipina pun kalah dalam hal jumlah. Sebagai negara asal PRT migran, seharusnya Indonesia memiliki kebijakan terkait perlindungan PRT sebelum menuntut perlindungan hukum dari negara tujuan PRT Migran. Bagi Lita absennya perlindungan hukum ini menyebabkan Indonesia tidak mampu melindungi para PRT Migran Indonesia yang mayoritas adalah perempuan dari perdesaan.

Berbagai kasus kekerasan eksploitasi, pemutusan kerja sepihak dan penipuan dari agen maupun majikan yang tidak bertanggung jawab menunjukkan betapa status PRT Indonesia sangatlah rentan. Lita melihat bahwa PRT adalah korban dari pembangunan yang kapitalistik, ia menganalogikannya seperti petani yang dipaksa untuk tidak menaikkan harga beras agar perekonomian stabil, seperti itu jugalah PRT yang dibiarkan diberikan upah murah yang tidak sesuai dengan beban kerja agar rumah tangga aman. Dengan kondisi rumah tangga yang stabil maka produksi di ruang publik akan stabil. Rumah tangga menjadi lokasi paling pertama dalam rantai perekonomian. Lita menjelaskan bahwa salah satu prinsip kerja layak adalah perlindungan upah, yang artinya bahwa setiap pekerja berhak diberikan upah yang layak dan sesuai dengan jam kerja dan beban kerja mereka. Perlindungan upah yang dimaksud Lita ialah harus ada standar pengupahan bagi PRT. Menurutnya hal ini perlu keterlibatan negara dan tidak bisa dibebaskan pada pasar atau pada tiap-tiap rumah tangga.

Salah satu isu krusial yang membuat pembahasan RUU PPRT menjadi mandeg di DPR ialah perihal mekanisme pengupahan bagi PRT. Perihal upah kerja bagi PRT, semua pekerja tidak terkecuali PRT seharusnya mendapatkan Upah Minimum Regional (UMR) yang berbasis pada kebutuhan hidup layak. Ia menjelaskan bahwa UMR adalah standar upah paling minimum yang seharusnya diberikan oleh pemberi kerja pada pekerja tanpa dipengaruhi latar belakang pendidikan dan pengalaman pekerja. UMR adalah hak dasar bagi pekerja. Dalam proses diskusi dan advokasi di DPR, Lita mengakui bahwa perihal standar upah bagi PRT ini menjadi perdebatan di kalangan wakil rakyat. Namun menurutnya hal tersebut menunjukkan masih minimnya pengetahuan dan tidak adanya perspektif pejabat publik dan masyarakat luas mengenai hak-hak pekerja dan hubungan kerja yang tidak diskriminatif dan eksploitatif. Secara tegas Lita mengungkapkan bahwa jika yang terjalin adalah hubungan kerja eksploitatif maka hal itu sama dengan mencuri, artinya pemberi kerja telah mengambil hak pekerja, majikan telah mengambil sebagian hak dari PRT. Bagi Lita perihal upah dan jaminan sosial untuk PRT perlu dibicarakan serius di tingkat Dewan Pengupahan Nasional. Meskipun ia juga mengakui bahwa banyak pihak yang keberatan terkait upah minimum tersebut namun bagi Lita kita sudah seharusnya melangkah maju dan yang terpenting adalah adanya pengakuan atas kerja-kerja domestik dan terwujudnya situasi kerja layak. Perlindungan upah bagi PRT ini juga merupakan bagian dari 20 unsur kerja layak yang diusulkan JALA PRT.

Ada 20 unsur kerja layak PRT yang diajukan oleh JALA PRT dalam RUU PPRT, yaitu 1) perjanjian kerja secara tertulis; 2) perlindungan atas upah; 3) uang lembur; 4) tunjangan hari raya, sejumlah 1 bulan gaji; 5) batasan jam kerja, yaitu maksimal 8 jam per hari; 6) libur atau istirahat mingguan, minimal 24 jam per minggu; 7) libur tanggal merah; 8) cuti tahunan minimal 12 hari kerja per tahun; 9) cuti haid; 10) cuti hamil & melahirkan; 11) jaminan sosial; 12) kebebasan berkomunikasi dan berorganisasi; 13) fasilitas akomodasi ruang atau kamar yang sehat dan aman; 14) fasilitas makan yang sehat; 15) perlindungan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3); 16) memegang dan menyimpan dokumen pribadinya; 17) uraian tugas yang jelas sesuai jam kerja; 18) penyelesaian perselisihan secara adil dengan perlindungan hukum; 19) pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah; 20) usia minimum bekerja adalah 18 tahun.

Persoalan lain yang menurut Lita juga perlu diberikan perhatian khusus karena berdampak pada kekerasan ekonomi pada PRT ialah tentang mekanisme agen/jasa penyalur PRT yang berjalan selama ini. Meskipun kehadiran agen dalam hubungan kerja antara PRT dan majikan/pemberi kerja diberikan ruang dalam Konvensi ILO No. 189, namun Lita menganggap sistem agen harus dihapuskan. Menurutnya jika pun masih diberikan ruang, agen hanya berperan untuk memberikan informasi saja, tidak perlu melakukan pelatihan, menampung, merekrut PRT. Dalam berbagai kasus yang mengatasnamakan pelatihan, agen ternyata melakukan eksploitasi terhadap PRT, memungut uang perekrutan dan biaya selama penampungan. Lita menceritakan kasus yang ia temukan di lapangan menunjukkan bahwa kehadiran agen justru lebih banyak merugikan PRT. Ia menjelaskan bahwa agen tersebut kerap kali meminta PRT untuk membayar biaya yang cukup besar untuk dapat bergabung pada agen tersebut dan disalurkan. Relasi antara agen dan PRT ini pun tidak setara, Lita menjelaskan bahwa mayoritas PRT yang menyetujui perjanjian dengan agen tersebut tidak memahami secara detail isi perjanjian tersebut sehingga akhirnya dirugikan secara ekonomi. Bahkan Lita juga menceritakan ada kasus dimana PRT tidak disalurkan oleh agen namun tetap diharuskan membayar biaya pada agen. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kehadiran agen membuat PRT terjerat oleh dua rantai ketidakadilan sekaligus.

Kehadiran agen dalam hubungan kerja PRT bukanlah hal yang baru di Indonesia. Di berbagai daerah perdesaan di Indonesia agen berperan dalam merekrut dan menghubungkan PRT dengan majikan, relasi ini yang menurut Lita sangat merugikan PRT. Jika dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud pemberi kerja adalah perseorangan/organisasi/perusahaan, maka majikan dalam hal ini adalah pemberi kerja yang seharusnya secara langsung membuat perjanjian kerja dengan PRT, bukan dengan agen. Peran agen sebagai perantara/penyalur ini pun dianggap Lita sangat pincang, karena jika terjadi kekerasan, eksploitasi dan sebagainya agen pun tidak mau melindungi PRT tersebut. Lita menginginkan bahwa peran agen hanya sebatas pemberi jasa informasi saja, tidak perlu melakukan pelatihan, perekrutan dan membuat kontrak kerja dengan PRT. Sehingga PRT dapat langsung bernegosiasi dan membuat kontrak kerja dengan pemberi kerja/majikan. Menurut Lita benang kusut persoalan hubungan kerja PRT inilah yang pertama-tama harus diurai, hadirnya UU Perlindungan PRT dianggap menjadi hal yang mendesak untuk menghadirkan standar kerja layak bagi PRT. UU Ketenagakerjaan saja tidaklah cukup melindungi hak-hak PRT. Demikian juga soal pelatihan untuk PRT, sudah seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK) secara berkualitas, gratis dan bisa diakses dari segi waktu, tempat dan transportasi.

Tiga Belas Tahun JALA PRT: Advokasi, Pengorganisasian dan Kampanye Publik

Tiga belas tahun JALA PRT, Lita mengakui bahwa perjuangan ini juga memiliki bias kelas. Keputusannya untuk fokus pada isu perlindungan hak- hak PRT juga disebabkan pada kenyataan bahwa isu ini tidak dianggap penting bagi sebagian kalangan. Lita mengungkapkan bahwa sejak awal JALA PRT telah memiliki 3 fokus utama dalam perjuangannya, yaitu advokasi, pengorganisasian dan kampanye publik. Menurutnya ketiga tujuan utama tersebut saling melengkapi satu sama lain, diibaratkan sebagai sebuah anak tangga yang saling mendukung untuk mewujudkan tujuan utamanya yaitu perubahan atas kondisi PRT baik di level kebijakan maupun praktik. Kebijakan yang melindungi hak-hak PRT bagi Lita adalah sebuah keharusan. Menurutnya negara harus hadir dan melindungi seluruh warga negaranya tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama, gender dan kelas sosial. Maka kerja-kerja advokasi yang selama ini digerakkan oleh JALA PRT perlu mendapat dukungan dari PRT itu sendiri sebagai subjek dan tentunya dari masyarakat luas. Dengan demikian menurut Lita advokasi perlu dilakukan juga, namun itu tidak cukup untuk mengubah keadaan. PRT sebagai subjek memiliki peran penting untuk melakukan perubahan, sehingga bagi Lita pengorganisasian dan membangun sikap kepemimpinan PRT juga penting dilakukan.

JALA PRT hingga tahun 2017 setidaknya telah mengorganisasi 11 organisasi dan serikat PRT. Upaya pengorganisasian ini dimaksudkan untuk membangun gerakan PRT yang lebih luas sehingga isu pemenuhan hak- hak PRT dapat menjadi isu yang diperjuangkan bersama-sama. Menurut Lita pengorganisasian ini nantinya akan menjadi sebuah gerakan PRT dan menjadi bagian dari gerakan sosial lainnya yang mendapatkan perhatian dan ruang yang lebih besar. Lita berharap PRT dapat berperan aktif sebagai subjek dalam gerakan ini. Salah satu media dari pengorganisasian adalah lahirnya sekolah-sekolah alternatif untuk PRT. Lita mengungkapkan bahwa menghidupkan nafas gerakan PRT di Indonesia ini sangat sulit karena masih kuatnya diskriminasi kelas dan stereotip pada PRT, terlebih lagi soal kepentingan pemberi kerja—yang ada di semua kelas masyarakat—yang merasa terganggu dengan hadirnya gerakan ini, maka bagi Lita advokasi kebijakan tidaklah cukup, perlu juga penguatan di level akar rumput, yaitu dengan pengorganisasian berserikat.

Kampanye publik menjadi salah satu agenda besar JALA PRT, terlihat dengan banyaknya posting di akun media sosial organisasi tersebut, baik twitter maupun facebook. Berbagai flyer, booklet, poster, stiker, dan buku- buku telah diproduksi oleh JALA PRT guna memberikan penyadaran dan pengetahuan ke masyarakat luas tentang pentingnya menghargai hak-hak PRT sebagai pekerja, tentang standar kerja layak, tentang pentingnya RUU Perlindungan PRT untuk segera disahkan. Buku Kompilasi Penanganan Kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) kerjasama International Labour Organization (ILO), JALA PRT, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-APIK) yang terbit pada Juni 2017 merupakan upaya JALA PRT untuk membawa narasi tentang PRT ke permukaan. Bagi Lita, kampanye publik adalah usaha yang perlu dijalankan secara paralel dengan upaya advokadi dan pengorganisasian. Promosi terkait pemenuhan hak-hak PRT perlu gencar dilakukan dengan memanfaatkan kehadiran teknologi sehingga perubahan dapat cepat terwujud. JALA PRT melalui kampanye publiknya dengan jelas mengakui bahwa masyarakat memiliki peran penting dalam mengubah kondisi PRT yang sekarang masih marginal.

Ketiga tujuan di atas tidak mudah untuk diperjuangkan, Lita menceritakan bahwa selama 13 tahun melakukan advokasi banyak sekali tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah kesulitan untuk memberikan pemahaman pada pemangku kebijakan bahwa isu perlindungan pada PRT adalah hal yang penting bukan hanya di dalam negeri tapi juga perlindungan PRT Migran. Lita mengungkapkan seharusnya negara sadar bahwa PRT Migran Indonesia sangat rentan terhadap kekerasan sehingga perlu ada produk hukum yang spesifik mengatur dan melindungi hak-hak PRT. Selama ini Lita mengakui bahwa banyak dari pembuat kebijakan yang malah mempertanyakan hak bagi majikan yang juga perlu dilindungi. Tentu bagi Lita ini menjadi sangat bias, karena seperti melupakan bahwa PRT adalah korban dalam hubungan kerja yang tidak memenuhi standar kerja layak tersebut, padahal ketika sudah ada kontrak antara pemberi kerja/ majikan dengan PRT maka hak-hak kedua individu tersebut telah dijamin.

Tak hanya saat advokasi, bias kelas terhadap isu PRT juga ditemui saat proses kampanye publik. Lita tidak memungkiri bahwa ketika melakukan kampanye di media sosial banyak yang menanggapi dengan baik dan ada juga yang kurang positif, dengan mempertanyakan kembali hak-hak majikan. Lita mengakui bahwa hampir setiap masyarakat Indonesia pasti pernah berhadapan dengan PRT, baik itu di rumah, tetangga terdekat, di komunitas, di kantor-kantor. Namun sayangnya pekerjaan domestik, pengasuhan dan perawatan tidak masuk dalam struktur upah yang jelas, maka yang terjadi adalah pembebanan kerja rumah tangga dari satu warga ke warga lainnya. Menurutnya perlu ditinjau kembali peran negara dalam menyokong kerja- kerja domestik warganya, khususnya mengenai layanan perawatan dan pengasuhan (care work). Negara perlu hadir dengan memberikan subsidi terhadap pekerja yang selama ini menjadi majikan di keluarganya, subsidi yang dimaksud Lita ialah seperti adanya tunjangan PRT bagi pegawai/ pekerja, adanya day care yang difasilitasi negara. Jika masyarakat sudah bisa melihat persoalan ini dari perspektif tersebut maka sebenarnya Undang- Undang Perlindungan PRT adalah untuk kepentingan bersama.

Tentang Sekolah PRT

Aktivismenya dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak PRT ia lakukan dengan semangat bahwa perbudakan dalam bentuk dan rupa apapun adalah sesuatu yang memalukan dan harus dihapuskan. Sikap ketertundukan, jam kerja dan beban kerja tak terbatas yang selama ini ada dalam relasi PRT dan majikan tidaklah benar, menurutnya PRT juga memiliki hak asasi sebagai manusia, sebagai perempuan dan sebagai seorang pekerja yang harus dipenuhi tanpa terkecuali. Menurutnya dengan adanya pemenuhan hak-hak tersebut dapat menciptakan situasi kerja layak bagi PRT. Bagi Lita pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk melakukan perubahan. PRT harus berorganisasi dan memperjuangkan hak-haknya. Sekolah PRT menjadi salah satu program JALA PRT guna mewujudkan tujuan tersebut, dengan mengorganisasi PRT dan membuat serikat untuk membangun dan mengembangkan kepemimpinan PRT dalam gerakan.
Sekolah PRT yang didirikan JALA PRT memiliki 3 level, dasar, menengah dan lanjut. Para anggota baru nantinya akan mendapat materi dasar, yaitu pemahaman tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Perempuan (HAP), hak-hak pekerja, perlindungan anak, hak warga negara dll. Lita menjelaskan bahwa materi yang disampaikan lebih cenderung pada penguatan analisis agar para PRT dapat merefleksikannya dengan realitas situasi kerjanya. Misalnya materi tentang HAM, kawan-kawan PRT akan belajar tentang HAM dan mekanismenya, kemudian setelah itu mereka harus merefleksikannya dan menganalisisnya dengan peristiwa atau kebijakan terkait PRT. Dengan demikian menurut Lita, PRT akan berpikir dan bersikap kritis, baik dalam tataran individu ataupun kolektif, dan mampu menjelaskan dan bernegosiasi tentang hak-haknya sebagai pekerja, setelah itu diharapkan juga dapat memulai mengorganisasi kawan PRT untuk melakukan hal serupa. Materi Sekolah PRT tingkat menengah adalah tentang pengorganisasian dengan metode RAP, yaitu metode untuk mengajak orang bergabung melalui penggalangan suara dari pintu ke pintu, metode RAP artinya mendatangi, mengenalkan, menggali masalah, membangun pemahaman bersama dan mengajak bergabung dalam organisasi untuk melakukan tindakan bersama. Meteode ini diadopsi dari pengorganisasian Urban Poor Consortium (UPC). Pada level menengah ini mereka akan belajar tentang cara pengorganisasian, merekrut, merawat dan mengembangkan anggota di berbagai wilayah di Indonesia, juga belajar untuk mengorganisasi dan merancang suatu kegiatan yang dimulai dari Tim 10 hingga komunitas yang lebih besar – gabungan dari sejumlah Tim 10. Materi ini ditujukan untuk PRT pemimpin di tingkatan Tim 10 atau komunitas. Di samping materi pengorganisasian, ada juga materi advokasi dari legislasi, advokasi kasus, hingga kampanye. Kawan-kawan PRT diajak untuk mendalami tentang kebijakan, mekanisme pembuatan UU dan kampanye publik terkait isu perlindungan PRT serta penanganan kasus yang dilakukan bersama di antaranya dengan LBH dan LBH Apik. Kemudian materi lainnya adalah tentang berserikat. Tentang pengelolaan organisasi, membangun serikat, mengelola konflik, melakukan dialog sosial. Setelah itu ada Sekolah PRT tingkat lanjut yang ditujukan untuk pimpinan serikat dalam melakukan pendidikan terhadap anggotanya.

Lita menjelaskan bahwa Sekolah PRT ini bertujuan untuk membangun kesadaran PRT akan hak-haknya agar dapat mengatasi berbagai persoalan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Dalam Sekolah PRT ini pembahasan tentang instrumen hukum internasional dan nasional, jaminan sosial, standar kerja layak juga diberikan pada PRT. Menurutnya hal ini tidaklah mudah karena situasi kerja dan tinggal PRT yang berada dalam tekanan kerja dan kebutuhan. Dibutuhkan konsistensi dan keberanian untuk mulai mengatakan tidak pada jam kerja eksploitatif, mengatakan tidak pada beban kerja yang tidak sesuai, mengatakan tidak pada segala bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, maupun ekonomi dan aktif bersuara tentang hak-haknya sebagai pekerja. Bagi Lita perjuangan para PRT yang selama ini ia temui dan hasil berbagi cerita bersama sangatlah bernilai dan menginspirasi. Menurutnya dalam menyikapi berbagai kesulitan yang dihadapi, PRT harus bernegosiasi dengan lingkungan kerja, keluarga dan dirinya sendiri. Strategi dalam menyikapi berbagai kesulitan dan situasi kerja yang tergantung pada majikan adalah sesuatu yang berharga untuk dipelajari. Lita mengungkapkan bahwa akibat dari absennya negara dalam hubungan kerja PRT dengan majikan, maka situasi kerja PRT selama ini sangat bergantung pada pola pandang dan sikap majikannya. Majikan menentukan nasib PRT di tempat kerjanya. Dalam proses pengorganisasian Lita mengungkapkan bahwa banyak temuan penting dan inspirasi dari kawan-kawan PRT yang sebelumnya tidak berani bersuara menjadi berani, yang sebelumnya takut mengambil risiko sebagai pilihan perjuangan menjadi berani mengambil risiko. Banyak sekali tantangan yang dihadapi para PRT dan JALA PRT harus menyadari hal itu. Lita berharap akan ada perubahan menuju ke arah yang lebih baik bagi PRT.
​
Dengan kesadaran akan banyaknya tantangan yang harus dihadapi PRT untuk berserikat dan bergabung dengan sekolah PRT, JALA PRT sendiri menggunakan strategi 6 langkah untuk mengajak PRT bergabung dan aktif bersuara yang disebut 6 langkah RAP, yakni langkah yang diadopsi dari pengorganisasian yang dilakukan UPC. Langkah pertama ialah perkenalan, yaitu mengenalkan diri pada calon anggota guna mengetahui latar belakang mereka secara detail. Langkah kedua adalah penggalian masalah, yaitu mengajak calon anggota untuk berbicara tentang situasi kerja maupun kondisi keluarga, tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja persoalan yang dihadapi PRT—hasilnya dapat menjadi masukan bagi organisasi. Langkah ketiga adalah penyadaran, setelah diketahui masalah- masalah yang dihadapi PRT, maka calon anggota tersebut perlu diberikan penyadaran tentang hak-hak pekerja. Langkah keempat adalah menjelaskan cara mewujudkan situasi kerja layak di lingkungan kerja. Ini dilakukan dengan membangun mimpi bersama organisasi, yaitu menjelaskan bahwa JALA PRT akan membantu mewujudkan situasi kerja layak bagi PRT. Langkah kelima ialah mengajak calon anggota untuk datang, artinya diajak untuk bergabung dan aktif dalam kegiatan JALA PRT. Langkah keenam ialah merancang dan melakukan tindakan bersama organisasi untuk perubahan bersama JALA PRT. Keenam langkah tersebut ialah strategi JALA PRT untuk mengajak para perempuan PRT di seluruh Indonesia agar dapat melakukan perubahan baik di level individu maupun di level organisasi. Lita berharap para PRT nantinya dapat aktif bersuara memperjuangkan hak-haknya, mewujudkan situasi kerja layak dan mendorong lahirnya produk hukum yang mampu melindungi hak-hak PRT sebagai pekerja bersama-sama JALA PRT (Andi Misbahul Pratiwi).
 
 *Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan dalam JP 89 Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (2016)
 
 
 
 
 




Azriana Rambe Manalu:“Hukum yang Ada Tidak Berjalan Maju Secepat Perkembangan Kasus Kekerasan Seksual”

26/1/2021

 
Picture
Sudah dua dekade Azriana Rambe Manalu aktif di gerakan perempuan baik sebagai pengacara probono bagi perempuan korban kekerasan maupun    sebagai    aktivis   perempuan    yang    membela    dan memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas. Pada April 2015 Azriana terpilih sebagai Ketua Komnas Perempuan, lembaga negara yang berfokus pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak perempuan, untuk periode 2015-2019. Posisinya saat ini sebagai Komisioner Komnas Perempuan bukanlah kali pertama, pada 2007 hingga 2009 ia juga tercatat sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Keterlibatannya dalam gerakan perempuan dimulai pada tahun 1998 ketika Azriana memutuskan untuk bergabung bersama LBH APIK Aceh. Ia pun semakin intens dalam kerja-kerja gerakan bersama Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) Aceh sejak 2002. Tahun pertama kepemimpinannya di Komnas Perempuan, Azriana berfokus salah satunya pada upaya mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebuah rancangan undang-undang yang digagas Komnas Perempuan bersama mitra lembaga pengada layanan sejak 2014 sebagai payung hukum perlindungan dan pemulihan perempuan korban kekerasan seksual.

Menjadi Pengacara Probono dan Aktivis Perempuan
Azriana—yang akrab disapa Nana—lahir di Lhoksuko dan tumbuh besar di Aceh. Ia menyelesaikan studi sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Persentuhannya dengan isu-isu perempuan dimulai setelah dia menjadi pengacara di LBH Iskandar Muda Lhoksumawe sejak tahun 1995. Ketika itu ia banyak ditugaskan untuk menangani kasus- kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) atau pemerkosaan, singkatnya kasus-kasus dengan perempuan sebagai korban atau yang dikriminalkan. Mereka pada umumnya adalah perempuan dengan latar belakang ekonomi ke bawah. Nana mengaku sebagai pengacara muda dan baru yang bekerja dengan berpegang pada pengetahuan yang didapatkan dari bangku kuliah, pada awalnya dia belum tahu bahwa kasus-kasus yang ditanganinya tersebut merupakan kasus kekerasan berbasis gender. Hingga kemudian pada tahun 1998 Nana bertemu dengan kawan-kawan aktivis perempuan, seperti Samsidar, Suraiya Kamaruzzaman dan Rani yang banyak menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan membutuhkan masukan dari perspektif hukum.

Nana menuturkan ketika itu tidak banyak pengacara perempuan di Aceh, lagipula rata-rata pengacara yang ada juga tidak bekerja untuk kasus-kasus yang probono, sebaliknya pengacara biasanya menangani kasus-kasus yang berbayar. Perkenalannya dengan kawan-kawan aktivis perempuan tersebut membuatnya sering berdiskusi dengan mereka dan tak jarang ia memberi masukan terkait kasus-kasus yang mereka tangani. Pada tahun 1998 tersebut banyak kantor-kantor pemerintahan di Aceh yang berhenti beraktivitas atau vakum karena konflik. Pengadilan termasuk salah satu instansi yang tidak beraktivitas pada masa tersebut. Karena itu Nana kemudian tidak bisa menjalankan profesinya sebagai seorang pengacara. Dalam situasi tersebut ia bertemu dengan kawan-kawan aktivis perempuan yang kemudian membuatnya terus masuk semakin dalam ke dalam kerja-kerja gerakan, hingga akhirnya ia lebih banyak bekerja di gerakan daripada menjadi pengacara. Ketika kemudian tahun 2004 situasi di Aceh berangsur-angsur kembali kondusif, Nana tetap memilih untuk tidak lagi beracara kecuali untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebelumnya pada 2003 Nana memutuskan untuk bergabung bersama LBH APIK Aceh dan sejak itu hampir seluruh waktunya dipakai untuk beracara sebagai pengacara probono selain juga lebih banyak membantu kawan-kawan di LBH APIK. Nana juga banyak melatih paralegal, menurutnya hal tersebut lebih menyenangkan daripada menangani kasus-kasus yang kadang-kadang dengan sistem hukum yang ada membuat kepintaran dan strategi yang dimiliki seorang pengacara tidak bisa menjadi jaminan untuk memenangkan perkara mengingat lebih banyak faktor x yang kadang-kadang membuat frustasi dengan sistem hukum yang seperti itu. Maka sampai sekarang Nana jadi lebih banyak terlibat di kerja- kerja gerakan dan bekerja di belakang layar dengan misalnya membantu kawan-kawan aktivis membuat surat gugatan. Ia pun hampir tidak memiliki waktu lagi untuk beracara ke pengadilan. Terlebih saat ini dengan posisinya sebagai komisioner Komnas Perempuan tentu tidak memungkinkan bagi dirinya untuk menjalankan tugas-tugas sebagai pengacara. Lebih lanjut Nana mengungkapkan bahwa selama menangani kasus-kasus kekerasan, Nana mengaku dirinya merasa “terganggu” pada kasus-kasus kekerasan seksual dengan korbannya anak-anak. Ada perasaan sedih mengingat sedini itu sudah harus mengalami hal yang sangat buruk terlebih mereka besar di tengah masyarakat dengan kultur patriarkat, hingga menimbulkan pertanyaan bagaimana nanti jika mereka sudah besar dan harus berumah tangga dan kemudian pengalaman kekerasannya itu justru menjadi masalah baru buat mereka. Hal ini dirasakan Nana mengganggu sekali.

Menjalani hampir sebagian besar dari hidupnya di Aceh bagi Nana merupakan sebuah pengalaman yang memperkaya dirinya. Nana mengungkapkan pada masa konflik, perempuan Aceh harus tetap menjalankan kehidupan dalam ketakutan dan tidak mungkin pergi ke luar kampung seperti yang dilakukan para laki-laki karena anak-anak mereka harus tetap sekolah dan harus tetap makan. Kehidupan tetap berjalan meskipun dalam situasi yang mencekam. Ketika situasi sudah damai pun ternyata perempuan tidak bisa sepenuhnya hidup nyaman tanpa rasa takut. Sekarang ketakutan tetap dirasakan dan ruang gerak perempuan tetap terbatasi walaupun dengan situasi yang berbeda. Bahkan sekarang beberapa kebijakan justru mendiskriminasi perempuan. Suara perempuan tidak didengar atau situasinya dibuat sangat tidak nyaman bagi perempuan untuk hadir ke forum-forum pengambilan keputusan. Yang didengar dalam pengambilan keputusan hanyalah suara laki-laki dan itu kemudian lahir dalam bentuk aturan. Sehingga akhirnya perempuan tetap saja bukan siapa-siapa. Azriana melihat bahwa tantangan yang dihadapi perempuan Aceh berganti-ganti. Orang-orang yang membatasi gerak perempuan berganti-ganti baju sehingga membuat perempuan seperti kehabisan cara menghadapi situasi seperti itu. Bahkan sekarang ini kadang-kadang perempuan digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan yang lain. Jadi mereka berdiri di barisan kelompok-kelompok yang punya kepentingan untuk merumahkan perempuan.

Di luar itu Nana mengungkapkan bahwa pengalaman jatuh bangun yang dialami perempuan Aceh yang tidak dirasakan oleh perempuan yang tidak tinggal di wilayah seperti Aceh justru menjadi sumber pengetahuan. Ia menemukan strategi-strategi pendampingan justru dari hambatan yang ia hadapi dan bukan dari buku. Hambatan membuatnya berpikir mencari jalan keluar. Jadi menurut Nana kreativitas seseorang teruji di situasi yang sebenarnya tidak ideal. Hal ini yang kemudian ia syukuri saat ini walaupun mungkin dulu ia sempat merasa tidak senang. Jadi Aceh bagi Nana memberikan banyak sekali pelajaran. Pelajaran bagaimana berstrategi menghadapi musuh yang tidak tunggal dan berganti-ganti wajah baik dalam situasi konflik, situasi bencana, pascabencana, maupun dalam situasi damai. Nana mengaku dirinya belajar strategi dari semua situasi tersebut. Pengalaman tersebut dirasakan Nana sangat membantu ketika dirinya bertemu dengan persoalan yang hampir mirip.

Lebih lanjut Nana mengatakan bahwa segala persoalan kekerasan terhadap perempuan terjadi di Aceh dan ia sudah menyaksikan, mengetahui, dan mendengar langsung dari korbannya, lalu dengan posisinya saat ini ia dihadapkan dengan buku-buku. Situasi ini menurut Nana justru memudahkan dirinya untuk belajar. Karena hal-hal yang dijelaskan di dalam kajian tersebut adalah hal-hal yang dulu ia dengarkan dari ibu A, ibu B, ibu C, dst. Hal ini membuatnya merasa bersyukur. Jadi menurut Nana pengalaman- pengalamannya dulu sangat membantu ketika sekarang ia menjadi Komisioner Komnas Perempan. Terlebih Komnas Perempuan memiliki mandat spesifik untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan dirinya punya banyak hal yang bisa ia gunakan untuk diintegrasikan di dalam kajian-kajian Komnas Perempuan. Pengalamannya sebagai aktivis di Aceh membantunya untuk menemukenali berbagai kerentanan perempuan terkait kekerasan. Karena itu Nana merasa bahwa pengalaman di lapangan juga sama pentingnya dengan pengetahuan yang kita dapat di tempat kuliah atau di sekolah.

Nana mengaku dirinya merupakan tipikal orang yang suka memiliki banyak teman dan ia merasa bersyukur dapat bertemu dan memiliki teman- teman dan orang-orang baik dan penting dalam setiap pekerjaan yang dijalaninya. Perjumpaan dan pertemanan ini membuka peluang bagi dirinya ke tempat-tempat lain sekaligus mengetahui lebih banyak hal. Lebih dari itu mereka juga berkontribusi untuk membentuk dirinya hingga seperti sekarang. Nana juga mengungkapkan bahwa hal yang ia syukuri adalah terlahir di keluarga yang memahami pilihannya. Nana menuturkan ibunya adalah seorang aktivis di masanya yang sangat aktif di gerakan PKK zaman itu. Jadi walaupun cara berpikir ibunya berbeda dengan dirinya terkait isu gender, namun ia dan ibunya mempunyai semangat yang sama untuk dapat bermanfaat bagi orang lain. Lahir di dalam keluarga yang memiliki nilai bahwa berguna bagi orang lain merupakan hal yang utama membuat Nana merasa nyaman dengan pilihan pekerjaan yang dilakoninya. Walau kadang- kadang ia merasa kurang punya waktu. Nana melihat mungkin seandainya ia menjadi pengacara saja, barangkali dirinya tidak sesibuk seperti sekarang. Nana menuturkan ibunya meninggal tahun 2013 dan ia tidak selalu punya cukup waktu untuk menemani ibunya kontrol ke dokter. Nana kadang merasa menyesal karena ia seharusnya bisa memanfaatkan waktunya dengan lebih baik semasa ibunya masih ada, seharusnya ia bisa punya waktu lebih banyak karena tidak seorang pun yang tahu siapa yang pergi terlebih dulu. Mengingat ibunya meninggal lebih dulu, ia merasa menyesal tidak mempunyai cukup waktu untuk ibunya.

Mendorong Regulasi yang Pro Perempuan dan Perubahan Cara Pandang Masyarakat
Azriana menjelaskan bahwa proses pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2012 memperlihatkan adanya perkembangan pola dan bentuk kekerasan seksual baik di wilayah konflik bersenjata ataupun pascakonflik. Sementara itu, di tengah semakin beragam dan berkembangnya kasus-kasus kekerasan seksual, hukum yang ada tidak berjalan maju secepat perkembangan kasusnya sendiri. Lebih lanjut Nana mengatakan bahwa untuk kasus kekerasan terhadap perempuan kita memang mempunyai KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang bisa digunakan oleh perempuan korban kekerasan untuk mengakses keadilan tetapi kita tahu KUHP kita juga sudah tidak mampu menjawab perkembangan dari kasus kekerasan seksual. Jika kita amati, KUHP hanya mengenal dua bentuk kekerasan seksual yang secara tegas disebutkan yakni pencabulan dan pemerkosaan. Nana mengungkapkan bahwa pernah ada pasal yang bisa digunakan untuk melindungi perempuan dari pelecehan seksual, tetapi kemudian pasal itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena ada yang mengajukan gugatan atas pasal itu dan kemudian pasal tersebut tidak lagi bisa digunakan karena dianggap sebagai pasal karet, yakni perbuatan tidak menyenangkan yang bisa digunakan untuk apapun. Oleh Mahkamah Konstitusi pasal ini dicabut, dampaknya kemudian untuk kasus pelecehan seksual digunakan pasal tentang pencabulan yang korbannya butuh pembuktian yang lebih kuat daripada pelecehan seksual. Jadi korban harus benar-benar bisa membuktikan tindakan pencabulan yang dialaminya untuk kemudian bisa diproses secara hukum. Hal yang lain adalah mekanisme pembuktian yang ada di KUHP cukup menyulitkan bagi perempuan korban. Ini mengingat KUHP mensyaratkan adanya hasil visum atau minimal adanya dua orang saksi yang mengetahui dan bisa menjelaskan bahwa kekerasan itu terjadi. Nana menjelaskan dalam pengalamannya untuk menyediakan semua alat bukti tersebut, bukanlah hal yang mudah bagi perempuan korban. Ini mengingat tidak semua kasus kekerasan seksual cukup kondusif untuk dilaporkan oleh korban.

Hal yang lain juga meski korban berani melaporkan, belum tentu orang mau bersaksi untuk mendukung dia dalam mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Sebagian besar yang terjadi kemudian justru ketika kasus kekerasan seksual terungkap, korban menjadi terpublikasi dan dia bisa dipermalukan. Lebih lanjut Nana mengatakan bahwa masyarakat kita masih melihat soal kekerasan seksual sebagai hal yang juga dipicu oleh korban sendiri. Jadi reviktimisasi kerap dialami oleh perempuan korban kekerasan seksual ketika kasus mereka terungkap dan ini yang kemudian membuat banyak korban memilih untuk tidak mengungkapkan kasusnya dan melaporkannya. Dengan kondisi semacam ini maka kemudian Komnas Perempuan berpikir perlu melakukan intervensi di wilayah hukum karena meskipun hukum bukan satu-satunya yang bisa menyelesaikan kasus kekerasan seksual, tetapi ketika kita menginginkan tidak terjadi impunitas untuk pelaku kekerasan seksual, maka kita membutuhkan regulasi yang mengatur hal tersebut. Menurut Nana ketika kita ingin negara mempunyai komitmen yang serius untuk penghapusan kekerasan seksual, maka mau tidak mau kita harus bicara regulasi yang bisa memastikan negara akan menjalankan kewajibannya untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Jadi karena itu Komnas Perempuan memandang regulasi perlu dimiliki oleh Indonesia untuk bisa melindungi perempuan dari kekerasan  seksual, walaupun regulasi bukan satu-satunya. Jadi ada hal-hal lain yang juga perlu kita lakukan supaya kekerasan seksual terhadap perempuan benar-benar dapat dihentikan.

Azriana bersama Komnas Perempuan sempat mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2016. Akan tetapi rapat pleno Badan Legislatif DPR pada akhir Januari 2016 tidak memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam prolegnas prioritas 2016, namun RUU ini masuk dalam daftar prolegnas 2015-2019. Nana mengungkapkan Komnas Perempuan memang tidak menetapkan target bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini harus disahkan pada tahun ini juga. Ini mengingat Komnas Perempuan menyadari ada situasi yang tidak mudah yang harus dihadapi. Selain itu menurut Nana hal yang terpenting adalah bagaimana menumbuhkan paradigma di kalangan anggota dewan untuk melihat bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan kejahatan. Nana menjelaskan bahwa dalam proses revisi KUHP sekalipun kekerasan seksual masih dimasukkan dalam tindak pidana kejahatan terhadap kesusilaan. Padahal ini merupakan persoalan yang paling mendasar sehingga sebaik apapun revisi di dalam KUHP, ketika kekerasan seksual masih diletakkan sebagai persoalan kejahatan terhadap kesusilaan bukan kejahatan terhadap tubuh, maka yang menjadi prioritas untuk dilindungi adalah rasa susila masyarakat dan bukan korban yang martabatnya sebagai manusia dihancurkan akibat kekerasan seksual tersebut. Perkembangan revisi KUHP jadi mencerminkan orang-orang yang ada di belakangnya.

Nana menjelaskan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan salah satu rancangan undang-undang yang membutuhkan perubahan paradigma dalam melihat suatu masalah. Karena itu Komnas Perempuan tidak ingin terburu-buru mendorong rancangan undang- undang ini untuk dibahas di parlemen sementara belum cukup waktu untuk menumbuhkan paradigma tentang kekerasan seksual di kalangan orang-orang kunci di parlemen. Nana khawatir yang terjadi kemudian rancangan undang-undang ini justru menjadi boomerang. Ia mengatakan tentu kita semua tidak ingin RUU Kekerasan Seksual akan berakhir seperti UU Pornografi. Meskipun UU Pornografi bukan merupakan usulan Komnas Perempuan, tetapi kuatnya penolakan juga kuatnya penghakiman terhadap tubuh perempuan serta keinginan untuk mengatur tubuh perempuan ternyata cukup memengaruhi pandangan publik, memengaruhi cara berpikir di parlemen, sehingga menghasilkan UU yang justru mengkriminalkan perempuan. Nana tidak mau UU Penghapusan Kekerasan Seksual ini bernasib seperti itu. Bahkan sebaliknya ia berharap upaya-upaya kriminalisasi perempuan yang muncul di dalam UU Pornografi bisa diperbaiki lewat UU Penghapusan Kekerasan Seksual ini. Seperti misalnya soal kerentanan perempuan di sektor industri hiburan yang jika kita mengacu pada UU Pornografi maka aturan tersebut menempatkan perempuan sebagai pelaku pornografi. Tetapi lewat UU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut Nana ingin negara bisa melihat bahwa perempuan-perempuan di industri hiburan justru potensial untuk dieksploitasi.

Nana menegaskan bahwa tidak masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam prolegnas prioritas 2016 bukanlah suatu hal yang membuatnya berkecil hati, justru situasi ini harus dilihat secara positif bahwa kita masih punya cukup waktu untuk menggalang dukungan dan membangun wacana publik yang lebih baik tentang kekerasan seksual. Meski demikian Nana merasa yang terpenting adalah upaya-upaya untuk membangun pemahaman bahwa UU ini dibutuhkan, UU ini perlu ada di Indonesia untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual termasuk anak-anak perempuan dan juga anak-anak laki-laki. Menurutnya pemahaman ini perlu dibangun terus-menerus. Jadi targetnya bukan semata-mata soal pengesahan, tapi soal perubahan cara pandang terhadap kekerasan seksual baik di tingkat parlemen maupun di tingkatan publik.

Nana kemudian menceritakan pengalamannya melakukan lobi kepada fraksi-fraksi di DPR untuk mendapatkan dukungan mereka terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar masuk dalam daftar prolegnas 2015- 2019. Dari 8 fraksi yang ia temui, yang mengusulkan secara tegas hanya 1 fraksi yakni Nasdem. Sementara fraksi-fraksi lain ketika ditemui mereka mengatakan siap untuk dukung dsb, tetapi kemudian yang muncul dalam bentuk tindakan hanya dari satu fraksi. Nana mengaku Komnas Perempuan juga melakukan pendekatan lewat Kaukus Perempuan Parlemen karena ia merasa perempuan lebih bisa memahami kenapa RUU ini perlu ada dan ia mendapat dukungan dari beberapa anggota DPR perempuan di Kaukus Perempuan Parlemen. Namun itu dirasa tidak cukup karena sikap mereka tidak mewakili sikap fraksi. Berkaca dari pengalaman itu, Nana mengatakan bahwa tidak terlalu mudah juga untuk mengondisikan semua anggota dewan agar melihat bahwa UU ini dibutuhkan, ada situasi yang sudah mendesak untuk UU ini disahkan. Selain itu Nana juga melihat ada situasi yang lebih serius dari sekadar penolakan terhadap UU ini yakni situasi ketika keberadaan UU ini justru kemudian digunakan untuk semakin membatasi ruang gerak perempuan. Karena itu harapannya dengan diskusi yang intens dan mendalam dengan beberapa anggota dewan, setidaknya bisa dibangun wacana baru. Sehingga dibutuhkan champion dari anggota dewan yang bisa memastikan sekiranya UU ini nantinya disahkan, maka UU tersebut dapat benar-benar melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan mencegah berulangnya kasus-kasus kekerasan seksual.

Ketika ditanya kemungkinan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang) mengingat ada situasi darurat kekerasan seksual, Nana mengatakan bahwa ketika berbicara tentang kekerasan seksual, masyarakat lebih mudah menunjukkan kepedulian dan memberikan perhatian jika kekerasan seksual itu dialami oleh anak-anak dan bukan oleh perempuan dewasa. Selain itu, meskipun pemerintah sudah menetapkan Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual sejak tahun 2014, tetapi sekarang ketika Komnas Perempuan menggulirkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, masih muncul pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu diajukan. Seperti misalnya kenapa harus ada UU khusus, bukannya sudah diatur di UU yang lain. Di sisi lain dibutuhkan waktu yang panjang untuk menjelaskan kepada mereka kalau UU yang lain itu mengatur soal kekerasan seksual dengan sangat terbatas. Nana menjelaskan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) hanya bisa melindungi perempuan korban kekerasan seksual yang mengalaminya dalam lingkup rumah tangga, di luar lingkup itu tidak bisa memakai UU PKDRT. Begitu juga dengan UU Perlindungan Anak, ia hanya untuk melindungi perempuan yang dalam usia anak. Sedang UU Trafficking hanya untuk kekerasan seksual yang terjadi dalam konteks migrasi. Lalu bagaimana dengan perempuan di luar persoalan itu semua, perempuan di luar dimensi tersebut, bagaimana cara mereka untuk bisa mengakses keadilan ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual? Nana mengugkapkan menjelaskan hal ini kepada pemerintah dan kepada anggota dewan bukanlah hal yang mudah. Orang akan cepat bersepakat ketika dikatakan bahwa anak-anak kita perlu dilindungi dari kekerasan seksual. Tetapi ketika disebutkan bahwa perempuan perlu dilindungi dari kekerasan seksual, pernyataan yang muncul berikutnya adalah tudingan bahwa perempuan juga ikut berkontribusi hingga kekerasan seksual terhadap dirinya terjadi. Jadi menurut Nana ada respons yang berbeda ketika membangun dukungan kekerasan seksual terhadap anak dan terhadap perempuan dewasa.

Nana kemudian menceritakan bahwa pada saat dirinya dan Komnas Perempuan mengadvokasi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, ia kemudian disibukkan dengan wacana hukuman kebiri untuk pelaku kekerasan seksual. Hal ini sempat membuat Nana dan kawan- kawan harus memberi perhatian mengingat waktu itu akan keluar Perpu. Nana mengungkapkan Komnas Perempuan sudah mengirim surat kepada presiden dan menyampaikan pertimbangan agar wacana hukuman kebiri sebaiknya ditinjau ulang dan tidak perlu terburu-buru diterapkan, karena banyak hal harus dipertimbangkan. Nana menegaskan bahwasanya kekerasan seksual tidak akan bisa dihentikan hanya dengan hukuman kebiri. Apalagi jika hukuman kebiri itu ditujukan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, hal itu tidak akan menjawab persoalan kekerasan seksual di Indonesia. Lebih jauh Nana menjelaskan bahwa hukuman kebiri merupakan bentuk hukuman yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, karenanya tidak seharusnya hukuman itu diberlakukan. Selain itu dari hasil pemantauan Komnas Perempuan Nana melihat persoalan kekerasan seksual, seperti misalnya pemerkosaan, tidak selalu terjadi karena dorongan berahi atau hasrat seksual. Di wilayah konflik pemerkosaan bisa terjadi tanpa alasan tersebut dan tidak selalu menggunakan alat kelamin. Jadi menurut Nana selain pertimbangan hak asasi manusia, hukuman kebiri juga tidak menjawab persoalan. Dengan kata lain ada hak asasi orang yang dilanggar tapi kemudian persoalannya sendiri tidak bisa diselesaikan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fakta bahwa pelaku kekerasan seksual mayoritas orang terdekat dengan korban, dan hukuman kebiri mensyaratkan kasusnya diungkapkan, maka muncul pertanyaan, apakah pemerintah yakin hukuman ini akan efektif. Hukuman kebiri sebenarnya belum diperlukan sepanjang pemerintah bisa memastikan hukuman maksimal untuk pelaku kekerasan seksual bisa ditegakkan dan tidak ada upaya-upaya penyelesaian di luar proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Menurut Nana selama ini cukup banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang biasanya rata-rata tidak sampai ke pengadilan. Selain itu banyak juga keluarga yang karena pertimbangan status untuk anak perempuannya kemudian memilih untuk mengawinkan anak perempuannya dengan pelaku pemerkosaan dan akhirnya kasus itu tidak pernah terungkap. Praktik-praktik seperti ini yang kemudian menyebabkan kekerasan seksual pemerkosaan terus berulang karena tidak memberi efek jera pada pelakunya. Efek jera ini tentu bukan dengan hukuman kebiri.

Keberhasilan Komnas Perempuan memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam daftar prolegnas 2015-2019 dipandang Nana sebagai pintu masuk bagi langkah-langkah strategis lain yang harus segera dilakukan. Ia mengibaratkan bahwa pintu baru terbuka dan kita harus masuk dan melakukan banyak hal supaya kemudian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa disahkan. Jadi harus ada lobi-lobi yang lebih kuat. Harus ada kertas kajian yang membantu orang melihat bahwa keberadaan RUU itu penting. Artinya justru dengan masuk ke dalam prolegnas tambahan, ini sebenarnya awal mula pertarungan yang sebenarnya. Pertarungan yang sebenarnya ini justru baru bermula karenanya memang banyak hal yang harus dilakukan, memetakan siapa kawan siapa lawan dengan lebih baik dan mendekati orang yang kita anggap di seberang kita kemudian menyiapkan agenda dengan kelompok-kelompok yang mendukung dan melibatkan lebih banyak orang. Nana menjelaskan hal yang membuatnya optimis RUU ini bisa terwujud adalah bahwa saat ini isu kekerasan seksual bukan hanya isunya Komnas Perempuan dan mitra-mitranya lembaga pengada layanan, namun banyak aktivis mahasiswa yang menggangkat isu ini dan mereka dengan komunitasnya melakukan kampanye-kampanye. Nana melihat keberadaan isu kekerasan seksual yang menjadi wacana publik ini sebagai sebuah capaian karena ketika dia sudah jadi wacana publik dan dibahas di DPR maka sebenarnya kita sudah melewati satu kesulitan. Hal yang juga penting adalah selain menjadi wacana menurut Nana pihaknya juga berhasil mengerangkai wacana tersebut dengan konsep yang mereka tawarkan.

Lebih jauh Nana mengungkapkan selain penerimaan isu ini di kelompok muda terutama di kalangan mahasiswa hal lain yang juga membuat dirinya merasa optimis adalah keberadaan anggota-anggota dewan di Kaukus Perempuan yang punya kebutuhan yang sama atas lahirnya RUU ini. Selain itu situasi darurat kekerasan seksual yang ditetapkan pemerintah menurut Nana juga menjadi peluang untuk Indonesia agar segera memiliki UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Nana menambahkan DPD RI saat ini bekerja sama dengan Komnas Perempuan untuk mengegolkan RUU ini. Jadi mereka menggunakan sejumlah anggarannya untuk melakukan konsultasi- konsultasi ke daerah tentang RUU ini dan juga menggali masukan dari daerah. Sementara untuk DPR saat ini Fraksi Nasdem sudah mendukung dan Nana mengatakan pihaknya sedang dalam proses penjajakan kerjasama dengan Fraksi PDIP. Situasi ini menurut Nana memperlihatkan proses advokasi berjalan setapak-setapak ke depan dan tidak akan mundur.

Pemulihan Korban dan Proses Hukum harus Berjalan Beriring
Nana menjelaskan kekerasan seksual berakar pada cara pandang masyarakat terhadap perempuan. Ketika satu masyarakat konstruksi berpikirnya menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua, warga yang tidak penting, pelayan atau objek maka kekerasan seksual akan sangat mudah terjadi. Dalam masyarakat patriarkat yang melihat perempuan sebagai objek, semua keisengan akan menyasar perempuan. Karena itu menurut Nana regulasi bukan satu-satunya cara untuk bisa menghentikan kekerasan seksual karena kita ada dalam masyarakat yang seperti ini. Jadi walaupun ada hukum namun jika masyarakatnya tidak diedukasi maka hukum tidak akan bekerja sebagaimana harusnya. Sehingga memang perlu untuk melahirkan regulasi tetapi juga butuh untuk mengubah cara pandang masyarakat, mengubah budaya yang ada di masyarakat. Karena itu tokoh- tokoh masyarakat, pemuka-pemuka agama harus bekerja lebih keras untuk bisa bersama-sama menghapuskan kekerasan seksual dan semua pihak harus bekerja bersama. Tidak bisa hanya pemerintah saja karena masyarakat memainkan peran penting juga dalam penghapusan kekerasan seksual. Begitu juga tidak hanya Komnas Perempuan saja karena lembaga HAM lainnya dan juga institusi negara lainnya juga mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk memastikan kekerasan seksual dapat diminimalkan.

Di sisi lain Nana melihat upaya yang dilakukan pemerintah terutama aparat hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual sejauh ini sebagian besar dari mereka bersikap pasif dan meskipun hukumnya tidak menyatakan kekerasan seksual merupakan delik aduan—seperti misalnya pemerkosaan—namun penegak hukum bersikap pasif, dia akan bekerja kalau kasusnya dilaporkan. Jika kemudian setelah diungkap kasusnya besar, baru muncul respons dari aparat penegak hukum. Sebaliknya ketika kemudian ada upaya-upaya untuk menghentikan proses hukum, tidak ada upaya juga dari aparat penegak hukum untuk memastikan hal itu tidak terjadi. Bahkan mereka tidak bisa menjamin bahwa kasus itu tidak akan berhenti dan akan diproses sampai sebagaimana seharusnya. Jadi aparat hukum bersikap pasif yang dalam hal-hal tertentu justru melakukan pembiaran. Hal ini menurut Nana tidak terlepas dari situasi bahwa aparat penegak hukum kita lahir dan besar dalam kultur masyarakat yang patriarkis. Sehingga dalam pandangan mereka persoalan kekerasan seksual bukan merupakan persoalan serius yang harus dipersoalkan seperti halnya masalah korupsi.

Lebih jauh Nana mengungkapkan banyak hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual, bahkan hambatan tersebut datang dari berbagai sisi. Hal pertama yang diinginkan adalah pelaku kekerasan seksual diproses secara hukum dan korbannya dipulihkan serta ada jaminan kita bisa diyakinkan kasus tersebut tidak akan berulang lagi. Tapi dalam kenyataannya ketika kita ingin kasus diproses hukum, kita akan berhadapan dengan hukum yang tidak mengenal seluruh pengalaman kekerasan seksual perempuan korban. Jadi hukum kita netral gender dan dalam banyak hal perempuan korban kekerasan seksual tidak bisa menggantungkan harapannya pada sistem hukum yang seperti sekarang dengan sistem pembuktiannya yang masih konvensional. Nana menjelaskan kita baru punya terobosan untuk UU PKDRT di mana keterangan saksi korban diakui sebagai salah satu alat bukti. Seharusnya untuk kekerasan seksual perlu dibuat seperti itu. Hal kedua masyarakat juga keluarga lebih melihat kekerasan seksual sebagai aib yang harus ditutupi bukan kemudian dibuka dan diungkapkan untuk diselesaikan. Jadi mereka cenderung untuk menyimpan korban dan menutup kasus. Yang terjadi sesungguhnya korban tidak terpulihkan dan kita mengimpunitas pelaku. Karena itu menurut Nana penting untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang kekerasan seksual, bahwa itu adalah kejahatan dan bukan aib. Kekerasan seksual adalah kejahatan yang pelakunya harus dihukum supaya tidak mengulangi kepada perempuan yang lain dan karena kekerasan seksual merupakan kejahatan, maka anggota keluarga kita yang mengalaminya adalah korban yang butuh didukung bukan disalahkan. Cara pandang masyarakat ini harus diperbaiki agar tidak lagi melihat persoalan kekerasan seksual sebagai persoalan moralitas yang rusak, moralitas yang diganggu, namun melihat ini sebagai persoalan kejahatan terhadap perempuan. Artinya persoalan moralitas dikesampingkan, karena ini adalah soal hukum, soal bagaimana orang bertanggung jawab untuk kejahatan yang dia lakukan dan orang yang menjadi korban harus dipulihkan untuk bisa melanjutkan kehidupannya ke depan.

Nana menambahkan tantangan bagi penyelesaian kasus kekerasan seksual ada di semua sisi. Namun yang terpenting sebenarnya adalah memastikan agar pemulihan perempuan korban kekerasan seksual berjalan bersamaan dengan proses hukumnya. Jadi tidak boleh semua orang berpikir untuk proses hukum tapi tidak berpikir untuk pemulihan korban. Pemulihan dan proses hukum adalah dua hal yang sama penting.

Lebih jauh Nana menjelaskan bahwa pemulihan korban kekerasan seksual tergantung pada kondisi korban hal ini mengingat kekerasan seksual sangat beragam baik tindakan maupun dampaknya. Nana menegaskan yang terpenting adalah apapun bentuk pemulihan yang dipilih hendaknya berdasarkan pada kebutuhan korban. Kadang-kadang banyak orang menggunakan kacamatanya, entah sebagai pendamping, keluarga atau teman untuk memulihkan korban. Seterpuruk apapun korban, dia tetap punya hak untuk menyampaikan apa yang menurut dia perlu dilakukan untuk dirinya dan apa yang terbaik untuk dia. Ini adalah hal pertama yang harus dipertimbangkan. Kadang-kadang pemulihan korban dipandang secara seragam. Pemerintah juga punya kerangka pikir demikian, bahwa pemulihan adalah satu proses yang seragam untuk semua orang, padahal sesungguhnya tidak demikian. Jadi benar-benar harus berangkat dari kebutuhan korban, korban adalah subjek yang harus ditanyai di dalam proses pemulihannya. Yang kedua pemulihan korban terutama korban kekerasan seksual sangat penting melibatkan orang-orang terdekat korban, terutama keluarga, teman. Korban semakin sulit untuk pulih jika keluarga dan orang-orang terdekatnya tidak bisa menerima, dalam konteks menggugat apa yang terjadi terhadap dirinya. Memandang aib yang mereka dapat itu sebagai beban baru untuk kehidupan berikutnya. Hal ini yang kemudian membuat korban jadi terus merasa bersalah. Yang paling penting harus dilakukan sebenarnya adalah membantu korban untuk bangkit dan memastikan layanan medis ataupun layanan lainnya yang diberikan kepada korban tetap menghargai hak-hak korban. Tak jarang korban mengalami reviktimisasi justru diproses-proses pemulihan yang harusnya hal itu tidak perlu dia temui. Nana mengungkapkan budaya di masyarakat belum mendukung untuk pemulihan korban kekerasan seksual bahkan keluarga sendiri kadang-kadang tidak memainkan perannya yang cukup baik dalam mendukung pemulihan korban. Banyak korban kekerasan seksual justru mengalami reviktimisasi dari orang-orang yang seharusnya memberi dukungan kepadanya. Karena itu Nana memandang kekerasan seksual perlu menjadi perhatian kita semua.

 
Nana menjelaskan Komnas Perempuan mengembangkan sejumlah mekanisme yang bisa digunakan oleh lembaga-lembaga pengada layanan dalam melakukan pendampingan untuk perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Mekanisme penanganan bagi pemulihan korban kekerasan ini sudah dikembangkan Komnas Perempuan sejak berdiri dan sudah terdokumentasi dalam bentuk buku dan sebagainya. Nana menambahkan Komnas Perempuan tidak punya mandate pro justitia, tidak seperti Komnas HAM yang bisa melakukan penyelidikan untuk mengantarkan satu kasus kekerasan ke proses hukum pelanggaran HAM. Sebagian besar dari mandat Komnas Perempuan memang digunakan untuk memastikan akses perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual terhadap pemulihan agar semakin hari semakin mudah dan semakin baik. Karena itu lembaga-lembaga layanan harus dibantu dengan berbagai mekanisme kerja yang membuat mereka mudah menangani dengan lebih baik, artinya tidak kontra produktif dengan upaya pemulihan korban. Yang kedua Komnas Perempuan juga mengembangkan sejumlah mekanisme yang mendorong komunitas agar berperan aktif dalam pemulihan korban. Dengan demikian Komnas Perempuan mempunyai mekanisme pemulihan dalam makna luas yakni satu konsep pemulihan yang berangkat dari kesadaran bahwa pemulihan perempuan korban kekerasan seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan terdekatnya, dari keluarga, komunitas, masyarakat dan juga negara lewat kebijakan-kebijakannya. Begitu juga sebaliknya ketika individu tidak pulih, dia juga bisa memengaruhi situasi di sekitarnya. Konsep pemulihan dalam makna luas ini juga memahami bahwa pemulihan perempuan korban kekerasan seksual tidak tunggal dan tidak hanya satu pihak saja yang bisa melakukan. Semua lingkaran di sekitar korban, dari teman sebaya, keluarga, komunitas, masyarakat bahkan negara punya perannya masing-masing untuk memulihkan korban. Nana menambahkan seharusnya kerangka kebijakan negara melihat pemulihan dalam konsep yang seperti itu. Nana menyoroti program pemerintah untuk pemulihan yang hanya berbasis program dan tidak dirancang dengan melibatkan orang-orang yang potensial bagi keberlanjutan program. Jadi ketika program selesai maka berakhir juga pemulihannya tanpa meninggalkan apapun untuk memastikan program tersebut dapat direplikasi kalau sekiranya program tersebut bagus.

Sementara di level pemerintah daerah, Nana menjelaskan penyikapan pemerintah daerah terhadap penanganan kasus-kasus kekerasan seksual cukup beragam. Ia mencontohkan Jawa Tengah misalnya, pemerintah provinsi Jawa Tengah dinilai sudah cukup maju, bahkan saat ini sudah mengembangkan sistem peradilan pidana terpadu penanganan kekerasan terhadap perempuan. Namun memang tidak semua daerah mempunyai respons yang sama, sangat tergantung dari sikap pemerintah daerah dalam memandang persoalan ini. Ada daerah-daerah yang bahkan pemerintah daerahnya justru mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyebabkan perempuan menjadi korban atau memberi pengaruh bagi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Baik tidaknya pemerintah daerah dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dari anggaran yang disediakan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, kemudian anggaran itu bisa diakses oleh siapa saja, apakah hanya lembaga yang dikelola pemerintah ataukah juga digunakan oleh organisasi masyarakat untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Indikator lain adalah kebijakan yang dihasilkan karena ada daerah yang sama sekali tidak punya kebijakan untuk penanganan perempuan dan anak korban kekerasan.

Lebih lanjut Nana memaparkan keberadaan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dapat dilihat sebagai komitmen awal dari pemerintah daerah terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan. Walaupun demikian tidak semua keberadaan P2TP2A didukung, karena banyak juga yang dia hanya dibentuk saja, setelah itu tidak didukung anggaran apapun sehingga lembaga tersebut tidak bisa berjalan sebagaimana seharusnya. Di sebagian daerah justru berubah fungsi, kebanyakan menjadi PAUD, atau dijadikan untuk kantor yang lain karena biasanya gedungnya dibangun oleh pemerintah pusat sementara pemerintah daerahnya tidak merasa perlu memastikan gedung itu berfungsi. Karena itu menurut Nana advokasi di tingkat daerah sangat penting untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual mengingat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa presiden mendelegasikan tugas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kepada pemerintah daerah. Jadi artinya advokasinya untuk urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak harus lebih kuat di daerah.

Nana menjelaskan advokasi yang komprehensif dalam penanganan kekerasan seksual mengandung makna bahwa upaya untuk mendorong lahirnya regulasi harus berjalan bersamaan dengan perubahan cara pandang masyarakat dan pengambil kebijakan sehingga advokasi harus berjalan bersamaan dengan upaya-upaya pendidikan. Di sisi yang lain kasus-kasus yang muncul di tengah proses advokasi harus bisa menjadi pengetahuan baru. Jadi kita belajar dari kasus dan kemudian kita gunakan dalam advokasi juga untuk mengedukasi masyarakat. Semua ini harus berjalan bersamaan. Nana mencontohkan misalnya proses untuk mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, harusnya kita bisa selalu melahirkan pengetahuan- pengetahuan baru tentang kekerasan seksual, ada informasi-informasi baru yang harusnya bisa diberikan kepada pengambil kebijakan kepada publik sehingga mereka melihat hal ini sebagai persoalan serius yang perlu ditangani secara serius pula. Pengetahuan dan informasi baru itu bisa didapat dari kasus-kasus yang ditangani. Jadi dari pengalaman kekerasan perempuan korban, pengalaman pendampingan lembaga-lembaga pengada layanan dibangun pengetahuan yang kemudian digunakan sebagai amunisi dalam melakukan advokasi.

Hal lain yang juga penting menurut Nana adalah menghubungkan pengalaman personal korban dengan mekanisme yang dibangun negara dan kemudian dengan agenda organisasi masyarakat untuk menyikapinya. Komnas Perempuan berupaya agar proses ini tidak terputus karena pengetahuan di tingkat internasional harusnya berangkat dari pengalaman personal korban. Sebaliknya, kebijakan yang dilahirkan di tingkat global harus bisa memberi pengaruh dan berdampak kepada pemenuhan hak korban di level komunitas, di akar rumput. Karena itu dibutuhkan skema pengelolaan pengetahuan yang cukup baik. Nana menambahkan sampai sekarang Komnas Perempuan masih terus memperkuat kemampuannya untuk menjadi pusat rujukan untuk isu kekerasan terhadap perempuan.

Harapan Bagi Perempuan Indonesia
Terkait upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Nana memiliki harapan agar perempuan Indonesia dapat membekali dirinya dengan informasi yang cukup dan dengan pengetahuan yang banyak karena kita bisa melakukan kekeliruan akibat tidak punya informasi. Hal kedua, mengingat konstruksi sosial budaya masyarakat masih diskriminatif terhadap perempuan, maka potensi yang dimiliki perempuan harus bisa digunakan untuk mengubah situasi. Sekecil apapun potensi yang dimiliki perempuan harus dipastikankan bisa berkontribusi pada perubahan situasi.

Nana berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada perempuan yang bodoh karena pola asuh perempuan membuat dia menjalankan peran-peran pelayanan yang menumbuhkan sensitivitas dan kepedulian yang lebih tinggi. Jadi itu semua adalah modal utama perempuan untuk bisa membantu orang lain dan itu sudah ditanamkan ke diri perempuan, walaupun hal itu dilihat sebagai perlakuan yang diskriminatif, tetapi kemudian hal tersebut membuat perempuan menjadi lebih bisa berempati. Nana menegaskan bahwa tanpa bermaksud bersikap stereotip dengan memandang perempuan lebih berempati sedang laki-laki tidak, namun menurutnya pola asuh tersebut ikut membentuk hal tersebut. Karena itu Nana mengajak para perempuan untuk menggunakan semua kelebihan yang dimiliki sekecil apapun itu untuk bisa berkontribusi bagi perubahan dan ini bisa dilakukan untuk orang terdekat. Nana mengambil contoh persoalan kekerasan terhadap perempuan yang banyak tersembunyi di dalam rumah, di dalam kamar, dan dirasakan sendiri. Jika kita bisa menjadi bagian dari upaya mengungkap dan menghentikan kekerasan tersebut, hal itu sudah merupakan satu manfaat yang luar biasa. Karena itu menurutnya perempuan harus membekali diri dengan banyak informasi. Berteman dan berorganisasi menjadi penting karena itu juga menjadi salah satu cara untuk mengetahui dan bertukar pengalaman dengan orang lain yang itu semua digunakan untuk mengubah situasi (Anita Dhewy).

Giwo Rubianto Wiyogo: Sinergi Holistik antar Kementerian Terkait Dibutuhkan demi Terciptanya Sistem Perlindungan bagi PRT dan PRT Migran

11/9/2017

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
​                                                                                                    Abby Gina
                                                                                      Redaksi Jurnal Perempuan
                                                                               abbygina@jurnalperempuan.com
 
Menurut Ibu apakah kerentanan PRT dan PRT Migran berhubungan langsung dengan persoalan gender?
Di mana belum ada kesetaraan gender maka hak-hak perempuan pasti sulit untuk didapatkan dan harus terus diperjuangkan. Menurut saya hubungannya sangat erat karena sebagian besar PRT dan buruh migran adalah perempuan, yang sering mengalami tindak kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual.  Di masyarakat PRT sebagai salah satu kerja perawatan masih sering dipandang sebelah mata, bukan profesi yang menguntungkan, padahal profesi PRT dan khususnya PRT migran memberikan devisa bagi negara.
 
Bisa dijelaskan bagaimana kerentanan perempuan dalam bidang kerja keperawatan dan mengapa ini perlu mendapat perhatian serius dari negara?
Bicara soal PRT artinya bicara soal SDM (sumber daya manusia). Perempuan adalah motor pembangunan negara dan PRT adalah salah satunya. Perempuan adalah bagian dari gerak pembangunan, tapi kita lihat begitu banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan, baik itu kekerasan fisik, psikis dan seksual. Kita harus berjuang secara konsisten dan berkelanjutan untuk pemenuhan hak perempuan. Menurut saya PRT masih rentan dalam berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelecehan, selain itu PRT juga mengalami kerentanan dalam bidang ekonomi, misalkan gaji tidak dibayar oleh majikan, beratnya biaya administrasi keberangkatan dan lain sebagainya.
 
Negara perlu memberikan perhatian serius karena jumlah PRT dan PRT migran sebagian besar adalah perempuan yang menghidupi anggota keluarga di kampungnya. Rata-rata rasio 1 orang PRT/buruh migran dapat menghidupi 5 orang anggota keluarga di kampungnya. Jadi perempuan bisa menjadi tulang punggung keluarga, tapi hak-haknya sebagai pekerja tidak diperhatikan oleh negara, padahal kita tahu bahwa PRT migran mampu menghasilkan devisa negara yang lebih besar dibandingkan pendapatan negara dari ekspor minyak. Pemerintah harus memberikan perhatian serius bagi persoalan ini. Negara tidak boleh hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pada pembangunan SDM perempuan. 
 
Menurut Ibu apa pentingnya negara meratifikasi Konvensi ILO 189 dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT?
Penting sekali, bahkan seharusnya kita mendesak pemerintah khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Tahun 2011 sudah ada komitmen untuk meratifikasi Konvensi ILO 189 bersama dengan negara-negara lain, namun pada implementasinya, dalam pergantian kepemimpinan, komitmen itu seakan tidak menjadi prioritas lagi. 
RUU Perlindungan PRT sudah sejak tahun 2004 diperjuangkan di DPR untuk disahkan menjadi UU, namun hingga saat ini masih belum diterima. Persoalan yang menimpa PRT tidak menjadi isu yang menarik perhatian. Negara memberikan perhatian yang besar pada persoalan politik, migas, KPU dan lainnya, tapi RUU Perlindungan PRT ini malah tersisihkan. Isu ini harus kita perhatikan, RUU ini penting untuk memberikan perlindungan bagi PRT sebagai pekerja dan warga negara. Penting agar masyarakat, lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif memiliki pandangan yang sama. Di era globalisasi ini banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia dan mereka mempekerjakan PRT. Mereka mempekerjakan PRT tanpa adanya legal standing. Tanpa adanya UU Perlindungan PRT potensi PRT mengalami berbagai tindak kekerasan akan meningkat. Pembiaran terhadap kondisi semacam ini sama saja membiarkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelaku kekerasan terhadap PRT tentu merasa mudah melakukan pelanggaran hak pada PRT karena memang tidak ada landasan hukumnya. Penting agar pemerintah memberikan perhatian serius pada pemenuhan hak-hak PRT. 
 
Kowani bersama-sama dengan Jala PRT, ILO dan Komnas Perempuan telah melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap beberapa pasal RUU tersebut, sehingga aspek perlindungan menjadi berimbang antara PRT dengan majikan. Demikian pula peranan agen penyalur PRT diminimalkan karena selama ini disinyalir sebagai penyebab terjadinya masalah yang merugikan baik pihak PRT maupun pihak majikan. Sebaliknya, peranan BLK (Balai Latihan Kerja) lebih ditingkatkan guna memenuhi ketersediaan PRT berkualitas sehingga majikan mendapatkan PRT yang sesuai dengan harapan dan PRT memperoleh upah yang memadai karena sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.
 
Sejauh apa pentingnya organisasi PRT dalam rangka memberikan perlindungan dan meningkatkan daya tawar PRT terhadap majikan?
Penting sekali. Organisasi PRT dapat langsung bertindak menolong PRT yang sedang bermasalah, keberadaan organisasi membuat berbagai kasus pelanggaran hak PRT lebih cepat terdeteksi. Selain itu organisasi PRT juga dapat membantu pemerintah meminimalkan tindak kekerasan atau kejahatan terhadap PRT dengan cara melakukan edukasi kepada calon PRT dan PRT itu sendiri guna mencegah terjadinya kekerasan dan pelecehan. Organisasi PRT juga memberikan pelatihan guna meningkatkan kemampuan PRT. Lewat organisasi mereka bisa saling bertukar informasi dan ilmu. Untuk itu penting juga bagi PRT untuk berorganisasi, seperti halnya di luar negeri. Organisasi PRT adalah sarana edukasi dan sosialisasi bagi PRT agar mereka bisa menjadi lebih maju. Bisa saja mereka berganti profesi, pun tetap menjadi PRT, mereka bisa menjadi PRT yang profesional. Melalui organisasi PRT, bisa juga dikembangkan jiwa wirausaha agar PRT tidak sekadar melahirkan PRT lagi. Akan baik bila PRT bisa melahirkan generasi penerus dengan jiwa wirausaha misalnya. Organisasi PRT penting dalam upaya pemberdayaan PRT.
 
Menurut Ibu apakah Kementerian Ketenagakerjaan sudah bersinergi secara efisien dengan kementerian lain dalam hal menjamin hak-hak PRT dan PRT migran?
Hal yang kita harapkan belum sepenuhnya tercapai ya. Kementerian-kementerian banyak yang belum bersinergi. Menurut saya masih belum menjalankan fungsinya dengan maksimal.  Kementerian belum bersinergi dan masih bekerja secara parsial dan tidak holistik, misalnya KPPPA, Kemnaker dan Kemenlu belum ada sinergi atau belum ada sebuah sistem perlindungan bagi perempuan dan anak. Pelanggaran hak terhadap PRT akan dapat diminimalkan bila pihak-pihak terkait bersinergi. Menurut hemat saya Kemnaker belum mengajak peran serta stakeholder untuk saling bekerja sama dalam membentuk satu sistem perlindungan terhadap perempuan PRT dan PRT migran. Pemerintah belum mengajak peran serta masyarakat terutama organisasi perempuan untuk terlibat dalam memperjuangkan hak-hak PRT. Pemerintahan sekarang bekerja dengan ego sektoral yang sangat kental. Perjuangan untuk hak PRT sebenarnya juga adalah bagian dari Nawacita, tapi rasanya kita (Kowani, Jala PRT dan Komnas Perempuan) berjuang sendiri. DPR juga tidak ada inisiatif untuk ikut mendorong.
 
RUU Perlindungan PRT digulirkan tiga belas tahun lalu, namun hingga saat ini belum ada payung hukum yang yang menjamin hak PRT. Mengapa proses Legislasi menjadi mandeg? Apa dan bagaimana terobosan Hukum yang perlu diupayakan?
Penting bagi kita untuk memiliki perpektif yang sama bahwa RUU PRT ini bermanfaat bagi kita semua. RUU PRT ini bukan hanya demi kepentingan PRT tetapi juga kepentingan bagi pengguna dan juga penyalur. Kami sendiri selalu mensosialisasikan pada 13 organisasi anggota tentang pentingnya RUU Perlindungan PRT ini. Mereka kemudian mensosialisasikan kembali pada masyarakat di sekitar mereka. Selama 13 tahun, DPR masih melihat bahwa RUU Perlindungan PRT ini hanya untuk kepentingan PRT. Penolakan terhadap RUU Perlindungan PRT ini didasari oleh cara pandang DPR yang memosisikan diri sebagai majikan yang akan dirugikan posisinya bila RUU tersebut menjadi UU. Kecemasan terhadap kehadiran UU Perlindungan PRT didasarkan pada asumsi bahwa bila RUU Perlindungan PRT ini menjadi UU, maka mereka tidak akan memiliki PRT lagi. Saya rasa kekhawatiran semacam itu berlebihan, dari sisi pengguna jasa sebenarnya keberadaan UU ini memungkinkan pengguna jasa untuk memiliki PRT yang profesional dan memiliki hubungan kerja yang profesional pula.  Kecemasan terhadap kehadiran RUU Perlindungan PRT dilandasi kekhawatiran bila kemudian PRT menjadi di atas angin, sombong, jual mahal dan sebagainya. Cara pandang seperti ini sebenarnya tidak lepas dari pola pikir yang melihat PRT dalam skema perbudakan, para pengguna nyaman dengan ketiadaan aturan yang jelas dan mengikat. Kami berjuang mengadvokasi RUU ini ke DPR. RUU ini penting untuk menjamin keselamatan perempuan dalam kerja agar mereka lebih nyaman dan terjamin dalam melakukan pekerjaannya sebagai PRT.
 
Demikian pula pemerintah, Kementerian Ketenagakerjaan belum sepenuh hati turut memperjuangkan RUU tersebut. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga belum optimal memperjuangkan, padahal permasalahan yang dihadapi PRT kita sebenarnya cukup kompleks, selain soal pelanggaran hak-hak perempuan sebagai pekerja di dalamnya juga banyak terjadi pelanggaran terhadap anak yang berprofesi sebagai PRT anak. Hukum yang perlu diupayakan adalah terus memperjuangkan pembahasan RUU Perlindungan PRT agar masuk di Badan Legislasi (Baleg) DPR dan seluruh stakeholder harus merasa penting untuk segera mewujudkan RUU ini dengan sosialisasi yang berkesinambungan, melibatkan semua unsur masyarakat, LSM terkait dan media massa/ media sosial perlu turut mem-blow up pentingnya RUU Perlindungan PRT ini. Perjuangan panjang telah dilalui oleh teman-teman aktivis PRT untuk memperjuangkan RUU Perlindungan PRT di DPR, namun DPR tidak merespons dengan baik dan masih menganggap RUU tersebut belum perlu, anggota DPR masih memosisikan diri mereka sebagai majikan.
 
Bisa dijelaskan Bu sejauh mana komitmen Kowani dalam memperjuangkan hak-hak PRT?
Kami melihat perjuangan dari Jala-PRT, Komnas Perempuan dan berbagai organisasi lain yang menuntut kehadiran UU Perlindungan PRT. Sudah 13 tahun UU ini diperjuangkan namun hingga saat ini tidak lolos. Pemerintah, stakeholder, eksekutif dan legislatif tidak mendukung UU ini. Kami Kowani ikut memperjuangkan UU ini. Kowani memiliki yayasan Bina Kerta, lewat yayasan itu kami memberikan pelatihan bagi pemerintah, untuk care giver, dan kepala rumah tangga. Yayasan dan program tersebut sudah ada sejak 1994. Sebenarnya pada tahun 1994 Kowani pernah mendesak pemerintah untuk menghentikan pengiriman TKI, namun desakan tersebut tidak didengarkan, akhirnya kami mencari cara lain untuk memberdayakan perempuan yakni pada tahun 1999 Kowani menjadi inisiator PAP (Persiapan Akhir Pemberangkatan) bagi TKI.  Kami memberikan materi pada para TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Kowani bergerak bekerja dalam berbagai aspek, kami mengedukasi, memberi bantuan hukum dan melakukan sosialisasi pada masyarakat. Kami berupaya untuk mengubah pola pikir masyarakat pada profesi PRT. Di zaman sekarang masih banyak orang yang merendahkan profesi PRT dan menerapkan perbudakan, di daerah Jawa dan bahkan di kota besar, masih banyak PRT yang disekap di dalam rumah. Penting untuk mengubah pola pikir demikian dan menumbuhkan kesadaran di masyarakat bahwa PRT adalah manusia. Data 2012 menunjukkan bahwa 75% PRT adalah perempuan. Kowani berjejaring dengan berbagai stakeholder lain untuk memperjuangkan UU ini. Kami giat mensosialisasikan dan memberikan edukasi pada masyarakat untuk mengubah pola pikir tentang PRT. Sebagai manusia dan perempuan PRT memiliki hak-hak yang harus kita penuhi. Penting bagi kami untuk mengawal UU Perlindungan PRT. Pertama-tama kami perlu mensosialisasikan bahwa UU ini penting tidak hanya bagi PRT tapi juga demi pengguna dan penyalur. Kami hendak mendorong PRT yang bermartabat dan memiliki nilai jual baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan keterampilan yang baik, PRT akan memiliki penghasilan yang lebih baik dalam dunia kerja.
 
Kowani tetap konsisten memperjuangkan hak perempuan dalam posisi apapun, dalam hal PRT, Kowani tidak memosisikan diri sebagai majikan, tetapi sebagai pembela hak perempuan, apalagi peran PRT sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Bekerja sama dengan Jala PRT, ILO dan Komnas Perempuan, Kowani telah melakukan sosialisasi dengan melakukan road show atau kunjungan kepada organisasi-organisasi anggota Kowani yang mempunyai anggota terbesar di seluruh Indonesia, saat ini baru terealisasi di 13 organisasi anggota Kowani, di samping secara terus-menerus menyuarakan pentingnya RUU Perlindungan PRT untuk segera menjadi UU diberbagai kesempatan dan tentu di berbagai media. Selain itu, kami juga membuat naskah posisi RUU Perlindungan PRT, kemudian kami mengomunikasikannya ke DPD dan DPR dalam rangka mensosialisasikan RUU ini.  Pada intinya kami berkomitmen untuk mengawal RUU Perlindungan PRT ini.  RUU ini sebenarnya penting untuk perlindungan PRT dan perlindungan pengguna jasa.
 
Dalam sosialisasi RUU Perlindungan PRT, Kowani sempat membedah aspek-aspek krusial dalam RUU tersebut, salah satunya tentang perjanjian kerja. Bisa dijelaskan urgensi dari perjanjian kerja bagi PRT dan PRT migran?
Perjanjian kerja dalam RUU Perlindungan PRT sangat krusial karena perjanjian tersebut dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, baik PRT maupun majikan, antara lain dalam hal, besaran upah (bukan UMR tapi diserahkan pada badan pengupahan nasional), jam kerja, hak cuti, jaminan sosial, kecakapan/skill PRT dan lain sebagainya. Jaminan sosial penting diberikan bagi PRT, hal ini baik untuk PRT dan juga majikan, PRT menjadi terjamin dan majikan juga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Perjanjian kerja ini sebenarnya memberikan keseimbangan hak dan kewajiban PRT dan majikan. PRT mendapatkan haknya tapi di sisi lain majikan juga mendapatkan haknya, karena dalam beberapa kasus ada pula PRT yang bekerja dengan tidak profesional, misalnya waktu cuti yang tidak jelas. Dalam aturan ketenagakerjaan ada aturan cuti yang jelas, misalnya dalam 1 bulan waktunya adalah 4 hari libur, tapi pada praktiknya ada PRT yang baru izin pulang kemudian sudah izin lagi, dalam hal itu majikan tidak bisa memotong gaji PRT, kita harus bayar gaji secara penuh bila tidak ada perjanjian kerja. Jadi perjanjian kerja melindungi semua pihak. Karena kekecewaan pihak majikan terhadap PRT selama ini juga tidak kalah pentingnya dan kasus-kasus kekerasan terhadap majikan dan anak majikan yang dilakukan oleh PRT juga kerap terjadi. Demikian pula kasus pencurian, perampokan dan tindak kriminal lain yang dilakukan PRT terhadap majikan. Perjanjian kerja nantinya bersifat mengawal hak dan kewajiban kedua belah pihak, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang akan dirugikan di kemudian hari. Kedudukan PRT dan majikan sejajar di mata hukum. Sanksi hukum akan lebih jelas bila PRT atau majikan melanggar perjanjian yang telah disepakati. Edukasi sadar hukum akan diberikan secara langsung maupun tidak langsung, baik kepada PRT maupun majikan. Sosialisasi tentang pentingnya perjanjian kerja ini juga harus terus dilaksanakan, agar tidak ada lagi rasa kekhawatiran, utamanya dari pihak majikan yang selama ini berkembang di masyarakat, seakan perjanjian kerja ini hanya berpihak kepada perlindungan PRT, padahal perlindungan majikan juga diutamakan.
 
Selain menghadirkan UU Perlindungan PRT, apa upaya konkret yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan PRT dan PRT migran?
UU ini penting. UU Perlindungan PRT juga perlu memuat tentang pentingnya peran BLK.  Dalam hal ini Kowani mengharapkan adanya upaya pemerintah untuk memberdayakan balai-balai latihan kerja (BLK) untuk PRT maupun PRT migran, sehingga keterampilan yang dimiliki PRT dapat dipertanggungjawabkan, bahkan bila memungkinkan hingga tahap sertifikasi. Hal ini menjadi penting agar PRT mampu bersaing di pasaran tenaga kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. BLK harusnya tidak hanya ada di tingkat provinsi melainkan juga ada di tingkat kabupaten, kota, kecamatan. Dengan adanya UU ini diharapkan ada kebijakan-kebijkan yang mendukung peningkatan kemajuan PRT. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri, tidak dapat dipungkiri banyak yang disebabkan oleh keterampilan yang dimiliki PRT maupun PRT migran tidak sesuai dengan yang diharapkan. Majikan sudah mengeluarkan biaya rekrutmen yang cukup besar kepada pihak penyalur dengan upah yang mereka tetapkan setinggi-tingginya, namun kenyataannya majikan tidak mendapatkan hak yang sesuai. UU ini penting hadir untuk meminimalkan fungsi agen, karena agen banyak berperan dalam merugikan kedua belah pihak. Jika ada UU ini, kita bisa memotong operasi tengkulak, harusnya negara yang memfasilitasi proses mempekerjakan PRT, harus dijamin undang-undang dan didukung oleh aturan-aturan yang jelas. PRT harusnya terdaftar sebagai pekerja yang jelas. Perangkat hukum yang mengatur kerja PRT sampai saat ini masih dirasa belum memadai. Sehingga kontrak sosial antara para pihak dibiarkan berjalan seadanya.
 
Dalam masyarakat masih ada anggapan bahwa PRT adalah posisi yang rendah dan marginal, tuntutan akan hadirnya UU Perlindungan PRT diharapkan dapat meregulasi masyarakat untuk bertindak humanis dan adil pada PRT, namun apakah untuk mengubah cara pikir dan tindakan masyarakat terhadap PRT cukup diupayakan lewat UU atau dibutuhkan regulasi-regulasi lain?
Pada akhirnya kedudukan PRT akan sama dengan profesi-profesi lainnya di dunia kerja, sebagai PRT juga akan dituntut profesionalisme yang tinggi, sesuai dengan tugas dan kewajibannya, sehingga hak-haknya dilindungi oleh Undang-Undang secara jelas. Dengan demikian cara pandang masyarakat terhadap PRT tidak lagi memandang rendah, harus ada benefit mutualism dalam relasi kerja. Kebutuhan akan PRT sudah sejak lama dirasakan sangat penting oleh masyarakat. Dari anak-anak hingga lansia (Care Taker/Care Giver) semua membutuhkan PRT. Di negara-negara maju profesi PRT ini sudah sangat umum dan diupah dengan mahal, yaitu dengan hitungan upah per jam yang cukup tinggi.  Hanya keluarga yang cukup mampu secara ekonomi dan sosial sajalah yang dapat mempunyai PRT di rumah tangganya. Tentu PRT yang dimaksudkan di sini adalah PRT yang mempunyai keterampilan dan pendidikan yang sesuai, mempunyai ijazah pelatihan dan sertifikasi dari Badan Sertifikasi Nasional.
 
Di sinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan. Selain keberadaan RUU Perlindungan PRT, dibutuhkan juga regulasi-regulasi yang jelas, antara lain kerja sama beberapa instansi pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan Nasioanal, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (melindungi PRT anak), BNSP ( Badan Nasional Sertifikasi Profesi ) serta Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI khusus untuk PRT migran.


Gunretno: “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili.”

29/10/2016

 
Anita Dhewy
Jurnal Perempuan
anitadhewy@jurnalperempuan.com
PictureDok. Donny Danardono
​Gunretno adalah petani sekaligus koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang bersama komunitasnya Sedulur Sikep, gigih mempertahankan tanahnya dan menolak pendirian pabrik semen PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati pada 2006. Perjuangan Gunretno dan Sedulur Sikep membuahkan hasil dengan dimenangkannya gugatan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung pada 2009. Kemenangan ini diikuti dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. Sedulur Sikep sendiri adalah masyarakat adat yang tinggal di sepanjang kawasan Pegunungan Kendeng, membentang dari Blora dan Pati di Jawa Tengah hingga Bojonegoro di Jawa Timur. Mereka adalah pengikut ajaran Samin Surosentiko—yang bernama asli Raden Kohar—seorang tokoh dari Blora yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890 dengan menolak membayar pajak karena membebani petani dan mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan Saminisme oleh antropolog Amrih Widodo disebut sebagai fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara dan menjadi bagian dari gerakan petani. Karena itu perlawanan dan penolakan yang dilakukan Sedulur Sikep terhadap korporasi semen hari-hari ini memiliki akar sejarah yang panjang dalam konteks gerakan perlawanan petani di Indonesia.
 
Setelah berhasil ditolak di Sukolilo, Pati, pada 2012 PT Semen Gresik yang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia justru memperoleh izin di Tegaldowo, Rembang yang diikuti dengan pembangunan pabrik pada 2014. Maka Gunretno bersama Sukinah dan masyarakat Rembang melakukan perlawanan, menuntut penghentian rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia. Pada 16 Juni 2014 bertepatan dengan peletakan batu pertama PT Semen Indonesia di Rembang, ratusan ibu-ibu menggelar aksi dengan memblokir akses jalan di areal tapak pabrik agar truk-truk yang mengangkut material tidak dapat masuk ke lokasi tapak pabrik. Aksi mereka dihadang oleh aparat kepolisian. Mereka kemudian mendirikan tenda di dekat pintu masuk tapak pabrik. Hingga tulisan ini dibuat (sudah lebih dari dua tahun sejak didirikan), yu Sukinah dan ibu-ibu yang lain masih bertahan di tenda.
 
Gunretno juga membantu perjuangan warga di kecamatan Tambakromo dan Kayen, Pati, yang diincar oleh pabrik semen yang lain yakni PT Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa. Warga telah melakukan gugatan atas terbitnya izin pabrik dan penambangan tersebut dan dimenangkan lewat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada tanggal 17 November 2015. Namun pemerintah Kabupaten Pati dan PT SMS mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya. Sementara gugatan warga Rembang dan Wahana Lingkungan hidup (Walhi) atas izin penambangan PT Semen Indonesia (dahulu PT Semen Gresik) ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang pada 16 April 2015. Majelis hakim beralasan dalam rencana pendirian pabrik, tergugat telah memenuhi kewajiban dengan melakukan asas keterbukaan publik, di antaranya sosialisasi kepada perangkat desa dan masyarakat. Di Gombong, Kebumen, penolakan terhadap pembangunan pabrik semen juga dilakukan warga terhadap PT Semen Gombong (Medco Group). Selain wilayah tersebut upaya pembangunan pabrik semen juga gencar dilakukan di wilayah lain seperti Wonogiri dan Maros (Sulawesi Selatan).
 
Gunretno dan masyarakat pegunungan Kendeng tak surut berjuang. Sejumlah aksi digelar untuk menolak pembangunan pabrik semen di Rembang dan di Pati atau di Jawa. Pada 12 dan 13 April 2016, 9 Kartini Kendeng yaitu Sukinah, Sutini, Giyem, Karsupi, Deni, Surani, Ambarwati, Murtini dan Ngadinah menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara dengan menyemen kaki mereka. Di hari kedua Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno menemui Sukinah dkk dan menyampaikan pesan bahwa Presiden Jokowi akan menjadwalkan pertemuan. Gunretno dan Sukinah (mewakili 9 Kartini Kendeng) kembali menggelar Aksi Kartini Kendeng Nyelameti Presiden Joko Widodo pada 21 Juni 2016 di depan Istana Negara bertepatan dengan ulang tahun Jokowi. Pada kesempatan ini juga, pagi hari sebelum aksi berlangsung Gunretno bersama sejumlah akademisi bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan dan perusahaan semen.
 
Jurnal Perempuan berbincang dengan Gunretno usai aksi bersama di depan istana tentang gerakan yang dibangunnya untuk menjaga dan melindungi alam, ruang kehidupan masyarakat Kendeng, juga upayanya menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pegunungan Kendeng dengan mata air yang dimilikinya bagi kehidupan mereka serta upayanya melakukan advokasi penolakan pabrik semen termasuk merawat keberadaan Sedulur Sikep. Sikap dan tindakan Gunretno yang mengedepankan empati, menumbuhkan kesadaran kritis dan rasa keberpihakan terhadap alam atau yang disebutnya sebagai ibu bumi dan masyarakat petani dapat dikatakan sebagai pendekatan feminis.
 
 
Kalau saya lihat gerakan yang kang Gun dan kawan-kawan lakukan itu selalu ada proses pendokumentasian, nah kesadaran akan pentingnya dokumentasi ini awalnya bagaimana ya?
 
Mulainya ya belajar dari pengalaman sendiri akan pentingnya dokumentasi, pentingnya memiliki bukti, jadi awalnya karena kebutuhan akan bukti. Jadi begini, aku sebagai Sedulur Sikep kebetulan dibutuhkan di beberapa kelompok tani, ketika kemudian aku sering difitnah, aku merasa kalau aku berdebat secara lisan tidak akan selesai, karena penting buatku untuk mendokumentasikan setiap kegiatanku. Jadi aku walaupun dari Sedulur Sikep, tapi sejak awal sudah melek teknologi. Untuk dokumentasi mulai dari alat rekaman pita kaset, disket itu semua penting. Karena aku sering punya pengalaman difitnah, ketika aku punya bukti berupa rekaman visual, maka berhenti fitnah itu. Jadi dokumentasi penting untuk dilakukan. Dari situlah dalam proses perjalananku kemudian aku menyiapkan orang untuk belajar dokumentasi terlebih dulu. Karena mereka (pihak perusahaan) menggunakan senjata memecah-belah dengan fitnah. Jadi kalau kita punya dokumentasi akan sangat membantu. Karena itu alat-alat mulai dari kamera, lalu alat untuk skype, seperti itu kawan-kawan sudah aku bekali dari awal.
 
Kang Gun membangun jaringan dan punya banyak relasi ya, adakah hambatan atau tantangan yang dihadapi untuk membangun jaringan dan menggerakkan kawan-kawan?
 
Hm, sebenarnya niat untuk membangun jaringan ini bukannya tidak sengaja, tapi memang bisa dikatakan aku itu selalu menceritakan apa yang sebenarnya. Nah jadi dengan cerita-ceritaku itu kemudian ada yang tertarik, bersama-sama. Tertarik itu ada yang modelnya semangat ketika awal lalu lama-kelamaan menjadi tidak semangat. Ada juga yang ketika tahu secara mendalam dan merasa hanya sekadar begitu, lalu kemudian merasa tidak cocok. Ketika tidak cocok lalu kemudian menjelek-jelekkan. Yang seperti ini juga ada. Tetapi memang pada dasarnya yang penting ikhlas dan mengatakan apa adanya saja. Itu buatku cukup. Jadi kalau hambatan ya tetap ada dan semua itu menjadi proses belajar.
 
Selama ini strategi yang kang Gun gunakan untuk menghadapi upaya fitnah atau pecah belah itu bagaimana?
 
Ada berbagai cara ya. Salah satunya yang bisa dikatakan sebagai strategi juga, contohnya aku disebut mendapat bantuan dana atau funding dari mana-mana, lalu punya mobil, punya sawah dimana-mana, ya dituduh sebanyak apapun pada dasarnya tidak benar. Tapi memang melelahkan jika tuduhan itu tidak ditanggapi. Salah satunya dengan dokumentasi, tapi itu juga tidak cukup. Sampai ada strategi ketika kemarin itu aku banyak difitnah, lalu cara yang kulakukan apakah harus ada sumpah di tempat yang disakralkan bagi mereka? Itu yang biasanya membuat mereka kemudian tidak berani. Jadi kemarin ketika longmarch jalan kaki 20 kilometer di Pati itukan tengah malam, jadi ada orang-orang yang datang ke rumahku menyampaikan mas Gun kalau berani datang ke salah satu desa ini kalau memang benar-benar menolak semen. Di sana ternyata kemudian dikatakan bahwa aku selalu membuat pertemuan dengan mengundang warga. Ini perintah kang Gun, misalnya begitu, padahal aku tidak menyuruh. Kemudian dikatakan ini orangnya tidak datang karena dia sudah tidak berani dengan warga sini, karena dia suka memanfaatkan orang. Jadi orang-orang diundang dengan mengatasnamakan aku, padahal aku tidak menyuruh. Beberapa kali ada kejadian sampai seperti itu. Jadi itukan benar-benar fitnah karena aku tidak mengundang. Nah lalu mereka membuat saksi pembenaran, dengan mengatakan kemarin sudah kumarah-marahi orangnya, nanti kalau dia berani datang, potong tanganku. Sementara aku tidak tahu apa-apa. Kejadiannya sampai seperti itu. Nah ini membuat orang semakin emosi, semakin ingin mengancam dan membunuhku, sampai seperti itu. Aku tahunya ketika ada orang-orang yang mungkin loyal ya, menanyakan, “Kang tadi bikin pertemuan di sini?”, “Pertemuan apa? Enggak. “Lha ini tadi ada undangan pertemuan di sana.” “Ya sudah didoakan saja. Ada apa?” Lalu dia bercerita, jadi aku akhirnya tahu. Bahkan orang yang dekat denganku, Lik Ngadiman, dibawa-bawa juga. Dikatakan bahwa Lik Ngadiman yang dekat denganku, yang disuruh menyampaikan pesan, dan meski sudah disampaikan lewat teman sendiri, ternyata aku tidak datang. Padahal Lik Ngadiman ya tidak disuruh untuk menyampaikan pesan. Ya semacam itu fitnahnya, dan ini terus dilakukan, mereka punya tim yang mengerjakan itu.
 
Keluarga sejauh ini bagaimana ketika Kang Gun menghadapi berbagai ancaman?
 
Ya mulai dari simbah-simbahku, mulai keluarga satu rumah, dari bapak, ibu, adik, kakak, saudara-saudaraku semuanya sudah paham. Ya mereka selalu mengingatkan untuk berhati-hati. Ya tidak sekadar mengingatkan, kalau ada apa-apa keluarga merapat semua, memang keluarga yang menguatkan, mbak. Keluarga yang saya maksud itu ya bukan hanya yang berasal dari satu bapak dan ibu. Mereka yang selama ini loyal, itu juga sudah seperti keluarga sendiri, meskipun mereka orang lain.
 
Selama ini yang kang Gun lakukan itukan gerakan anti kekerasan begitu ya, dengan misalnya melakukan long march, happening art seperti yang dilakukan di PTTUN Surabaya, lalu menyemen kaki, nyelameti Jokowi, dsb. Ada makna yang dalam yang disampaikan tapi juga tidak membuat orang menjadi marah kalau melihat itu. Nah ini bagaimana kang Gun bisa mengemas gerakan ini menjadi begitu mempunyai kekuatan?
 
Dasarnya sederhana mbak, sebenarnya dasarnya diukur dari diri pribadi. Jadi aku selalu membahasakan bahwa di dunia ini ada dua warna, ada keburukan dan ada kebaikan. Jadi keburukan itu menjadi penyeimbang kebaikan. Tapi jangan lantas senang ketika diri kita sedang berada di tempat yang baik, karena itu yang aku ajarkan jangan ada kebencian terhadap siapapun termasuk lawan. Ketika calon majelis hakim yang memimpin persidangan kasus Pati itu Santer Sitorus yang pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus korupsi, orang-orang sudah merasa pesimis. Sikap pesimis ini sebenarnya tidak bagus, sudah tidak ada rasa percaya. Mungkin aku umpamakan aku pernah bersalah, ketika aku berusaha untuk berubah, justru ada kondisi yang memvonis, itu rasanya seperti apa. Karena itu aku selalu membahasakan bagaimana ibaratnya tetap tajam namun tidak menyakiti, seumpamanya keras juga tidak melampaui yang sewajarnya. Mau menjelek-jelekkan Santer, aku tidak bisa, jadi ya positif saja, nanti pasti ada jalan. Ya didoakan bahwa kain putih memanjang yang ditulisi dengan doa itu mudah-mudahan mengingatkan Santer. Di luar itu, kekhawatiran apakah doa tersebut akan terkabul atau tidak, ya ada. Tapi pesimis itu salah satu penyakit. Jadi harus tetap optimis bahwa kalau benar caranya, bersih niatnya, tetap ada jalan. Nah strategi atau ide seperti ini biasanya muncul secara spontan. Ya memang aku mengumpulkan sedalam mungkin semua yang kudapat, data-data dari situasi yang ada ku timbang, ku matangkan. Selalu seperti itu dan biasanya prosesnya berlangsung dengan cepat. Misalnya ketika menyemen kaki, persiapannya tidak sampai lima hari lalu langsung berangkat ke Jakarta, hasilnya ternyata bisa berjalan. Padahal kalau yang lainnya lewat proses, ada pertemuan, ini dan itu. Sedang yang di pengadilan Surabaya dengan menggunakan kain putih itu gagasannya muncul sehari sebelumnya. Sempat kupikir-pikir, iya atau tidak. Akhirnya iya. Lalu mencari kain putih seratus meter, pesan di Solo sehari sebelumnya. Ya seperti itu.     
 
Kalau tembang-tembang yang biasa dinyanyikan ketika menggelar aksi itu bisa diceritakan bagaimana maknanya?
 
Ya semua kegiatan aksiku itu aku melahirkan tembang-tembang. Selalu beda karena konteksnya beda. Katakanlah waktu di DPR ya, tanggal 16 Juni itukan memperingati dulur-dulur (saudara-saudara) Rembang yang sudah dua tahun di tapak pabrik, di tenda, kami membuat tembang. Seringnya membuat sendiri, hanya kadang aku menggali dari orang yang tahu tentang nembang. Pada waktu dulu, ada mbak Tantri yang kebetulan lebih tahu tentang aku, lalu sering aku memberikan bahan yang akhirnya menjadi tembang. Tapi sebelum kenal mbak Tantri ya aku bikin sendiri, mau dikatakan kolaborasi juga bisa. Ketika long march 20 kilometer itukan bagaimana caranya orang bisa tersentuh sehingga bisa ikut bersama-sama (dalam rombongan), karena kami inikan minoritas, orang Sedulur Sikep. Lalu ketika aku yang punya ide, ada celah orang itu nggak setuju. Nah maka kami menggandeng salah satunya mas Gufron. Lalu jadilah lagu: Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili, kemudian tambahannya La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Nah bagi kami itu tabu mengeluarkan kata-kata, sebenarnya takut, tapi nggak apa-apa, karena kalau sedulur-sedulur Muslim kan biasa. Jadi karena mayoritas Muslim, ya ini dipadukan. Nah kejadian-kejadian seperti itu biasanya spontan mbak. Sore itu sepuluh menit sebelum terlaksana, aku berpikir, long march 20 kilometer malam hari, kalau hanya diisi orasi, mungkin orang nggak senang. Tapi ketika selama 4 jam hanya menyuarakan itu, dua ribu orang menggunakan oncor lalu melantunkan itu, dari barisan depan, tengah dan belakang, diulang-ulang, mungkin bisa membuat orang yang melihat menjadi tersentuh. Pada akhirnya ada yang gabung ikut berjalan, ada yang dengan sepeda membawakan air dan memberikan minuman kepada orang yang berjalan, arti menyentuh hati mereka. Nah waktu di Surabaya kami juga membuat tembang, ini terkait gugatan banding dari Bupati Pati, ketika kalah di PTUN Pati lalu banding di PTTUN Surabaya. Nah aku dengar bahwa salah satu calon hakim ada yang bermasalah. Santer Sitorus pernah diperiksa oleh KPK karena suap. Satu hari sebelum berangkat untuk aksi, sore jam 3 aku dapat berpikir bagaimana ada kain putih seratus meter, terus ditulisi doa itu tadi, ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, sambil diangkat dan Sembilan Kartini berjalan dengan membawa bendera merah putih sambil membaca geguritan, diiringi ibu pertiwi. Ibu-ibu yang mengangkat kain putih juga mengenakan kain putih pinjungan. Jadi ini ada tembangnya juga: kain pinjung mengko werdi panjang punjung / slamet lan raharjo ibu pertiwi ibu bumi / saking serakah lan angkara ning manungso / putih iku pralambang sucining kalbu / mugi dayanana mring sedaya para hakim / mutuske adil mring yuna nusantara. Jadi kami tetap selalu berpikir positif, mugo-mugo putusane kanggo keapikane nusantara (mudah-mudahan putusannya untuk kebaikan nusantara). Jadi walaupun dia dipandang banyak orang tidak baik, kami selalu berpikir bahwa tidak ada orang yang senang menjadi jelek, semua orang ingin menjadi baik. Ketika dia sudah punya laku yang tidak baik, mungkin kita juga harus berterima kasih karena baik dan jelek itu sudah jadi imbangannya, itu yang selalu ku pegang. Pada akhirnya yang terjadi, di semua kegiatanku, polisi, tentara, mungkin sedikitpun tidak punya celah untuk mencari kesalahanku. Dan ini yang terjadi persoalan Kendeng dari awal dan tidak hanya Kendeng sih. Dari sebelumnya kami kan memang persoalan lingkungan, sebelum ada pabrik semen juga sudah ada persoalan. Nah waktu di Surabaya kami buat 4 tembang pucung. Lalu ketika di Rembang, Rembang itukan sudah dua tahun ibu-ibu mengetahui lalu-lalang mobil-mobil alat berat, membawa material untuk mendirikan konstruksi pabrik, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, sudah melapor bahwa di sana ada perusakan, tapi tidak dihiraukan. Jadi kubikin tembang: Amung butuh waktu rong tahun lumaku kanggo ngrusak alam / lemah subur den keduki, sedaya nuruti serakahe kapital / ora krungu opo nutupi pangrungu pengembating praja / sajak ora do peduli, ndulu lan nggulati gelare kahanan / wis rong tahun, prihatine para ibu ono jroning tenda / labuh nggrungkepi pertiwi tan kendat anyekapi sandang boga / siro ibu pertiwi kang setyo tuhu tyas iki percoyo / ndika kang bakal ngadili polah manungsa kang uwus nyawiyah ndika. Jadi kalau ibu-ibu ini ditindak, tidak dihormati, disakiti, tetap akan dibela ibu bumi.
 
Lalu prosesnya bagaimana ya Kang sampai kemudian yu Sukinah yang dipilih memimpin di Rembang dan kenapa yu Sukinah? 
 
Nggak tahu sih, ini juga mungkin dari alam, bahwa ada Sukinah. Jadi persoalan Rembang sudah hampir dua tahun, aksi-aksi nggak dihiraukan untuk aksi di wilayah Kabupaten. Satu saat ini harus diangkat secara nasional, bahwa di sini ada banyak pelanggaran. Nah waktu itu ya cukup lewat telepon ya, aku hubungi, mengajak ke Jakarta, entah nanti ke Komnas HAM, atau ke KPK, pokoknya ini disuarakan. Nah waktu itu aku banyak urusan persoalan Kendeng, di Pati, di Grobogan, jadi aku cuma bilang nanti berangkat naik bus, turun di Pulo Gadung, lalu ke tempat pak Bondan Gunawan, ketemu di sana. Waktu itu rencananya aku naik kereta, karena banyak urusan, tiket kadang jadi nggak keruan. Lalu aku diantar teman untuk cari tiket kereta, ternyata habis. Akhirnya naik bus. Nah aku nggak tahu ya, kebetulan satu bus dengan warga Rembang dan tempat duduknya urut, jadi yang depan aku, lalu Sukinah dan warga Rembang. Kami bisa ketemu satu bus padahal tidak janjian. Lalu aku berpikir dalam hati, ini ada apa ya. Jadi berangkat ke Jakarta sama-sama. Setelah di Jakarta, lalu menyusun strategi akan bertemu siapa, kami biasanya minta tolong ke teman-teman jaringan untuk membuat pemberitahuan entah ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atau ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kami minta tolong ke jaringan salah satunya HUMA. Namun yang sering terjadi ternyata lobiku lebih cepat untuk bertemu dengan siapa saja selama ini. Ketika aksi di Kedutaan Besar Jerman waktu itu, lalu terpikir spontan untuk mendatangi Kementerian ESDM, ya langsung berangkat. Ternyata di sana dikasih ruang dan tidak hanya menyampaikan surat saja, tapi diterima dengan baik. Kembali lagi ke soal Sukinah, ketika di tempat pak Bondan, aku menggali riwayat Sukinah. Jadi tidak langsung dipilih begitu, kami lihat salah satunya kemampuan mereka berbicara. Selain Sukinah ada juga Prin (Joko Prianto). Kesejarahan riwayat Sukinah kugali, Prin juga. Akhirnya ya sudah, Sukinah kamu yang jadi Senopatinya Rembang. Seperti itu yang terjadi. Di Gombong juga seperti itu.
 
Kalau untuk pengaderannya katakanlah seperti itu, prosesnya bagaimana ya Kang?
 
Ya salah satunya sederhana ya, kami ini bukan mengajarkan, tapi seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung pada kita mengeluarkan sesuatu. Ketika Sukinah itu sering bersama aku, Prin bersama aku, ya akan mendapatkan sesuatu yang lebih banyak. Jadi sebenarnya lebih pada ayo sama-sama belajar, aku juga masih belajar. Sederhana seperti itu.
 
Selama ini sedulur sikep dikenal memiliki kedekatan dengan alam, bisa diceritakan Kang bagaimana tradisi ini bisa terbangun?
 
Mungkin ini ya taruhlah aku cerita saja tentang Sedulur Sikep, sampai sekarang tidak sekolah formal, hanya ingin menjadi petani, tidak ada yang berdagang, terus perkawinannya tidak dicatatkan ke pemerintah. Ini pilihan hidup, bukan berarti menolak. Kami merasa ini sudah jadi pilihan, jadi hidup dengan cara ini bagi kami sudah cukup. Jadi taruhlah orang-orang itu ketika tidak puas dengan pemerintah terus menghujat, beda dengan Sedulur Sikep. Jadi konsisten pilihan hidupnya dengan cara seperti itu, itu bagian dari membangun keseimbangan. Sederhana mbak, kami bilang bahwa, yo ono sing nulis, ono sing macul, kuwi gathuke, nek nulis kabeh do megah macul (ya ada yang menulis, ada yang mencangkul, itu menjadi imbang, kalau semua menulis, nanti tidak ada yang mencangkul) jadi itukan keseimbangan. Terus persoalan belajar, ini memang pilihan ya, jadi semua orang yang belajar biasanya kan punya gegayuhan, punya cita-cita, lha kalau di Sedulur Sikep itukan hanya ingin mbecikno laku, mbenerno ucapan (memperbaiki tingkah laku dan ucapan) dan itu cukup belajar dengan bapak ibu. Kalau untuk mencukupi kebutuhan hidup dan hanya lewat bertani, juga cukup belajar dengan bapak ibu. Jadi aku merasa ini konkret karena pilihannya sederhana sekali kan. Lha maka dari itu jahat ya ketika kami itu melakukan tolak semen dan dianggap punya pamrih. Pamrihnya dimana? Karena kami itu banyak sedulur (saudara) ya nggak mungkin aku manfaatkan, aku mencalonkan diri jadi lurah atau DPR ya nggak mungkin karena nggak punya ijazah. Lalu kalau jadi pejabat ya nggak mungkin. Nah ini memang yang selalu dibangun mereka bahwa seolah-olah gerakan kami ketika dulu menolak semen Gresik disuarakan kami dibiayai oleh Indocement. Sekarang nyatanya Indocement juga aku tolak kan. Lha terkait Sedulur Sikep punya kedekatan dengan alam itu ya memang sudah ditanamkan dari kecil, belajar bersama keluarga, ke sawah, seperti itu. Lalu mungkin ada kekhawatiran untuk menyebutkan ya, misalnya, “Aku hidup itu ada yang menciptakan.” “Siapa?” “Gusti Allah”, “Gusti Allah itu siapa?” Perdebatan tentang ini sampai sekarang jawabannya ada di keyakinan. Tapi pada kenyataannya bumi yang kita injak ini yang memberi kita hidup. Ini nyata atau tidak? Jadi kalau tadi ada doa (dalam aksi Kartini Kendeng Nyelameti Presiden Jokowi yang digelar di depan Istana bertepatan dengan hari kelahiran Jokowi pada 21 Juni 2016, Sukinah dan Gunretno mendaraskan lagu/doa yang digubah Gunretno) yang bunyinya, “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili,” (Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili) itukan nyata sebenarnya. Nah ini kadang dipandang seolah-olah Sedulur Sikep itu tidak punya keyakinan, tidak percaya adanya Sang Pencipta atau Gusti atau apa. Memang dari kami kalau terlalu disebut itu juga khawatir ya, bahwa kita hanya mementingkan untuk “menyebut” tapi tingkah lakunya nggak cocok dengan apa yang sering disebut itu. Sebenarnya dari kami ketika sering disebut itu justru malah menyepelekan. Nah ketika tidak disebut, lalu dianggap tidak punya Gusti, seperti itu yang terjadi. Maka kami sadar ketika simbah-simbah kami zaman (penjajahan) Belanda itukan memang diadu domba bahwa Sikep itu tidak punya atau tidak percaya dengan Gusti Allah, dia itu kafir seperti itu. Jadi memang dicarikan musuh sesama masyarakat. Tapi memang keyakinan Sedulur Sikep ya percaya, wong iku sak dermo nglakoni (orang itu sebatas menjalani). Artinya sak dermo itukan ya percaya ana sing murgi gesang (percaya ada yang memberi hidup), tapi nggak harus disebut. Cukup bahwa bagaimana kita hidup itu bisa berguna untuk orang banyak, itu saja.
 
Bertani itukan menjadi kehidupan dan penghidupan Sedulur Sikep dan saya dengar yang dijalankan itu pertanian organik, bisa diceritakan Kang, bagaimana pola pertanian yang dipraktikkan Sedulur Sikep?
 
Tidak menyebut secara keseluruhan Sedulur Sikep, tapi menyebut Gunretno sebagai Sedulur Sikep. Maksudnya berorganik itu tidak mudah, ketika menyebut Sedulur Sikep kan pandangannya seolah-olah semua Sedulur Sikep sudah berorganik, lebih tepat Gunretno sebagai Sedulur Sikep yang sudah berorganik. Aku tidak hanya berbicara teori tapi sudah menjalankan pertanian organik selama 20 tahun. Kalau ditanya kenapa, ya sederhana saja, ketika tanah kita cintai dengan sungguh-sungguh maka sebaliknya kita juga akan dicintai. Jadi ketika selama ini kawan-kawan berlomba untuk meningkatkan produksi dengan mengeluarkan biaya produksi yang lebih tinggi, sesungguhnya pada akhirnya petani justru menjadi buruh di lahannya sendiri. Itu jika dilihat dari perhitungan ekonomi. Menjalankan  pertanian organik harus diawali dari pola pikir terlebih dahulu . Selama pola pikir seseorang belum berubah, maka untuk melakukan pertanian organik dari mulai menggarap lahan hingga mengelola lingkungan secara organik akan mengalami kesulitan. Jadi harus dimulai dari diri kita sendiri, harus dibangun dulu jiwanya. Karena penyakitnya biasanya ketika seseorang tidak memiliki rasa percaya terhadap dirinya sendiri, itu menjadi sumber awal dari penyakitnya. Karena dia tidak akan percaya diri dengan apa yang dilakukan. Tidak akan percaya bahwa yang dia lakukan itu memang sesuatu yang riil jadi kebutuhan. Salah satu contoh kalau kita kekurangan, maksudnya kekurangan dalam hal untuk mencukupi kebutuhan hidup diri kita sendiri, sebenarnya yang punya kemampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita, ya diri kita sendiri. Tapi setelah kita punya kemampuan untuk menyelesaikan hal tersebut kadang kita tidak bersyukur. Tidak bersyukur pada diri kita sendiri yang berusaha melakukan sesuatu untuk diri sendiri. Akhirnya itu yang menjadi sumber tidak percaya pada diri sendiri, tapi percaya pada orang lain yang semestinya mereka tidak tahu ukuran yang tepat untuk diri kita. Ingin makan kurang beras, mesti yang bisa mencukupi diri kita sendiri. Tapi di saat kita bisa mencukupi sendiri tidak ada syukur dan penghargaan terhadap diri sendiri akhirnya selalu heran, heran dengan mungkin promosi, teori yang lebih bagus, rasa heran itu sampai menghilangkan jati dirinya bahwa sesungguhnya lebih berharga ketika kita sendiri bisa menyelesaikan persoalan apapun.
 
Ini juga butuh keimanan. Ketika ada yang ngomong, menanam padi kok jarang-jarang, aku kan sudah pakai sistem SRI (system of rice intensification), sistem SRI itu bisa dikatakan kita menanam dengan jarak tanaman yang lebih lebar dan ada penjelasan rasionalnya. Jika dalam pertanian konvensional orang menggunakan jarak tanam sekitar 15 cm, jarak tanam yang aku gunakan 20 atau 25 cm. Jika ditarik garis bundar, kawasan akar yang akan memakan unsur hara tanah menjadi lebih luas, sehingga kebutuhan tanaman tercukupi. Dengan tercukupinya unsur hara tanaman, maka menjadikan tanaman tersebut memiliki daya tahan dan sehat serta cepat berbuah. Dengan cara seperti ini biaya produksi yang kukeluarkan selalu kecil. Kawan-kawan kena hama, aku tidak. Ini yang aku lakukan. Sudah kukasih contoh seperti ini kadang orang tidak percaya.     
  
 
Di antara Sedulur Sikep apakah ada juga yang mempraktikkan pertanian organik?
 
Iya mulai ada, semi organik. Adikku Gunarti, lalu Lik Kuat, Lik Kukuh, ya ada beberapa sudah mulai semi, jadi semi itu tidak 100% organik. Lalu di Blora, ada Sedulur Sikep Lik Tejo, juga ada kawan-kawan di luar Sikep yang kenal aku sudah mulai ada satu dua orang yang meniru caraku.
 
Jadi Sedulur Sikep lainnya rata-rata masih menggunakan pola bertani yang biasa ya?
 
Iya, banyak yang seperti itu, masih dengan pola yang biasa. Tapi sudah mulai mengarah ke semi organik dan mengurangi pestisida, mengurangi penggunaan pupuk kimia. Sudah ke arah sana, tapi untuk total tidak menggunakan bahan kimia seperti yang kulakukan dalam menanam padi sepertinya belum ada yang berani.
 
Ketakutan dari sedulur atau kawan-kawan petani yang lain itu karena khawatir gagal atau karena apa ya?
 
Begini jadi bukan dalam arti takut gagal, bukan, lebih pada penurunan produksi dan pasar. Pasar tidak menjamin mereka karena hasil produk organik katanya mahal. Nah itu yang tadi saya katakan ketika timbul kekhawatiran, istilah khawatir itu sendiri sudah menjadi penyakit. Berbeda ketika aku bertani organik, targetku bukan untuk mencari untung, targetku adalah aku bisa mengonsumsi beras yang sehat. Jadi tujuannya memang untuk diri sendiri. Berbeda seperti misalnya kalau hasil produksiku meningkat aku bisa beli ini itu, maka itu sudah menjadi penyakit. Jadi memang dibutuhkan penggunaan teknologi yang tepat. Misalnya pada umumnya pemupukan dilakukan pada saat padi berumur 15 hari, misalnya seperti itu. Lalu masa tanam benih itu harus berumur 21 hari atau 30 hari. Nah cara-cara yang kulakukan tidak seperti itu. Aku perhatikan apakah persemaian benih itu sudah layak untuk dipindahkan atau belum, jadi bukan berdasarkan perhitungan hari, tapi kesiapan mereka untuk dipindahkan, itu ukurannya misalnya sudah berdaun empat. Nah untuk berdaun empat itukan ada yang butuh 21 hari, 31 hari, ada yang 12 hari. Setelah berdaun empat bisa dipindah, lebih siap, dan itu tidak terlalu tua juga tidak terlalu muda, jadi idealnya diukur dengan jumlah daun, seperti itu cara-caranya. Lalu pemupukan juga demikian. Ibaratnya seperti orang, seseorang itu lapar butuh makan itu bukan karena jam kan, tetapi karena rasa, merasanya sudah lapar, tidak harus menunggu sampai jam 12 ya mesti makan. Tapi orang pada umumnya karena hitungan jam atau waktu. Jadi bagaimana memahami kehidupan tanaman yang ditanam, ikut merasakan pertumbuhan tanaman yang ditanam. Ini penting dan ini memang tidak segampang yang dikatakan, memang hal-hal seperti ini membutuhkan ketelatenan. Jadi begitu terkait pertanian organik itu. Membuat orang menjadi merdeka lahir batin itu memang pada akhirnya kembali pada diri sendiri. Orang mau dikasih sandang pangan sebanyak apapun kalau pikirannya belum menerima ya tidak akan bisa merasa merdeka.
  
Kang Gun mengolah tanah berapa hektar?
 
Aku mengolah tanah tidak sampai satu hektar, tanah kepunyaanku sendiri tidak sampai satu hektar. Tapi sering juga aku menyewa di tempat lain. Seperti kemarin awalnya aku menolak semen di Sukolilo, tempatku. Ketika Sukolilo menang, aku menyewa tanah di wilayah Tambakromo dan aku memang sengaja melakukan itu karena ini bukan sekadar tolak semen, aku memberi contoh bahwa cara mengolah sawah yang benar seperti yang kulakukan dan di situ menjadi media bagi orang-orang untuk bertemu denganku dan aku bercerita tentang apa yang kulakukan. Tapi kemarin setelah putusan menang, aku berhenti menyewa. Tapi kalau tanah milikku sendiri hampir seluas satu hektar.
 
Nah yang ditanam padi saja atau ada yang lain bergantian begitu Kang?
 
Oh bergantian, dua kali padi, satu kali palawija, tapi tergantung, perlu disesuaikan, misalnya aku tidak menanam jagung. Benih jagung sekarang dikuasai oleh para penguasa pupuk, sama korporasinya dengan penguasa pupuk. Pupuk satu paket dengan benih. Jadi benih yang dijual tersebut membutuhkan banyak pupuk kimia, kalau tidak dipupuk ya tidak tumbuh, tidak produktif. Nah karena itu perlu dihindari, tanaman-tanaman hibrida itu rakus akan pupuk. Maka dari itu aku menanam yang lainnya, bagaimanapun hasilnya tidak apa-apa. Misalnya kacang, dia tidak perlu dipupuk, jika tumbuh syukur, jikapun tidak mereka dapat menjadi pupuk tersendiri bagi tanah di bawahnya. Ya seperti itu.
  
Kalau di Sedulur Sikep biasanya yang bertani laki-laki dan perempuan sama saja atau ada bagian dan peran tertentu?
 
Bersama-sama, rumah diurus bersama, sawah juga diurus bersama. (Bareng-bareng, ngomah yo dicandak bareng, sawah yo dicandak bareng). 

Diterbitkan di: Jurnal Perempuan, Edisi 90, Vol. 21 No. 3, Agustus 2016, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.  

KH. Husein Muhammad: Laki-Laki Pejuang Kesetaraan Menebas Tradisi

19/9/2016

 
Picture
“Sebetulnya saya dilematis. Satu sisi saya harus dibebani tanggung jawab memberi nafkah. Kalau saya tidak memberi nafkah, saya salah. Perempuannya (pasangan-red) sebetulnya bisa memberi nafkah, tapi ini juga menjadi beban buat saya. Tradisi mengatakan kewajiban memberi nafkah adalah laki-laki, mengapa tidak sama-sama saja.” (KH. Husein Muhammad)

Apa yang diungkapkan pemimpin Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon ini membantah anggapan keliru yang menyebut  laki- laki adalah penguasa atas pasangannya. Nyatanya, sebagai laki-laki, Kiai Husein menyadari bahwa dirinya dan kaumnya juga menjadi korban atas ketidakadilan tradisi patriarki. Pembatasan tanggung jawab dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan coba ia terabas hingga Kiai Husein harus diadili oleh sejumlah kiai alumni Lirboyo, Kediri.

Perkenalannya dengan Masdar Farid Mas’udi (Direktur P3M/Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) menuntun Husein untuk hadir dalam setiap halaqah atau seminar. “Kajian kitab yang biasa untuk kontekstualisasi kitab, tidak menyinggung soal gender,” tutur laki-laki kelahiran 9 Mei 1953 ini. Hingga pada tahun 1993, Husein diundang untuk menghadiri seminar bertajuk “Perempuan dalam Pandangan Agama-Agama.” Sejak saat itu, sosok yang gemar menghabiskan waktu luangnya dengan membaca ini tercengang dan merasa tertantang dengan kompleksitas persoalan perempuan.

“Saya merasa disadarkan bahwa ada peran para ahli agama, bukan saja Islam melainkan pula dari seluruh agama, yang turut memperkuat posisi subordinasi perempuan. Saya memang kaget dan bertanya, bagaimana mungkin agama bisa menjustifikasi ketidakadilan, sesuatu yang bertentangan dengan hakikat dan misi luhur diturunkannya agama kepada manusia. Setelah itu, saya mulai menganalisis persoalan ini dari sudut basis keilmuan yang saya terima dari pesantren,” tegas Husein. Dari sinilah Husein mulai berkenalan dengan gerakan feminisme.

Keterlibatan Husein dalam gerakan feminisme bak gayung bersambut. Beberapa persoalan perempuan sering kali memberikan ruang kepada Husein untuk mengkaji dan menelaahnya dari fikih Islam. Pandangannya terkait dengan hak asasi manusia, khususnya perempuan, tak jarang lahir dari ketajaman olah pikirnya. Ia pun semakin merasa ingin melibatkan diri dalam gerakan feminisme melalui daya kritis dan analitisnya atas setiap persoalan perempuan. Manakala keberaniannya membela perempuan teruji dengan diadili oleh sejumlah kiai lulusan Lirboyo, Kediri, Husein kian mantap menapaki hidupnya sebagai “laki-laki baru” (baca: feminis laki-laki).

“Menurut saya, laki-laki dan perempuan itu sama, setara, dan  punya  hak yang sama. Yang membedakan adalah kita sendiri yang bikin fatwanya. Tapi, ini juga berarti merugikan banyak orang. Apakah agama membolehkan kekerasan? Apakah agama meluruskan diskriminasi? Jadi, saya lebih banyak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan, bukan mengklaim harus begini. Apakahagama melakukan kekerasan?” tegas Husein.

Pernyataan Husein menguak paradigma yang selama ini masih bercokol dalam kehidupan masyarakat kita. Ia sadar benar akan perannya dalam gerakan perempuan dan memutuskan untuk mengambil peran itu, yaitu membentuk paradigma baru tentang tradisi dan kesetaraan melalui cara pandang fikih/hukum Islam. “Kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya, pola tradisi, dan kebudayaan. Karenanya, pola hidup masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks keagamaan. Karena itu, pengaruh agama yang sangat besar terhadap kebudayaan, akan menjadi sangat strategis jika kajian-kajian masalah perempuan pun dilihat dari sisi agama,” tuturnya.

Ia menegaskan, bukan sajapersoalanperempuan, melainkan persoalan lainyang juga disebabkan oleh pemahaman masyarakat terhadap teks-teks agama, patut dikaji ulang. “Analisis kita terhadap agama masih konservatif. Itulah penyebab dari ketimpangan sosial dan pemahaman yang bias,” imbuh pendiri Fahmina Institute Cirebon.
Bagi sebagian orang kehadiran feminis laki-laki sebagai sesuatu hal yang mustahil. Namun, benarkah sesuatu yang mustahil tidak akan pernah hadir? Nyata sudah, bahwa kehadiran Kiai Husein dalam gerakan feminisme membantah anggapan sebagian tadi. “Intinya adalah saling menghormatilah, karena mereka punya potensi yang sama. Jadi, harus dihilangkan proses relasi yang timpang itu. Menurut saya, ini akan menguntungkan banyak sekali bagi kehidupan ini, bukan hanya menguntungkan perempuan, melainkan menguntungkan diri kita juga. (Konkretnya) kalau perempuan itu sehat, sehat secara reproduksi, fisik, mental, intelektual, maka ini akan menghasilkan banyak keuntungan bagi kita sendiri yang lelaki. Ia produktif, dapat melahirkan generasi-genarasi yang sehat dan cerdas. Anak-anak kita diasuh oleh perempuan yang cerdas,” ungkap Husein.

Menurutnya, perempuan adalah manusia ciptaan Allah yang memiliki potensi sama dengan laki-laki. “Allah saja menghargai manusia, mengapa kita tidak menghargai manusia?” kata Husein. Mengutip dari pernyataan John Stuart Mill yang dilansir dari Jurnal Perempuan edisi  XII,  “Pikirkanlah apa akan terjadi  kelak pada anak  laki-laki yang  tumbuh dewasa, entah menjadi orang bodoh atau pintar sekalipun, meyakini bahwa hanya karena ia laki-laki, dengan demikian ia adalah makhluk superior, lebih unggul dari perempuan. Rasa superioritasnya ini ia timba dari pengalaman dan rasa yang hidup selama bertahun-tahun di dalam rumahnya.” Terbit pertanyaan, apa saja yang Husein lakukan dalam keseharian di tengah anak dan istrinya? “Saya masak, goreng telor ceplok, ambil nasi sendiri. Tidak minta dilayani istri. Anak-anak kita gendong, kita ajak ke mana-mana. Enggak harus ibu. Itu yang konkret,” papar penulis buku Fiqih Perempuan, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2001).

Pengalaman Husein menjadi feminis laki-laki tentu selaras dengan benturan yang harus ia hadapi. Kritik-kritiknya terhadap kondisi perempuan di pesantren, termasuk mengkritik kitab Uqud al Lujjayn (referensi yang digunakan di pesantren yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri), semata-mata karena Husein ingin mengartikan ulang, melakukan evaluasi, dan menerapkan paradigmanya bahwa substansi sebuah agama adalah keadilan. Dan, Husein paham benar bahwa mengubah paradigma pesantren harus melalui pesantren pula, termasuk pandangannya bahwa perjuangan perempuan adalah persoalan kemanusiaan yang juga harus diatasi secara manusiawi. (Nur Azizah)
 
Catatan Belakang:
Tulisan ini bersumber dari hasil wawancara dengan Kiai  Husein dan buku  Kyai  Husein  Membela  Perempuan
(Pustaka Pesantren, 2005).
Pernah diterbitkan di:  Jurnal Perempuan, No. 64, 2009  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.




Yuli Ismartono: Jurnalis Perempuan, Menantang Perang

29/8/2016

 
Picture
Waktu itu saya bertanya, “Apakah Anda tidak risau bahwa Anda dicari-cari oleh polisi dan sejumlah aparat dari berbagai negara?” Khun Sa waktu itu menjawab, “Saya bukan bandit, saya bukan teroris, tetapi saya juru selamat ratusan petani di daerah ini,” ujarnya. (Yuli Ismartono, 2003)
 
Kutipan di atas adalah salah satu isi percakapan antara Yuli Ismartono dan Khun Sa seorang “Raja Opium” yang sangat disegani di wilayah Segitiga Emas (golden triangle), yaitu terletak di antara negara Burma, Laosn  dan Thailand. Bertemu dengan Raja Opium adalah pengalaman jurnalistiknya yang paling dikenang sekaligus sebuah prestasi tersendiri. Betapa tidak! Khun Sa adalah nama yang tidak asing lagi bagi banyak pihak, terutama bagi pemerintah, seperti Burma atau Amerika Serikat. Bagi pemerintah Burma, Khun Sa tidak saja dikenal sebagai raja opium, namun juga dikenal sebagai sosok bandit yang ringan tangan dalam mencabut nyawa-nyawa orang yang berseberangan dengannya atau memperlihatkan sikap melawan. Sementara itu, Khun Sa menjadi target operasi atau the most wanted person pemerintah Amerika yang berperang melawan jenis obat-obatan terlarang.

Keberhasilan Yuli menemui Khun Sa bukanlah tanpa perjuangan. Kabar bahwa Khun Sa bersedia menemui dirinya harus dinantinya selama setahun. “Untuk mendapatkan kesempatan bertemu dengan Khun Sa, saya nunggu dulu setahun,” katanya. Suatu hari saya mendapat kabar dari teman wartawan Bangkok Post kalau saya bisa bertemu dengan Raja Opium. Berita itu datanganya tengah malam, kenang Yuli. “Kamu harus segera berangkat hari ini juga ke Chiangrai. Di sana kamu akan bertemu dengan orangnya Khun Sa yang akan membawamu ke markas Khun Sa,” kata Yuli meniru ucapan rekannya. Malam itu juga ia pergi meninggalkan Bangkok menuju Chiangrai. Ternyata sampai di Chiangrai, ia tidak bisa langsung berangkat untuk menemui Khun Sa, ia masih harus menunggu kepastiannya selama dua hari, sampai akhirnya pada tengah malam, orang-orang Khun Sa mengajaknya untuk meninggalkan Chiangrai menyeberang ke perbatasan Birma. Perjalanannya pun selalu ditempuh pada malam hari karena perjalanan ini merupakan perjalanan yang terlarang.

“Jadi, tengah malam, kita diajak naik gunung, naik keledai, lama sekali perjalanannya, melintasi hutan dan sungai, sampai sakit saya untuk bisa bertemu dengan Raja Opium itu. Sampai pada akhirnya, saya tiba di suatu tempat di mana banyak orang membawa senjata. Khun Sa sendiri memakai pistol.  Ia dikawal oleh tentaranya sendiri. Saya melihat di mana-mana ada tanaman opium. Wow, mengerikan sekali, tapi saya bangga akhirnya bisa menemui Raja Opium ini,” kenangnya. Di sinilah kehebatan Yuli Ismartono, di saat semua pihak kesulitan mencari jejak Khun Sa, ia malah dengan kemampuannya berbincang dengan Raja Opium tersebut.
 
Jurnalistik dan Perang dalam Kehidupannya
Siang itu cuaca di Jakarta tidak terlalu cerah ketika Yuli menerima Jurnal Perempuan. Tanah Jakarta baru saja terguyur hujan deras dan pada saat wawancara dilakukan, rintik hujan masih terlihat menari-menari lewat kaca jendela ruang kerjanya. Ruang kerja Yuli berukuran empat kali empat meter dan berada di lantai empat gedung Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta. Di ruangan itu ada tiga meja, satu meja digunakan sebagai meja kerja, satu meja digunakan untuk menata buku-buku, dan satu meja kecil yang ditaruh di ujung ruangan bersama dua kursi tamu. Selain buku-buku, memasuki ruangannya kita akan disuguhi oleh gambar-gambar foto Yuli ketika dalam tugas meliput perang. Tidak ketinggalan, satu set komputer diletakkan di ujung ruangan bersebelahan dengan meja kerja. Semua tertata dengan cukup rapi. Itulah ruangan seorang eksekutif Majalah Tempo berbahasa Inggris. Ditemani dengan dua gelas air putih, wawancara pun dimulai di kursi ruangan yang memang tersedia untuk dua orang.

Yuli memulai percakapan dengan mengisahkan pengalaman ketika ia mendapat tugas peliputan ke Bangkok. Tugas itu merupakan tugas pertamanya ketika ia diminta menjadi koresponden Majalah Tempo. Bangkok tidak saja meninggalkan kesan sebagai wilayah paling mengesankan. Pengalaman itu terjadi di saat ia bersama rekan wartawan perempuan terjebak di bawah jembatan kecil di tengah-tengah kedua kubu yang saling menembak.

Awalnya tidak terpikirkan sama sekali bahwa ia menjadi seorang wartawan perang, sekitar awal tahun 1980-1990 akhir. “Awalnya, saya hanya ingin menjadi wartawan saja,” kata Yuli. Namun, waktu itu di Bangkok hampir selama dua tahun terjadi sejumlah kudeta oleh tentara. Sementara itu, letak Bangkok yang tidak jauh dari perbatasan Muangthai dan Kamboja, pada tahun 1980-an juga sedang terjadi perang antara tiga faksi di Kamboja, yang salah satu faksi yang berkuasa menggugah ASEAN untuk berperan menciptakan perdamaian. Di sini peran pemerintah Indonesia, menurutnya, sangat menentukan, karena sebagai salah satu pendiri ASEAN kelihatannya pemerintah RI ingin sekali mengadakan perdamaian antara sejumlah negara di Asia Tenggara yang berkonflik. Tentunya Tempo sangat berkepentingan dalam berita itu. Dari sinilah Yuli Ismartono dibutuhkan dan langsung ditempatkan di Bangkok sebagai koresponden.

Hal yang paling mengesankan dan sudah pasti tak akan terlupakan baginya adalah di saat ia terjebak di tengah-tengah pertempuran di perbatasan Kamboja. “Kami terjebak dalam peperangan selama satu hari satu malam di perbatasan Kamboja. Waktu itu kami berdua, saya dan satu teman lagi wartawan perempuan dari Strait Times Singapura, berasa ada di antara peluru yang  melayang  dari  dua kubu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kami berdua bersembunyi di bawah jembatan kecil dan sudah pasti mencekam. Jadinya, kami berdua sepanjang hari itu menunduk saja, di antara bebatuan dan lumpur selama satu hari satu malam. Sungguh, malam itu sangat mencekam. Kami sempat kehabisan bahan makanan dan minuman, tapi kami harus bertahan. Untung perang tidak berlarut-larut karena persediaan makanan kami habis. Sejak peristiwa itu, saya selalu sedia makanan dan minuman setiap kali peliputan, saya khawatir kondisi mencekam itu kembali terulang,” kenang Yuli Ismartono ketika mengenang salah satu peliputan perang yang paling menegangkan dalam tugasnya sebagai jurnalis.

Terlihat sekali dari cara ia bercerita dan mimik wajahnya bahwa ia memang sangat menikmati penugasannya sebagai wartawan perang. Pengalamannya terjebak di tengah-tengah pertempuran tidak membuatnya jera. Semakin banyak perang, semakin tertantang nyali jurnalistiknya. “Di Thailand sendiri, selain kudeta politik dari tentara, juga banyak masalah yang layak diberitakan, misalnya antara kaum muslim dan pemerintah pusat. Seperti Aceh di sini, mereka menginginkan mendirikan negara Islam di situ. Dan, kebetulan, pada saat itu juga di perbatasan dengan Malaysia di bagian selatan Muangthai, banyak masalah dengan kelompok-kelompok gerilya komunis yang sebetulnya pelarian dari Malaysia, tapi mereka meminta suakanya ke Thailand. Selain itu juga, di perbatasan dengan Birma, konflik selalu ada antara pemerintah Birma (sekarang Myanmar) dan kalangan gerilyawan yang menentang otoritas pusat. Mereka selalu bergejolaknya di perbatasan. Karenanya, bisa dibilang bahwa Thailand itu perbatasannya penuh dengan wilayah konflik. Sepertinya tepat sekali saya ditempatkan di Bangkok. Semua itu, menurut saya adalah area konflik yang menarik,” ujar Yuli.

Pengalaman meliput sejumlah konflik di perbatasan Thailand tampaknya menjadi pintu masuk bagi Yuli untuk memasuki area konflik berikutnya. Majalah Tempo kelihatan puas dengan hasil liputan yang dilakukan olehnya selama ini. Entah ini semacam kutukan atau malah berkah jika kemudian Yuli harus menerima sejumlah penugasan liputan yang sudah pasti merupakan area peperangan. Selain Thailand, ia pun harus menerima penugasan di Irak, kemudian di Afghanistan, pertikaian pemerintah Srilangka dengan pemberontak Tamil Eelam, runtuhya rezim Aphartheid di Afrika Selatan, bahkan ia harus mengejar raja opium yang terkenal, yaitu Khun Sa di wilayah Segitiga Emas. Tentunya, sejumlah penugasan yang dilimpahkan kepada dirinya adalah kepercayaan yang telah ia bangun. Simak saja apa komentarnya tentang yang satu ini.  “Pertama, mungkin saya sudah ada di luar negeri dan kedua saya sudah berpengalaman meliput area konflik, termasuk berapa uang yang saya terima dan bagaimana menembus wilayah konflik, semua sudah sangat jelas dan saya memang mengerjakan dengan kesungguhan,” demikian tuturnya.

Tugas lain yang juga tidak bisa dilupakannya adalah ketika ia bertemu dengan pemberontak Tamil Eelam di Srilangka. Ia mendapat kesempatan bisa bertemu dengan pemberontak ini setelah tidak sengaja ia bertemu dengan pengungsi lain yang lolos dari area konflik melalui jalan tikus. Jalan tikus bagi pengungsi atau Yuli sama-sama sebagai jalan penyelamat. Bila jalan tikus ini dianggap sebagai jalan penyelamatan dan pelarian diri dari konflik bersenjata, maka tidak demikian anggapan Yuli karena jalan tikus adalah jalan penyelamat bagi dia untuk akhirnya bisa menemui para pemberontak Tamil Eelam.

Seperti yang ditulis oleh majalah Bazaar, untuk bertemu dengan para pemeberontak Tamil Eelam, ia harus melewati berbagai pos penjagaan dan rute jalan yang sangat berat. Berbagai penjagaan ketat harus dilalui Yuli sampai akhirnya ia diantar oleh pihak pemberontak ke pusat pemberontakan. Ternyata, untuk sampai ke sana, yaitu di semenanjung Jaffna, Srilangka, ia harus menjinjing tinggi- tinggi ransel yang berisi kamera dan tape. Jalan yang dilaluinya pun penuh dengan ranjau. Di sepanjang jalan yang dilewati harus ditunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah tamu yang sudah diketahui kedatangannya. Sampai akhirnya, Yuli tiba di tanah Jaffna, pusat pemberontakan Tamil Eelam, dan ia melihat setiap orang di sana memanggul senjata. Yuli pun diperlakukan dengan sangat baik, ia diberi penginapan khusus perempuan.

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dunia jurnalistik bagi Yuli adalah segala-galanya dan medan perang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yuli beruntung mempunyai keluarga yang  mengerti  dengan  kehidupan  jurnalis.  “Keluarga  dan suami saya penuh pengertian. Sedikitnya untuk satu peliputan saya harus meninggalkan keluarga selama 2-3hari. Bahkan, ketika saya mendapat tugas ke Irak, saya meninggalkan mereka kurang lebih tiga bulan,” tuturnya. Yuli adalah ibu dari dua anak, yang pertama perempuan bernama Atikah Suburt (29), saat ini menjadi wartawan CNN untuk peliputan di Indonesia dan satunya lagi laki-laki bernama James Lowai (24) yang sekarang masih menempuh kuliah di Amerika.

Yuli lahir di Yogyakarta pada 4 Oktober 1946 dan terlahir sebagai anak seorang diplomat. Karena itu, tidak mengherankan apabila ia selalu berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti tugas ayahnya, hingga akhirnya ia harus menyelesaikan studi S1-nya di India meskipun sempat kuliah di Universitas Indonesia. “Saya pernah di UI sebentar, kemudian saya melanjutkan ke India dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi. Kami berteman, di samping karena orang tua kami sama-sama diplomat dan kami menempuh pendidikan di universitas yang sama, sampai akhirnya ia dipenjara oleh pemerintah Burma. Kalau ada kesempatan, saya selalu mengontaknya. Kami masih saling memberi kabar meskipun harus dengan sembunyi-sembunyi,” demikian ujarnya.

Selesai menamatkan studi, ia kembali ke Indonesia. Yuli pun bingung mencari pekerjaan yang pas untuk dirinya hingga ia bertemu dengan Ibu Herawati Diah yang menawarinya bergabung di harian Indonesian Observer. Sejak saat itu, ia tidak pernah mengenal pekerjaan lain, selain kegiatan jurnalistik yang ia tekuni sejak 1969. Di media yang satu ini, ia melewati karier jurnalistiknya selama satu tahun karena kemudian ia meneruskan studinya ke Amerika di Universitas Firencius, New York. Setelah itu, ia kembali lagi ke Indonesia dan menjadi editor untuk Jurnal Prisma edisi bahasa Inggris sekitar tahun 1977-1982. Selepas dari Prisma, iamenjadi koresponden Majalah Tempo di Bangkok. Awalnya memang ia tidak bekerja untuk Majalah Tempo. Kepergiannya ke Bangkok dalam rangka mengikuti tugas suami. John Mcbeth, demikian nama suaminya, adalah salah seorang pejabat UNICEF yang ditugaskan di Bangkok. Karena kebetulan di Thailand dan sepanjang perbatasannya penuh daerah konflik sementara Tempo membutuhkan jurnalis yang bisa meliput, maka jadilah Yuli ditawari oleh Tempo untuk menjadi koresponden di sana yang ternyata banyak melahirkan pengalaman menarik baginya.
 
Jurnalis Profesional
Memasuki wilayah konflik bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya, daerah ini tertutup bagi semua pihak, kecuali pihak-pihak tertentu atau pihak yang bertikai. Menjadi wartawan di daerah konflik tidak bisa  mengandalkan  kemampuan  teori jurnalistik. Jurnalis yang dikirim ke wilayah konflik tidak saja harus cermat menyimakperistiwa, tetapi jugaharuscermatmawasdiri menghadapi kemungkinan terkena tembakan. Di sini keberanian sangat diutamakan.
“Waktu kita terjun ke lapangan, kita tidak ada waktu untuk takut. Kita bukan saja harus melihat semua dan terus mencatat, tapi kita juga harus mawas diri,” kata Yuli. Dalam konteks itu, faktor pengalaman, keberanian. dan keinginan untuk membangun jaringan adalah kunci utama dalam proses peliputan di wilayah konflik. Faktor inilah yang terus menjadi kuncinya dalam setiap kesempatannya meliput area konflik dan sejauh ini, ia memang tidak pernah menolak kesempatan yang diminta padanya, bahkan ia sangat menikmati kesempatan tersebut.

“Kata kunci selama saya bertugas adalah jaringan. Saya selalu memanfaatkan jaringan dimana pun saya ditugaskan. Saya bisa masuk ke daerah gerilyawan Tamil Eelam itu bukan saya dapat sendiri. Saya ngomong-ngomong dengan pengungsi. Saya bertanya, ‘Daerah itu sudah diblokir, kok, kamu bisa keluar?’ Orang itu menjawab, ‘Oh, ada jalan tikus, Bu.’ Terus, saya cerita sama teman saya dari Amerika dan itu prinsip saya, saya tidak mau jalan sendirian. Karena saya takut bila terjadi sesuatu, tidak ada yang digambar oleh pengungsi. Dan, benar ternyata, kita sampai juga di tempat tujuan,” ujar Yuli. Membangun komunikasi dengan berbagai pihak ini juga yang membawa kesuksesan Yuli menembus daerah konflik di Thailand untuk pertama kali. Menurutnya, Majalah Tempo tidak pernah mengajarkan secara detail bagaimana meliput wilayah konflik. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan Sang Jurnalis ini untuk menggali sendiri kunci-kunci yang bisa membawanya ke area konflik.

Ia adalah salah satu wartawan yang mencari sendiri kunci-kunci itu. Ketika di Bangkok, misalnya, Yuli berteman dengan banyak pihak. Ia memanfaatkan asosiasi perkumpulan wartawan yang ada di Bangkok. Di Bangkok banyak pula wartawan asing dari penjuru dunia berkumpul karena waktu itu Thailand dan wilayah sekitarnya dipenuhi oleh konflik dan liku-liku. Yuli pun meminta pertolongan mereka. “Saya ingat banyak izin yang harus dipenuhi, namun semua bisa teratasi karena banyak yang membantu saya untuk mengurusnya,” ujar Yuli. Hal yang sama juga dilakukan ketika ia harus meliput wilayah konflik di Afghanistan pada 1989. “Waktu dikirim ke Afghanistan, saya ikut Jawal Dastan, mungkin nama itu tidak populer. Ia adalah kepala suku yang masih bertahan di bagian utara Afghanistan. Waktu itu pemerintah Rusia angkat tangan terhadap tentara Afghanistan, seperti Amerika bertekuk lutut di Vietnam. Peristiwa ini adalah peristiwa besar. Tank-tank besar Rusia tidak ada, siapa nanti yang akan berkuasa? Saya harus mencari informasi itu dan sangat sukar untuk mendapatkan datanya. Datang ke kedutaan Afghanistan untuk mencari tahu kemungkinan ke sana, saya malah dibilang, ‘Kamu gila, kamu perempuan, tidak berjilbab, sulit untuk masuk wilayah Afghanistan,’ demikian kata pejabat kedutaan itu. Tapi, untung, dulu Taliban belum masuk, Afghanistan masih agak liberal. Ketika saya ditanya, ‘Kamu siapa dan apa maksudnya datang ke Afghanistan?’ Saya menjawab, ‘Saya wartawan dan saya ingin meliput kondisi Afghanistan setelah Rusia menyerah.’ Setelah menunjukkan sejumlah identitas, barulah mereka memberi izin untuk masuk ke wilayah Afghanistan.”

“Selama berada di sana dan melakukan peliputan, termasuk juga untuk mengirim berita, saya memanfaatkan teman. Termasuk ketika saya bertanya bagaimana saya bisa masuk ke masyarakat? Mereka jawab, kamu harus ini dan itu, termasuk mereka mengingatkan saya untuk memakai kerudung. Jadi, itulah fungsi networking. Penting sekali di situ. Kita harus jalin persahabatan, kalau sudah itu, dengan kredibilitas juga. Kalau waktu itu ada pembicaraan yang off the record, ya, harus benar-benar off the record. Kita harus menghormati permintaan mereka. Saya dianggap wartawan yang profesional, bisa dipercaya, dan kutipan saya tidak pernah ngawur-ngawuran. Karena itu, saya selalu diajak oleh wartawan-wartawan Bangkok Post dan dipercaya oleh mereka sehingga saya mudah sekali mendapatkan kesempatan yang mahal,” tutur Yuli.

Selain faktor jaringan, faktor lain yang menjadi prinsip Yuli adalah memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik, termasuk kode etik jurnalistik. “Saya berusaha objektif waktu mengirim berita. Tugas saya murni untuk mencari informasi dan mencari tanggapan orang untuk saya kirim ke Jakarta. Saya tidak pernah membuat kesimpulan. Sayaserahkansemua ke editor-editor itu. Kalau kita mau jadi wartawan yang profesional, kerja kita adalah memberitakan. Keinginan saya adalah memberi informasi yang sebenarnya, yang setepatnya, kepada masyarakat. Itulah visi kita untuk menjelaskan satu masalah yang sedang terjadi, harus sejujur mungkin, seobjektif mungkin. Misalnya, kita diberitakan dan kita dilarang mengomentari, dan kita harus memberi pendapat. Jadi, penulisan kita harus mencerminkan objektivitas itu,” ujarnya.
 
Jurnalis Perempuan

Perang adalah area maskulin. Kekerasan, senjata, darah, dan korban-korban manusia tak berdosa menjadi penghiasnya. Penggambaran perang yang semacam itu tidaklah menjadi penghalang bagi Yuli untuk terjun ke dunia yang selalu didominasi nuansa maskulin. “Ini dunia laki-laki sebetulnya, tapi dalam konteks ini saya adalah jurnalis, saya profesional dan saya tidak pernah melihat bahwa saya berbeda. Karena mungkin saja saya diskriminasi, tapi saya tidak mau melihat itu sebagai rintangan. Saya selalu memaksa kalau tidak boleh. Saya pernah dilarang masuk ke daerah konflik itu, mereka mengatakan kepada saya, kamu, kan, perempuan. Bagi saya, tidak ada kata perempuan atau laki-laki. Saya sering mendapatkan kata-kata itu. Pernah suatu kali oleh tentara saya dilarang masuk, alasannya ini bukan area untuk perempuan. Tapi,  saya balas menjawab bahwa  ini tugas saya. Tidak ada laki-laki atau perempuan dalam tugas ini. Mereka tetap marah, ‘Kamu bodoh sekali, ya. Ini, kan, bahaya. Kamu bisa kena tembak.’ Saya jawab, ‘Oh, itu risiko saya, Pak.’ Pokoknya, saya terus meyakinkan mereka bahwa saya bisa mengerjakan tugas saya dengan baik,” jelas Yuli dengan berapi-api.

Persoalan-persoalan yang diskriminatif terhadap perempuan itulah yang kadang kala menghambat perjalanan karier jurnalistiknya. Terkesan itu persoalan ringan, tapi itu merupakan persoalan besar menyangkut posisi perempuan di dalam lingkungan masyarakat. Yuli selalu merasa kesal bila hilangnya kesempatan meliput suatu peristiwa hanya disebabkan gendernya. Kekesalan dan kesedihan Yuli sebagai perempuan tidak saja ditujukan dari perilaku masyarakat yang memposisikan dirinya lemah. Kesedihannya semakin bertambah ketika ia harus menyaksikan bagaimana perang tidak pernah meninggalkan sesuatu yang membanggakan. Perang telah banyak merenggut nyawa manusia, terutama perempuan dan anak-anak yang paling banyak menjadi korban.

“Saya sedih karena saya benar-benar seorang yang pro-damai. Saya dapat melihat secara nyata betapa buruknya pengaruh dan dampak perang. Perang itu, dari yang kecil sampai yang besar, yang selalu menderita itu rakyat. Perang itu, kan, permainan pemimpin politik mereka, tapi dampaknya itu masyarakat. Saya sedih. Menggambarkan kesedihan korban perang itulah yang menjadi tujuan saya untuk memberitakan suatu peristiwa. Inilah yang akan terjadi kalau perang itu terjadi. Saya melihat di Irak itu menyedihkan sekali. Semua serba kekurangan, di rumah sakit banyak korban, kekurangan obat, kekurangan makanan. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab. Perang selalu mengatasnamakan kebebasan, tapi pada akhirnya menyedihkan. Seperti di Kamboja, selama beberapa dasawarsa perang terus, ladang, gedung sekolah, hancur percuma, yang menderita adalah rakyat yang tidak tahu-menahu soal perang.”

“Saya melihat bagaimana orang kena ranjau di Afghanistan, Srilangka, Kamboja. Kehidupan seseorang itu bisa hancur sama sekali hanya karena ia kena ranjau. Anak kecil banyak yang kakinya buntung kena ranjau. Paling banyak yang menjadi korban itu perempuan dan anak,” tambahnya. Kesedihan akan korban perang di Birma juga membuat dirinya sangat terpukul. “Saya melihat sebuah masyarakat atau rakyat Birma yang tertindas berusaha keras untuk keluar dari penindasan itu, tapi gagal. Saya menangis waktu itu, saya melihat banyak korban, banyak darah yang mengalir, malah pemimpinnya ditahan sampai terkucil,” kata Yuli. Perang memang selalu tidak berpihak kepada kemanusiaan. Semua atas dasar kekuasaan.

Semangat dirinya untuk meliput wilayah konflik cukup besar. Namun, cita-cita itu harus berhenti sejenak. Bersama dengan sejumlah karyawan Tempo  lainnya  di tahun 1993, Yuli harus berhenti bekerja karena Tempo diberedel pemerintah Indonesia pada zaman Orde Baru. Majalah Tempo diberedel bersama majalah Editor dan tabloid Detik yang memberitakan masalah pembelian kapal perang oleh Habibie semasa menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Ketika tidak lagi di Tempo, Yuli pernah bergabung di SCTV pada divisi pemberitaan dan kehumasan. Sebelum kembali ke Tempo tahun 1999 ketika Tempo diperbolehkan terbit lagi, ia pernah menjadi staf kehumasan PT Freeport Indonesia di Papua.

Semangat Yuli Ismartono cukup dibanggakan. Sebagai perempuan, ia tidak saja berhasil menembuswilayah-wilayahperangyangselamainidijauhiolehperempuan, tapi ia juga berhasil menunjukkan bahwa profesionalitas itu bisa dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Dan, semua perempuan juga bisa melakukan itu, seperti yang dilakukan oleh Yuli Ismartono, seorang jurnalis perempuan yang menantang perang. (Eko Bambang Subiyantoro)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2003
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 28, 2003  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.


Yuniyanti Chuzaifah: Trafficking Bukan Soal Moral

22/8/2016

 
Picture
Lahir dari sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada Mei 1998, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melangkah menuju upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan. Fokus perhatian Komnas Perempuan pada saat ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai buruh migran, perempuan korban kekerasan seksual yang menjalankan proses peradilan, perempuan yang hidup di daerah konflik bersenjata, dan perempuan kepala keluarga yang hidup di tengah kemiskinan di daerah pedesaan. Perdagangan orang, utamanya anak dan perempuan, merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana Komnas Perempuan menyikapi maraknya kasus perdagangan orang? Padaawal Juli 2010, jurnalis Dewi Setyarini, berbincang dengan Ketua Komnas Perempuan Yuni Chuzaifah, di kantornya di Jalan Latuharhary No.4B,  Jakarta. Berikut hasil perbincangan selengkapnya.
 
Jurnal Perempuan (JP): Bagaimana komitmen Komnas Perempuan dalam ikut menyelesaikan persoalan traThcking?
Yuniyanti Chuzaifah (YC): Komnas Perempuan sekarang bekerja sama dengan Komnas HAM mencoba membuat national inquiry, sebetulnya kayak pemantauan bersama tentang  isu-isu  pelanggaran  HAM  dan  trafficking.  Ide awalnya adalah bagaimana seluruh masyarakat terlibat dalam proses pemantauan. Karena kita tidak ingin pemantauan ini menjadi mekanisme elitis institusi-institusi HAM, jadi kita membuat instrumen pemantauan HAM untuk buruh migran dan trafficking. Komnas HAM menggarisbawahi masukan soal trafficking juga. Semuanya sudah di-launching. Sekarang kita bekerja sama dengan kawan-kawan di komunitas sudah melaksanakan instrumen itu.

Kita kemarin ke Johor, Tanjungpinang, ke beberapa wilayah perbatasan. Planning-nya juga ke wilayah perbatasan di Kalimantan, ke penjara-penjara, ke tempat-tempat deportasi, ke terminal Selapanjang. Nah, dari situ kita ingin ke depan ada pemetaan yang lebih komperehensif, suatu solusi yang betul-betul solutif untuk pengentasan pelanggaran (hak) buruh migran dan (persoalan) trafficking, karena mekanisme perlindungan melalui advokasi kasus-kasus sudah tidak mempan lagi. Hampir setiap tahun banyak lembaga-lembaga buruh migran membuat data yang fantastik soal kasus-kasus kematian, juga dramatis; kematian yang sadis sampai hilang kontak dan sebagainya. Kita sudah 30 tahun mengirim buruh migran dan tidak ada perlindungan yang signifikan. Dan memang, tipis sekali bedanya antara pengiriman buruh migran dan perdagangan orang. Sebetulnya, melalui pemantauan ini kita ingin ada hal- hal konkret.

Terutama pula, Komnas Perempuan ingin membuat mekanisme pemulihan karena selama ini kompensasi bagi korban lebih ke arah finansial, padahal bicara soal buruh migran, mereka rata-rata penopang keluarga, jadi kita bicara soal seluruh rakyat miskin berapa kali lipat jumlah buruh migran di luar negeri. Jadi, sebetulnya, ketika kita bicara soal pemulihan kasus-kasus yang gila atau korban perkosaan, kehamilan buruh migran yang melahirkan anak-anak tanpa ayah, wajah-wajah anak yang dibawa dari luar negeri itu, kan, nantinya akan mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sepanjang hidupnya, baik orang tuanya maupun anaknya. Jadi, kita (Komnas Perempuan) ingin membuat suatu pemulihan yang tidak hanya mengembalikan hak si korban, tapi juga pemulihan untuk reparasi, keberterimaan di komunitasnya. Termasuk pula menjadikannya sebagai kebijakan konkret di wilayah-wilayah karena perda- perda yang ada itu banyak mengatur soal pengiriman atau retribusi, pajak- pajak yang berhubungan dengan pengiriman buruh migran, tapi yang (mengatur) dimensi perlindungan belum banyak. Memang ada seperti di NTB, sudah dicoba perda yang ada dimensi perlindungan, bagaimana pemerintah bertanggungjawab soal pemulihan kembali.

JP: Bagaimana sinerginya dengan pemerintah dan pihak lain yang terkait?
YC: Jadi, yang dilakukan Komnas Perempuan dan Komnas HAM adalah ke beberapa wilayah tersebut (Johor, Tanjungpinang, Selapanjang). Tapi, idenya adalah mendorong kawan-kawan yang bekerja untuk isu HAM dan buruh migran untuk menggunakan instrumen itu sehingga di akhir idenya adalah bagaimana kita punya data nasional yang lebih baik tentang data trafficking. Tapi, lagi-lagi, mengandalkan data kuantitatif dengan sebaran yang banyak atau data kualitatif yang sistemik menasional, rasanya tidak sederhana. Tapi, setidaknya, Komnas Perempuan dan Komnas HAM dengan jaringan masing- masing punya peta terbaru, terutama mengenai bagaimana perlindungan yang harus dilakukan, karena UU No. 39 belum cukup efektif untuk menjadi alat perlindungan. Bisa dibuktikan, UU itu sudah berapa kali, sih, digunakan untuk menjerat pihak aktornya, terutama misalnya PJTKI (PPTKI). Walaupun berapa kali dikutip soal PPTKI yang melakukan pelanggaran, tapi praktiknya seperti apa. Menurut para agen PJTKI, waktu dengar pendapat di DPD, sanksi itu belum pernah terjadi.

 
Yang menarik, pejabat lokal di wilayah-wilayah border yang tadi saya sebut, tidak terlalu clear apa itu migrasi dan apa itu trafficking. Jadi, data yang dia punya (hanya) soal trafficking dan KDRT. Artinya, seluruh buruh migran diasumsikan sebagai trafficking. Di (daerah) border bisa jadi yang paling banyak adalah trafficking, tapi apakah secara objektif trafficking-nya ada dua pola, kekerasan itu, atau karena tidak ada pemahaman yang clear antara migrasi dan trafficking. Termasuk pula, bayi-bayi kita temukan. Dalam workshop yang pernah kita lakukan, ada sejumlah orang yang dideportasi dan (harus) kembali pulang ke tempat asalnya, tapi banyak yang tidak punya uang sehingga rentan menjadi korban trafficking. Jumlah orang di dalam kapal, antara yang berangkat dan yang sampai, ada selisih yang cukup banyak. Jadi, selisihnya pada ke mana? Apakah pendataan teknis yang tidak komprehensif atau soal orang-orang yang tidak jelas didrop ke mana?

JP:
Menurut Anda bagaimana penanganan korban traThcking sekarang, apakah ada perkembangannya? Kita sudah punya Undang-Undang PTPPO dan juga sudah dibentuk P2TP2A di berbagai daerah?
YC: Ya, P2TP2A sekarang, karena perubahan nomenklatur, jadi dalam APBN budget didrop tidak ada. Ini penting untuk kembali dipikirkan. Belum lama ini, kami ketemu dengan KNPPA, Bu Linda (Meneg PPPA) bilang akan mendesak pemda untuk menyediakan fasilitas P2TP2A. Tapi, dari beberapa pertemuan dengan kepala daerah, rasanya perspektif perempuannya juga banyak yang belum bagus; melihat isu-isu perempuan juga belum bagus, melihat isu kekerasan terhadap perempuan, trafficking. Bukan paham sebagai suatu kata, tetapi bagaimana pola penanganan yang konkret. Menyediakan dana itu tidak sederhana, bisa jadi malah tidak ada. Memang ada beberapa propinsi seperti di Papua, mereka buat Rumah Aman, kemudian rumah sakit untuk korban kekerasan. Untuk wilayah lain yang rentan trafficking, mestinya serius dibuat. Yang terjadi, sekadar ada bangunannya, tapi sistemnya tidak komprehensif. Itu yang perlu dipikirkan, membangun sistem perlindungan, terutama untuk shelter-shelter yang lebih pro-perempuan. Sejauh yang saya lihat dulu, sebelum terlibat Komnas Perempuan, di shelter itu tidak proporsional antara jumlah korban, gedungnya, fasilitasnya, termasuk sumber daya orang yang menangani. Kemudian pula dari segi jarak, buruh migran atau korban trafficking menempuh jarak yang tidak realistis untuk menjangkau shelter milik KBRI sehingga yang terjadi, justru di tengah-tengah pelarian mereka menjadi korban trafficking oleh supir taksi atau para migran lainnya yang berkeliaran di negara penerima. Kalau kita lihat, misalnya, beberapa kasus bayi di Selapanjang, menurut mereka, itu kebanyakan (dilakukan oleh) orang-orang dari Pakistan yang rata-rata adalah buruh bongkar pasang atau buruh bangunan yang temporer.

JP: Berarti soal sistem, ya? Kelemahan lain dalam penanganan korban selain sistem?
YC: Ya, perspektif orang yang dipakai untuk melihat masalah isu migrasi, kan, cenderung demografis, ekonomis, politis, tidak melihat, misalnya, dimensi agama dalam proses orang bermigrasi. Korban trafficking banyak juga yang motif awalnya karena dia ingin beribadah haji atau umroh. Kita lihat, misalnya, orang menggunakan visa umroh untuk haji; atau setelah haji dia tidak pulang supaya bisa bekerja di sana. Ketika dia tidak punya dokumen, menjadi ilegal, rentan posisinya, sangat mudah dipindahkan ke majikan lain atau mudah diperjualbelikan, juga tentu menjadi korban kekerasan seksual. Yang kedua, karena kemiskinan, di beberapa suku tertentu, misalnya.

Ya, jadi memang ada tokoh agama yang baik, di beberapa wilayah ia menyediakan fasilitas pendidikan untuk para perempuan yang bermigrasi supaya anaknya aman dididik di situ; atau di wilayah tertentu dia membuka lembaga pendidikan yang rata-rata para perempuan ini bisa sekolah dan dengan mudah, menyelesaikan pendidikan Aliyah. Walaupun pada akhirnya ia menjadi buruh migran, tetapi relatif ia punya pengetahuan bahasa Arab, punya pengetahuan untuk menjaga dirinya. Tapi, ada juga  tokoh  agama  yang menjadikan ketidaktahuan buruh migran sebagai komoditas. Jadi, perdagangannya berlapis.

JP: Pelaku perdagangan yang berlapis dan adanya pandangan bahwa mereka adalah malaikat penolong berpengaruh terhadap sulitnya penanganan?
YC: Iya, orang jadi tidak clear melihat. Polanya juga semakin canggih dan kadang samar, bahkan pelaku perdagangan ini bisa jadi saudara dekat. Di beberapa wilayah, untuk bekerja di pub, menjadi pekerja seks, harus ada tanda tangan dari orang tua. Artinya, keluarga menyetujui‚ “memperdagangkan” entah itu anaknya, entah itu keluarganya. Kalimat izin dipahami seperti itu.

JP: Bagaimana dengan prosedur penanganan korban yang berbelit?
YC: Ya, itu dari hulu sampai hilir yang harus ditangani, soal aparat penegak hukum yang harus sama-sama sensitif terhadap korban juga suatu agenda. Tapi, selebihnya juga soal kemiskinan, terbatasnya opsi-opsi pekerjaan bagi perempuan  rentan.  Sekarang,  dengan  semakin  menguatnya  moralisme  di Indonesia, pekerja seks tidak boleh, mobilitas keluar malam jadi terbatas (ada daerah yang punya perda prostitusi yang membatasi warga keluar malam hari- red), padahal bisa jadi ia tukang sayur. Pilihannya menjadi sedikit. Opsi untuk PRT diperjuangkan (melalui) undang-undangnya pun, dari kalangan kelas menengah masih sangat resistan. Opsi perempun sangat terbatas. Menjadi buruh migran yang legal juga prosedurnya enggak sederhana untuk orang- orang yang mungkin pendidikan masih terbatas sehingga terkadang pilihan untuk masuk dalam jeratan trafficking itu menjadi lebih terbuka karena tidak ada opsi. Dari hasil riset saya terhadap beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK) dan buruh migran, rata-rata mereka adalah korban pernikahan dini, lalu korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), suami pergi, atau melakukan kekerasan yang lain, lalu dia tidak punya jaringan tempat untuk bergantung, keluarganya miskin semua, dan dia harus menanggung anak untuk survive sehingga dia harus masuk dalam lingkaran trafficking.

Rantai kemiskinan, juga soal agama yang harus ramah pada perempuan, kemudian tindakan yang tidak tegas yang menimbulkan efek jera pada pelaku, nyaris sulit untuk menjerat para pelaku perdagangan, pembuktiannya juga complicated, sulit. Rumit, ya, apalagi kalau berhadapan dengan korban yang rentan. Dia sudah harus melakukan bukti-bukti segala macam, nyaris enggak mungkin gitu, kan. Ini memang masalah yang perlu pendekatan multidimensi dan sistemis, ya. Di samping tadi itu, ya, soal pemulihan, ini termasuk agenda Komnas Perempuan, bagaimana membuat suatu standard setting untuk mekanisme pemulihan, baik buruh migran maupun trafficking.

JP: Bagaimana pemulihan yang efektif agar korban tidak balik lagi menjadi  korban traThcking?
YC: Yang jelas pemulihan dalam makna luas, ya, jadi korban sendiri mendapatkan hak keadilan, baik secara ekonomi maupun psikis, karena kadang sudah menjadi korban trafficking, suaminya tidak mau terima dia secara psikis. Beberapa kasus perempuan yang tadinya menjadi korban perkosaan terus kemudian terjebak dalam prostitusi, kan, kebanyakan karena tidak diterima oleh suaminya. Dia menganggap, terutama kelompok moralis, ini soal purity, body purity, dan purity symbol. Akhirnya, dia (korban trafficking)  merasa dirinya kotor dan  dia menyemplungkan langsung. Jadi, pemulihan kepada korban juga harus didukung oleh komunitas, bahwa kadang, adil itu enggak hanya bagi dirinya, tapi bagi korban, bahwa saya harus diterima oleh masyarakat. Makanya, yang saya lihat, survival para korban trafficking maupun penghamilan paksa dan sebagainya  di  wilayah  yang  permisif,  enggak  harus  membuat  surat nikah.

Tetapi, kalau di wilayah yang semakin moralis, dia harus membuat  surat nikah walaupun asli palsu. Misalnya, karena jaringan di Timur Tengah untuk mendapatkan surat nikah itu mudah, ada jaringan yang siap siaga. Survival- nya sampai seperti itu, sudah menjadi korban dia harus memastikan juga di komunitas. Jadi, pemulihan dalam makna luas adalah seperti itu, individu, masyarakat, kebenaran, keadilan; karena sekarang, pulih bagi korban, tapi ketika distigma lagi oleh masyarakat, tidak ada artinya.

JP: Bagaimana bentuk pemantauan nantinya?
YC: Sebagai sebuah konsep, kita sudah punya pemulihan dalam makna luas. Tetapi, isu buruh migran memang harus kita ramu bersama. Konsepnya, sih, setelah finding-finding dari pemantauan ini baru kita cari polanya yang pas. Mungkin bahan bakunya adalah pemulihan dalam makna yang luas ini, tapi persisnya seperti apa, kan, justru tujuan pemantauan ini untuk mendapatkan deskripsinya yang pas. Paling tidak, secara sinergis kita bikin kajian soal kebijakan-kebijakan lokal, preview perda diskriminiatif. Nah, nanti kita lihat sisi kebijakannya seperti apa, respons pemerintah setempat atau lembaga- lembaga negara di tingkat lokal, terus jaringan di setiap wilayah, juga misalnya peta korban itu sendiri, termasuk jaringan aktor yang terlibat di situ, mesti dilihat sehingga memutus rantainya itu menjadi lebih clear.

JP: Apa kendala yang kemungkinan muncul?
YC: Kendalanya berlapis, soal kekuatan korban dengan kekuatan jaringan pelakunya enggak berimbang, lalu kebijakan-kebijakan yang ada, misalnya, retribusi pajak. Rata-rata perda yang muncul adalah soal gimana pajak-pajak. Itu juga yang dikeluhkan oleh PJTKI. Makanya, UU No. 39 ini kalau semua pihak ingin merevisi, interest-nya beda-beda. PJTKI, civil society, dan korban punya interest sendiri.

JP: Apakah ada optimisme masalah traThcking ini akan selesai, minimal berkurang?
YC: Kalau dari peta Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan tahun 2009, sekarang ini ada keberanian korban. Jadi, sekarang ini korban tidak takut walaupun aktornya adalah orang penting, orang berpengaruh. Itu menurut saya luar biasa, termasuk korban trafficking atau buruh migran yang rentan. Yang kedua, data laporan terbanyak datang dari laporan lewat telepon. Jadi, teknologi HP (handphone) pada titik tertentu membuka akses yang lebih mudah bagi perempuan untuk bicara atau mengungkapkan kasusnya. Dulu, kasus hilang kontak sangat tinggi. Sekarang, dengan adanya HP, buruh migran bisa komunikasi dengan keluarga dan anaknya, itu bisa membantu dalam situasi sulit, ya. Itu yang saya rada optimis.

Sekarang juga orang melalukan campaign yang sangat serentak, bahkan kolosal yang populer di kalangan anak-anak muda dengan musik dan sebagainya yang membuat orang aware. Kata trafficking orang sudah tahu walaupun mungkin substansinya masih enggak jelas. Misalnya, belum lama ini, ada pertemuan soal campaign (anti) trafficking, terus bilang, “Stop perdagangan ilegal terhadap perempuan,” jadi, kalau legal boleh? Paling tidak, orang harus dipahamkan soal trafficking itu. Pola baru, kan, rada mengerikan, soal menjual virginitas. Kasus terakhir ada orang diancam via video. Oleh pelakunya, anak-anak diminta berhubungan seks, direkam dalam video, dan kalau melaporkan, akan disebar (video tersebut). Melalui ancaman, itu juga membuat kerentanan baru.
Paling prinsip (dalam penyelesaian masalah trafficking) adalah soal penegakan hukum. Kita punya UU (tentang) anti-trafficking, tapi sebetulnya tingkat efektivitasnya seberapa, sih? Kalau itu dibuat efek jera, mungkin bisa membuat perdagangan perempuan bisa ditekan. (Dewi Setyarini)
 
Catatan Belakang:

Tulisan ini dibuat pada tahun 2010
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 68, 2010  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

(Almh.) Ratna Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen, Mengabarkan Kenyataan

15/8/2016

 
Picture
​“Saya setuju dengan sebutan bahwa negeri kita ini adalah negeri yang maskulin. Saya dapat melihat dan merasakan maskulinitas itu dari ‘teks-teks’ sosial kita yang sarat dengan pelecehan seksual terhadap perempuan. Dan, saya kira semua itu akibat hegemoni patriarki yang telah tumbuh cukup lama dalam negeri ini. Untuk itu, saya sangat tertantang untuk menulis cerpen sebagai saksi atas ketidakadilan.” (Ratna Indraswari Ibrahim)1
 
 
Bila Ratna Indraswari Ibrahim tidak menulis, itu bisa berarti dua kemungkinan, yakni tidak ada lagi pelanggaran kemanusiaan atau kehidupan ini memang telah usai. Sejauh ini, memang tidak pernah terbayang oleh Ratna jika ia harus berhenti menulis. Baginya, menulis cerpen bisa mengungkapkan sekaligus menggambarkan suatu realitas sosial yang terjadi di masyarakat. “Cerpen adalah bagian dari sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra merupakan refleksi kejujuran atas realitas sosial di mana karya sastra itu tumbuh,” kata Ratna. Alasan itulah yang menjadikan Ratna merasa dapat membantu dan berbagi kepada sesama manusia lewat cerpen-cerpennya. Kemanusiaanlah yang menjadikan Ratna tetap menulis.

Ratna adalah perempuan biasa yang luar biasa. Mengenal Ratna mengingatkan kita pada si Genius Stephen Hawking yang memberi pemahaman bahwa keterbatasan fisik bukanlah instrumen utama bagi berkurangnya kegeniusan seseorang. Ratna secara fisik tidak mungkin mengerjakan pekerjaannya seperti manusia normal. Ratna adalah orang cacat secara fisik, tetapi genius secara ide. Ratna adalah Stephen Hawking dalam dunia sastra dan perjuangan perempuan di komunitasnya.

Hampir sebagian besar anggota tubuhnya, terutama tangan dan kakinya, tidak bisa difungsikan, menyuap makanan pun tidak mungkin ia kerjakan sendiri. Di atas kursi rodanya, Ratna kerap kali kecewa kepada masyarakat yang memperlakukan orang cacat dan perempuan dalam posisi yang tidak penting, terbelakang, dan bodoh. Tekad untuk mengubah pandangan masyarakat yang keliru inilah yang menjadikan Ratna selalu hidup dalam kehidupan yang tidak berperilaku adil.

Ia sangat mengagumi ibu Nabi Musa A.S., karena kecerdasannya, perempuan itu menemukan jalan untuk menyelamatkan Musa kecil dari kekejaman Firaun yang siap membunuh setiap bayi laki-laki yang terlahir. Ratna bercita-cita agar perempuan di negerinya dapat berpikir seperti itu, berpikir alternatif, cerdas,  dan mandiri dari kekuatan laki-laki yang mendominasi dan memperlakukan perempuan secara tidak adil. Itulah Ratna, ia hidup dalam cerpen-cerpennya yang kelak akan dikenal sebagai sosok yang memberi pemahaman kepada dunia bahwa nilai dan kedudukan manusia bukan dilihat dari fisik, melainkan dari tindakan, pikiran, dan sumbangsih seseorang dalam kehidupan bersama.
 
Ratna dan Sisi Kehidupannya
Dalam dunia sastra, nama Ratna Indraswari Ibrahim cukup dikenal sebagai penulis cerpen. Cerpen-cerpennya kerap dimuat di sejumlah media cetak, baik lokal maupun nasional. Selain dikenal sebagai penulis cerpen, Ratna juga dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan hak para difabel untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagai warga negara. Kondisi fisiknya memang tidak normal karena sebagian besar anggota tubuhnya tidak berfungsi. Ia terserang penyakit polio pada usia 12 tahun dan sejak itu ia harus mengisi hari-harinya di atas kursi roda.

Meskipun harus menghabiskan kehidupannya di atas kursi roda, Ratna merasa tidak mempunyai persoalan menyangkut kondisinya yang difabel. Persoalan ini baginya sudah lewat. Ia juga tidak mengalami diskriminasi dalam keluarganya. Orang tua dan saudara-saudara tidak pernah memperlakukannya secara istimewa. Inilah yang menjadikan Ratna merasa selesai dengan kondisinya.

Di atas kursi roda, Ratna semakin menemukan dirinya. Kehidupannya telah memberikan pengalaman dan pelajaran yang cukup berharga bagi dirinya menyangkut keberadaan difabel lainnya. Di atas kursi roda, ia dapat merasakan bagaimana perlakuan masyarakat masih belum sepenuhnya menerima orang-orang difabel. Keinginan Ratna hanya satu, yaitu perlakuan yang sama dari masyarakat kepada mereka yang difabel. Dengan sepenuh hati, Ratna kerap memaksa masyarakat yang menganggap difabel sebagai objek yang perlu dikasihani untuk mengubah pandangan bahwa difabel adalah subjek yang juga mempunyai peran penting. Ratna telah menunjukkan perannya, yaitu menumbuhkan motivasi kepada rekan-rekannya sesama difabel dan masyarakat umum bahwa mereka ini adalah manusia biasa yang juga warga negara.

Kepedulian ini diwujudkan Ratna dengan mendirikan organisasi penyandang cacat di Kota Malang, yaitu Bakti Nurani yang pada tahun 1977—2000 dinakhodai oleh Ratna. Melalui Bakti Nurani, Ratna membangun jaringan keluar dengan berba- gai organisasi untuk membangun kekuatan. Tidak saja dengan sesama organisasi penyandang cacat, tetapi juga organisasi sosial lainnya. Baginya, membangun jaringan dapat menggalang kekuatan yang mempercepat proses perubahan masyarakat. Kekuatan jaringan yang dibangun Ratna tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri hingga pada tahun 1993, ia diundang untuk hadir dalam seminar Hak Asasi Manusia di Sidney, Australia sebagai delegasi dari Indonesia.

Ratna Indraswari Ibrahim lahir dari keluarga besar. Ia adalah anak keenam dari sebelas bersaudara, lima laki-laki dan enam perempuan. Ratna dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur pada 24 April 1949. Darah keluarganya mengalirkan minat menulis yang tinggi dalam diri Ratna. Ia sendiri mengakui bahwa kelahirannya dalam keluarga Saleh Ibrahim (ayahnya) membawanya pada perasaan seperti anak ikan yang bertemu dengan air. Ayahnya, Saleh Ibrahim yang berdarah Padang adalah seorang penulis dan aktivis. Beberapa karya tulisnya menghiasi sejumlah media massa pada saat itu. Sayang, Saleh Ibrahim tak bisa menemani Ratna hingga melihat putrinya ini menunjukkan kemampuan menulisnya. Pada tahun 1967, ayah Ratna meninggal akibat kanker. Umur Ratna saat itu baru 18 tahun.

Ratna sangat mengagumi ayahnya. Lelaki ini mengajarkan anak-anaknya untuk membeli dan membaca buku. Karena itulah, koleksi buku Ratna banyak sekali, mencapai 1.000 judul. Semenjak ayahnya meninggal, Ratna menapaki kehidupan bersama ibunya, Siti Bidahsari Arifin, orang Padang berdarah campuran. Tidak jauh berbeda dengan ayahnya, ibunda Ratna juga yang suka menulis dan melukis. Ibunyalah yang memperkenalkan Ratna pada kemandirian dalam hal menulis.

Suatu kali, ibunya pernah mengatakan, “Perempuan itu jangan ngobrol saja, perempuan itu harus menulis, menulis apa saja. karena dengan menulis, ia dapat menemukan dirinya,” ujar Ratna mengutip kata-kata sang Ibu. Tampaknya, ucapan tersebut dipegang teguh oleh Ratna, bahkan hingga kini. Pada tahun 1975, cerpen pertama Ratna berjudul “Jam” dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI. Sejak saat itu, Ratna semakin memantapkan hati, jiwa, dan pikirannya untuk menulis.
Dalam kesehariannya, aktivitas Ratna cukup sederhana, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Beberapa waktu memang Ratna harus keluar rumah untuk mendatangi sejumlah seminar, baik tentang politik, sosial, maupun budaya. Ratna aktif menghadiri seminar-seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara. Bagi Ratna, tidak ada kerugian apa pun untuk mendatangi seminar, malah menambah wawasan.

Tidak jarang pula Ratna bergabung  bersama teman-temannya untuk turun  ke jalan memprotes sejumlah kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut  isu kebudayaan, perempuan, lingkungan, dan aksesibilitas bagi difabel. Ia juga kerap hadir untuk memberi dukungan pada sejumlah aksi mahasiswa, seperti aksi mogok makan yang dilakukan mahasiswa untuk memprotes kebijakan pemerintah daerah. Ratna memang tidak bisa bergabung terus-menerus, tetapi kehadirannya mampu menambah dukungan moral.

Solidaritasnya yang tinggi membuat Ratna dikenal hampir di semua kalangan. Hal ini tampaknya berpengaruh bagi kehidupan Ratna. Hidupnya tak pernah sepi. Dalam keseharian, ia terus menciptakan arus bagi setiap aktivis LSM, mahasiswa, budayawan, wartawan, para difabel, birokrat, pendidik, dan elemen masyarakat lainnya. Rumahnya di Jalan Diponegoro 3, Malang tak pernah sepi dari kehadiran seorang teman, masyarakat biasa, hingga sejumlah tokoh besar, seperti budayawan dan politisi. Ratna tidak pernah membeda-bedakan siapa saja yang datang ke rumahnya. Kehadiran rekan-rekannya merupakan spirit baru bagi Ratna untuk semakin memahami kehidupan. Mereka banyak membantu, menjadikan Ratna kuat dan percaya diri.

Di rumahnya, di atas kursi roda, ia mendengar banyak cerita dan keluhan tentang ketidakadilan sosial. Cerita-cerita inilah yang kerap kali menjadi ide bagi setiap cerpen-cerpennya yang hampir selalu berangkat dari kenyataan sosial. Dengan sabar Ratna mendengarkan cerita yang kadang kala cukup menyesakkan dadanya. Setiap cerita kehidupan itu selalu melahirkan korban. Ratna sendiri menyebut teman-temannya sebagai “kunang-kunang”, penerangan bagi dirinya. Ratna senantiasa mengikat komitmen dengan setiap temannya dan menjaga komitmen itu. Inilah yang membuat setiap orang memiliki komitmennya sendiri dengan Ratna.

Ratna mempunyai kegemaran membaca sejak kecil. Sewaktu SMA ia telah membaca sejumlah buku “berat” untuk dibaca anak seusianya, seperti buku karangan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi dan bacaan-bacaan Marxis. Kebiasaan membacanya ini mengajarkan Ratnapada banyak haltentang kehidupan. Kebiasaan membaca inilah yang menjadi teman hidupnya sehari-hari. Koleksi buku Ratna banyak, hampir setiap ada buku baru ia beli. Teman- temannya selalu menginformasikan adanya buku baru atau buku bagus. Ia lalu menitip temannya untuk membelikan karena ia sadar, mobilitasnya terbatas. Ditambah pula, sejak ibunya meninggal, praktis Ratna menjalani hidupnya seorang diri. Ia hanya ditemani tiga temannya yang siap membantu Ratna menjalani aktivitas sehari-hari, mulai dari makan, mandi, ke toko buku, menghadiri seminar, sampai mengetikkan makalah atau naskah cerpennya.

Ratna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan honor menulis cerpen, juga pembayaran sewa kamar-kamar di rumahnya yang diindekoskan. Meskipun saudara-saudaranya sedia membantu, namun bukanlah Ratna bila tidak bisa mandiri. Ia harus belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, untungnya keluarga Ratna bisa memahami hal itu. Dengan penghasilan terbatas, ia menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring makanan kecil untuk teman-temannya yang datang ke rumahnya yang selalu terbuka. “Silakan mau makan, berdiskusi, menginap, atau apa saja selama saya bisa membantu, saya akan bantu, asalkan mau dengan kesederhanaan,” kata Ratna yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi di Universitas Brawijaya ini namun mengundurkan diri.

Dalam menulis cerpen, ia tidak selalu meminta bantuan temannya untuk mengetikkan. Terkadang Ratna juga menuliskan naskah cerpennya sendiri, ia hanya minta disiapkan komputer di depan kursi rodanya. Dengan sepasang sumpit sebagai “tangannya”, Ratna menekan tombol huruf pada keyboard komputer secara perlahan dan penuh kesabaran. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Ratna untuk mengetik satu kata menjadi kalimat lalu paragraf, apalagi sebuah cerpen. Setiap tombol yang ditekan membutuhkan waktu kurang lebih setengah menit, maka ia membutuhkan waktu berjam-jam untuk sebuah cerpen. Apakah ini menjadi hambatan? Tidak, justru di situlah pergulatan batinnya terjadi hingga mampu memberikan jiwa pada setiap karyanya. Dengan kesabaran, ketekunan, dan komitmen, Ratna tidak saja produktif menghasilkan cerpen, tetapi juga menghasilkan cerpen yang tajam.

Selain menjadi cerpenis lepas, Ratna juga menjadi aktivis sosial dengan menjadi salah satu pendiri Yayasan Entropic, sebuah yayasan yang peduli pada isu lingkungan hidup. Bagi Ratna, alam memberikan kehidupan bagi manusia. Sungguh suatu kebiadaban bila alam harus dirusak oleh kelompok-kelompok yang mementingkan dirinya sendiri. Dari alam pun Ratna mengahasilkan sejumlah cerpen yang membela kelestarian lingkungan hidup.

Pada tahun 1998, Ratna mendirikan Yayasan Pajoeng dan menjadi koordinator litbang di sana. Yayasan Pajoeng adalahsebuahyayasanyang bergerak dalam bidang pengembangan kebudayaan di Kota Malang. Kebudayaan, menurut Ratna, adalah sumber peradaban. Sebuah bangsa menjadi kurang beradab ketika kehilangan akar kebudayaannya karena setiap kehidupan merupakan refleksi kebudayaanya. Ratna juga menjadi pionir bagi perkumpulan aktivis dari berbagai elemen di Kota Malang yang tergabung dalam Forum Pelangi. Komunitas diskusi ini aktif melakukan kajian dan tukar informasi antarelemen masyarakat di Kota Malang. Ratna dan teman-temannya di Malang juga membidani lahirnya Jurnal Naraswari yang memfokuskan isinya pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Media ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk memahami sejumlahketidakadilan gender yang terjadi di sekitarnya.

Kepedulian Ratna terhadap persoalan perempuan bukanlah hal baru. Pada tahun 1995, Ratna pernah menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Internasional di Beijing, China. Pada tahun 1997, Ratna juga menghadiri Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, USA. Pada tahun 1993, pemerintah Indonesia memberinya penghargaan sebagai Perempuan Berprestasi. Dalam soal belajar, ia tidak akan pernah berhenti, “Belajar itu tidak pandang usia dan kapan pun,” demikian tuturnya. Itulah kebanggaan Ratna ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan MIUSA (Mobility International United States) di Eugene, Orengon, USA pada tahun 1997.
 
Mengabarkan Kenyataan Lewat Cerpen
Ratna sendiri sudah lupa sudah berapa banyak cerpen yang dilahirkannya. Yang  jelas,  Namanya  Massa  (Yogyakarta:  Penerbit  LKis,  2000)  adalah judul buku kedua kumpulan cerpennya. Kehadiran buku tersebut menjadi tonggak ketekunannya selama 25 tahun menggeluti dunia sastra. Sebelumnya, Ratna juga pernah melahirkan kumpulan cerpen berjudul Menjelang Pagi (1995) dan yang terbaru adalah buku kumpulan cerpennya yang ketiga berjudul Lakon di Kota Kecil (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002). Ketiga buku tersebut hanya berisi reproduksi ulang cerpen-cerpen Ratna yang pernah dimuat di media massa, namun itu bukan berarti sebuah ide dan intelektualitas hanya terukur dari kuantitas karya. Ratna adalah orang yang sangat menghormati proses.

Memahami proses adalah memahami persoalan secara lebih substansi dan mendalam. Ia lebih senang orang mengenalnya secara proses, bukan sebagai Ratna yang sekarang ini. Konsistensinya pada proses telah melahirkan cerpen-cerpen yang cerdas. Kompas sebagai koran nasional hampir tak pernah meluputkan nama Ratna dalam setiap penerbitan buku kumpulan cerpen pilihan Kompas. Salah satu karya Ratna adalah “Bunga Kopi” yang terdapat dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2007.

Cerpen-cerpen Ratna senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Cerpen adalah media yang dipilihnya untuk mengungkapkan perasaannya dalam melukiskan sebuah kisah. Cerita dalam cerpen-cerpen Ratna berangkat dari kenyataan sosial yang didapatnya dari teman-temannya. Melalui cerpen, setiap pembaca diajak untuk memahami realitas sosial tersebut untuk pada akhirnya turut merasakan, apakah dirinya menjadi penindas atau yang tertindas. “Itulah tugas cerpen, mengabarkan sebuah kenyataan dan membangunkan mimpi kita dalam sebuah kisah,” kata Ratna yang menemukan jati dirinya dalam pekerjaan menulis cerpen.

Ada banyak pilihan untuk mensosialisasikan gagasan dan pengalaman, Ratna memilih menulis untuk mengekspresikan semua itu. Dengan menulis ia merasa semua orang dapat membaca, kapan pun dan dimana pun. Meskipun minat baca di Indonesia masih rendah, Ratna percaya bahwa dari hal yang kecil itulah akan tercipta sesuatu yang besar. Bila kita tengok cerpen Ratna yang berjudul “Rambutnya Juminten” yang dimuat Kompas, 18 Juli 1993, kita akan dapatkan bagaimana Ratna mengabarkan suatu realitas masyarakat yang sangat mengagungkan suami sebagai kepala rumah tangga. Juminten adalah seorang istri yang dikategorikan “setia” dan ideal dalam ukuran masyarakat yang menganut paternalisme tinggi. Sebagai seorang Istri, Juminten mau melakukan apa saja demi sang Suami, termasuk memanjangkan rambutnya, meskipun dalam hatinya sangat bertolak belakang. Cerpen itu cukup kuat memaksa kita untuk tersadar bahwa perilaku paternalistis menjadikan perempuan tak berdaya. Cerpen tersebut terpilih dalam Cerpen Pilihan    Kompas Tahun 1995 dan menjadi nominasi Cerita Pendek Perempuan di tingkat ASEAN pada tahun 1996.

Selain “Rambutnya Juminten”, beberapa cerpen Ratna juga mempunyai prestasi terbaik, seperti “Jerat” yang masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1993; “Bajunya Bu Boni” menjadi pemenang ketiga Sayembara Cerpen Majalah Wanita Femina tahun 1996; “Perempuan itu Cantik“ termasuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1996 dan masuk seleksi Yayasan Lontar, Jakarta; dan “Seruni” yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Cerber Majalah Wanita Femina tahun 1998. Cerita terakhir ini mengisahkan pemberontakan seorang mahasiswa kedokteran dalam melawan tradisi. Selanjutnya, pada tahun 2000, cerpennya kembali terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas.

Sejumlah cerpen Ratna memang tidak sekadar cerpen. Ia mewakili sepotong kenyataan sosial yang terjadi. Memahami cerpen Ratna tidak bisa hanya dengan dibaca, tetapi juga harus dirasakan karena di situlah letak kekuatan cerpennya. Ia dapat menjelaskan realitas yang selama ini dipandang keliru oleh banyak orang berkaitan dengan perspektif kemanusiaan. Cerpen Ratna mengajak kita untuk bisa memahami setiap persoalan tidak dari satu perspektif, tetapi dari banyak sisi. Perspektif yang beragam dapat membantu kita untuk memahami setiap persoalan tersebut, seperti yang dikatakan Ratna, “Bahwa kebenaran seseorang itu tidak bisa dipandang dari satu sisi. Kebenaran itu hendaknya dilihat dari sisi dan perspektif yang lebih luas. Melalui share pendapat dan berbagi pengalaman, saya kira setiap persoalan yang muncul dapat lebih jelas tingkat kebenarannya.”
 
Memihak Perempuan Lewat Cerpen
  • Juminten mengangkat bahunya yang indah, “Kang, saya ingin memotong rambutku semodel Marni. Dia bilang, saya akan kelihatan rapi, kalau potongan rambutku pendek.” “Kamu bersolek, kan, untuk suamimu, iya, kan?” (“Rambutnya Juminten”, 1993). 
Penggalan di atas adalah cuplikan dialog dari cerpen Ratna berjudul “Rambutnya Juminten”. Cerpen tersebut adalah salah satu cerpen terbaiknya dan—dapat dikatakan—mewakili perasaan Ratna akan kegelisahanya terhadap kondisi perempuan di negeri ini. Juminten mewakili kebanyakan perempuan di  negeri ini yang harus tunduk dan patuh kepada suaminya. Ini bukan karena Juminten tidak punya keinginan lain, melainkan kultur sosial masyarakat yang paternalistis membuat Juminten harus merelakan “dirinya” untuk diperlakukan sekehendak suaminya.

Dalam cerpen tersebut Juminten menuruti saja apa kata suaminya yang menginginkan rambutnya agar tetap dipanjangkan. Mau tidak mau, suka tidak suka, Juminten harus memanjangkan rambutnya. Sementara itu, di sisi lain, tren mode rambut pendek tampaknya menjadi pilihan hampir setiap perempuan. Juminten tidak saja mewakili perasaan Ratna, tetapi Juminten juga mewakili perasaan sebagaian besar perempuan yang hidup dalam hegemoni patriarki. Perempuan tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Ia hadir untuk memenuhi selera para laki-laki.

Teralienasinya perempuan oleh kekuasaan laki-laki inilah yang menurut Ratna setidaknya harus menjadi perhatian setiap insan. Sama halnya dengan komentar Budi Dharma (Guru Besar Sastra Inggris di IKIP, Surabaya), bahwa Juminten merupakan korban konstruksi sosial masyarakat. “Sebagai anggota masyarakat, ia semata komponen. Ia dibentuk oleh kehendak-kehendak dari luar, bukan dari dirinya sendiri,” kata Budi Dharma.

Ratna memang bertekad untuk membongkar realitas patriarki ini melalui cerpen-cerpennya. Ratna menginginkan tumbuhnya kesadaran kolektif untuk bersama-sama menggugah kesadaran perempuan yang teralienasi oleh hegemoni patriarki. Ratna sangat perhatian terhadap persoalan perempuan yang telah menikah. Menurutnya, sudah banyak contoh yang menggambarkan bagaimana perempuan yang menikah selalu menjadi objek kekerasan oleh suaminya, entah itu secara fisik, psikologis, maupun secara ekonomi. Ratna berpandangan bahwa sebagai istri, perempuan yang menikah, harus berani menunjukkan hak-haknya sebagai warga negara yang sama dalam perlakuan di mata hukum.

Hal ini tampak dalam komentar Ratna yang cukup keras ketika menyikapi persoalan kekerasan dalam rumah tangga, “Istri harus berani melapor ke polisi bila ia dipukul oleh suami,” tegasnya. Pernyataan ini sangat jelas memberi pemahaman bahwa suami dalam instrumen perkawinan, tidak punya hak untuk melakukan kekerasan terhadap istri atas dalih apa pun. Untuk itu, istri wajib melaporkan kepada polisi bila ia mengalami kekerasan sekecil apa pun. Sebagai cerpenis, Ratna hanya bisa mengkisahkan kegelisahannya tersebut dalam sebuah cerpen. Ia pun sering kecewa terhadap tayangan-tayangan televisi yang hampir sebagian besar mengeksploitasi perempuan. Ratna khawatir bahwa citra perempuan yang terbangun melalui televisi yang suka menangis, sebagai pekerja rumah tangga, tidak mempunyai daya kreativitas berpikir, bercitra sensual, ditangkap secara mentah-mentah oleh masyarakat. Tayangan televisi ataupun media cetak adalah agen yang efektif untuk mempengaruhi masyarakat. Bila tayangan televisi sendiri telah mengalami bias gender, maka jangan disalahkan bila masyarakat akan mencontoh perilaku seperti yang tertangkap di televisi atau media cetak selama ini.

Dalam konteks tersebut, cerpen-cerpen Ratna sebenarnya tidak saja melawan hegemoni-hegemoni patriarki,  tetapi  juga  melawan  hegemoni  kapitalistis  yang selalu menampakkan manusia secara fisik. Dalam konteks itu pula, Ratna mau melakukan apa saja agar cerpen-cerpennya bisa dibaca. Ia memang tidak menginginkan dirinya menjadi terkenal, tetapi ia hanya ingin memberi pelajaran bahwa realitas yang terjadi tidaklah sama dengan tampilan di media massa yang sangat eksploitatatif. Mensosialisasikan cerpennya melalui sekolah-sekolah adalah upayanya untuk memberikan pemahaman dini terhadap siswa tentang persoalan ketidakadilan gender. Upaya ini ia lakukan agar siswa lebih terbiasa untuk memahami realitas yang sesungguhnya.
 
Penutup
Ratna Indraswari Ibrahim memang tidak terbiasa untuk diam tidak menulis. Menulis sudah menjadi bagian hidupnya. Namun, kebiasaanya untuk menulis telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Bila Ratna menulis, berarti ada ketidakadilan yang merajalela, ada penindasan yang kejam, ada korban yang jatuh, dan ada cinta yang tercabik. Bila Ratna menulis, berarti ada perempuan yang diperkosa, ada tanah yang digusur, ada aktivis mahasiswa yang dipukul, dan ada manusia yang terbantai. Ratna memang sosok penulis cerpen yang tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial yang ia tuliskan. Cerpen Ratna adalah saksi yang berbicara pada nilai-nilai kemanusiaan.
​
Semestinya kita dapat belajar dari  Ratna  bahwa  kesempurnaan  seseorang itu tidak akan diperoleh tanpa kita berupaya untuk menyempurnakan diri kita sendiri. Tidak ada satu pun yang bisa mengubah diri kita, kecuali diri kita sendiri. Itulah yang telah dilakukan oleh Ratna untuk mencari kesempurnaan dirinya. Ratna adalah saksi di mana keterbatasan fisik bukanlah hambatan seseorang untuk berbuat untuk sesamanya. Ratna telah membuktikan, meskipun ia tidak bisa menggunakan kemampuan fisik anggota tubuhnya, tetapi ia mampu memberi pencerahan melalui pikiran-pikirannya. Ratna dapat dijadikan saksi bahwa kekuatan pikiran lebih berbahaya ketimbang kekuatan fisik. Kekuatan fisik hanya tumbuh di dalam jasmani, tetapi kekuatan pikiran tumbuh di dalam jiwa. (Eko Bambang Subiyantoro)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2002
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 23, 2002  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Yanti Muchtar: Pendidikan Alternatif untuk Perempuan

1/8/2016

 
Picture
Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern dengan isu pendidikan perempuan adalah Kapal Perempuan (Lingkar Pendidikan Alternatif untuk Perempuan). Metode yang dilakukan adalah memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan alternatif. Yanti Muchtar adalah Direktur Eksekutif Kapal Perempuan yang telah menerapkan pendidikan untuk perempuan ini di masyarakat terpinggir dan para ibu rumah tangga yang hidup di sana. Selengkapnya, berikut wawancara Jurnal Perempuan dengan Yanti Muchtar.
 
Jurnal Perempuan (JP): Apa pentingnya pendidikan alternatif bagi perempuan?
Yanti Muchtar (YM): Kalau kita mau melihat isu demokratisasi, maka harus ada satu, dua, tiga atau lebih masyarakat sipil yang kuat. Maka, kalau kita bicara tentang masyarakat sipil yang kuat, berarti kita juga akan bicara kelompok- kelompok perempuan yang kuat sebagai bagian dari masyarakat sipil itu.  Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengorganisasi perempuan menjadi sangat penting agar proses demokratisasi bisa berjalan sepenuhnya dan dengan yang sebaik-baiknya menuju masyarakat adil dan pluralis, yang akhirnya manfaatnya juga bisa dirasakan oleh kaum perempuan.
JP: Atas hal tersebut, bagaimana Kapal Perempuan mengorganisir sekolah perempuan?
YM: Tentu saja sama dengan yang tadi saya katakan, prasyarat dalam menciptakan masyarakat yang adil, demokratis, dan pluralis membutuhkan  masyarakat sipil yang kuat, yaitu masyarakat sipil yang berperspektif keadilan sosial dan keadilan gender. Karenanya, kita harus memperkuat perempuan sebagai bagian yang terpenting dari masyarakat sipil sebab untuk konteks Indonesia, kita harus mengakui bahwa 57% masyarakatnya adalah perempuan. Dari jumlah ini, artinya manakala kita bicara proses demokratisasi, maka mau tidak mau kita harus memperkuat dan memberdayakan perempuan.

JP: Dari kegiatan pendidikan alternatif untuk perempuan, Kapal Perempuan memilih pendidikan yang diberikan pada ibu rumah tangga. Mengapa demikian?
YM: Kapal Perempuan mencoba melawan arus dengan cara memperkuat dan mengorganisasi ibu rumah tangga yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tidak militan dan sulit diorganisasi, padahal mereka itu, kan, mayoritas. Makanya, kami coba mengorganisasi ibu-ibu rumah tangga di dua wilayah, yaitu di Ciliwung dan di Kampung Jati, Klender. Dan, ternyata setelah satu tahun, mereka berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di dua wilayah tersebut.

JP: Apa saja program yang dimiliki di Sekolah Perempuan itu?
YM: Kita mencoba mengintegrasikan tiga pendekatan sekaligus. Pendekatan pertama adalah bagaimana meningkatkan kesadaran perempuan sekaligus meningkatkan cara berpikir yang kreatif dan kritis, namun di saat bersamaan kita juga tahu bahwa faktor ekonomi juga merupakan sebuah masalah yang tidak bisa kita tinggalkan. Pendekatan ekonomi saja memang tidak cukup. Artinya, perempuan sebetulnya perlu pula pengetahuan, itu mengapa kami masuk dengan pendekatan apa yang disebut pemerintah sebagai “keaksaraan fungsional”, yaitu mereka dapat membaca, menulis, dan berhitung. Nah, ketiga hal itu coba kami gabungkan dengan metodologi yang berusaha tidak memisahkan ketiga hal ini. Misalnya, ketika kami mengajar membaca, maka yang dibaca adalah persoalan mereka. Setelah itu dianalisis, kemudian bagaimana menjawab pertanyaan dan menggali jawabannya. Nah, dari situlah muncul kebutuhan pentingnya berorganisasi, bersolidaritas sehingga hasil proses itu kemudian menghasilkan organisasi yang mereka inginkan.

JP: Jadi, berdasarkan pengalaman perempuan itu kemudian timbul kebutuhan akan pengetahuan-pengetahuan tersebut?
YM: Persis, berdasarkan pengalaman merekasendiri lalu mereka bisa merumuskan kebutuhan mereka.

JP: Adakah kendala dalam pengorganisasian Sekolah Perempuan tersebut?
YM: Ada, yaitu dari masyarakat sendiri, dan sebetulnya masyarakat kita memang sudah terkotak-kotak. Maka, ketika kami datang ke dua wilayah  tersebut, yang keluar adalah isu penyebaran agama. Kita sempat dianggap melakukan penyebaran agama. Dan, kendala kedua, banyak yang berpikir kami bawa bantuan karena selama ini, orang datang ke mereka untuk bawa bantuan  fisik. Jadi, menurut kami, materi yang nantinya disampaikan pada kelompok ibu rumah tangga ini adalah tema pluralisme juga, yaitu bagaimana saling menghargai dan bagaimana saling menerima perbedaan yang ada dalam masyarakat, dan di antaranya adalah perbedaan agama.

JP:
Apa perubahan yang terjadi di kelompok pendidikan alternatif bagi perempuan tersebut?
YM: Mereka bisa lebih terbuka dan berani mengekspresikan pikiran mereka sendiri. Misalnya, di Ciliwung, kami terkena isu agen penyebaran agama, ternyata ibu-ibu yang sekolah di tempat kami menolak isu itu dengan mengatakan itu mengada-ada dan bohong belaka. Reaksi itu sebenarnya hasil proses penguatan bahwa mereka berani mengatakan dan bertindak atas nama diri mereka sendiri. Akhirnya, posisi tawar mereka dalam masyarakat itu pun lalu menjadi lebih baik.

JP:
Artinya Kapal Perempuan berhasil memfasilitasi Sekolah Perempuan di dua wilayah itu, apakah memang ada kebutuhan sekolah alternatif di sana?
YM: Tentu ada, sebab kalau kita mau bicara soal Indonesia yang adil dan sejahtera serta demokratis, tentu harus ada pengawasan, monitoring, dan input dari masyarakat. Masyarakat miskin tentu saja ada di dalamnya, berikut perempuan- perempuan miskin. Mungkin sebagai salah satu contoh, inisiatif LSM untuk membantu, seperti yang dilakukan Kapal Perempuan, tetapi sebaiknya itu adalah keinginan atau diinisiatifkan oleh mereka sendiri. Dan, harapan ke depan, proses-proses pengorganisasian itu dapat didorong oleh kita semua, khususnya oleh pemerintah. Dorongan itu bukan sekadar omongan, melainkan juga terjamin di APBD dan APBN, bahwa usaha-usaha yang tersistematisasi memang pendanaannya ada dari pemerintah. Mengorganisasi ibu-ibu agar mereka kuat dan mampu mengekspresikan aspirasi dan pendapat mereka itu, kan, penting. Misalnya, saat pemilu lalu, hampir semua pihak memberikan pendidikan politik, padahal seharusnya yang diberikan adalah pendidikan kewarganegaraan dan itu harusnya memang dilakukan oleh negara.

JP:
Berbalik pada kelompok perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga yang dianggap tidak militan, pengalaman Kapal Perempuan sendiri bagaimana?
YM: Ya, ternyata mereka militansinya tinggi sekali karena pada tingkatan tertentu tidak ada itu namanya riil ibu rumah tangga. Banyak di antara mereka menjadi buruh cuci dan pengusaha kecil. Pengalaman kami ternyata, mereka cukup mampu untuk membangun komunitasnya. Saya hanya ingin membandingkan ketika saya pulang dari Manila, di situ ada persatuan orang tua yang isinya ibu rumah tangga dan mereka memulai aktivitas pendidikan pre-school di setiap komunitasnya dengan konsep dari mereka untuk mereka, dan ternyata gerakan ini cukup kuat, begitu pula di daerah miskin kota. Saya langsung membayangkan bagaimana mereka bisa melakukan itu dan apakah mungkin diterapkan di negara kita.

JP:
Dapat  digambarkan apa yang dilakukan mereka di sana?
YM: Seperti di Filipina, Indonesia juga saya rasa, kadang anak tidak disekolahkan, selain faktor biaya, jarak yang jauh, mungkin juga tidak ada tempat atau ibu- ibunya menganggap tidak penting. Maka, kelompok ibu-ibu rumah tangga ini bersatu dan mengumpulkan uang, menyewa satu ruangan, dan membuat satu sekolah di situ. Di sana mereka sekaligus dididik untuk menjadi guru TK dan mereka dapat bergantian menjadi guru TK di sana. Bagi yang tidak punya biaya tidak perlu membayar.

JP:
Apa pendapat Anda mengenai persoalan pendidikan di Indonesia?
YM: Indonesia memang sudah meratifikasi deklarasi education for all, yaitu ‘pendidikan untuk semua’ dan juga berdasarkan UUD ‘45 yang diamandemen, pendidikan dasar 9 tahun seharusnya gratis,  bermutu,  dan  aman.  Karena itu, tidak mungkin bila Indonesia tidak memikirkan persoalan pendidikan  ini, apalagi persoalan perempuan yang jelas separuh lebih dari penduduk di Indonesia ini. Ya, kita harus terus menjalankan metode pendidikan alternatif ini sebelum semuanya menjadi semakin runyam dan negara ini tidak menjadi apa-apa di mata dunia. (Sofia Kartika)

Catatan Belakang:
Tulisan ini dibuat pada tahun 2005
Pernah diterbitkan di: Jurnal Perempuan, No. 44, 2005  Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Mereka yang di Atas Persoalan, Kumpulan Profil dan Wawancara Jurnal Perempuan. 2013. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. 

​

<<Previous

    Author

    Redaksi Jurnal Perempuan 

    Archives

    April 2021
    February 2021
    January 2021
    September 2017
    October 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com