JP 81 Politisi Perempuan dan Strategi Politik Pasca Pemilu 2014
Deadline 28 Februari 2014
Kirim ke [email protected]
Rata-rata perempuan menempati kursi parlemen di seluruh dunia masih sangat rendah, yaitu 20.9 persen. Menurut pasal 55 dalam Undang-Undang Pemilu No 8/2012 diwajibkan paling tidak ada tiga kandidat perempuan dalam daftar yang dipilih partai politik. Partai politik akan dilarang mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) apabila tidak memenuhi kuota ini. Dari kesemua 12 partai yang berkompetisi tingkat nasional paling tidak ada 6.576 kandidat yang menyerahkan daftar calon nama yang diverifikasi dan dari semuanya itu ada 2.434 perempuan (laporan terkini dari Carnegie Institute, 2013). Pada tingkat nasional, partai politik dapat memenuhi kuota, tetapi tidak pada level daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Pembina Pemilu memberikan perhatian serius pada masalah ini dan mewajibkan seluruh partai politik untuk dapat memenuhi kuota ini, baik level nasional maupun daerah. Setelah Pemilu 2009 kuota perempuan yang menduduki kursi parlemen belum mencapai 30 persen tetapi hanya 18.2 persen. Tetapi ini mengalami kenaikan dibanding Pemilu sebelummnya, yaitu 11 persen dalam Pemilu 2014.
Mempromosikan dan memperjuangkan kesetaraan dalam arena politik dan legislasi dalam masyarakat dan kehidupan bernegara tidaklah mudah. Dalam buku terbaru yang diedit oleh Sasha Roseneil Beyond Citizenship? Feminism and the Transformation of Belonging yang dipublikasi oleh Palgrave MacMillan pada Maret 2013 ini diungkapkan pelbagai penelitian bagaimana strategi kenegaraan banyak menemu kegagalan karena dia dibangun dari asumsi-asumsi patriarki. Teori dasar kewarganegaraan (citizenship) masih dan terus berbasis patriarki. Kajian feminisme masih banyak yang ragu-ragu untuk terlibat dalam konsep kewarga-negaraan yang berbasis patriarki tersebut. Kelemahan mendasar adalah bagaimana perempuan paling miskin tidak memiliki kesadaran kewarganegaraan karena negara sama sekali tidak menguntungkan bagi mereka, alih-alih memberikan kebutuhan dasar (provision) sebagai warga negara. Maka perempuan dalam ceruk ini pun juga tidak mengenal hak (right) dan partisipasi (participation) sebagai warga-negara karena kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi oleh negara. Dalam kajian feminisme kewarganegaraan yang setara adalah kewarganegaraan yang berdasarkan pada perbedaan pengalaman antara perempuan, laki-laki, dan minoritas seksual—dan negara dalam hal ini membangun strategi politiknya berdasarkan perbedaan tersebut. Selama ini yang berlaku di banyak negara adalah bahwa semua warga negara adalah sama. Asumsi sama ini dicurigai sebagai berjenis kelamin laki-laki. Dus, jamak apabila perempuan dan minoritas seksual tak sungguh-sungguh merasa memiliki negara atau dipenuhi kewarga-negaraannya oleh negara.
Membongkar konsep kewarganegaraan yang maskulin membutuhkan analisis yang kompleks dan tidak parsial. Stereotype dan ketidaksetaraan telah berkembang dan tumbuh menjadi sistem tersendiri. Inisiatif untuk membongkar ini adalah jangka panjang dan memakan waktu lebih dari beberapa dekade. Strategi untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam kehidupan politik dan kenegaraan di Indonesia dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut ini: 1) merujuk pada komitmen internasional; 2) representasi kuota dan langkah afirmatif bagi kuota perempuan di parlemen dan legislatif; 3) reformasi legislatif dalam menjaga kesetaraan hak antara laki-laki, perempuan dan minoritas seksual; 4) aksi afirmasi untuk mengatasi disparitas gender dalam politik, terutama partai politik. Karena partai politik adalah penjaga gawang demokrasi, maka perlu diusahakan ketiga perihal beriku dalam partai politik: 4a) kuota voluntir untuk partisipasi perempuan dalam struktur partai politik; 4b) Outreach partai politik pada pemilih perempuan; 4c) memperkuat dialog publik dan dialog antar dan inter-partai. 5) Partisipasi politik tidak hanya terbatas pada partai politik, tetapi perempuan dapat berpartisipasi dalam beberapa aspek elektoral secara independen, misalnya dalam organisasi masyarakat sipil. Jaringan perempuan, NGO, dan media dapat menyediakan perempuan akses untuk meningkat partisipasi politiknya, yaitu dengan memberikan fokus pada lima perihal berikut: 5a) kampanye publik dan dukungan bagi keterlibatan politik perempuan; 5b) monitoring gender pada arus politik: bagaimana kualitas laki-laki dan perempuan dalam aktivitas politik dan apakah minoritas seksual mendapat hak, akses dan partisipasi politiknya secara penuh sebagai warga-negara; 5c) mendukung kelahiran generasi baru perempuan politisi; 5d) bekerjasama dengan laki-laki sebagai partner dalam mempromosikan kesetaraan berpolitik; 5e) mereduksi diskriminasi gender dalam informasi media. (dc)
Beberapa pertanyaan berikut ini adalah Strategi Politik Pasca Pemilu 2014 yang harus diulas oleh penulis topik empu dalam kajian-kajiannya secara spesifik. Setiap tulisan berfokus pada satu pertanyaan dan bersandar pada teori mutakhir Feminisme dengan dilengkapi data-data temuan dan kajian paling kini.
1. Konsep Warga Negara dalam Feminisme: Bagaimana konsep warga negara di mata kajian Wanita? Bagaimana kaitannya dengan realitas di Indonesia?
2. Wajah Perempuan Indonesia dalam Perundangan Politik di Indonesia: Bagaimana konsep warga negara ini kemudian mempengaruhi bangunan sistem politik di Indonesia? Apakah sistem politik di Indonesia telah benar-benar ramah perempuan? Ramah pada minoritas seksual?
3. Realitas Perempuan Indonesia dalam Partai Politik di Indonesia: Bagaimana wajah perempuan dalam partai politik di Indonesia? Bagaimana representasi mereka? Bagaimana kinerja mereka yang terpilih? Bagaimana perilaku politik mereka? Bagaimana wajah politisi perempuan dalam Partai Politik? Apakah mereka adalah “self-made”, atau karena selebriti, atau berasal dari dinasti (keluarga, ayah, suami) partai politik tertentu, atau rejim tertentu yang sedang berkuasa?
4. Realitas partisipasi politik perempuan di luar Partai Politik di Indonesia: Bagaimana perempuan terlibat dalam organisasi di luar partai politik menswarakan aspirasinya? Bagaimana perilaku politik perempuan di luar partai politik? tantangan yang dihadapi? Kesuksesan-kesuksesan?
5. Kerjasama dengan laki-laki sebagai partner dalam mempromosikan kesetaraan berpolitik: Bagaimana politisi laki-laki memandang partisipasi politik perempuan? Apa saja yang telah dilakukan oleh politisi laki-laki dalam mendukung kuota perempuan? Bagaimana laki-laki di luar partai politik bergandengan tangan memperkuat perjuangan ini?
6. Monitoring Gender dalam arus Politik: Bagaimana masyarakat umumnya mengontrol kesetaraan gender dalam arus politik di Indonesia? Adakah? Bagaimana peran negara? Peran media? Peran organisasi sipil? Peranan gerakan perempuan?
Mempromosikan dan memperjuangkan kesetaraan dalam arena politik dan legislasi dalam masyarakat dan kehidupan bernegara tidaklah mudah. Dalam buku terbaru yang diedit oleh Sasha Roseneil Beyond Citizenship? Feminism and the Transformation of Belonging yang dipublikasi oleh Palgrave MacMillan pada Maret 2013 ini diungkapkan pelbagai penelitian bagaimana strategi kenegaraan banyak menemu kegagalan karena dia dibangun dari asumsi-asumsi patriarki. Teori dasar kewarganegaraan (citizenship) masih dan terus berbasis patriarki. Kajian feminisme masih banyak yang ragu-ragu untuk terlibat dalam konsep kewarga-negaraan yang berbasis patriarki tersebut. Kelemahan mendasar adalah bagaimana perempuan paling miskin tidak memiliki kesadaran kewarganegaraan karena negara sama sekali tidak menguntungkan bagi mereka, alih-alih memberikan kebutuhan dasar (provision) sebagai warga negara. Maka perempuan dalam ceruk ini pun juga tidak mengenal hak (right) dan partisipasi (participation) sebagai warga-negara karena kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi oleh negara. Dalam kajian feminisme kewarganegaraan yang setara adalah kewarganegaraan yang berdasarkan pada perbedaan pengalaman antara perempuan, laki-laki, dan minoritas seksual—dan negara dalam hal ini membangun strategi politiknya berdasarkan perbedaan tersebut. Selama ini yang berlaku di banyak negara adalah bahwa semua warga negara adalah sama. Asumsi sama ini dicurigai sebagai berjenis kelamin laki-laki. Dus, jamak apabila perempuan dan minoritas seksual tak sungguh-sungguh merasa memiliki negara atau dipenuhi kewarga-negaraannya oleh negara.
Membongkar konsep kewarganegaraan yang maskulin membutuhkan analisis yang kompleks dan tidak parsial. Stereotype dan ketidaksetaraan telah berkembang dan tumbuh menjadi sistem tersendiri. Inisiatif untuk membongkar ini adalah jangka panjang dan memakan waktu lebih dari beberapa dekade. Strategi untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam kehidupan politik dan kenegaraan di Indonesia dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut ini: 1) merujuk pada komitmen internasional; 2) representasi kuota dan langkah afirmatif bagi kuota perempuan di parlemen dan legislatif; 3) reformasi legislatif dalam menjaga kesetaraan hak antara laki-laki, perempuan dan minoritas seksual; 4) aksi afirmasi untuk mengatasi disparitas gender dalam politik, terutama partai politik. Karena partai politik adalah penjaga gawang demokrasi, maka perlu diusahakan ketiga perihal beriku dalam partai politik: 4a) kuota voluntir untuk partisipasi perempuan dalam struktur partai politik; 4b) Outreach partai politik pada pemilih perempuan; 4c) memperkuat dialog publik dan dialog antar dan inter-partai. 5) Partisipasi politik tidak hanya terbatas pada partai politik, tetapi perempuan dapat berpartisipasi dalam beberapa aspek elektoral secara independen, misalnya dalam organisasi masyarakat sipil. Jaringan perempuan, NGO, dan media dapat menyediakan perempuan akses untuk meningkat partisipasi politiknya, yaitu dengan memberikan fokus pada lima perihal berikut: 5a) kampanye publik dan dukungan bagi keterlibatan politik perempuan; 5b) monitoring gender pada arus politik: bagaimana kualitas laki-laki dan perempuan dalam aktivitas politik dan apakah minoritas seksual mendapat hak, akses dan partisipasi politiknya secara penuh sebagai warga-negara; 5c) mendukung kelahiran generasi baru perempuan politisi; 5d) bekerjasama dengan laki-laki sebagai partner dalam mempromosikan kesetaraan berpolitik; 5e) mereduksi diskriminasi gender dalam informasi media. (dc)
Beberapa pertanyaan berikut ini adalah Strategi Politik Pasca Pemilu 2014 yang harus diulas oleh penulis topik empu dalam kajian-kajiannya secara spesifik. Setiap tulisan berfokus pada satu pertanyaan dan bersandar pada teori mutakhir Feminisme dengan dilengkapi data-data temuan dan kajian paling kini.
1. Konsep Warga Negara dalam Feminisme: Bagaimana konsep warga negara di mata kajian Wanita? Bagaimana kaitannya dengan realitas di Indonesia?
2. Wajah Perempuan Indonesia dalam Perundangan Politik di Indonesia: Bagaimana konsep warga negara ini kemudian mempengaruhi bangunan sistem politik di Indonesia? Apakah sistem politik di Indonesia telah benar-benar ramah perempuan? Ramah pada minoritas seksual?
3. Realitas Perempuan Indonesia dalam Partai Politik di Indonesia: Bagaimana wajah perempuan dalam partai politik di Indonesia? Bagaimana representasi mereka? Bagaimana kinerja mereka yang terpilih? Bagaimana perilaku politik mereka? Bagaimana wajah politisi perempuan dalam Partai Politik? Apakah mereka adalah “self-made”, atau karena selebriti, atau berasal dari dinasti (keluarga, ayah, suami) partai politik tertentu, atau rejim tertentu yang sedang berkuasa?
4. Realitas partisipasi politik perempuan di luar Partai Politik di Indonesia: Bagaimana perempuan terlibat dalam organisasi di luar partai politik menswarakan aspirasinya? Bagaimana perilaku politik perempuan di luar partai politik? tantangan yang dihadapi? Kesuksesan-kesuksesan?
5. Kerjasama dengan laki-laki sebagai partner dalam mempromosikan kesetaraan berpolitik: Bagaimana politisi laki-laki memandang partisipasi politik perempuan? Apa saja yang telah dilakukan oleh politisi laki-laki dalam mendukung kuota perempuan? Bagaimana laki-laki di luar partai politik bergandengan tangan memperkuat perjuangan ini?
6. Monitoring Gender dalam arus Politik: Bagaimana masyarakat umumnya mengontrol kesetaraan gender dalam arus politik di Indonesia? Adakah? Bagaimana peran negara? Peran media? Peran organisasi sipil? Peranan gerakan perempuan?