Pernikahan Dini yang Jadi Pilihan Mereka
(16 April 2014)
(16 April 2014)
Sepertinya kultur pernikahan dini di Indonesia belum berakhir, ini yang terjadi pada warga di sebuah desa di Kawasan Lereng Gunung Merapi tepatnya di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Sudah menjadi hal biasa di daerah ini perempuan di usia sekolah SMP atau kelas 1 SMU sudah melangsungkan pernikahan. Menurut Camat Selo Wurlaksono, ada banyak faktor mengapa para orang tua di daerah itu cenderung menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur atau usia sekolah. Salah satunya adalah masih rendahnya kesadaran untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kebanyakan dari mereka juga beranggapan tanpa pendidikan yang tinggi, kebutuhan primer dan sekunder bisa terpenuhi. Dan yang lebih tragisnya lagi, banyak orang tua sering sekali menjodohkan anak-anak mereka yang masih berusia dini.
Alasan lain yang cukup sulit untuk diubah menurut Wurlaksono terkait budaya lokal dalam memandang usia pernikahan. Bagi kebanyakan masyarakat di wilayah Kecamatan Selo, usia 15 sampai 16 tahun merupakan usia yang sudah cukup untuk menikah bagi perempuan. Mereka juga khawatir bila anak perempuan mereka sudah melewati usia 17 tahun tapi belum menikah, karena akan dianggap perempuan “tak laku”. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Wurlaksono dan jajarannya di Kecamatan Selo, untuk menekan angka pernikahan dini yang sudah mencapai 30 persen.
Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalimantan Timur Yenrizal Makmur mengatakan pernikahan usia dini menimbulkan banyak dampak negatif, diantaranya pernikahan dini rentan terhadap perceraian karena tanggung jawab yang kurang dari kedua pasangan. Sementara dampak bagi perempuan sendiri adalah berisiko tinggi terhadap kematian saat melahirkan, karena perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar meninggal saat melahirkan ketimbang yang berusia 20-25 tahun, sedangkan usia di bawah 15 tahun kemungkinan meninggalnya bisa lima kali lebih besar. Perempuan muda yang sedang hamil berdasarkan penelitian akan mengalami beberapa hal, seperti akan mengalami pendarahan, keguguran, dan persalinan yang lama atau sulit. Kondisi inilah yang menyebabkan ibu yang akan melahirkan bisa meninggal. Selain itu, kondisi bayi yang dilahirkan kemungkinan prematur, bahkan bisa cacat bawaan akibat asupan gizi yang kurang, karena ibu muda belum mengetahui kecukupan gizi bagi janin. Disamping itu, ibu muda juga cenderung mudah stress.
(Disarikan Oleh Hasan Ramadhan dari Harian Republika, Minggu 13 April 2014)
Alasan lain yang cukup sulit untuk diubah menurut Wurlaksono terkait budaya lokal dalam memandang usia pernikahan. Bagi kebanyakan masyarakat di wilayah Kecamatan Selo, usia 15 sampai 16 tahun merupakan usia yang sudah cukup untuk menikah bagi perempuan. Mereka juga khawatir bila anak perempuan mereka sudah melewati usia 17 tahun tapi belum menikah, karena akan dianggap perempuan “tak laku”. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Wurlaksono dan jajarannya di Kecamatan Selo, untuk menekan angka pernikahan dini yang sudah mencapai 30 persen.
Sementara itu, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kalimantan Timur Yenrizal Makmur mengatakan pernikahan usia dini menimbulkan banyak dampak negatif, diantaranya pernikahan dini rentan terhadap perceraian karena tanggung jawab yang kurang dari kedua pasangan. Sementara dampak bagi perempuan sendiri adalah berisiko tinggi terhadap kematian saat melahirkan, karena perempuan usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar meninggal saat melahirkan ketimbang yang berusia 20-25 tahun, sedangkan usia di bawah 15 tahun kemungkinan meninggalnya bisa lima kali lebih besar. Perempuan muda yang sedang hamil berdasarkan penelitian akan mengalami beberapa hal, seperti akan mengalami pendarahan, keguguran, dan persalinan yang lama atau sulit. Kondisi inilah yang menyebabkan ibu yang akan melahirkan bisa meninggal. Selain itu, kondisi bayi yang dilahirkan kemungkinan prematur, bahkan bisa cacat bawaan akibat asupan gizi yang kurang, karena ibu muda belum mengetahui kecukupan gizi bagi janin. Disamping itu, ibu muda juga cenderung mudah stress.
(Disarikan Oleh Hasan Ramadhan dari Harian Republika, Minggu 13 April 2014)