Undangan Menulis
TOR JP 88 Februari 2016
Tenggat tulisan: 15 Oktober 2015
Tenggat tulisan: 15 Oktober 2015
PERNIKAHAN ANAK: STATUS ANAK PEREMPUAN?
Menurut Council of Foreign Relations, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak. Indonesia adalah yang tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Diperkirakan satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai 18 tahun. Di dunia setidaknya ada 142 juta anak perempuan akan menikah sebelum dewasa dalam satu dekade ini saja (CFR 2015). Di Indonesia anak perempuan merupakan korban paling rentan dari pernikahan anak, dengan prevalensi: 1. Anak perempuan dari daerah perdesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan. 2. Pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin. 3. Anak perempuan yang kurang berpendidikan dan drop-out dari sekolahan umumnya lebih rentan menjadi pengantin-anak daripada yang bersekolah. Akan tetapi saat ini UNICEF melaporkan bahwa prevalensi ini bergeser terutama di daerah perkotaan: pada tahun 2014 25% perempuan berusia 20-24 menikah di bawah usia 18. Ini adalah realitas mengejutkan bagi banyak feminis dan pendukung hak asasi manusia.
Dalam Kompas “Media, Hukum dan Kecerdasan Nurani” 28 Juli 2015, guru besar hukum Univ Indonesia, Sulistyowati Irianto menyayangkan bahwa putusan MK terkait perkawinan anak semakin memperparah angka korban anak-anak perempuan. Menurut Irianto putusan MK No 18/6/2015 membawa implikasi legalisasi perkawinan anak di tengah seruan dunia end child marriage. Selanjutnya ia memaparkan bahwa putusan MK ini menunjukkan beberapa hal: 1. gagalnya Indonesia dalam melakukan pembangunan sosial yang diperlukan ketika pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi terhadap kesejahteraan. Buktinya, ekonomi Indonesia di urutan ke-16 dunia, tetapi berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada di urutan ke-121 dari 187 negara (UNDP 2013). 2. pengabaian terhadap hak-hak dasar anak perempuan yang terputus karena kawin sebelum umur 15-18 tahun akan berpotensi mempertinggi angka kematian ibu (359/100.000 kelahiran), angka kematian bayi (32/1000 kelahiran), melahirkan bayi malanutrisi (4,5 juta/tahun) yang menyebabkan "generasi hilang" bagi bangsa di masa depan. Atau memiskinkan anak perempuan dan merendahkannya karena berpotensi menjadi anak yang dilacurkan, dijadikan budak, atau pengedar narkoba dalam perdagangan manusia. 3. inkonsistensi hukum karena tidak sejalan dengan berbagai instrumen hukum perlindungan anak, di antaranya Konvensi Hak Anak (ratifikasi melalui Keppres No 36/1990), UU No 35/2014 terkait Perlindungan Anak, Konvensi CEDAW (ratifikasi melalui UU No 7/1984), dan UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 4. gambaran tentang hakim Indonesia yang menikmati zona nyaman sebagai corong undang-undang karena memperlakukan teks hukum tanpa nalar dan nurani, sekalipun dengan taruhan hajat hidup orang banyak. Hakim mengabaikan pendapat pemohon dengan dukungan keahlian yang didasarkan pada sejumlah hasil penelitian dan kajian akademis. 5. hakim MK melemparkan tanggung jawab moral kepada DPR dengan menganjurkan revisi UU Perkawinan. Padahal, hakim punya otonomi penuh sebagai secondary legislature mendorong perubahan masyarakat ke arah kebaikan. Hakim menyia-nyiakan kesempatan emas menjadikan putusannya sebagai alat rekayasa sosial, cita-cita mulia pendiri bangsa. Putusan MK ini kemudian memperparah meningkatnya jumlah perkawinan anak di Indonesia.
Menurut UU Perkawinan 1974, usia hukum minimum pernikahan untuk anak perempuan adalah 16 tahun dengan izin orang tua. Dalam pernikahan kontrak di Puncak, Jawa Barat, Arivia menemukan bahwa hampir separuh anak-anak perempuan diperbudak seksual dalam akta kawin-kontrak (Arivia & Gina, 2015 di Jurnal Perempuan 84). Jumlah ini mengkhawatirkan sekali. Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi dalam kasus AKI dan trafficking. Mengapa Jawa Barat? Jawa Barat dan Kalimantan Barat adalah dua provinsi utama tempat asal perdagangan manusia di Indonesia. Sementara Kepulauan Riau dan Jakarta adalah tujuan utama dan zona transit. Anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, seperti pekerja rumah tangga, pengantin-anak, dan pekerja anak, sering dikirim untuk bekerja di lingkungan yang berbahaya: seperti di perkebunan, sementara bayi yang diperdagangkan untuk diadopsi ilegal dan diambil organnya. Anak-anak ini berisiko ditinggalkan, diabaikan, dan diperdagangkan (Briant, 2005 dalam Silva Leander, Annika, Laporan Anak-anak dan Migrasi untuk UNICEF Indonesia, 2009.). Dari penelitian Briant dan Arivia dikonfirmasi bahwa anak perempuan merupakan korban yang paling rentan dari perdagangan dan pernikahan anak. Temuan penelitian lain menunjukkan bahwa Jawa Barat menempati rangking pertama dalam korban trafficking menggantikan Jawa Timur sejak 2013 (Atwar Bajari di Penelitian Humaniora dan Ilmu Sosial Vol.3, No.5, 2013). Selama ini kabupaten dan kota di Jawa Barat yang menjadi pemasok terbesar perempuan pekerja migran serta pengantin-anak-perempuan untuk pernikahan anak datang dari beberapa kantung daerah seperti Indramayu, Cirebon, Bandung, Sukabumi, dan Cianjur.
Penolakan atas pendidikan SRHR (sexual and reproductive health and rights) dalam kurikulum Indonesia telah meningkatkan jumlah pernikahan anak karena kemudian seksualitas dan kesehatan reproduksi menjadi tabu besar. Mendidik anak perempuan remaja telah menjadi faktor penting dalam meningkatkan usia perkawinan di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan kampanye SRHR untuk mengakhiri pernikahan anak. Ditabukannya pendidikan SRHR terutama disebabkan oleh naiknya fundamentalisme agama, yaitu diyakini bahwa pernikahan anak dilakukan untuk menghindari fitna dan zina—maka dari itu anak-anak perempuan harus segera dinikahkan meskipun mereka belum lulus sekolah sekali pun (Candraningrum, 2013: 72 berjudul Negotiating Veiling: Politics and Sexuality in Contemporary Indonesia). Diskursus perkawinan beda agama kemudian memperparah kondisi ini, seperti dilarangnya anak perempuan agama tertentu menikah dengan anak laki-laki dari agama lainnya. Sebelum lahirnya negara modern Indonesia, dalam masyarakat adat dapat dijumpai adanya hukum adat perkawinan yang sangat bervariasi, setidaknya ada kategori besar berdasarkan kekerabatan: patrilineal, matrilineal dan bilateral. Dalam masyarakat adat terdapat preferential marriage (artinya seseorang sudah ada jodohnya). Dalam masyarakat Batak disebut "pariban", dan hal ini ada juga dalam masyarakat Minang. Preferential marriage ini dalam kedokteran disebut sebagai "incest". Menurut penelitian Daniel S. Lev dalam bukunya Islamic Courts in Indonesia: A Study in Political Bases of Legal Institution (1972), dinarasikan bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan kontemporer di Indonesia, sebenarnya, tidak dilarang adanya perkawinan beda agama karena tidak ada kata larangan dalam narasinya. Pemerintah pada waktu itu sebenarnya tutup mata saja atau lepas tangan mengenai hal ini. Dalam paparannya Lev menerangkan bahwa yang diatur pemerintah dalam Burgerlijke Wetbook atau Hukum Perdata Belanda yang masih berlaku sampai sekarang adalah pernikahan yang ada kaitannya dengan ketika penduduk dibagi dalam tiga golongan pada tahun 1926, yaitu Europeanen, Vreemde Oosterlingan (Timur Asing) dan Inheemsche (indigenous/bumiputra), dengan hukumnya masing-masing dan pengadilannya masing-masing. Dan bila terjadi perkawinan di antara ketiganya terjadi maka akan diatur dalam Hukum Antar Tata Golongan, yang juga bisa dicari dalam Hukum Perdata Barat tersebut. Pada masa sekarang tidak ada hukum setingkat Undang-Undang yang melarang atau membolehkan soal perkawinan beda agama, masih menurut Lev.
Dalam penelitian Daniel S. Lev. dinarasikan bahwa yang melarang secara jelas perkawinan beda agama adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang disahkan berdasarkan Instruksi Presiden (bukan Undang-Undang atau kedudukannya di bawah Undang-Undang) karena menurut mereka kalau harus buat UU membutuhkan persidangan di DPR dan makan waktu lama, padahal hakim-hakim Pengadilan Agama segera membutuhkannya. Bahkan disebutkan dilarang perkawinan laki-laki Muslim dan perempuan Nasrani. Ini melampaui ayat di Al-Qur'an yang membolehkan perkawinan semacam ini: laki-laki Islam dan perempuan ahli kitab (Nasrani). Dalam buku Daniel Lev yang mewawancarai mereka yang terlibat menerbitkan draft yang akhirnya menjadi Kompilasi Hukum Islam, dipaparkan alasannya adalah bahwa “mereka takut bila tidak dilarang sama sekali, maka akan terjadi Kristenisasi”. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam masuk dalam kategori hukum negara karena disahkan oleh Instruksi Presiden. Dalam praktiknya, banyak dilaporkan kesulitan mendaftarkan proses administratif dari perkawinan beda agama. Jika pun bercerai, tuntutan yang dilayangkan pun tergantung, apakah di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Meskipun ada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, khususnya, mereka yang “tercatat” beragama Islam biasanya menganut hukum informal atau adat ketika menikah. Draft awal undang-undang ini diselesaikan pada tahun 1952 dan 1954, kemudian di tahun 1967 dan 1968, dan lagi-lagi tidak bisa dimenangkan. Ulama konservatif terutama mengkritik pembatasan syarat-syarat poligami yang memberatkan dan tidak diterimanya perkawinan beda agama. Kemudian akhirnya dimenangkan oleh mereka dengan dibolehkannya poligami dengan pembatasan dan dilarangnya perkawinan beda agama.
Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Th 1974 dinyatakan bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan oleh manusia yang memiliki agama yang sama. Dan ini mengabarkan bahwa perkawinan beda agama harus dipilih pada salah satu agama saja. Perkawinan bukan Islam harus didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil, dengan perkawinan secara Islam dicatat di Kantor Catatan Urusan Agama (KUA). Ini kemudian menegaskan penafsiran bahwa perkawinan beda agama kemudian dihambat, atau dihalang-halangi, meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama. Kompilasi Hukum Islam yang dipublikasikan oleh pemerintah di tahun 1997 dikeluarkan untuk memenuhi permintaan ‘umat Islam’, dan khususnya ulama konservatif. Dalam pasal 40A (c) disebutkan melarang seorang Muslim laki-laki menikahi non-Muslim perempuan. Dan Pasal 44 melarang perempuan Muslim dinikahi oleh laki-laki non-Muslim. Pasal 4 mengonfirmasi bahwa perkawinan menjadi sah apabila dilakukan di bawah hukum Islam seperti tertera dalam pasal 2 (1) UU No 1 Th 1974. Akibat praktis dari pertimbangan dan tafsir hukum tersebut kemudian adalah tetap ada fakta perkawinan beda agama. Praktik yang paling sering dilakukan adalah salah satu calon pasangan akan berpindah agama ke salah satu pasangan lainnya dan kemudian mereka menikah di bawah aturan agama yang dipilih secara baru dan bersama tersebut. Praktik lainnya adalah bagi pasangan yang mampu, mereka akan menikah di luar negeri, di Negara dimana perkawinan beda agama diperbolehkan. Hal ini kemudian mempengaruhi indeks kebebasan beragama di Indonesia. Dalam risetnya Adriaan Bedner & Stijn van Huis, Plurality of Marriage Law and Marriage Registration for Muslims in Indonesia: A Plea for Pragmatism, 6(2) Utrehct L. Rev. 175, 182 (2010), menarasikan bahwa status perempuan semakin rentan dalam pernikahan karena agensi mereka ditolak dalam kaitannya dengan tradisi perkawinan dalam agama tertentu, dan para perempuan yang berada dalam perkawinan beda agama kemudian menjadi korban dari Negara yang tidak memiliki kapasitas melakukan regulasi atas tafsir bias dan implementasi bias legal framework hukum perkawinan (hal 189). Dalam kerangka hukum yang mendua tersebut, kemudian perempuan banyak dirugikan. Dalam hal ini anak-anak perempuan mengalami subordinasi secara berlapis-lapis, yaitu dalam 1. sistem kapitalisme global dengan diperdagangkan dan 2. tafsir keagamaan yang tidak ramah gender. Dan karenanya, bahaya paling besar mengancam status anak-anak perempuan Indonesia.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas enam aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 15 Oktober 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Dalam Kompas “Media, Hukum dan Kecerdasan Nurani” 28 Juli 2015, guru besar hukum Univ Indonesia, Sulistyowati Irianto menyayangkan bahwa putusan MK terkait perkawinan anak semakin memperparah angka korban anak-anak perempuan. Menurut Irianto putusan MK No 18/6/2015 membawa implikasi legalisasi perkawinan anak di tengah seruan dunia end child marriage. Selanjutnya ia memaparkan bahwa putusan MK ini menunjukkan beberapa hal: 1. gagalnya Indonesia dalam melakukan pembangunan sosial yang diperlukan ketika pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi terhadap kesejahteraan. Buktinya, ekonomi Indonesia di urutan ke-16 dunia, tetapi berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada di urutan ke-121 dari 187 negara (UNDP 2013). 2. pengabaian terhadap hak-hak dasar anak perempuan yang terputus karena kawin sebelum umur 15-18 tahun akan berpotensi mempertinggi angka kematian ibu (359/100.000 kelahiran), angka kematian bayi (32/1000 kelahiran), melahirkan bayi malanutrisi (4,5 juta/tahun) yang menyebabkan "generasi hilang" bagi bangsa di masa depan. Atau memiskinkan anak perempuan dan merendahkannya karena berpotensi menjadi anak yang dilacurkan, dijadikan budak, atau pengedar narkoba dalam perdagangan manusia. 3. inkonsistensi hukum karena tidak sejalan dengan berbagai instrumen hukum perlindungan anak, di antaranya Konvensi Hak Anak (ratifikasi melalui Keppres No 36/1990), UU No 35/2014 terkait Perlindungan Anak, Konvensi CEDAW (ratifikasi melalui UU No 7/1984), dan UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 4. gambaran tentang hakim Indonesia yang menikmati zona nyaman sebagai corong undang-undang karena memperlakukan teks hukum tanpa nalar dan nurani, sekalipun dengan taruhan hajat hidup orang banyak. Hakim mengabaikan pendapat pemohon dengan dukungan keahlian yang didasarkan pada sejumlah hasil penelitian dan kajian akademis. 5. hakim MK melemparkan tanggung jawab moral kepada DPR dengan menganjurkan revisi UU Perkawinan. Padahal, hakim punya otonomi penuh sebagai secondary legislature mendorong perubahan masyarakat ke arah kebaikan. Hakim menyia-nyiakan kesempatan emas menjadikan putusannya sebagai alat rekayasa sosial, cita-cita mulia pendiri bangsa. Putusan MK ini kemudian memperparah meningkatnya jumlah perkawinan anak di Indonesia.
Menurut UU Perkawinan 1974, usia hukum minimum pernikahan untuk anak perempuan adalah 16 tahun dengan izin orang tua. Dalam pernikahan kontrak di Puncak, Jawa Barat, Arivia menemukan bahwa hampir separuh anak-anak perempuan diperbudak seksual dalam akta kawin-kontrak (Arivia & Gina, 2015 di Jurnal Perempuan 84). Jumlah ini mengkhawatirkan sekali. Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi dalam kasus AKI dan trafficking. Mengapa Jawa Barat? Jawa Barat dan Kalimantan Barat adalah dua provinsi utama tempat asal perdagangan manusia di Indonesia. Sementara Kepulauan Riau dan Jakarta adalah tujuan utama dan zona transit. Anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, seperti pekerja rumah tangga, pengantin-anak, dan pekerja anak, sering dikirim untuk bekerja di lingkungan yang berbahaya: seperti di perkebunan, sementara bayi yang diperdagangkan untuk diadopsi ilegal dan diambil organnya. Anak-anak ini berisiko ditinggalkan, diabaikan, dan diperdagangkan (Briant, 2005 dalam Silva Leander, Annika, Laporan Anak-anak dan Migrasi untuk UNICEF Indonesia, 2009.). Dari penelitian Briant dan Arivia dikonfirmasi bahwa anak perempuan merupakan korban yang paling rentan dari perdagangan dan pernikahan anak. Temuan penelitian lain menunjukkan bahwa Jawa Barat menempati rangking pertama dalam korban trafficking menggantikan Jawa Timur sejak 2013 (Atwar Bajari di Penelitian Humaniora dan Ilmu Sosial Vol.3, No.5, 2013). Selama ini kabupaten dan kota di Jawa Barat yang menjadi pemasok terbesar perempuan pekerja migran serta pengantin-anak-perempuan untuk pernikahan anak datang dari beberapa kantung daerah seperti Indramayu, Cirebon, Bandung, Sukabumi, dan Cianjur.
Penolakan atas pendidikan SRHR (sexual and reproductive health and rights) dalam kurikulum Indonesia telah meningkatkan jumlah pernikahan anak karena kemudian seksualitas dan kesehatan reproduksi menjadi tabu besar. Mendidik anak perempuan remaja telah menjadi faktor penting dalam meningkatkan usia perkawinan di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan kampanye SRHR untuk mengakhiri pernikahan anak. Ditabukannya pendidikan SRHR terutama disebabkan oleh naiknya fundamentalisme agama, yaitu diyakini bahwa pernikahan anak dilakukan untuk menghindari fitna dan zina—maka dari itu anak-anak perempuan harus segera dinikahkan meskipun mereka belum lulus sekolah sekali pun (Candraningrum, 2013: 72 berjudul Negotiating Veiling: Politics and Sexuality in Contemporary Indonesia). Diskursus perkawinan beda agama kemudian memperparah kondisi ini, seperti dilarangnya anak perempuan agama tertentu menikah dengan anak laki-laki dari agama lainnya. Sebelum lahirnya negara modern Indonesia, dalam masyarakat adat dapat dijumpai adanya hukum adat perkawinan yang sangat bervariasi, setidaknya ada kategori besar berdasarkan kekerabatan: patrilineal, matrilineal dan bilateral. Dalam masyarakat adat terdapat preferential marriage (artinya seseorang sudah ada jodohnya). Dalam masyarakat Batak disebut "pariban", dan hal ini ada juga dalam masyarakat Minang. Preferential marriage ini dalam kedokteran disebut sebagai "incest". Menurut penelitian Daniel S. Lev dalam bukunya Islamic Courts in Indonesia: A Study in Political Bases of Legal Institution (1972), dinarasikan bahwa dalam Undang-Undang Perkawinan kontemporer di Indonesia, sebenarnya, tidak dilarang adanya perkawinan beda agama karena tidak ada kata larangan dalam narasinya. Pemerintah pada waktu itu sebenarnya tutup mata saja atau lepas tangan mengenai hal ini. Dalam paparannya Lev menerangkan bahwa yang diatur pemerintah dalam Burgerlijke Wetbook atau Hukum Perdata Belanda yang masih berlaku sampai sekarang adalah pernikahan yang ada kaitannya dengan ketika penduduk dibagi dalam tiga golongan pada tahun 1926, yaitu Europeanen, Vreemde Oosterlingan (Timur Asing) dan Inheemsche (indigenous/bumiputra), dengan hukumnya masing-masing dan pengadilannya masing-masing. Dan bila terjadi perkawinan di antara ketiganya terjadi maka akan diatur dalam Hukum Antar Tata Golongan, yang juga bisa dicari dalam Hukum Perdata Barat tersebut. Pada masa sekarang tidak ada hukum setingkat Undang-Undang yang melarang atau membolehkan soal perkawinan beda agama, masih menurut Lev.
Dalam penelitian Daniel S. Lev. dinarasikan bahwa yang melarang secara jelas perkawinan beda agama adalah KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang disahkan berdasarkan Instruksi Presiden (bukan Undang-Undang atau kedudukannya di bawah Undang-Undang) karena menurut mereka kalau harus buat UU membutuhkan persidangan di DPR dan makan waktu lama, padahal hakim-hakim Pengadilan Agama segera membutuhkannya. Bahkan disebutkan dilarang perkawinan laki-laki Muslim dan perempuan Nasrani. Ini melampaui ayat di Al-Qur'an yang membolehkan perkawinan semacam ini: laki-laki Islam dan perempuan ahli kitab (Nasrani). Dalam buku Daniel Lev yang mewawancarai mereka yang terlibat menerbitkan draft yang akhirnya menjadi Kompilasi Hukum Islam, dipaparkan alasannya adalah bahwa “mereka takut bila tidak dilarang sama sekali, maka akan terjadi Kristenisasi”. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam masuk dalam kategori hukum negara karena disahkan oleh Instruksi Presiden. Dalam praktiknya, banyak dilaporkan kesulitan mendaftarkan proses administratif dari perkawinan beda agama. Jika pun bercerai, tuntutan yang dilayangkan pun tergantung, apakah di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Meskipun ada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, khususnya, mereka yang “tercatat” beragama Islam biasanya menganut hukum informal atau adat ketika menikah. Draft awal undang-undang ini diselesaikan pada tahun 1952 dan 1954, kemudian di tahun 1967 dan 1968, dan lagi-lagi tidak bisa dimenangkan. Ulama konservatif terutama mengkritik pembatasan syarat-syarat poligami yang memberatkan dan tidak diterimanya perkawinan beda agama. Kemudian akhirnya dimenangkan oleh mereka dengan dibolehkannya poligami dengan pembatasan dan dilarangnya perkawinan beda agama.
Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Th 1974 dinyatakan bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan oleh manusia yang memiliki agama yang sama. Dan ini mengabarkan bahwa perkawinan beda agama harus dipilih pada salah satu agama saja. Perkawinan bukan Islam harus didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil, dengan perkawinan secara Islam dicatat di Kantor Catatan Urusan Agama (KUA). Ini kemudian menegaskan penafsiran bahwa perkawinan beda agama kemudian dihambat, atau dihalang-halangi, meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit melarang perkawinan beda agama. Kompilasi Hukum Islam yang dipublikasikan oleh pemerintah di tahun 1997 dikeluarkan untuk memenuhi permintaan ‘umat Islam’, dan khususnya ulama konservatif. Dalam pasal 40A (c) disebutkan melarang seorang Muslim laki-laki menikahi non-Muslim perempuan. Dan Pasal 44 melarang perempuan Muslim dinikahi oleh laki-laki non-Muslim. Pasal 4 mengonfirmasi bahwa perkawinan menjadi sah apabila dilakukan di bawah hukum Islam seperti tertera dalam pasal 2 (1) UU No 1 Th 1974. Akibat praktis dari pertimbangan dan tafsir hukum tersebut kemudian adalah tetap ada fakta perkawinan beda agama. Praktik yang paling sering dilakukan adalah salah satu calon pasangan akan berpindah agama ke salah satu pasangan lainnya dan kemudian mereka menikah di bawah aturan agama yang dipilih secara baru dan bersama tersebut. Praktik lainnya adalah bagi pasangan yang mampu, mereka akan menikah di luar negeri, di Negara dimana perkawinan beda agama diperbolehkan. Hal ini kemudian mempengaruhi indeks kebebasan beragama di Indonesia. Dalam risetnya Adriaan Bedner & Stijn van Huis, Plurality of Marriage Law and Marriage Registration for Muslims in Indonesia: A Plea for Pragmatism, 6(2) Utrehct L. Rev. 175, 182 (2010), menarasikan bahwa status perempuan semakin rentan dalam pernikahan karena agensi mereka ditolak dalam kaitannya dengan tradisi perkawinan dalam agama tertentu, dan para perempuan yang berada dalam perkawinan beda agama kemudian menjadi korban dari Negara yang tidak memiliki kapasitas melakukan regulasi atas tafsir bias dan implementasi bias legal framework hukum perkawinan (hal 189). Dalam kerangka hukum yang mendua tersebut, kemudian perempuan banyak dirugikan. Dalam hal ini anak-anak perempuan mengalami subordinasi secara berlapis-lapis, yaitu dalam 1. sistem kapitalisme global dengan diperdagangkan dan 2. tafsir keagamaan yang tidak ramah gender. Dan karenanya, bahaya paling besar mengancam status anak-anak perempuan Indonesia.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas enam aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Apa dan bagaimana anak-anak perempuan dapat berada dalam perkawinan anak? Perkawinan anak diantaranya terjadi karena orang tua melepaskan diri dari beban memelihara anak karena kemiskinan; penafsiran agama yang patriarkis; dan hidup suburnya budaya filial piety (patuh, tunduk kepada orang tua dan anggota yang lebih tua dalam keluarga); serta ketiadaan pemahaman soal kesehatan reproduksi perempuan.
- Apa dan bagaimana instrumen hukum bagi perkawinan di Indonesia? Apa saja? Bagaimana sejarahnya? Bagaimana status perempuan?
- Apa dan bagaimana instrumen hukum bagi perkawinan beda agama? Adakah? Bagaimana praktiknya? Bagaimana nasib perempuan?
- Bagaimana nasib anak perempuan dalam pernikahan anak di Indonesia? Bagaimana praktiknya? Adakah perlindungan hukum jika terjadi KDRT? Adakah perlindungan hukum jika terjadi pelanggaran hak anak? Bagaimana dengan Konvensi Hak Anak?
- Apa dan Bagaimana Counter Legal Draft UU Perkawinan No 1 Th 1974? Bagaimana nasibnya kini? Bagaimana rekomendasi Indonesia atas perempuan kepala keluarga dalam Beijing+20? Apakah ibu diakui sebagai kepala keluarga? Bagaimana nasib gender ketiga?
- Bagaimana mengakhiri pernikahan anak? Advokasi dan rekomendasi kebijakan seperti apa yang dibutuhkan dalam mengatasi hal tersebut?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 15 Oktober 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan