Peringatan Hari Buruh, Malam Seribu Lilin untuk Marsinah
“Marsinah telah mati, tetapi kata-kata, perjuangan dan semangatnya tak pernah mati,” demikian kalimat puitis yang disampaikan oleh Fitri Nganti Wani, putri Wiji Thukul saat peringatan Hari Buruh “Malam Seribu Lilin untuk Marsinah” di Gladak, Solo pada Kamis malam (1/5/2014). Fitri tampil bersama beberapa elemen masyarakat Solo seperti LPH YAPHI, Jejer Wadon, Kelompok Seniman Sejinah (K3S), Sarang Tarung, Persatuan Mahaiswa Hukum Indonesia (Permahi), Serikat Buruh Manunggal Sejahtera (SBMS) di hadapan 300 lebih penyaksi yang terdiri dari para buruh dan para muda dan pemerhati masalah perburuhan lainnya.
Dua seniman dari Kelompok Seniman Sejinah (K3S) melakukan perform art bertema refleksi keadaan buruh saat ini. Sindiran tentang outsourching dan kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) diwujudkan dalam bentuk dua buah batu besar yang mengimpit seorang buruh. Batu besar yang terselubung kertas hitam kemudian diurai satu persatu. Dua buruh kemudian berusaha memecahkan simbol batu hitam tersebut. Simbol batu yang terselubung kertas hitam itu lalu diurai satu persatu. Tak juga terpecah dan masih menyisakan persoalan. “Betapa berat beban buruh kita dengan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada mereka,” ujar Nuning, pembawa acara dari LPH YAPHI dan pegiat di Jejer Wadon.
Warsono, seorang pedagang siomay yang ditemui JP di tempat para seniman beraksi berkata,”Malam ini peringatan Hari Buruh dan mengingat Bu Marsinah, nggih? Saya dari Nganjuk dan tetangga Bu Marsinah. Semoga kasus Bu Marsinah bisa dibuka kembali. Saya juga pernah menjadi buruh tahun 2006-2008 di sebuah perusahaan di Tangerang, dan memilih keluar dari pekerjaan karena upah yang saya terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.” (Astuti Parengkuh)
Dua seniman dari Kelompok Seniman Sejinah (K3S) melakukan perform art bertema refleksi keadaan buruh saat ini. Sindiran tentang outsourching dan kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) diwujudkan dalam bentuk dua buah batu besar yang mengimpit seorang buruh. Batu besar yang terselubung kertas hitam kemudian diurai satu persatu. Dua buruh kemudian berusaha memecahkan simbol batu hitam tersebut. Simbol batu yang terselubung kertas hitam itu lalu diurai satu persatu. Tak juga terpecah dan masih menyisakan persoalan. “Betapa berat beban buruh kita dengan kebijakan-kebijakan yang tak berpihak kepada mereka,” ujar Nuning, pembawa acara dari LPH YAPHI dan pegiat di Jejer Wadon.
Warsono, seorang pedagang siomay yang ditemui JP di tempat para seniman beraksi berkata,”Malam ini peringatan Hari Buruh dan mengingat Bu Marsinah, nggih? Saya dari Nganjuk dan tetangga Bu Marsinah. Semoga kasus Bu Marsinah bisa dibuka kembali. Saya juga pernah menjadi buruh tahun 2006-2008 di sebuah perusahaan di Tangerang, dan memilih keluar dari pekerjaan karena upah yang saya terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.” (Astuti Parengkuh)