Perempuan & Ekonomi, Antara Ada dan Tiada
Antara ada dan tiada, demikian pernyataan Yurliani S.H., salah seorang narasumber Pendidikan Publik “Siapakah Agen Ekonomi?” di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, mengenai posisi perempuan di dalam ekonomi dan masyarakat. Kegiatan Pendidikan Publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat dan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 27 November 2012 yang lalu kembali membahas mengenai posisi perempuan dalam pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat Indonesia pasca-reformasi. Selain Yurliani, S.H. (Pusat Studi Gender Univ. Lambung Mangkurat), kegiatan ini juga menghadirkan narasumber Dra. Hastin Umi Anisah (Dosen Fakultas Ekonomi Univ. Lambung Mangkurat) dan Hj. Marwiyah Zumry (Pimpinan PT Kaltrabu Indah), serta moderator Almaturadiah (Anggota DPRD Kota Baru, Kalimantan Selatan).
Dalam diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut, para narasumber dari berbagai latar belakang profesi tersebut berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai posisi perempuan dan situasi perekonomian ditilik dari konteks budaya lokal, politik, agama sampai dengan ekonomi global. Acara ini juga diawali dengan keynote speech dari perwakilan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Prov. Kalimantan Selatan, Heriyati.
Menurut Heriyati, industri rumah tangga merupakan salah satu usaha yang sangat strategis dan penting bagi pemberdayaan perempuan. “Industri rumah tangga menjadi wadah kreativitas perempuan, menopang perekonomian keluarga, banyak menyerap tenaga kerja dan menopang perekonomian daerah.” ujar Heriyati.
Marwiyah Zumry merupakan salah satu sosok perempuan yang sukses mengembangkan usaha biro perjalanannya dari sebuah industri rumah tangga hingga kini menjadi salah satu biro perjalanan terbesar di Kalimantan Selatan. PT Kaltrabu Indah milik Marwiyah yang berfokus pada pemberangkatan jamaah haji dan umrah tersebut telah memberangkatkan lebih dari sepuluh ribu jamaah ke Mekkah. Kepada para peserta pendidikan publik, Marwiyah menguraikan visi dan misi Kaltrabu Indah, serta berbagi pengalaman selama menjalankan usahanya tersebut.
Yurliani S.H., yang juga adalah seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, memaparkan beragam faktor yang menghambat potensi pemberdayaan dan otonomi ekonomi perempuan di Banjarmasin. Sosok seperti Marwiyah, tuturnya, barangkali tidak ditemukan cukup banyak di Kalimantan Selatan, karena perempuan Banjar masih banyak dibatasi oleh faktor budaya yang memposisikan mereka senantiasa di bawah laki-laki. “Dalam praktek sehari-hari, nama kita hilang dan yang dipakai adalah nama suami kita. Kita seperti ada, tapi tiada. Mengapa kita tidak memakai nama kita sendiri?” tanya Yurliani kepada seluruh peserta pendidikan publik siang itu. Jika eksistensinya dinihilkan sejak dari pemakaian nama, maka bagaimana perempuan dapat mandiri dan eksis pada hal-hal lain? Yurliani menguraikan bagaimana faktor sosial dan budaya yang melekatkan perempuan pada pekerjaan reproduktif dan domestik senantiasa memposisikan perempuan di dalam rumah tangga dan membuat perempuan sulit berperan di luar rumah. Jika pun perempuan bekerja di luar rumah untuk menopang keluarga, ia kerap dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal inilah yang membuat perempuan sulit untuk mengembangkan diri dan berdaya secara ekonomi.
Hastin Umi Anisah, S.E., memaparkan kaitan antara pemberdayaan perempuan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Jika selama ini perempuan dianggap jauh dari permasalahan ekonomi, maka menurut Hastin justru sebaliknya, perempuan adalah simpul yang pertama harus diuraikan dalam belitan masalah kemiskinan. “Perempuan di berbagai negara mengalami kemiskinan karena berbagai penyebab struktural, seperti faktor budaya, sosial dan politik—sehingga mereka tidak hanya mengalami kemiskinan tetapi juga eksploitasi, tekanan politik, ketidakadilan dan pelecehan.” ujarnya. Berbagai permasalahan tersebut tidak hanya berdampak bagi kehidupan perempuan, tetapi juga bagi negara dan pembangunan. “Pengentasan kemiskinan oleh negara tidak pernah mengurai langsung ke akar permasalahan, padahal pemberdayaan perempuan memiliki efek ganda paling kuat dalam mencapai seluruh komponen Millenium Development Goals.” tuturnya kemudian.
Bagi para narasumber, diskusi mengenai permasalahan perempuan di Kalimantan Selatan adalah sesuatu yang jarang dilakukan dan kurang menjadi perhatian—terlebih lagi jika berbicara mengenai perempuan dan ekonomi. Karena itu, kegiatan pendidikan publik ini tidak hanya penting bagi penyadaran publik mengenai peran perempuan sebagai agen ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga sebagai upaya transformasi posisi perempuan di dalam masyarakat sebagai individu yang memiliki hak yang sama dan dengan laki-laki.
Dalam diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut, para narasumber dari berbagai latar belakang profesi tersebut berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai posisi perempuan dan situasi perekonomian ditilik dari konteks budaya lokal, politik, agama sampai dengan ekonomi global. Acara ini juga diawali dengan keynote speech dari perwakilan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Prov. Kalimantan Selatan, Heriyati.
Menurut Heriyati, industri rumah tangga merupakan salah satu usaha yang sangat strategis dan penting bagi pemberdayaan perempuan. “Industri rumah tangga menjadi wadah kreativitas perempuan, menopang perekonomian keluarga, banyak menyerap tenaga kerja dan menopang perekonomian daerah.” ujar Heriyati.
Marwiyah Zumry merupakan salah satu sosok perempuan yang sukses mengembangkan usaha biro perjalanannya dari sebuah industri rumah tangga hingga kini menjadi salah satu biro perjalanan terbesar di Kalimantan Selatan. PT Kaltrabu Indah milik Marwiyah yang berfokus pada pemberangkatan jamaah haji dan umrah tersebut telah memberangkatkan lebih dari sepuluh ribu jamaah ke Mekkah. Kepada para peserta pendidikan publik, Marwiyah menguraikan visi dan misi Kaltrabu Indah, serta berbagi pengalaman selama menjalankan usahanya tersebut.
Yurliani S.H., yang juga adalah seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, memaparkan beragam faktor yang menghambat potensi pemberdayaan dan otonomi ekonomi perempuan di Banjarmasin. Sosok seperti Marwiyah, tuturnya, barangkali tidak ditemukan cukup banyak di Kalimantan Selatan, karena perempuan Banjar masih banyak dibatasi oleh faktor budaya yang memposisikan mereka senantiasa di bawah laki-laki. “Dalam praktek sehari-hari, nama kita hilang dan yang dipakai adalah nama suami kita. Kita seperti ada, tapi tiada. Mengapa kita tidak memakai nama kita sendiri?” tanya Yurliani kepada seluruh peserta pendidikan publik siang itu. Jika eksistensinya dinihilkan sejak dari pemakaian nama, maka bagaimana perempuan dapat mandiri dan eksis pada hal-hal lain? Yurliani menguraikan bagaimana faktor sosial dan budaya yang melekatkan perempuan pada pekerjaan reproduktif dan domestik senantiasa memposisikan perempuan di dalam rumah tangga dan membuat perempuan sulit berperan di luar rumah. Jika pun perempuan bekerja di luar rumah untuk menopang keluarga, ia kerap dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Hal inilah yang membuat perempuan sulit untuk mengembangkan diri dan berdaya secara ekonomi.
Hastin Umi Anisah, S.E., memaparkan kaitan antara pemberdayaan perempuan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Jika selama ini perempuan dianggap jauh dari permasalahan ekonomi, maka menurut Hastin justru sebaliknya, perempuan adalah simpul yang pertama harus diuraikan dalam belitan masalah kemiskinan. “Perempuan di berbagai negara mengalami kemiskinan karena berbagai penyebab struktural, seperti faktor budaya, sosial dan politik—sehingga mereka tidak hanya mengalami kemiskinan tetapi juga eksploitasi, tekanan politik, ketidakadilan dan pelecehan.” ujarnya. Berbagai permasalahan tersebut tidak hanya berdampak bagi kehidupan perempuan, tetapi juga bagi negara dan pembangunan. “Pengentasan kemiskinan oleh negara tidak pernah mengurai langsung ke akar permasalahan, padahal pemberdayaan perempuan memiliki efek ganda paling kuat dalam mencapai seluruh komponen Millenium Development Goals.” tuturnya kemudian.
Bagi para narasumber, diskusi mengenai permasalahan perempuan di Kalimantan Selatan adalah sesuatu yang jarang dilakukan dan kurang menjadi perhatian—terlebih lagi jika berbicara mengenai perempuan dan ekonomi. Karena itu, kegiatan pendidikan publik ini tidak hanya penting bagi penyadaran publik mengenai peran perempuan sebagai agen ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, tetapi juga sebagai upaya transformasi posisi perempuan di dalam masyarakat sebagai individu yang memiliki hak yang sama dan dengan laki-laki.