Pelecehan Seksual dan yang Menanggung Akibatnya
Pelaku dan korban pencabulan tidak memandang siapa dan dimana. Kali ini, korban adalah lima siswi penyandang Tunagrahita (keterbelakangan mental) di Sekolah Luar Biasa Garut, Jawa Barat. Pelakunya adalah guru Olahraga. Laporan ini bersumber dari Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Garut Dadang Garnadi, yang telah mendapatkan hasil visum et repertum korban sehingga guru Olahraga tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Seluruh korban yang dilecehkan adalah dibawah umur, hanya satu yang berusia 26 tahun. Laporan ini berdasarkan pengaduan orangtua mereka. Sayangnya, tersangka guru Olahraga berinisial DS ini tidak ditahan, dengan alasan pelaku kooperatif dan tidak melarikan diri. Tidak ditahannya pelaku tentu saja menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi difabel (penyandang cacat), yang menuntut DS diberhentikan sebagai guru. Menurut mereka pelaku pelecehan terhadap kaum difabel adalah tindak kejahatan kemanusiaan, kejahatan profesi dan kejahatan moral.
Untuk mendapatkan keterangan, para korban dibimbing oleh dua psikolog. Saat menjalani terapi, mereka menjerit dan mengatakan “sakit”, “jangan sentuh saya”, “kamu orang gila”, “saya bukan mainan”, “kamu harus dipenjara!”. Yuli Suliswidiawati, salah satu psikolog dalam mendampingi mereka, para korban menunjukkan emosi dan pengalaman traumanya. “Mereka disakiti dan dipaksa, tapi tidak bisa melawan,” tutur Yuli. Korban bahkan melakukan gerakan memukul atau menendang. Menurut Yuli, dari lima korban, dua di antaranya terdeteksi mengalami trauma sangat mendalam sehingga butuh waktu lama untuk menjalani terapi.
Anak yang Dilacurkan
Selain soal pelecehan seksual, ditemukan kasus anak yang dilacurkan. AP, 14 tahun dilacurkan oleh tetangganya sendiri. Pelaku menjual AP (13) di kawasan Jakarta Barat. Keluarga mencurigai korban yang mengeluhkan perutnya sakit , namun saat diberikan obat tak kunjung sembuh , barulah diketahui bahwa korban mengalami kesakitan pada kelaminnya. Sepupu korban melaporkan kasus ini ke Mapolres Metro Jakarta Barat 26 Maret yang lalu. Korban akhirnya divisum ke RSCM dan hasilnya, kelamin korban dinyatakan sobek.
Korban akhirnya angkat bicara perihal kejadian yang menimpanya tersebut. Korban mengaku, tetangganya yang bernama Diana mengajaknya menjadi pekerja seks dengan upah 200 ribu. Korban mengaku sudah 3 kali melayani pelanggan. Pihak keluarga tidak menerima kejadian ini, lalu menangkap pelaku di kediamannya dan membawanya ke kantor polisi. Namun, dengan dimediasi oleh polisi, pelaku mengajak keluarga korban berdamai dengan membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 juta. Karena pihak orang tua korban buta huruf, mereka menandatangani tanpa mengetahui bahwa isinya kesepakatan damai. Sayang sekali, pelaku dinyatakan lepas karena dianggap telah diselesaikan dengan cara damai. Sang anak yang masih berumur 14 tahun tersebut juga mengalami trauma sehingga perlu didampingi oleh keluarga. Prof. Nur Basuki Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, polisi tidak pantas memediasi kesepakatan damai dalam kasus dugaan pelacuran di bawah umur sebab menyangkut masa depannya.
Bukan tanpa Sanksi Sosial
Masih membekas kisah Bupati Garut, Aceng Fikri yang menuai reaksi keras perempuan, terutama kaum Ibu. Aceng, yang menikahi anak di bawah umur dan diceraikan begitu saja dengan alasan “ibarat membeli baju yang sudah sobek”, adalah sebuah pelecehan seksual terhadap perempuan. Sejumlah partai tidak menerima Aceng ketika ia mengajukan diri sebagai anggota partai. Pihak partai yang menolak rata-rata kalangan perempuan atau ibu yang menjadi pengurus partai. Dari ketiga kasus di atas, masyarakat mulai menunjukkan secara terang-terangan bahwa mereka tidak simpatik pada pelaku pelecehan seksual, dan sebagian besar media mulai beramai-ramai menuliskannya sebagai sebuah tragedi, bukan sekedar berita sensasi.
(Ditulis oleh Mariana Amiruddin, disarikan dari Kompas, 22 Maret 2013, Kompas 27 Maret 2013, dan http://www.deliknews.com/2013/03/siswi-smp-ini-diajak-melacur-tetangganya-sendiri, http://m.tribunnews.com/2013/03/28/lima-korban-pelecehan-seksual-histeris-saat-diterapi)
Untuk mendapatkan keterangan, para korban dibimbing oleh dua psikolog. Saat menjalani terapi, mereka menjerit dan mengatakan “sakit”, “jangan sentuh saya”, “kamu orang gila”, “saya bukan mainan”, “kamu harus dipenjara!”. Yuli Suliswidiawati, salah satu psikolog dalam mendampingi mereka, para korban menunjukkan emosi dan pengalaman traumanya. “Mereka disakiti dan dipaksa, tapi tidak bisa melawan,” tutur Yuli. Korban bahkan melakukan gerakan memukul atau menendang. Menurut Yuli, dari lima korban, dua di antaranya terdeteksi mengalami trauma sangat mendalam sehingga butuh waktu lama untuk menjalani terapi.
Anak yang Dilacurkan
Selain soal pelecehan seksual, ditemukan kasus anak yang dilacurkan. AP, 14 tahun dilacurkan oleh tetangganya sendiri. Pelaku menjual AP (13) di kawasan Jakarta Barat. Keluarga mencurigai korban yang mengeluhkan perutnya sakit , namun saat diberikan obat tak kunjung sembuh , barulah diketahui bahwa korban mengalami kesakitan pada kelaminnya. Sepupu korban melaporkan kasus ini ke Mapolres Metro Jakarta Barat 26 Maret yang lalu. Korban akhirnya divisum ke RSCM dan hasilnya, kelamin korban dinyatakan sobek.
Korban akhirnya angkat bicara perihal kejadian yang menimpanya tersebut. Korban mengaku, tetangganya yang bernama Diana mengajaknya menjadi pekerja seks dengan upah 200 ribu. Korban mengaku sudah 3 kali melayani pelanggan. Pihak keluarga tidak menerima kejadian ini, lalu menangkap pelaku di kediamannya dan membawanya ke kantor polisi. Namun, dengan dimediasi oleh polisi, pelaku mengajak keluarga korban berdamai dengan membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 juta. Karena pihak orang tua korban buta huruf, mereka menandatangani tanpa mengetahui bahwa isinya kesepakatan damai. Sayang sekali, pelaku dinyatakan lepas karena dianggap telah diselesaikan dengan cara damai. Sang anak yang masih berumur 14 tahun tersebut juga mengalami trauma sehingga perlu didampingi oleh keluarga. Prof. Nur Basuki Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, polisi tidak pantas memediasi kesepakatan damai dalam kasus dugaan pelacuran di bawah umur sebab menyangkut masa depannya.
Bukan tanpa Sanksi Sosial
Masih membekas kisah Bupati Garut, Aceng Fikri yang menuai reaksi keras perempuan, terutama kaum Ibu. Aceng, yang menikahi anak di bawah umur dan diceraikan begitu saja dengan alasan “ibarat membeli baju yang sudah sobek”, adalah sebuah pelecehan seksual terhadap perempuan. Sejumlah partai tidak menerima Aceng ketika ia mengajukan diri sebagai anggota partai. Pihak partai yang menolak rata-rata kalangan perempuan atau ibu yang menjadi pengurus partai. Dari ketiga kasus di atas, masyarakat mulai menunjukkan secara terang-terangan bahwa mereka tidak simpatik pada pelaku pelecehan seksual, dan sebagian besar media mulai beramai-ramai menuliskannya sebagai sebuah tragedi, bukan sekedar berita sensasi.
(Ditulis oleh Mariana Amiruddin, disarikan dari Kompas, 22 Maret 2013, Kompas 27 Maret 2013, dan http://www.deliknews.com/2013/03/siswi-smp-ini-diajak-melacur-tetangganya-sendiri, http://m.tribunnews.com/2013/03/28/lima-korban-pelecehan-seksual-histeris-saat-diterapi)