Payung Hukum bagi Tindakan Khusus Sementara
Kabar baik datang dari lembaga yudikatif, Rabu pekan lalu (12/3) Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi/judicial review (JR) ketentuan Tindakan Khusus Sementara (TKS) minimum 30% keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu yang diajukan oleh Tim Advokasi Kesetaraan dan Demokrasi. Uji materi yang diajukan terkait dengan pasal 215 ayat b dan penjelasan pasal 56 ayat 2 UU Pemilu. Dengan demikian dalam pasal 215 huruf b UU Pemilu, frasa “mempertimbangkan” menjadi “mengutamakan” calon perempuan jika persebaran perolehan suara seorang laki-laki calon anggota lembaga perwakilan dan seorang perempuan calon anggota perwakilan dalam satu dapil memiliki luas yang sama. Sementara dalam penjelasan pasal 56 ayat 2 UU Pemilu dijelaskan dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon bisa terdapat 1 (satu), atau 2 (dua) bahkan tiga-tiganya perempuan bakal calon.
Proses uji materi ini memakan waktu yang cukup lama, lebih dari dari satu tahun, sehingga banyak proses penetapan peserta pemilu dan penetapan daftar calon pemilu terlewat. Akan tetapi keputusan MK ini sudah final sehingga kedepan diharapkan tercapai keterwakilan yang seimbang. Juru bicara Tim Advokasi Kesetaraan dan Demokrasi, Titi Sumbung dalam konferensi pers yang digelar Selasa siang (18/3) di Hotel Akmani, Jakarta mengatakan dampak dari keputusan MK tersebut adalah kedepan kebijakan afirmasi berlaku juga pada semua lembaga penyelenggara negara di semua tingkatan dan pada semua bidang. Lebih lanjut Titi mengatakan partai politik (parpol) juga wajib melaksanakan Keputusan MK tersebut dengan benar, sehingga parpol harus berubah. Parpol wajib mempunyai kriteria yang jelas, transparan dan objektif dalam merekrut para calon legislatifnya.
Kebijakan afirmatif/TKS minimum 30% keterwakilan perempuan merupakan payung hukum yang memberikan jaminan agar dalam proses pencalonan, perempuan memiliki keterwakilan yang seimbang dengan laki-laki, namun agar dalam proses pemilihan nantinya perempuan tetap memiliki keterwakilan yang seimbang, maka dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari banyak pihak untuk mendukung proses tersebut. Karena itu selain parpol dituntut untuk menjalankan pengkaderan dengan baik dan menerapkan kebijakan yang akuntabel terkait seleksi pemilihan bakal calon, pemerintah juga berkewajiban memfasilitasi pelatihan dan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, dan sebagainya. (Anita Dhewy)
Proses uji materi ini memakan waktu yang cukup lama, lebih dari dari satu tahun, sehingga banyak proses penetapan peserta pemilu dan penetapan daftar calon pemilu terlewat. Akan tetapi keputusan MK ini sudah final sehingga kedepan diharapkan tercapai keterwakilan yang seimbang. Juru bicara Tim Advokasi Kesetaraan dan Demokrasi, Titi Sumbung dalam konferensi pers yang digelar Selasa siang (18/3) di Hotel Akmani, Jakarta mengatakan dampak dari keputusan MK tersebut adalah kedepan kebijakan afirmasi berlaku juga pada semua lembaga penyelenggara negara di semua tingkatan dan pada semua bidang. Lebih lanjut Titi mengatakan partai politik (parpol) juga wajib melaksanakan Keputusan MK tersebut dengan benar, sehingga parpol harus berubah. Parpol wajib mempunyai kriteria yang jelas, transparan dan objektif dalam merekrut para calon legislatifnya.
Kebijakan afirmatif/TKS minimum 30% keterwakilan perempuan merupakan payung hukum yang memberikan jaminan agar dalam proses pencalonan, perempuan memiliki keterwakilan yang seimbang dengan laki-laki, namun agar dalam proses pemilihan nantinya perempuan tetap memiliki keterwakilan yang seimbang, maka dibutuhkan komitmen dan kerja keras dari banyak pihak untuk mendukung proses tersebut. Karena itu selain parpol dituntut untuk menjalankan pengkaderan dengan baik dan menerapkan kebijakan yang akuntabel terkait seleksi pemilihan bakal calon, pemerintah juga berkewajiban memfasilitasi pelatihan dan pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, dan sebagainya. (Anita Dhewy)