Mustahil Ekonomi Tanpa Peran Perempuan
Seringkali pembicaraan mengenai ekonomi dibonsai dalam dunia patriarki yang mengecilkan peran perempuan dalam perekonomian. Misalnya, banyak pekerjaan perempuan dalam sektor informal dianggap tidak bernilai ekonomi atau bernilai ekonomi sangat rendah karena perempuan yang bekerja dianggap sebatas pencari nafkah tambahan bukan pencari nafkah utama. Amartya Sen mengungkapkan bahwa ekonomi mustahil berkembang tanpa melibatkan perempuan sebagi agen atau sebagai bagian dalam perhitungan ekonomi. Edisi Jurnal Perempuan 74 “Siapakah Agen Ekonomi?” menunjukkan bahwa ekonomi tidak bisa berkembang tanpa perempuan, dan ekonomi perempuan sangat berperan dalam menumbuhkan keluarga, dan otomatis masyarakat. Komitmen Jurnal Perempuan untuk menyebarluaskan pengetahuan, informasi, dan dokumentasi mengenai hak-hak dan permasalahan perempuan di Indonesia dengan perspektif dan metodologis feminis diwujudkan salah satunya dengan rutin mengadakan pendidikan publik setiap terbitnya edisi Jurnal Perempuan. Sabtu, 3 November 2012 yang lalu, Jurnal Perempuan didukung oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyelenggarakan pendidikan publik Jurnal Perempuan edisi 74 dengan tema
“Siapakah Agen Ekonomi?” di Double Bay Lounge & Dinner, Hotel F1 Menteng, Jakarta Pusat dengan narasumber Titik Hartini (Direktur Eksekutif Association for
Community Empowerment), Rocky Gerung (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan), Deva Rachman (Corporate Affairs Director of Intel Corporations) dengan moderator Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan).
Titik Hartini, Direktur Eksekutif ACE (Association for Community Empowerment) berbicara mengenai ruang perempuan di pasar produksi yang semakin sempit dengan lahirnya produk-produk perusahaan. Sebagian besar perempuan di Indonesia memang bekerja di sektor informal dan sektor ini sebenarnya potensial dilihat sebagai agen ekonomi untuk menyejahterakan perempuan termasuk di dalamnya menurunkan angka kemiskinan keluarga dan angka kematian ibu melahirkan. Namun, kenyataanya perempuan di sektor ini banyak terpinggirkan. Masuknya batik Cina ke Solo misalnya, langsung menurunkan keuntungan pembatik perempuan di sana secara drastis. Kebanyakan perempuan di sektor informal juga tidak memiliki asuransi kesehatan, atau jaminan keselamatan kerja. Program-program pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah kebanyakan tidak menyasar perempuan, dan perempuan yang bekerja di sektor informal yang menjadi target dari program pemberdayaan tersebut kebanyakan tidak dilibatkan dalam perencanaan penganggaran. Program pemberdayaan ekonomi perempuan juga biasanya semata-mata dimasukkan dalam program PKK dan Dharma Wanita, bukan langsung pada usaha kecil. Berbicara tentang wajah perempuan, hampir selalu berbicara berbicara tentang kemiskinan. Ada seorang ibu dengan sembilan anak yang tinggal di lingkungan kumuh di daerah Kampung Sawah, Cilincing. Suaminya lari dari tanggung jawab dan ibu ini harus berjuang menghidupi kesembilan anaknya yang masih kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan berukuran 2x2 meter. Sehari-hari ia memberi makan kesembilan anaknya dengan memulung dan mengais bekas makan siang para buruh pabrik. Ada juga seorang perempuan yang harus menjadi pekerja seks di Kendal karena miskin dan harus menghidupi ibu serta kedua anaknya. Mereka tinggal di bawah jembatan dalam jeratan kemiskinan. Titik juga memaparkan fakta bahwa 70% buruh migran adalah perempuan. Hal ini karena keterampilan perempuan banyak yang lebih dikaitkan dengan urusan-urusan domestik yang nilai ekonominya sangat rendah. Sebagai buruh migran, tenaga perempuan dianggap murah karena dianggap tak punya nilai ekonomi. Skill-nya juga tidak dihargai karena dianggap hanya pekerjaan rumah tangga. Sebanyak enam juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan dan setiap tahun kepala keluarga perempuan meningkat sampai 14%. Perempuan adalah pelaku ekonomi potensial tapi kesulitan mendapatkan akses modal. Perempuan sebagai istri pun juga sulit mendapatkan akses modal karena beban ganda mereka mengasuh anak dan keluarga. Setiap perempuan yang ingin membuka usaha, pertama-tama dia harus bernegosiasi dengan suaminya. Bila suami tidak mengizinkan, maka selesailah mimpinya, meskipun kebutuhan ekonomi keluarga tidak mencukupi. Sementara itu, para perempuan yang didukung suaminya kebanyakan maju usahanya. Kesimpulannya, menjadi perempuan itu, negosiasi pertama soal keinginan dan kemajuan usaha adalah di kamar tidur yaitu negosiasi dengan suami. Mereka tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Pun jika perempuan lebih maju daripada suami, muncul masalah baru. Negosiasi bisa jadi gagal di tahap berikutnya. Titik menegaskan bahwa memberdayakan ekonomi perempuan sebetulnya sama dengan memberdayakan ekonomi keluarga. Jadi, keluarga yang setara, istri yang maju dan mandiri secara ekonomi, adalah tatanan masyarakat yang berhasil membantu keluar dari kemiskinan. Namun, ruang-ruang perempuan untuk masuk dalam kebijakan ekonomi sangat kecil. Pasar tradisional misalnya, tidak dilibatkan dalam kebijakan ekonomi.
Deva Rachman, Corporate Affairs Director dari Intel Corporations memaparkan bagaimana supaya globalisasi dapat mengembangkan perempuan. Secara global banyak yang bisa didapatkan perempuan. Menurut Deva, posisi Indonesia berada dalam kesempatan lebih lumayan daripada negara lain seperti Bangladesh, Afrika dan lain-lain. Badan PBB mengatakan bahwa investasi waktu dan pendidikan, yang diberikan kepada perempuan, akan berbalik pada kebaikan ekonomi keluarga. Deva menawarkan kembali, saat ini kita perlu melihat bagaimana teknologi dapat membantu perempuan yaitu mendukung kemajuan mereka. Bila perempuan diberi investasi ini, maka kontribusinya terhadap masyarakat bisa dua kali lipat lebih besar. Pembicara berikutnya, Rocky Gerung, dewan redaksi Jurnal Perempuan dan juga dosen filsafat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia memaparkan bahwa ekonomi berasal dari kata oikos yaitu rumah, yang artinya ekonomi pada awalnya bertujuan membangun rumah tangga. Sementara kini, rumah tangga dibatasi sebagai ruang tidur dan ruang makan, dan ekonomi selalu dianggap sebagai ruang publik. Rasionalisme dan kompetitif diklaim sebagai dunia laki-laki, dan jika perempuan memakai keduanya, maka dianggap tidak bermoral. Rocky mengibaratkan proses ekonomi melalui metafora cangkul. Cangkul pada mulanya adalah ekstensi tangan perempuan, untuk merawat halaman rumahnya, kemudian oleh laki-laki, cangkul kemudian berubah menjadi alat yang merusak payudara bumi rahim perempuan dianeksasi, dibunuh oleh tangan laki-laki. Artinya, otoritas yang dipakai oleh laki-laki malah kemudian merusak bumi, mengeksploitasi, bukan merawat sebagaimana yang awalnya dilakukan perempuan.Hampir 80% produk yang kita nikmati adalah produk perempuan, yang diistilahkan Rocky sebagai produk rahim perempuan, tapi yang menjadi properti perempuan tak pernah lebih dari 4-6% dan selalu, klaim peradaban menjadi milik laki-laki. Perempuan tidak mempunyai klaim atas produk yang dilahirkan oleh mereka sendiri. Anggaran APBD, 70% digunakan untuk membiayai gaji pegawai, dan hanya 30% yang digunakan untuk pembangunan. Itulah sebabnya indeks pembangunan kita sangat mengenaskan. APBD bukan semata dokumen ekonomi, namun dokumen politis, yang didalamnya terdapat transaksi parta. Sri Mulyani adalah perempuan pertama yang sangat mendukung gender budgeting di departemen-departemen negara. Dalam struktur demografi kita, perempuan adalah proletarnya proletariat. Pekerjaan untuk membebaskan politik dari ketidakadilan adalah bukan hanya pekerjaan politisi, namun juga akademisi. Ekonomi perempuan seperti sengaja dihambat karena ketakutan laki-laki terhadap persaingan.
Ida Ruwaida, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia memberikan tanggapan dari pemaparan narasumber. Ida menjelaskan bahwa tanpa
ada perempuan, ekonomi rumah tangga menjadi tanda tanya. Ida juga memaparkan alasan kenapa banyak perempuan pergi menjadi buruh migran yaitu karena perempuan dianggap sebagai penyelamat ekonomi keluarga dan sayangnya negara belum menjadi pelindung bagi para buruh migran. Perempuan sebagai pilar
utama dalam ekonomi keluarga ternyata sangat susah mendapat akses untuk program pengentasan kemiskinan. Dewi Candraningrum kemudian mengulas sedikit tentang tulisan Ahmad Badawi di Jurnal Perempuan edisi 74 yang menulis tentang kawasan Muria dan Dieng yang tidak lagi hijau, namun kini coklat. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perempuan dieksplor bekerja ke luar negeri, karena hancurnya dan rusaknya alam akibat penjarahan hutan. Titik juga menambahkan alasan kenapa buruh migran pergi. Kebanyakan memang mereka berasal dari desa yang ditenggelamkan untuk waduk dan danau untuk irigasi. Mereka tidak punya banyak pilihan lain.
Kemudian soal peran perempuan dalam bidang ekonomi, Deva mengemukakan bahwa mestinya perempuan dilibatkan dalam segala hal, misalnya pengambilan
keputusan. Perempuan adalah roda perekonomian, dan perubahan sosial banyak sekali berkelindan dengan isu ekonomi. Dewi menambahkan bahwa negara-negara yang paling maju sekalipun, mengenai persoalan kepemimpinan perempuan pun masih sangat timpang. Berbicara tentang kepemimpinan di Indonesia, meskipun tertulis mengenai peraturan 30% kuota perempuan, namun prakteknya tidak demikian. Untuk pejabat eselon 4 saja, jumlah perempuannya kurang dari 5%. Selama ini, perempuan dinilai dari pakaiannya, penampilannya, tapi suaranya dan pikirannya tidak didengar. Rocky juga menjelaskan bahwa kuota perempuan di DPR bukan semata ada manusia berpayudara dan bervagina disana, tapi perempuan yang memiliki value justice. Kesatuan pikiran perempuan adalah dari kepala sampai kelamin. Vagina adalah alat eksistensi perempuan. Karena itu, perusakan alat kelamin perempuan (perkosaan, kekerasan) adalah perusakan eksistensi perempuan. Politic is the art of attacking the impossible, demikian Rocky berujar. Hanya laki-laki yang mau merubah pikiran yang dapat berkontribusi untuk menciptakan keadilan. Perjuangan melawan diskriminasi gender adalah persoalan melawan konstruksi budaya dan arus peradaban.
Maka, berbicara mengenai ekonomi adalah juga berbicara mengenai perempuan, sebab kenyataannya, perempuan adalah agen ekonomi yang perannya sangat
dibutuhkan dalam perkembangan perekonomian. Pemerintah dan masyarakat mestinya menyadari hal tersebut, serta berupaya untuk menciptakan iklim ekonomi dan kebijakan ekonomi yang bisa diakses dan berpihak tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga bagi para perempuan.
Oleh: Khanifah
“Siapakah Agen Ekonomi?” di Double Bay Lounge & Dinner, Hotel F1 Menteng, Jakarta Pusat dengan narasumber Titik Hartini (Direktur Eksekutif Association for
Community Empowerment), Rocky Gerung (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan), Deva Rachman (Corporate Affairs Director of Intel Corporations) dengan moderator Dr. Phil. Dewi Candraningrum (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan).
Titik Hartini, Direktur Eksekutif ACE (Association for Community Empowerment) berbicara mengenai ruang perempuan di pasar produksi yang semakin sempit dengan lahirnya produk-produk perusahaan. Sebagian besar perempuan di Indonesia memang bekerja di sektor informal dan sektor ini sebenarnya potensial dilihat sebagai agen ekonomi untuk menyejahterakan perempuan termasuk di dalamnya menurunkan angka kemiskinan keluarga dan angka kematian ibu melahirkan. Namun, kenyataanya perempuan di sektor ini banyak terpinggirkan. Masuknya batik Cina ke Solo misalnya, langsung menurunkan keuntungan pembatik perempuan di sana secara drastis. Kebanyakan perempuan di sektor informal juga tidak memiliki asuransi kesehatan, atau jaminan keselamatan kerja. Program-program pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah kebanyakan tidak menyasar perempuan, dan perempuan yang bekerja di sektor informal yang menjadi target dari program pemberdayaan tersebut kebanyakan tidak dilibatkan dalam perencanaan penganggaran. Program pemberdayaan ekonomi perempuan juga biasanya semata-mata dimasukkan dalam program PKK dan Dharma Wanita, bukan langsung pada usaha kecil. Berbicara tentang wajah perempuan, hampir selalu berbicara berbicara tentang kemiskinan. Ada seorang ibu dengan sembilan anak yang tinggal di lingkungan kumuh di daerah Kampung Sawah, Cilincing. Suaminya lari dari tanggung jawab dan ibu ini harus berjuang menghidupi kesembilan anaknya yang masih kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan berukuran 2x2 meter. Sehari-hari ia memberi makan kesembilan anaknya dengan memulung dan mengais bekas makan siang para buruh pabrik. Ada juga seorang perempuan yang harus menjadi pekerja seks di Kendal karena miskin dan harus menghidupi ibu serta kedua anaknya. Mereka tinggal di bawah jembatan dalam jeratan kemiskinan. Titik juga memaparkan fakta bahwa 70% buruh migran adalah perempuan. Hal ini karena keterampilan perempuan banyak yang lebih dikaitkan dengan urusan-urusan domestik yang nilai ekonominya sangat rendah. Sebagai buruh migran, tenaga perempuan dianggap murah karena dianggap tak punya nilai ekonomi. Skill-nya juga tidak dihargai karena dianggap hanya pekerjaan rumah tangga. Sebanyak enam juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan dan setiap tahun kepala keluarga perempuan meningkat sampai 14%. Perempuan adalah pelaku ekonomi potensial tapi kesulitan mendapatkan akses modal. Perempuan sebagai istri pun juga sulit mendapatkan akses modal karena beban ganda mereka mengasuh anak dan keluarga. Setiap perempuan yang ingin membuka usaha, pertama-tama dia harus bernegosiasi dengan suaminya. Bila suami tidak mengizinkan, maka selesailah mimpinya, meskipun kebutuhan ekonomi keluarga tidak mencukupi. Sementara itu, para perempuan yang didukung suaminya kebanyakan maju usahanya. Kesimpulannya, menjadi perempuan itu, negosiasi pertama soal keinginan dan kemajuan usaha adalah di kamar tidur yaitu negosiasi dengan suami. Mereka tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Pun jika perempuan lebih maju daripada suami, muncul masalah baru. Negosiasi bisa jadi gagal di tahap berikutnya. Titik menegaskan bahwa memberdayakan ekonomi perempuan sebetulnya sama dengan memberdayakan ekonomi keluarga. Jadi, keluarga yang setara, istri yang maju dan mandiri secara ekonomi, adalah tatanan masyarakat yang berhasil membantu keluar dari kemiskinan. Namun, ruang-ruang perempuan untuk masuk dalam kebijakan ekonomi sangat kecil. Pasar tradisional misalnya, tidak dilibatkan dalam kebijakan ekonomi.
Deva Rachman, Corporate Affairs Director dari Intel Corporations memaparkan bagaimana supaya globalisasi dapat mengembangkan perempuan. Secara global banyak yang bisa didapatkan perempuan. Menurut Deva, posisi Indonesia berada dalam kesempatan lebih lumayan daripada negara lain seperti Bangladesh, Afrika dan lain-lain. Badan PBB mengatakan bahwa investasi waktu dan pendidikan, yang diberikan kepada perempuan, akan berbalik pada kebaikan ekonomi keluarga. Deva menawarkan kembali, saat ini kita perlu melihat bagaimana teknologi dapat membantu perempuan yaitu mendukung kemajuan mereka. Bila perempuan diberi investasi ini, maka kontribusinya terhadap masyarakat bisa dua kali lipat lebih besar. Pembicara berikutnya, Rocky Gerung, dewan redaksi Jurnal Perempuan dan juga dosen filsafat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia memaparkan bahwa ekonomi berasal dari kata oikos yaitu rumah, yang artinya ekonomi pada awalnya bertujuan membangun rumah tangga. Sementara kini, rumah tangga dibatasi sebagai ruang tidur dan ruang makan, dan ekonomi selalu dianggap sebagai ruang publik. Rasionalisme dan kompetitif diklaim sebagai dunia laki-laki, dan jika perempuan memakai keduanya, maka dianggap tidak bermoral. Rocky mengibaratkan proses ekonomi melalui metafora cangkul. Cangkul pada mulanya adalah ekstensi tangan perempuan, untuk merawat halaman rumahnya, kemudian oleh laki-laki, cangkul kemudian berubah menjadi alat yang merusak payudara bumi rahim perempuan dianeksasi, dibunuh oleh tangan laki-laki. Artinya, otoritas yang dipakai oleh laki-laki malah kemudian merusak bumi, mengeksploitasi, bukan merawat sebagaimana yang awalnya dilakukan perempuan.Hampir 80% produk yang kita nikmati adalah produk perempuan, yang diistilahkan Rocky sebagai produk rahim perempuan, tapi yang menjadi properti perempuan tak pernah lebih dari 4-6% dan selalu, klaim peradaban menjadi milik laki-laki. Perempuan tidak mempunyai klaim atas produk yang dilahirkan oleh mereka sendiri. Anggaran APBD, 70% digunakan untuk membiayai gaji pegawai, dan hanya 30% yang digunakan untuk pembangunan. Itulah sebabnya indeks pembangunan kita sangat mengenaskan. APBD bukan semata dokumen ekonomi, namun dokumen politis, yang didalamnya terdapat transaksi parta. Sri Mulyani adalah perempuan pertama yang sangat mendukung gender budgeting di departemen-departemen negara. Dalam struktur demografi kita, perempuan adalah proletarnya proletariat. Pekerjaan untuk membebaskan politik dari ketidakadilan adalah bukan hanya pekerjaan politisi, namun juga akademisi. Ekonomi perempuan seperti sengaja dihambat karena ketakutan laki-laki terhadap persaingan.
Ida Ruwaida, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia memberikan tanggapan dari pemaparan narasumber. Ida menjelaskan bahwa tanpa
ada perempuan, ekonomi rumah tangga menjadi tanda tanya. Ida juga memaparkan alasan kenapa banyak perempuan pergi menjadi buruh migran yaitu karena perempuan dianggap sebagai penyelamat ekonomi keluarga dan sayangnya negara belum menjadi pelindung bagi para buruh migran. Perempuan sebagai pilar
utama dalam ekonomi keluarga ternyata sangat susah mendapat akses untuk program pengentasan kemiskinan. Dewi Candraningrum kemudian mengulas sedikit tentang tulisan Ahmad Badawi di Jurnal Perempuan edisi 74 yang menulis tentang kawasan Muria dan Dieng yang tidak lagi hijau, namun kini coklat. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perempuan dieksplor bekerja ke luar negeri, karena hancurnya dan rusaknya alam akibat penjarahan hutan. Titik juga menambahkan alasan kenapa buruh migran pergi. Kebanyakan memang mereka berasal dari desa yang ditenggelamkan untuk waduk dan danau untuk irigasi. Mereka tidak punya banyak pilihan lain.
Kemudian soal peran perempuan dalam bidang ekonomi, Deva mengemukakan bahwa mestinya perempuan dilibatkan dalam segala hal, misalnya pengambilan
keputusan. Perempuan adalah roda perekonomian, dan perubahan sosial banyak sekali berkelindan dengan isu ekonomi. Dewi menambahkan bahwa negara-negara yang paling maju sekalipun, mengenai persoalan kepemimpinan perempuan pun masih sangat timpang. Berbicara tentang kepemimpinan di Indonesia, meskipun tertulis mengenai peraturan 30% kuota perempuan, namun prakteknya tidak demikian. Untuk pejabat eselon 4 saja, jumlah perempuannya kurang dari 5%. Selama ini, perempuan dinilai dari pakaiannya, penampilannya, tapi suaranya dan pikirannya tidak didengar. Rocky juga menjelaskan bahwa kuota perempuan di DPR bukan semata ada manusia berpayudara dan bervagina disana, tapi perempuan yang memiliki value justice. Kesatuan pikiran perempuan adalah dari kepala sampai kelamin. Vagina adalah alat eksistensi perempuan. Karena itu, perusakan alat kelamin perempuan (perkosaan, kekerasan) adalah perusakan eksistensi perempuan. Politic is the art of attacking the impossible, demikian Rocky berujar. Hanya laki-laki yang mau merubah pikiran yang dapat berkontribusi untuk menciptakan keadilan. Perjuangan melawan diskriminasi gender adalah persoalan melawan konstruksi budaya dan arus peradaban.
Maka, berbicara mengenai ekonomi adalah juga berbicara mengenai perempuan, sebab kenyataannya, perempuan adalah agen ekonomi yang perannya sangat
dibutuhkan dalam perkembangan perekonomian. Pemerintah dan masyarakat mestinya menyadari hal tersebut, serta berupaya untuk menciptakan iklim ekonomi dan kebijakan ekonomi yang bisa diakses dan berpihak tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga bagi para perempuan.
Oleh: Khanifah