Membaca Siti Nurbaya Lewat Kacamata Pascakolonial dan Feminis
Siti Nurbaya, novel karya Marah Rusli secara umum dipahami sebatas sebagai novel percintaan. Benarkah demikian? Adakah aspek ideologis di baliknya? Juga adakah gagasan feminisme di dalamnya? Setidaknya dua hal ini menjadi sorotan dalam diskusi buku yang diadakan oleh Yayasan Lontar dan Galeri Indonesia Kaya. Diskusi bertajuk “Siti Nurbaya dan Harkat Perempuan” yang berlangsung Selasa (8/4) di Galeri Indonesia Kaya Grand Indonesia ini menghadirkan sastrawan Sapardi Djoko Damono dan Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan sekaligus pengajar Filsafat dan Feminisme Universitas Indonesia Gadis Arivia sebagai pembicara.
Sapardi Djoko Damono mengawali paparannya dengan mengupas keberadaan Balai Pustaka, perusahaan bentukan pemerintah Hindia-Belanda yang menerbitkan Siti Nurbaya. Ia memaparkan awal mula pendirian Balai Pustaka yang dilatarbelakangi alasan politis untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang mendukung pemerintah Hindia-Belanda melalui sastra sekaligus untuk membendung pengaruh kelompok komunis dan Tionghoa yang ketika itu menguasai penerbitan. Karena itu buku-buku terbitan Balai Pustaka cenderung pro terhadap Hindia-Belanda. Dari segi pembaca, Balai Pustaka merupakan bacaan anak muda. Ia menyasar anak-anak muda lulusan sekolah—hasil politik etis pemerintah Hindia-Belanda—yang membutuhkan bahan bacaan.
Pengarang novel ini menggunakan model penokohan hitam-putih. Syamsul Bahri digambarkan menarik secara fisik dengan cara berpakaian dan berpikir sebagai cara Belanda karena ia mendapat pendidikan Belanda, demikian pula halnya dengan Siti Nurbaya. Sementara tokoh hitam, yakni Datuk Maringgih digambarkan jelek secara fisik dan jahat. Datuk Maringgih yang sebenarnya mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang di daerahnya terhadap pemerintah Hindia-Belanda dinilai secara negatif. Sementara Syamsul Bahri yang digambarkan secara sempurna baik fisik maupun wataknya dan berpendidikan Belanda adalah pahlawan yang mampu melakukan segalahalyang baik, meskipun ia diceritakan pernah mencoba bunuh diri namun gagal ketika patah hati. Ia adalah pahlawan pemerintah kolonial karena berhasil menumpas perlawanan di kampungnya.
Sapardi mengatakan dari percakapan dan dialog tokohnya, secara tersurat novel ini memperlihatkan dukungan terhadap pendidikan Belanda. Begitu juga terkait dengan persoalan adat dan ideal perkawinan Barat. Hal ini menunjukkan ideologi pemerintah ketika itu. Lebih lanjut Sapardi mengatakan bahwa di satu pihak Balai Pustaka ingin menghibur pembaca dengan kisah cinta muda-mudi yang berakhir menyedihkan. Di lain pihak Balai Pustaka ingin dengan sungguh-sungguh menampilkan berbagai persoalan sosial yang muncul waktu itu.
Persoalan adat dan agama dalam kaitannya dengan perempuan terutama pada konteks masyarakat Minang yang cukup kompleks sebenarnya tidak mudah dimasukkan dalam bacaan ringan, mengingat bacaan ringan mensyaratkan pemahaman yang mudah. Karena itu yang kita ketahui tentang novel ini umumnya hanya kisah cintanya, bukan masalah sosial dan aspek ideologis yang berkaitan dengan sikap pemerintah kolonial yang disembunyikan di baliknya. Dengan demikian, strategi penerbit adalah mengemas pesan yang disampaikannya dengan cara propaganda yang sangat cerdik.
Sementara Gadis Arivia membedah novel ini dari sudut pandang feminis. Ia mengatakan Siti Nurbaya memiliki tema besar mengedepankan otonomi dan kebebasan manusia. Hal ini membawa kita pada pertanyaan tentang apakah artinya menjadi manusia? Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah budaya dan masyarakat mendefinisikan perempuan sebagai manusia. Salah satu ukuran untuk mengetahui apakah standar kemanusiaan perempuan dan laki-laki sama adalah melalui kesempatan pendidikan yang sama. Hak untuk memiliki akses pendidikan yang sama merupakan tema yang diangkat novel Siti Nurbaya. Syamsul Bahri (Samsu) dan Nurbaya memiliki pandangan bahwa akses pendidikan merupakan kunci. Hal ini tergambarkan sejak lembaran pertama novel dimana keduanya saling tertarik dengan pelajaran sekolah. Akses pendidikan yang sama bagi mereka juga diterjemahkan menjadi kesetaraan di dalam rumah tangga.
Gadis juga menjelaskan bahwa Nurbaya merupakan sosok yang otonom. Beberapa keputusan hidupnya dilakukan secara sadar dan atas kehendak diri. Pun ketika ia memutuskan menikah dengan Datuk Meringgih, ia lakukan atas kehendaknya sendiri untuk menyelamatkan ayahnya yang berhutang. Ia sadar akan keputusannya dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut. Ciri manusia yang otonom tetap secara kuat tergambar dalam karakternya. Hal ini terlihat pada saat ia mengusir suaminya. Menjadi otonom artinya membuat kebijakan sendiri, menjadi mandiri. Saat Nurbaya mempertahankan kemartabatan dirinya saat itu juga ia menunjukkan siapa yang menentukan hidupnya.
Menurut Gadis, salah satu isu hak perempuan yang dibahas dalam novel ini adalah masalah poligami. Protes atas poligami tidak hanya diungkapkan Nurbaya, tetapi juga dari tokoh laki-laki seperti Samsu dan Sutan Mahmud. Praktek ini dibenarkan oleh agama dan adat. Dalam adat Pariaman, dikenal praktek adat dimana laki-laki ”dibeli” oleh perempuan. Praktek ini pun dimanfaatkan untuk memperkaya diri laki-laki. Sebagian tokoh dalam novel ini menunjukkan sikap menolak tradisi yang membelenggu dan keinginan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan.
Lebih lanjut Gadis mengungkapkan bahwa novel ini memiliki prinsip-prinsip feminis yakni adanya tantangan terhadap phallosentrisme (dominasi logika laki-laki). Meskipun novel ini tidak ditulis oleh perempuan, tetapi laki-laki bisa menulis teks feminis dengan kesadaran bahwa teks yang dihasilkan mengkritik cara berpikir laki-laki dan budaya patriarki yang dihasilkan. Terkait kritik terhadap teks Siti Nurbaya yang melihat bahwa isu-isu kesetaraan yang ditampilkan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Barat, Gadis berargumen bahwa jika ada pesan kesetaraan, kemartabatan dan harkat manusia, hal itu bukan hanya milik Barat, namun bersifat universal, dan itu relevan bagi kita. (Anita Dhewy).
Sapardi Djoko Damono mengawali paparannya dengan mengupas keberadaan Balai Pustaka, perusahaan bentukan pemerintah Hindia-Belanda yang menerbitkan Siti Nurbaya. Ia memaparkan awal mula pendirian Balai Pustaka yang dilatarbelakangi alasan politis untuk menyebarkan gagasan-gagasan yang mendukung pemerintah Hindia-Belanda melalui sastra sekaligus untuk membendung pengaruh kelompok komunis dan Tionghoa yang ketika itu menguasai penerbitan. Karena itu buku-buku terbitan Balai Pustaka cenderung pro terhadap Hindia-Belanda. Dari segi pembaca, Balai Pustaka merupakan bacaan anak muda. Ia menyasar anak-anak muda lulusan sekolah—hasil politik etis pemerintah Hindia-Belanda—yang membutuhkan bahan bacaan.
Pengarang novel ini menggunakan model penokohan hitam-putih. Syamsul Bahri digambarkan menarik secara fisik dengan cara berpakaian dan berpikir sebagai cara Belanda karena ia mendapat pendidikan Belanda, demikian pula halnya dengan Siti Nurbaya. Sementara tokoh hitam, yakni Datuk Maringgih digambarkan jelek secara fisik dan jahat. Datuk Maringgih yang sebenarnya mampu membangkitkan semangat perlawanan orang-orang di daerahnya terhadap pemerintah Hindia-Belanda dinilai secara negatif. Sementara Syamsul Bahri yang digambarkan secara sempurna baik fisik maupun wataknya dan berpendidikan Belanda adalah pahlawan yang mampu melakukan segalahalyang baik, meskipun ia diceritakan pernah mencoba bunuh diri namun gagal ketika patah hati. Ia adalah pahlawan pemerintah kolonial karena berhasil menumpas perlawanan di kampungnya.
Sapardi mengatakan dari percakapan dan dialog tokohnya, secara tersurat novel ini memperlihatkan dukungan terhadap pendidikan Belanda. Begitu juga terkait dengan persoalan adat dan ideal perkawinan Barat. Hal ini menunjukkan ideologi pemerintah ketika itu. Lebih lanjut Sapardi mengatakan bahwa di satu pihak Balai Pustaka ingin menghibur pembaca dengan kisah cinta muda-mudi yang berakhir menyedihkan. Di lain pihak Balai Pustaka ingin dengan sungguh-sungguh menampilkan berbagai persoalan sosial yang muncul waktu itu.
Persoalan adat dan agama dalam kaitannya dengan perempuan terutama pada konteks masyarakat Minang yang cukup kompleks sebenarnya tidak mudah dimasukkan dalam bacaan ringan, mengingat bacaan ringan mensyaratkan pemahaman yang mudah. Karena itu yang kita ketahui tentang novel ini umumnya hanya kisah cintanya, bukan masalah sosial dan aspek ideologis yang berkaitan dengan sikap pemerintah kolonial yang disembunyikan di baliknya. Dengan demikian, strategi penerbit adalah mengemas pesan yang disampaikannya dengan cara propaganda yang sangat cerdik.
Sementara Gadis Arivia membedah novel ini dari sudut pandang feminis. Ia mengatakan Siti Nurbaya memiliki tema besar mengedepankan otonomi dan kebebasan manusia. Hal ini membawa kita pada pertanyaan tentang apakah artinya menjadi manusia? Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah budaya dan masyarakat mendefinisikan perempuan sebagai manusia. Salah satu ukuran untuk mengetahui apakah standar kemanusiaan perempuan dan laki-laki sama adalah melalui kesempatan pendidikan yang sama. Hak untuk memiliki akses pendidikan yang sama merupakan tema yang diangkat novel Siti Nurbaya. Syamsul Bahri (Samsu) dan Nurbaya memiliki pandangan bahwa akses pendidikan merupakan kunci. Hal ini tergambarkan sejak lembaran pertama novel dimana keduanya saling tertarik dengan pelajaran sekolah. Akses pendidikan yang sama bagi mereka juga diterjemahkan menjadi kesetaraan di dalam rumah tangga.
Gadis juga menjelaskan bahwa Nurbaya merupakan sosok yang otonom. Beberapa keputusan hidupnya dilakukan secara sadar dan atas kehendak diri. Pun ketika ia memutuskan menikah dengan Datuk Meringgih, ia lakukan atas kehendaknya sendiri untuk menyelamatkan ayahnya yang berhutang. Ia sadar akan keputusannya dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut. Ciri manusia yang otonom tetap secara kuat tergambar dalam karakternya. Hal ini terlihat pada saat ia mengusir suaminya. Menjadi otonom artinya membuat kebijakan sendiri, menjadi mandiri. Saat Nurbaya mempertahankan kemartabatan dirinya saat itu juga ia menunjukkan siapa yang menentukan hidupnya.
Menurut Gadis, salah satu isu hak perempuan yang dibahas dalam novel ini adalah masalah poligami. Protes atas poligami tidak hanya diungkapkan Nurbaya, tetapi juga dari tokoh laki-laki seperti Samsu dan Sutan Mahmud. Praktek ini dibenarkan oleh agama dan adat. Dalam adat Pariaman, dikenal praktek adat dimana laki-laki ”dibeli” oleh perempuan. Praktek ini pun dimanfaatkan untuk memperkaya diri laki-laki. Sebagian tokoh dalam novel ini menunjukkan sikap menolak tradisi yang membelenggu dan keinginan untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan.
Lebih lanjut Gadis mengungkapkan bahwa novel ini memiliki prinsip-prinsip feminis yakni adanya tantangan terhadap phallosentrisme (dominasi logika laki-laki). Meskipun novel ini tidak ditulis oleh perempuan, tetapi laki-laki bisa menulis teks feminis dengan kesadaran bahwa teks yang dihasilkan mengkritik cara berpikir laki-laki dan budaya patriarki yang dihasilkan. Terkait kritik terhadap teks Siti Nurbaya yang melihat bahwa isu-isu kesetaraan yang ditampilkan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Barat, Gadis berargumen bahwa jika ada pesan kesetaraan, kemartabatan dan harkat manusia, hal itu bukan hanya milik Barat, namun bersifat universal, dan itu relevan bagi kita. (Anita Dhewy).