Memahami Kekerasan Berbasis Gender
(Pelatihan Sehari Jurnal Perempuan bersama Plan Indonesia)
“Jadilah kita seperti Pegasus.
Dalilkan bahwa kita ingin memberi pencerahan, walau ada kejahatan, pernah ada kejahatan,
dan sedang ada kejahatan di sekitar kita. Setiap kali kita bangun pagi, kita
tahu bahwa tugas kita adalah mengaktifkan kembali akal pikiran supaya kebenaran
tidak tidur dan masuk kembali dalam kotak yang dibuka Pandora.”
Demikian pernyataan Rocky Gerung, salah seorang fasilitator dalam pelatihan partisipatoris sehari yang bertajuk “Kekerasan Berbasis Gender” di Hotel Grand Cemara, Menteng pada Senin 24 Juni 2013. Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan kerjasama Yayasan Jurnal Perempuan dengan Plan Indonesia, sebuah organisasi internasional pengembangan masyarakat yang berfokus pada kesejahteraan anak dan keluarga di 66 negara. Pelatihan partisipatoris yang berlangsung selama delapan jam tersebut, diisi oleh para fasilitator. Mariana Amirrudin, Direktur dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, mengawali acara dengan memberikan permainan menarik kepada peserta serta sedikit penjelasan mengenai perbedaan seks dan gender, dan apa yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender (KBG). Selanjutnya, Dewi Candraningrum (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) mengisi sesi diskusi dan analisis kasus, serta memberikan penjelasan mendalam mengenai konteks nasional dan internasional dari KBG.
Dari kedua fasilitator tersebut, peserta--yang adalah gender vocal point dari Plan Indonesia di wilayah NTT dan Grobogan, Jawa Tengah--mendapat pencerahan bahwa kekerasan berbasis gender ternyata sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan bermula pada satu titik, yakni ketidakpahaman masyarakat mengenai perbedaan istilah seks dan gender.
Hal menarik yang disampaikan oleh Dewi Candraningrum, mengenai hukum di Indonesia yang kurang melindungi perempuan yang dilacurkan adalah bahwa hukum kita agaknya tidak dibuat dengan empati dan rasa adil. Keadilan yang tidak dimulai sejak dalam pikiran tersebut menyebabkan kita lupa bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki hak untuk diperlakukan setara dengan manusia lainnya.
Menjelang sesi akhir, Nur Iman Subono atau – Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus dosen Ilmu Politik, Universitas Indonesia – membuat para peserta yang mayoritas laki-laki kembali merenungkan keikutsertaan mereka dalam gerakan membela hak-hak perempuan ini. Di sesi inilah, peserta mendapat pencerahan bahwa sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang mereka miliki. Gerakan feminis bukan gerakan perempuan semata karena dengan lelaki terlibat di dalamnya, sesungguhnya ia sedang membantu dirinya terbebas dari jerat budaya patriarki juga.
Di penghujung pelatihan, peserta diajak sedikit berfilsafat dengan menyelami berbagai mitologi dan mitos-mitos yang sesungguhnya diskriminatif terhadap perempuan. Rocky Gerung--Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus dosen Filsafat, Universitas Indonesia--mengantarkan akhir acara pada kesimpulan bahwa dalam sistem kepercayaan yang kita yakini sekalipun, seyogyanya harus kita kritisi potensi kekerasan berbasis gender di dalamnya. Dan pemahaman adalah sebuah langkah untuk memulai sebuah gerakan menuju keadilan dan kesetaraan.
Oleh: Wara Aninditari Larascintya Habsari
Demikian pernyataan Rocky Gerung, salah seorang fasilitator dalam pelatihan partisipatoris sehari yang bertajuk “Kekerasan Berbasis Gender” di Hotel Grand Cemara, Menteng pada Senin 24 Juni 2013. Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan kerjasama Yayasan Jurnal Perempuan dengan Plan Indonesia, sebuah organisasi internasional pengembangan masyarakat yang berfokus pada kesejahteraan anak dan keluarga di 66 negara. Pelatihan partisipatoris yang berlangsung selama delapan jam tersebut, diisi oleh para fasilitator. Mariana Amirrudin, Direktur dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, mengawali acara dengan memberikan permainan menarik kepada peserta serta sedikit penjelasan mengenai perbedaan seks dan gender, dan apa yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender (KBG). Selanjutnya, Dewi Candraningrum (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) mengisi sesi diskusi dan analisis kasus, serta memberikan penjelasan mendalam mengenai konteks nasional dan internasional dari KBG.
Dari kedua fasilitator tersebut, peserta--yang adalah gender vocal point dari Plan Indonesia di wilayah NTT dan Grobogan, Jawa Tengah--mendapat pencerahan bahwa kekerasan berbasis gender ternyata sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan bermula pada satu titik, yakni ketidakpahaman masyarakat mengenai perbedaan istilah seks dan gender.
Hal menarik yang disampaikan oleh Dewi Candraningrum, mengenai hukum di Indonesia yang kurang melindungi perempuan yang dilacurkan adalah bahwa hukum kita agaknya tidak dibuat dengan empati dan rasa adil. Keadilan yang tidak dimulai sejak dalam pikiran tersebut menyebabkan kita lupa bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki hak untuk diperlakukan setara dengan manusia lainnya.
Menjelang sesi akhir, Nur Iman Subono atau – Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus dosen Ilmu Politik, Universitas Indonesia – membuat para peserta yang mayoritas laki-laki kembali merenungkan keikutsertaan mereka dalam gerakan membela hak-hak perempuan ini. Di sesi inilah, peserta mendapat pencerahan bahwa sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang mereka miliki. Gerakan feminis bukan gerakan perempuan semata karena dengan lelaki terlibat di dalamnya, sesungguhnya ia sedang membantu dirinya terbebas dari jerat budaya patriarki juga.
Di penghujung pelatihan, peserta diajak sedikit berfilsafat dengan menyelami berbagai mitologi dan mitos-mitos yang sesungguhnya diskriminatif terhadap perempuan. Rocky Gerung--Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus dosen Filsafat, Universitas Indonesia--mengantarkan akhir acara pada kesimpulan bahwa dalam sistem kepercayaan yang kita yakini sekalipun, seyogyanya harus kita kritisi potensi kekerasan berbasis gender di dalamnya. Dan pemahaman adalah sebuah langkah untuk memulai sebuah gerakan menuju keadilan dan kesetaraan.
Oleh: Wara Aninditari Larascintya Habsari