Lokalatih "Kepemimpinan Feminis Muda untuk Pemberdayaan Masyarakat Basis"
Bertempat di Hotel Sutan Raja, Cirebon, pada tanggal 2-6 Mei 2014 lalu, Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia menyelenggarakan lokalatih MBI (Movement Building Institute) dengan tema “Kepemimpinan Feminis Muda untuk Pemberdayaan Masyarakat Basis”. Lokalatih dengan cakupan Jawa-Bali-NTB ini, diikuti oleh 18 partisipan dari beragam lembaga. Jakarta diwakili oleh Munarsih (Perkumpulan Air Putih) dan Wara Aninditari Larascintya Habsari (Yayasan Jurnal Perempuan); Banten oleh Essi Sukaesih (PPSW Pasoendan); Jawa Barat oleh Irma Rismayanti (Sapa Institut); Jawa Tengah oleh Yuliana (Yayasan Satu Karsa Karya) dan dua peserta individu, Dani Saputri dan Isti Komah; Yogyakarta oleh Rika Mamesti (PEKKA), Ajeng Herliyanti (AFSC), dan Alviah (Institut Hak Asasi Perempuan); Jawa Timur oleh Rizki Nurhaini (Yayasan Prakarsa Swadaya Masyarakat), Titim Fatmawati (Post Institute), dan Nur Lailiyah (PT. Holcim); Bali oleh Putu Ayu Utami Dewi (Spirit Paramasitta) dan Ni Luh Anik Ariani (IPPI-Bali); serta NTB oleh Siti Hadijah (LPSDM), Nita R. Zulinayati (SUAR FAPSEDU), dan Masnim (Jarpuk Rindang Lombok Tengah).
Koordinator FAMM Indonesia, Niken Lestari, menyatakan bahwa lokalatih MBI ini berupaya memberikan peningkatan kapasitas kepemimpinan perempuan dan pengorganisasian bagi para feminis muda di Indonesia dari pelbagai latar belakang lembaga. Adapun yang dimaksud sebagai feminis muda menurut FAMM Indonesia adalah perempuan-perempuan yang masih berusia dibawah 35 tahun, berada maksimal dilapis kedua organisasi, atau terhitung baru berkontribusi pada lembaga yang berfokus pada isu perempuan. “Melalui MBI, FAMM Indonesia berupaya memfasilitasi para aktivis perempuan muda yang bergerak pada bidang pengorganisasian dan pemberdayaan perempuan basis. Kami juga turut mengundang para alumni yang secara konsisten berkecimpung di dunia gerakan perempuan. Oleh karenanya, program MBI tidak hanya diikuti oleh para feminis muda yang tergabung dalam suatu LSM, tetapi juga mereka yang aktif di perusahaan atau bahkan partai politik. Keanggotaan MBI terikat secara individu”, jelas Niken.
Salah satu peserta pelatihan, Rika Mamesti dari PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), mengaku menjadi aktivis perempuan adalah sebuah pilihan. “Jika pada umumnya mahasiswa lulusan Universitas Indonesia merasa bangga bisa masuk ke perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, maka aku merasa bangga ketika berhasil meyakinkan orang tuaku bahwa berkontribusi untuk masyarakat dan bergabung dalam gerakan perempuan adalah pilihan hidupku.” Sebagai seorang feminis muda, Rika mengatakan bahwa adalah sebuah tantangan tersendiri untuk menunjukkan komitmennya tatkala dirinya memutuskan menjadi pendamping lapangan bagi para perempuan kepala keluarga di daerah Yogyakarta. “Butuh waktu dua bulan lamanya untuk benar-benar beradaptasi dengan kondisi lapangan dan para dampingan saya. Sebagai seorang pendamping lapangan, kami harus dapat memahami betul kondisi dan perasaan para dampingan agar program yang hendak diselenggarakan adalah apa yang memang sangat dibutuhkan dan dapat membantu kehidupan keseharian mereka, “ tegas Rikka. (Wara Aninditari Larascintya Habsari)
Koordinator FAMM Indonesia, Niken Lestari, menyatakan bahwa lokalatih MBI ini berupaya memberikan peningkatan kapasitas kepemimpinan perempuan dan pengorganisasian bagi para feminis muda di Indonesia dari pelbagai latar belakang lembaga. Adapun yang dimaksud sebagai feminis muda menurut FAMM Indonesia adalah perempuan-perempuan yang masih berusia dibawah 35 tahun, berada maksimal dilapis kedua organisasi, atau terhitung baru berkontribusi pada lembaga yang berfokus pada isu perempuan. “Melalui MBI, FAMM Indonesia berupaya memfasilitasi para aktivis perempuan muda yang bergerak pada bidang pengorganisasian dan pemberdayaan perempuan basis. Kami juga turut mengundang para alumni yang secara konsisten berkecimpung di dunia gerakan perempuan. Oleh karenanya, program MBI tidak hanya diikuti oleh para feminis muda yang tergabung dalam suatu LSM, tetapi juga mereka yang aktif di perusahaan atau bahkan partai politik. Keanggotaan MBI terikat secara individu”, jelas Niken.
Salah satu peserta pelatihan, Rika Mamesti dari PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), mengaku menjadi aktivis perempuan adalah sebuah pilihan. “Jika pada umumnya mahasiswa lulusan Universitas Indonesia merasa bangga bisa masuk ke perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, maka aku merasa bangga ketika berhasil meyakinkan orang tuaku bahwa berkontribusi untuk masyarakat dan bergabung dalam gerakan perempuan adalah pilihan hidupku.” Sebagai seorang feminis muda, Rika mengatakan bahwa adalah sebuah tantangan tersendiri untuk menunjukkan komitmennya tatkala dirinya memutuskan menjadi pendamping lapangan bagi para perempuan kepala keluarga di daerah Yogyakarta. “Butuh waktu dua bulan lamanya untuk benar-benar beradaptasi dengan kondisi lapangan dan para dampingan saya. Sebagai seorang pendamping lapangan, kami harus dapat memahami betul kondisi dan perasaan para dampingan agar program yang hendak diselenggarakan adalah apa yang memang sangat dibutuhkan dan dapat membantu kehidupan keseharian mereka, “ tegas Rikka. (Wara Aninditari Larascintya Habsari)