Lies Marcoes-Natsir: Perlu Melibatkan Perempuan dalam Upaya Deradikalisasi
(06 Juni 2014)
(06 Juni 2014)
Perempuan harus dilibatkan dalam proses deradikalisasi. Selain pelibatan perempuan, cara pandang, persepsi dan rasa yang dialami perempuan juga harus menjadi pertimbangan didalam upaya-upaya deradikalisasi. Hal ini mengingat perempuan merupakan penerima, penafsir sekaligus yang mengimplementasikan dan mereproduksi nilai-nilai fundamentalisme. Pendapat ini disampaikan Lies Marcoes-Natsir, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) dalam acara diseminasi hasil penelitian “Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia” yang diselenggarakan di The Wahid Institute Jakarta pada Kamis (5/6).
Lebih lanjut Lies Marcoes mengatakan penelitian Yayasan Rumah Kitab tentang peran dan posisi perempuan dalam gerakan keagamaan Islam fundamentalis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan feminis dan dilatarbelakangi oleh fakta bahwa selama ini studi-studi tentang kelompok radikal absen melihat peran perempuan, sementara dalam kenyataannya perempuan yang mereproduksi nilai-nilai kepada anak-anak. Menurut Lies Marcoes temuan penelitian menunjukkan bahwa kelompok perempuan adalah penafsir dari nilai-nilai fundamentalisme dan mereka sekaligus merupakan agen yang sangat aktif menerapkan dan menyebarkan nilai-nilai fundamentalisme tersebut, apapun ragam fundamentalismenya, baik MMI, DI/NII, Salafi maupun HTI. Tetapi yang menarik menurut Lies Marcoes adalah sebagai agen, mereka juga mempunyai daya tahan yang luar biasa untuk melawan pandangan-pandangan fundamentalisme yang menurut mereka tidak pas. Perlawanan ini ada yang cenderung tidak “gaduh”, maksudnya melakukan perlawanan tetapi cara perlawanannya tidak gaduh, tetapi ada juga yang perlawanannya cukup “gaduh”.
Lies Marcoes juga mengungkapkan bahwa hasil penelitian—yang didokumentasikan dalam buku berjudul Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia—memperlihatkan bahwa kekerasan bukan jalan yang selalu dipilih. Temuan ini mematahkan premis tentang gerakan fundamentalis yang dianggap selalu menggunakan cara-cara kekerasan. Bahwa ternyata banyak dari mereka yang menolak cara-cara kekerasan. Temuan penting lain adalah bahwa perempuan adalah arena pertempuran (padang Kurusetra) antara modernisme dan fundamentalisme. Karena itu upaya deradikalisasi perlu melibatkan perempuan dan membutuhkan analisis sosial, kemiskinan, politik dan gender. (Anita Dhewy)
Lebih lanjut Lies Marcoes mengatakan penelitian Yayasan Rumah Kitab tentang peran dan posisi perempuan dalam gerakan keagamaan Islam fundamentalis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan feminis dan dilatarbelakangi oleh fakta bahwa selama ini studi-studi tentang kelompok radikal absen melihat peran perempuan, sementara dalam kenyataannya perempuan yang mereproduksi nilai-nilai kepada anak-anak. Menurut Lies Marcoes temuan penelitian menunjukkan bahwa kelompok perempuan adalah penafsir dari nilai-nilai fundamentalisme dan mereka sekaligus merupakan agen yang sangat aktif menerapkan dan menyebarkan nilai-nilai fundamentalisme tersebut, apapun ragam fundamentalismenya, baik MMI, DI/NII, Salafi maupun HTI. Tetapi yang menarik menurut Lies Marcoes adalah sebagai agen, mereka juga mempunyai daya tahan yang luar biasa untuk melawan pandangan-pandangan fundamentalisme yang menurut mereka tidak pas. Perlawanan ini ada yang cenderung tidak “gaduh”, maksudnya melakukan perlawanan tetapi cara perlawanannya tidak gaduh, tetapi ada juga yang perlawanannya cukup “gaduh”.
Lies Marcoes juga mengungkapkan bahwa hasil penelitian—yang didokumentasikan dalam buku berjudul Kesaksian Para Pengabdi: Kajian tentang Perempuan dan Fundamentalisme di Indonesia—memperlihatkan bahwa kekerasan bukan jalan yang selalu dipilih. Temuan ini mematahkan premis tentang gerakan fundamentalis yang dianggap selalu menggunakan cara-cara kekerasan. Bahwa ternyata banyak dari mereka yang menolak cara-cara kekerasan. Temuan penting lain adalah bahwa perempuan adalah arena pertempuran (padang Kurusetra) antara modernisme dan fundamentalisme. Karena itu upaya deradikalisasi perlu melibatkan perempuan dan membutuhkan analisis sosial, kemiskinan, politik dan gender. (Anita Dhewy)