Undangan Menulis
TOR JP 87 November 2015
Tenggat tulisan: 25 Agustus
YJP, Ardhanary Institute, HIVOS ROSEA
Tenggat tulisan: 25 Agustus
YJP, Ardhanary Institute, HIVOS ROSEA
KERAGAMAN GENDER & SEKSUALITAS
Komisi Internasional tentang Hak Asasi LGBT (The International Gay and Lesbian Human Rights Commission (IGLHRC) merupakan satu organisasi penting di bawah PBB yang menangani pelanggaran HAM berbasis SOGI (sexual orientation and gender identity)). Badan ini merupakan salah satu badan konsultasi yang diakui PBB dan didirikan di tahun 1990. IGHLCR juga berkontribusi pada pembuatan Prinsip-Prinsip Yogyakarta (Yogyakarta Principles) di tahun 2010. Prinsip-prinsip Yogyakarta adalah prinsip-prinsip legal internasional mengenai orientasi seksual, identitas gender dan Undang-Undang internasional telah disampaikan kepada PBB dan pihak pemerintah dalam upaya memastikan keberadaan universal perlindungan HAM. Kelompok yang terdiri dari 29 ahli HAM internasional hari ini mengeluarkan pernyataan mengenai Prinsip-Prinsip Yogyakarta mengenai Aplikasi Undang-Undang HAM Internasional Dalam Kaitannya Dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender.
Prinsip-Prinsip tersebut menegaskan standar legal mengikat yang wajib dipatuhi oleh semua Negara. Prinsip-prinsip tersebut diadopsi oleh sekumpulan ahli dalam bidang Undang-Undang internasional dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan di Yogyakarta, Indonesia. Anggota kelompok ahli tersebut terdiri dari mantan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, ahli independen PBB, anggota dan mantan anggota lembaga perjanjian HAM, hakim, akademisi dan pembela HAM. Dalam pengantar aksinya hal 6 dinarasikan: “Kita semua memiliki kesamaan hak asasi manusia. Apapun orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, kebangsaan, ras/etnisitas, agama, bahasa dan status lain yang kita sandang, kita semua memiliki hak-hak asasi manusia (HAM) tanpa boleh disertai dengan diskriminasi”. Pada aksi tersebut diakui dengan jelas keberadaan HAM atas dasar SOGI.
Seringkali bias kekerasan atas dasar SOGI dikarenakan mereka dituduh sebagai perihal baru dan ‘barat’, yang pada kenyataannya dalam struktur tradisional masyarakat mana pun, akan dapat ditemui dengan mudah eksistensi individu atau kelompok yang memiliki keberagaman gender dan seksualitas. Di Indonesia, di kalangan komunitas Bugis misalnya, bahkan dikenal setidaknya ada lima gender yang berbeda. Yang analog sama adalah oroane (laki-laki) dan makkunrai (perempuan), dan tiga lainnya disebut sebagai bissu, calabai, dan calalai. Bissu mewakili aspek perempuan dan laki-laki, yang menjadi pemimpin spiritual setelah naik haji. Calabai mewakili aspek terlahir sebagai laki-laki dan kemudian menjadi perempuan. Sedang Calalai mewakili aspek yang terlahir sebagai perempuan dan kemudian menjadi laki-laki. Di samping tuduhan tersebut, tuduhan yang kerap ada adalah sebutan “sakit-jiwa” atas dasar SOGI mereka, padahal WHO, organisasi kesehatan dunia, telah menyatakan bahwa LGBT bukan fenomena sakit jiwa melainkan varian biasa dari seksualitas manusia.
Kevin Barnhurst dalam buknya berjudul “Media Queered” (2007), menjelaskan bahwa komunitas LGBT telah lama dibungkam di media. Ia mengadvokasi perlunya visibilitas komunitas LGBT di media agar memperlihatkan masyarakat yang beragam. Media mainstream masih terjebak antara “menertawakan” kecirian LGBT atau “mengeksotiskan” dan bahkan kadang digambarkan sebagai “predator”. Padahal apa yang perlu dilakukan media adalah memperlihatkan adanya cara berada yang berbeda, unik dan sekaligus mentransformasikan perubahan dan mengikis homophobia (kebencian & ketakutan pada kalangan LGBT). Kritik terhadap media diperlukan agar media sadar atas ketidakadilan yang terjadi dan ikut memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan yang mencerahkan. Sesungguhnya tujuan utama dari sensivitas media terhadap LGBT adalah untuk membangun dialog antara media dan komunitas LGBT dalam menegakkan HAM.
Dalam bukunya Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (London: Routledge, 1999), Judith Butler menarasikan bahwa “Cultural configurations of sex and gender might then proliferate or, rather, their present proliferation might then become articulable within the discourses that establish intelligible cultural life, confounding the very binarism of sex, and exposing its fundamental unnaturalness. What other local strategies for engaging the ‘unnatural’ might lead to the denaturalization of gender as such?” (hal 190). Butler melemparkan kemungkinan yang melampui binerisme, pada sesuatu yang kemudian manusia dapat menyebutnya sebagai alamiah. Teori Queers merupakan salah satu persebaran dari teori-teori kritis pos-strukturalis yang lahir pada tahun 1990-an dan disokong secara kuat dalam filsafat feminisme. Di samping Butler, teori ini juga dibangun oleh nama-nama seperti Lauren Berlant, Leo Bersani, Lee Edelman, Jack Halberstam, David Halperin, Jose Esteban Munoz, Eve Kosofsky Sedgwick, dan lain-lain.
“Bahwa lesbian bukan perempuan” dilontarkan oleh Monique Wittig di tahun 1980 dalam “La Pensée straight" sebagai bagian dari mengurangi kecemasan modernitas dalam menghadapi esensialisme metafisika kehadiran (muasal politik identitas Foucault). Jika Beauvoir menyatakan bahwa seseorang tak terlahir sebagai perempuan, tetapi ‘menjadi’ perempuan; maka Wittig memberikan penekanan pada kata ‘perempuan’: bahwa seseorang tak terlahir sebagai ‘perempuan’. Kedua kalimat tersebut sama, tetapi karena penekanan yang berbeda, kemudian menghasilkan makna yang tidak sama dalam diskursus sosial, politik, ekonomi dan terlebih dalam politik linguistik dan politik identitas. Lesbian adalah konsep yang melampaui kategori, bagi Wittig, karena lesbian melampaui identitas laki-laki atau perempuan dalam statusnya atas reproduksi, atas perbudakan dalam keluarga. Dus, lesbian bukan perempuan, secara ekonomi, secara politik, secara ideologis. Lesbian harus meretaskan dirinya dari identitas yang janggal dari menjadi perempuan, baru kemudian sampai pada lesbian. Atau bahwa lesbian melakukan perjalanan bolak-balik, dari menjadi perempuan, dari menjadi laki-laki, atau sebut saja dengan mudah dari menjadi ‘lesbian’ saja. Ia mengalami dan memikirkan subjektivitas kognitifnya atas ruang konseptual yang amat beresiko dan berbahaya karena ia berada dalam lubang-hitam yang tak diakui dalam diskursus manusia atas ‘dunia’. Sedang bahasa sebagai jalan mediasi, jalan representasi, merupakan ‘alat pembunuh’ pertama atas apa-apa yang berada di luar kategori sebagai ‘berbahaya’.
Diskursus ini dibangun dari pergulatan feminisme dalam melawan ide bahwa gender merupakan entitas esensialis-diri yang dibentuk dan dikonstruksi secara sosial, yang kemudian melahirkan identitas seksual. Teori ini mendenaturalisasi apa-apa yang normatif dan apa-apa yang disebut sebagai ‘melenceng’ dari kodrat alam. Queer berfokus pada sirkulasi jenis kelamin, gender dan hasrat. Tak hanya itu, ia juga membahas perihal cross-dressing (cara berpakaian berbeda dari ‘kodrat’ gender), interseksualitas, ambiguitas gender dan operasi kelamin. Teori ini kurang begitu berkembang dalam kajian-kajian di Indonesia, meskipun telah ada, tetapi tidak sebanyak kajian-kajian wanita.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas tujuh aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
mereka sebagai perempuan menjadi tidak nampak?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 25 Agustus 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP87 (yaitu: Gender, Keragaman, Seksualitas), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), daftar pustaka, narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Prinsip-Prinsip tersebut menegaskan standar legal mengikat yang wajib dipatuhi oleh semua Negara. Prinsip-prinsip tersebut diadopsi oleh sekumpulan ahli dalam bidang Undang-Undang internasional dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan di Yogyakarta, Indonesia. Anggota kelompok ahli tersebut terdiri dari mantan Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, ahli independen PBB, anggota dan mantan anggota lembaga perjanjian HAM, hakim, akademisi dan pembela HAM. Dalam pengantar aksinya hal 6 dinarasikan: “Kita semua memiliki kesamaan hak asasi manusia. Apapun orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, kebangsaan, ras/etnisitas, agama, bahasa dan status lain yang kita sandang, kita semua memiliki hak-hak asasi manusia (HAM) tanpa boleh disertai dengan diskriminasi”. Pada aksi tersebut diakui dengan jelas keberadaan HAM atas dasar SOGI.
Seringkali bias kekerasan atas dasar SOGI dikarenakan mereka dituduh sebagai perihal baru dan ‘barat’, yang pada kenyataannya dalam struktur tradisional masyarakat mana pun, akan dapat ditemui dengan mudah eksistensi individu atau kelompok yang memiliki keberagaman gender dan seksualitas. Di Indonesia, di kalangan komunitas Bugis misalnya, bahkan dikenal setidaknya ada lima gender yang berbeda. Yang analog sama adalah oroane (laki-laki) dan makkunrai (perempuan), dan tiga lainnya disebut sebagai bissu, calabai, dan calalai. Bissu mewakili aspek perempuan dan laki-laki, yang menjadi pemimpin spiritual setelah naik haji. Calabai mewakili aspek terlahir sebagai laki-laki dan kemudian menjadi perempuan. Sedang Calalai mewakili aspek yang terlahir sebagai perempuan dan kemudian menjadi laki-laki. Di samping tuduhan tersebut, tuduhan yang kerap ada adalah sebutan “sakit-jiwa” atas dasar SOGI mereka, padahal WHO, organisasi kesehatan dunia, telah menyatakan bahwa LGBT bukan fenomena sakit jiwa melainkan varian biasa dari seksualitas manusia.
Kevin Barnhurst dalam buknya berjudul “Media Queered” (2007), menjelaskan bahwa komunitas LGBT telah lama dibungkam di media. Ia mengadvokasi perlunya visibilitas komunitas LGBT di media agar memperlihatkan masyarakat yang beragam. Media mainstream masih terjebak antara “menertawakan” kecirian LGBT atau “mengeksotiskan” dan bahkan kadang digambarkan sebagai “predator”. Padahal apa yang perlu dilakukan media adalah memperlihatkan adanya cara berada yang berbeda, unik dan sekaligus mentransformasikan perubahan dan mengikis homophobia (kebencian & ketakutan pada kalangan LGBT). Kritik terhadap media diperlukan agar media sadar atas ketidakadilan yang terjadi dan ikut memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan yang mencerahkan. Sesungguhnya tujuan utama dari sensivitas media terhadap LGBT adalah untuk membangun dialog antara media dan komunitas LGBT dalam menegakkan HAM.
Dalam bukunya Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (London: Routledge, 1999), Judith Butler menarasikan bahwa “Cultural configurations of sex and gender might then proliferate or, rather, their present proliferation might then become articulable within the discourses that establish intelligible cultural life, confounding the very binarism of sex, and exposing its fundamental unnaturalness. What other local strategies for engaging the ‘unnatural’ might lead to the denaturalization of gender as such?” (hal 190). Butler melemparkan kemungkinan yang melampui binerisme, pada sesuatu yang kemudian manusia dapat menyebutnya sebagai alamiah. Teori Queers merupakan salah satu persebaran dari teori-teori kritis pos-strukturalis yang lahir pada tahun 1990-an dan disokong secara kuat dalam filsafat feminisme. Di samping Butler, teori ini juga dibangun oleh nama-nama seperti Lauren Berlant, Leo Bersani, Lee Edelman, Jack Halberstam, David Halperin, Jose Esteban Munoz, Eve Kosofsky Sedgwick, dan lain-lain.
“Bahwa lesbian bukan perempuan” dilontarkan oleh Monique Wittig di tahun 1980 dalam “La Pensée straight" sebagai bagian dari mengurangi kecemasan modernitas dalam menghadapi esensialisme metafisika kehadiran (muasal politik identitas Foucault). Jika Beauvoir menyatakan bahwa seseorang tak terlahir sebagai perempuan, tetapi ‘menjadi’ perempuan; maka Wittig memberikan penekanan pada kata ‘perempuan’: bahwa seseorang tak terlahir sebagai ‘perempuan’. Kedua kalimat tersebut sama, tetapi karena penekanan yang berbeda, kemudian menghasilkan makna yang tidak sama dalam diskursus sosial, politik, ekonomi dan terlebih dalam politik linguistik dan politik identitas. Lesbian adalah konsep yang melampaui kategori, bagi Wittig, karena lesbian melampaui identitas laki-laki atau perempuan dalam statusnya atas reproduksi, atas perbudakan dalam keluarga. Dus, lesbian bukan perempuan, secara ekonomi, secara politik, secara ideologis. Lesbian harus meretaskan dirinya dari identitas yang janggal dari menjadi perempuan, baru kemudian sampai pada lesbian. Atau bahwa lesbian melakukan perjalanan bolak-balik, dari menjadi perempuan, dari menjadi laki-laki, atau sebut saja dengan mudah dari menjadi ‘lesbian’ saja. Ia mengalami dan memikirkan subjektivitas kognitifnya atas ruang konseptual yang amat beresiko dan berbahaya karena ia berada dalam lubang-hitam yang tak diakui dalam diskursus manusia atas ‘dunia’. Sedang bahasa sebagai jalan mediasi, jalan representasi, merupakan ‘alat pembunuh’ pertama atas apa-apa yang berada di luar kategori sebagai ‘berbahaya’.
Diskursus ini dibangun dari pergulatan feminisme dalam melawan ide bahwa gender merupakan entitas esensialis-diri yang dibentuk dan dikonstruksi secara sosial, yang kemudian melahirkan identitas seksual. Teori ini mendenaturalisasi apa-apa yang normatif dan apa-apa yang disebut sebagai ‘melenceng’ dari kodrat alam. Queer berfokus pada sirkulasi jenis kelamin, gender dan hasrat. Tak hanya itu, ia juga membahas perihal cross-dressing (cara berpakaian berbeda dari ‘kodrat’ gender), interseksualitas, ambiguitas gender dan operasi kelamin. Teori ini kurang begitu berkembang dalam kajian-kajian di Indonesia, meskipun telah ada, tetapi tidak sebanyak kajian-kajian wanita.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas tujuh aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Apa dan bagaimana SOGIEB? LGBTIQ? Bagaimana sejarahnya? Apa arti penting ratifikasi itu sebagai sumber dan peta menuju keadilan bagi mereka?
- Apa dan bagaimana instrumen hukum internasional, ratifikasi nasional atas instrumen internasional yang melindungi LGBT? Apa saja? Bagaimana sejarahnya? Apa arti pentingnya?
- Bagaimana kabar pelanggaran HAM Berbasis SOGIEB di Indonesia? Apa penyebabnya? Bagaimana mekanisme mempertahankan diri (defense-mechanism)?
- Bagaimana kabar Platform Aksi Beijing? Bagaimana dengan Beijing+20? Bagaimana sikap penolakan pemerintah atas SOGIEB pada November 2014? Kemajuan? Kemundurannya?
- Bagaimana perkembangan sejarah teori Queer? Gender trouble? Essentialism versus socio-constructionism? Bagaimana pemikir dan sarjana mutakhir mendiskusikan temuan-temuan mereka
- Bagaimana rekomendasi kebijakan dan hukum untuk mengatasi persoalan-persoalan visibilitas LGBTIQ? Bagaimana strategi budaya keragaman gender dan seksualitas?
mereka sebagai perempuan menjadi tidak nampak?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 25 Agustus 2015 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP87 (yaitu: Gender, Keragaman, Seksualitas), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), daftar pustaka, narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan