Undangan Menulis
CALL FOR PAPER
TOR JP 85 Mei 2015
Tenggat Tulisan: 5 April 2015
Tulisan ilmiah kajian gender, minimal 10 hal, spasi tunggal font 12 ke Pemred JP ([email protected])
TOR JP 85 Mei 2015
Tenggat Tulisan: 5 April 2015
Tulisan ilmiah kajian gender, minimal 10 hal, spasi tunggal font 12 ke Pemred JP ([email protected])
INSTRUMEN GENDER INTERNASIONAL
APA KABAR PLATFORM AKSI BEIJING+20?
APA KABAR PLATFORM AKSI BEIJING+20?
Dalam Jurnal Perempuan Edisi 45 Sejauh Mana Komitmen Negara? JP mengkaji peletakan dasar dan instrumen CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) menjadi penanda awal bagi peta awal melawan diskriminasi gender. Indonesia merupakan salah satu anggota dari 188 negara lainnya. Instrumen legal ini merupakan peta dan jalan untuk melawan fragmentasi hukum internasional yang masih mendiskriminasi separuh penduduk dunia, yaitu perempuan. Kekerasan terhadap perempuan mengambil bentuk dasarnya dalam diskriminasi, yang kemudian beroperasi menjadi kekerasan. Sampai dengan tahun 2015 ini visibilitasnya masih mengalami gangguan seperti dalam peringatan Deklarasi dan Platform Aksi Beijing+20 (UNWomen Report: http://www.unwomen.org/en/news/stories/2014/12/). Ban Ki-moon memiliki komitmen kuat dalam menyampaikan pesannya bahwa perihal ini telah, sedang dan akan menjadi perhatian penuh dalam Post 2015 dan kerangka pembangunan berkelanjutan (baca SDGs—Sustainable Development Goals).
Setidaknya 17.000 partisipan dan 30.000 aktivis memenuhi pembukaan Konferensi Dunia Perempuan ke-4 di Beijing pada September 1995. Tujuan mereka adalah satu, yaitu kesetaraan gender dan pemberdayaan atas perempuan secara global. 20 tahun setelah itu, di tahun 2014 ini mereka berkumpul kembali dalam Aksi Platform Beijing+20. Prioritas pertama yang menjadi perhatian dunia adalah 1) Perempuan dan Lingkungan, disamping 12 isu kritis yang menjadi perhatian, yaitu 2) Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; 3) Anak Perempuan; 4) Perempuan dan Ekonomi; 5) Perempuan dan Kemiskinan; 6) Kekerasan terhadap Perempuan; 7) Hak Asasi Manusia dari Perempuan; 8) Pendidikan dan Training Perempuan; 9) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan; 10) Perempuan dan Kesehatan; 11) Perempuan dan Media; 12) Perempuan dan Daerah Konflik (UN Women Reports, Beijing+20: http://beijing20.unwomen.org/en/about).
Platform Aksi Beijing+20 membayangkan tentang perempuan dan anak-anak perempuan yang mendapatkan kebebasan dan pilihan dan menyadari hak-haknya serta terbebas dari kekerasan, baik ketika ke sekolah, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan juga bayaran yang setara ketika bekerja. Aksi ini merupakan usaha untuk menampakkan yang tak terlihat (the insivible) bahwa perempuan mendapatkan beban paling berat dari ketidakadilan sosial ekonomi dan politik. Yang memperparah kondisi ini adalah akses terhadap “hak” dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual amat minim. Dalam Pernyataan Sikap Perwakilan Perempuan Indonesia dalam Konferensi Asia Pasifik tentang Review Beijing +20 di Bangkok, 18 November 2014 menyatakan kekecewaannya pada pernyataan pemerintah Indonesia dalam menanggapi draft dokumen Asia Pacific Ministerial Declaration on Advancing Gender Equality and Women’s Empowerment yang akan disahkan sebagai pernyataan resmi negara-negara Asia Pasifik untuk pemajuan hak-hak perempuan yang tertuang dalam Beijing Platform for Action +20.
Dalam pers rilisnya Pernyataan Sikap Perwakilan Perempuan Indonesia menilai bahwa pernyataan Pemerintah Indonesia terhadap : 1) Paragraf 4: Indonesia menolak pernyataan Australia mengenai hasil review ICPD, CEDAW, Viena Declaration of Human Rights, Indonesia mendukung Iran dan Pakistan, Rusia tidak sepakat dengan penggunaan istilah seks dan gender, orientasi seksual dan identitas gender. 2) Paragraf 12: Indonesia menolak istilah orientasi seksual dan identitas gender bersama dengan Iran, Rusia, Pakistan, Bangladesh dan Maldives. 3) Paragraf 16 : Indonesia tidak setuju dengan istilah various form of families (keberagaman bentuk keluarga) dan mengusulkan penghapusan teks “perbedaan budaya, politik dan sistem sosial di dalam keberagaman bentuk keluarga”. 4) Paragraf 30: Indonesia mengganti istilah hak dan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi kesehatan reproduksi dan seksual dan hak reproduksi. 5) Paragraf 35: Indonesia mendukung India mengubah istilah konflik menjadi konflik bersenjata yang bertentangan dengan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. 6) Paragraf 43: Indonesia menolak digunakannya istilah hak seksual yang diusulkan oleh Australia. 7) Paragraf 46: Indonesia menolak hak waris perempuan dalam masalah pertanahan. Sikap dan pernyataan Pemerintah Indonesia yang juga mendukung Pemerintah Iran, Pakistan, dan Rusia tersebut dinilai menunjukkan kemunduran dan menghambat pemajuan hak-hak perempuan.
Kenyataannya, kehidupan dan pemajuan hak-hak perempuan di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir menunjukkan berbagai kemajuan dan capaian sebagai berikut: 1) Undang-Undang No.23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak. 2) Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. 3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 4) Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. 6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 7) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 8) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia. 9) Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. 10) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 11) Peraturan Empat Kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak No. 105 Tahun 2008 tentang Anggaran berperspektif Gender. 12) Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di area konflik.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas tujuh aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 5 April 2015
dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP85 (yaitu: Instrumen Gender Internasional, Platform Aksi Beijing dan Beijing+20), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Setidaknya 17.000 partisipan dan 30.000 aktivis memenuhi pembukaan Konferensi Dunia Perempuan ke-4 di Beijing pada September 1995. Tujuan mereka adalah satu, yaitu kesetaraan gender dan pemberdayaan atas perempuan secara global. 20 tahun setelah itu, di tahun 2014 ini mereka berkumpul kembali dalam Aksi Platform Beijing+20. Prioritas pertama yang menjadi perhatian dunia adalah 1) Perempuan dan Lingkungan, disamping 12 isu kritis yang menjadi perhatian, yaitu 2) Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; 3) Anak Perempuan; 4) Perempuan dan Ekonomi; 5) Perempuan dan Kemiskinan; 6) Kekerasan terhadap Perempuan; 7) Hak Asasi Manusia dari Perempuan; 8) Pendidikan dan Training Perempuan; 9) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan; 10) Perempuan dan Kesehatan; 11) Perempuan dan Media; 12) Perempuan dan Daerah Konflik (UN Women Reports, Beijing+20: http://beijing20.unwomen.org/en/about).
Platform Aksi Beijing+20 membayangkan tentang perempuan dan anak-anak perempuan yang mendapatkan kebebasan dan pilihan dan menyadari hak-haknya serta terbebas dari kekerasan, baik ketika ke sekolah, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan juga bayaran yang setara ketika bekerja. Aksi ini merupakan usaha untuk menampakkan yang tak terlihat (the insivible) bahwa perempuan mendapatkan beban paling berat dari ketidakadilan sosial ekonomi dan politik. Yang memperparah kondisi ini adalah akses terhadap “hak” dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual amat minim. Dalam Pernyataan Sikap Perwakilan Perempuan Indonesia dalam Konferensi Asia Pasifik tentang Review Beijing +20 di Bangkok, 18 November 2014 menyatakan kekecewaannya pada pernyataan pemerintah Indonesia dalam menanggapi draft dokumen Asia Pacific Ministerial Declaration on Advancing Gender Equality and Women’s Empowerment yang akan disahkan sebagai pernyataan resmi negara-negara Asia Pasifik untuk pemajuan hak-hak perempuan yang tertuang dalam Beijing Platform for Action +20.
Dalam pers rilisnya Pernyataan Sikap Perwakilan Perempuan Indonesia menilai bahwa pernyataan Pemerintah Indonesia terhadap : 1) Paragraf 4: Indonesia menolak pernyataan Australia mengenai hasil review ICPD, CEDAW, Viena Declaration of Human Rights, Indonesia mendukung Iran dan Pakistan, Rusia tidak sepakat dengan penggunaan istilah seks dan gender, orientasi seksual dan identitas gender. 2) Paragraf 12: Indonesia menolak istilah orientasi seksual dan identitas gender bersama dengan Iran, Rusia, Pakistan, Bangladesh dan Maldives. 3) Paragraf 16 : Indonesia tidak setuju dengan istilah various form of families (keberagaman bentuk keluarga) dan mengusulkan penghapusan teks “perbedaan budaya, politik dan sistem sosial di dalam keberagaman bentuk keluarga”. 4) Paragraf 30: Indonesia mengganti istilah hak dan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi kesehatan reproduksi dan seksual dan hak reproduksi. 5) Paragraf 35: Indonesia mendukung India mengubah istilah konflik menjadi konflik bersenjata yang bertentangan dengan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial. 6) Paragraf 43: Indonesia menolak digunakannya istilah hak seksual yang diusulkan oleh Australia. 7) Paragraf 46: Indonesia menolak hak waris perempuan dalam masalah pertanahan. Sikap dan pernyataan Pemerintah Indonesia yang juga mendukung Pemerintah Iran, Pakistan, dan Rusia tersebut dinilai menunjukkan kemunduran dan menghambat pemajuan hak-hak perempuan.
Kenyataannya, kehidupan dan pemajuan hak-hak perempuan di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir menunjukkan berbagai kemajuan dan capaian sebagai berikut: 1) Undang-Undang No.23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak. 2) Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. 3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 4) Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. 6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 7) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 8) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia. 9) Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. 10) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 11) Peraturan Empat Kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak No. 105 Tahun 2008 tentang Anggaran berperspektif Gender. 12) Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di area konflik.
Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas tujuh aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Apa dan bagaimana instrumen gender hukum internasional? Apa saja? Bagaimana sejarahnya? Apa arti penting ratifikasi itu sebagai sumber dan peta menuju keadilan? (NKS)
- Apa dan bagaimana ratifikasi nasional atas instrumen internasional? Apa saja? Bagaimana sejarahnya? Apa arti pentingnya? (SI)
- Bagaimana kabar CEDAW? Kemajuannya? Kemundurannya?
- Bagaimana kabar Platform Aksi Beijing? Bagaimana dengan Beijing+20? Bagaimana sikap pemerintah? Kemajuan? Kemundurannya? (RK)
- Bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan tersebut di Indonesia? Bagaimana pengetahuan penegak hukum dan masyarakat luas terhadap pelaksanaannya?
- Bagaimana peran perempuan dalam mempromosikan perihal ini dalam diplomasi internasional? Apakah telah dilakukan? Bagaimana dengan isu trafficking? Bagaimana diplomasi internasional dapat melakukan advokasi atas hak-hak perempuan di dunia internasional? (FGD dengan diplomat perempuan via ibu Retno Menlu).
- Bagaimana rekomendasi kebijakan dan hukum untuk mengatasi persoalan-persoalan visibilitas instrumen yang belum memadai dan bagaimana cara mengarusutamakan konvensi tersebut dalam instrumen nasional dan lokal?
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 5 April 2015
dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada tiga kata kunci tema JP85 (yaitu: Instrumen Gender Internasional, Platform Aksi Beijing dan Beijing+20), dengan matra gender, dengan memakai kerangka kajian feminisme, dengan dukungan data & referensi paling mutakhir. Tulisan kami harapkan dalam bahasa Indonesia minimal 10 halaman spasi tunggal dengan jenis huruf Calibri, Font 12. Tulisan dilengkapi dengan abstrak dwi bahasa (Eng-Indo, 250 kata), narasi CV pendek & email penulis.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan