JP 80 "Ekofeminisme, Krisis Ekologis dan Pembangunan Berkelanjutan
Deadline: 1 Desember 2013
Kirim ke: [email protected]
Kehadiran ekofeminisme secara etimologis dimulai pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai akibat dari irisan dan gesekan dari teori-teori dalam feminisme dan environmentalisme. Secara terminologis, ekofeminisme diperkenalkan oleh Francoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort (Feminism atau Kematian) yang diterbitkan pada tahun 1974. Dalam buku ini perempuan dan persoalan ekologis dikaitkan secara multidimensional (Morgan, 1992: 4). Para pencetus teori di bidang ini antara lain adalah Rosemary Radford Ruether, Ivone Gebara, Vandana Shiva, Susan Griffin, Alice Walker, Starhawk, Sallie McFague, Luisah Teish, Sun Ai Lee-Park, Paula Gunn Allen, Monica Sjöö, Greta Gaard, Karen Warren dan Andy Smith. Ekofeminisme tidak hanya mengkaitkan perempuan dan lingkungan, tetapi juga spiritualitas Krisis dan kehancuran bumi merupakan swara dari devaluasi bumi sekaligus devaluasi perempuan (Spretnak, 1990: 5-6). Ekofeminisme merupakan “gerakan sosial” yang unik dan memiliki ideologi kuat dalam menantang pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan keberlanjutan ekosistem dan melahirkan krisis ekologis yang akut (Eisler, 1990: 23; Quinby, 1990: 127; Plant, 1990: 155; Van Gelder, 1989; Clausen, 1991; Nash, 1989; Warren, 1990; Lahar, 1991; Cuomo, 1992; Salleh, 1992).
Hewan dan perempuan, dalam konsepsi patriarki, dicap sebagai liar dan buas. Maka perlu ditundukkan, diatur, dan dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan peradaban. Dalam perhewanan, kata-kata buas dan predator, bahkan disematkan sebagai bentuk reduksi dan negativitas atas fungsi penting mereka terhadap keseimbangan alam. Bahasa manusia dibentuk berdasarkan pola-pola kekuasaan yang top-down dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi, dan subjektivitas manusia dibangun atas “bahaya”. Dus hewan yang liar dan berbahaya, dalam hal ini adalah juga perempuan (melalui sunat), perlu dijinakkan, atau jika perlu diberangus supaya tidak membahayakan peradaban. Konsepsi reduksionis ini telah membawa ikutan-ikutan dan resiko ketidakseimbangan alam yang justru membawa ancaman dan kerusakan ekologis. Sifat-sifat keberbahayaan hewan telah menjustifikasi manusia untuk melakukan eksploitasi masif demi perikehidupan dan kemakmuran peradaban. Ini jelas bukan pandangan ekologis yang holistik dan menyelamatkan keseimbangan.
Ketergantungan manusia sebagai bagian dari ekosistem alam perlu dilahirkan dan direkonsepsi kembali nilai-nilai urgensinya, supaya akumulasi sumber daya alam dapat direduksi dan dapat ditemani dengan pemulihan-pemulihan ekologis. “Sensitivitas linguistik” perlu ditumbuhkan dalam memandang alam dan manusia-manusia Liyan dalam rumah besar patriarki. Konstruksi diskursif yang meliyankan hewan dan tubuh perempuan ini yang kemudian melahirkan Liyan dalam konsepsi rasional, sehingga menghalalkan cara untuk eksploitasi dan akumulasi sumber daya alam, misalnya melalui tambang yang limbahnya sangat berbahaya dan hampir mustahil untuk didaur-ulang. Varietas padi di pulau Jawa, yang dahulu tercatat, jumlahnya ratusan, sekarang tinggal beberapa belas saja. Hilangnya pluralitas dan diversifikasi padi ini merupakan hasil dari kelahiran diskursus reduksionisme yang berdasarkan pada profit dan kapital. Ketika mereka berubah bentuk dari “makhluk” menjadi “produk” unggul dan tidak susah diurus, atau gampang diatur. Padahal resiko yang dilahirkan dari “rasionalisasi agraria” ini adalah jatuhnya ekosistem pada titik nadir.
Jurnal Perempuan memandang penting untuk melakukan kajian lebih lanjut bagaimana dampak kerusakan lingkungan terkini, jejak karbon, global warming, man-made disaster pada perikehidupan perempuan dan bumi. Dan kajian ini juga akan ditopang dengan memperkenalkan kembali pandangan dunia (vision du monde) perempuan atas alam, lingkungan, dan bumi yang dalam konstruksi modernitas diberi diksi sustainable development—yang pada tahun 2015 akan menggantikan parameter MDGs (Millenium Development Goals) PBB.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan digali dalam kajian JP Edisi 80:
1. Apa dan bagaimana pandangan dunia perempuan terhadap alam, lingkungan dan bumi?
2. Bagaimana sejarah pengetahuan perempuan tentang ekologi dalam perspektif ekofeminisme?
3. Bagaimana peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan?
4. Bagaimana strategi perempuan dalam melindungi ekologi dari sektor ekonomi?
5. Bagaimana strategi perempuan dalam melindungi ekologi dari sektor politik?
6. Bagaimana strategi perempuan dalam melindungi ekologi dari sektor pertanian?
Hewan dan perempuan, dalam konsepsi patriarki, dicap sebagai liar dan buas. Maka perlu ditundukkan, diatur, dan dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan peradaban. Dalam perhewanan, kata-kata buas dan predator, bahkan disematkan sebagai bentuk reduksi dan negativitas atas fungsi penting mereka terhadap keseimbangan alam. Bahasa manusia dibentuk berdasarkan pola-pola kekuasaan yang top-down dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi, dan subjektivitas manusia dibangun atas “bahaya”. Dus hewan yang liar dan berbahaya, dalam hal ini adalah juga perempuan (melalui sunat), perlu dijinakkan, atau jika perlu diberangus supaya tidak membahayakan peradaban. Konsepsi reduksionis ini telah membawa ikutan-ikutan dan resiko ketidakseimbangan alam yang justru membawa ancaman dan kerusakan ekologis. Sifat-sifat keberbahayaan hewan telah menjustifikasi manusia untuk melakukan eksploitasi masif demi perikehidupan dan kemakmuran peradaban. Ini jelas bukan pandangan ekologis yang holistik dan menyelamatkan keseimbangan.
Ketergantungan manusia sebagai bagian dari ekosistem alam perlu dilahirkan dan direkonsepsi kembali nilai-nilai urgensinya, supaya akumulasi sumber daya alam dapat direduksi dan dapat ditemani dengan pemulihan-pemulihan ekologis. “Sensitivitas linguistik” perlu ditumbuhkan dalam memandang alam dan manusia-manusia Liyan dalam rumah besar patriarki. Konstruksi diskursif yang meliyankan hewan dan tubuh perempuan ini yang kemudian melahirkan Liyan dalam konsepsi rasional, sehingga menghalalkan cara untuk eksploitasi dan akumulasi sumber daya alam, misalnya melalui tambang yang limbahnya sangat berbahaya dan hampir mustahil untuk didaur-ulang. Varietas padi di pulau Jawa, yang dahulu tercatat, jumlahnya ratusan, sekarang tinggal beberapa belas saja. Hilangnya pluralitas dan diversifikasi padi ini merupakan hasil dari kelahiran diskursus reduksionisme yang berdasarkan pada profit dan kapital. Ketika mereka berubah bentuk dari “makhluk” menjadi “produk” unggul dan tidak susah diurus, atau gampang diatur. Padahal resiko yang dilahirkan dari “rasionalisasi agraria” ini adalah jatuhnya ekosistem pada titik nadir.
Jurnal Perempuan memandang penting untuk melakukan kajian lebih lanjut bagaimana dampak kerusakan lingkungan terkini, jejak karbon, global warming, man-made disaster pada perikehidupan perempuan dan bumi. Dan kajian ini juga akan ditopang dengan memperkenalkan kembali pandangan dunia (vision du monde) perempuan atas alam, lingkungan, dan bumi yang dalam konstruksi modernitas diberi diksi sustainable development—yang pada tahun 2015 akan menggantikan parameter MDGs (Millenium Development Goals) PBB.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan digali dalam kajian JP Edisi 80:
1. Apa dan bagaimana pandangan dunia perempuan terhadap alam, lingkungan dan bumi?
2. Bagaimana sejarah pengetahuan perempuan tentang ekologi dalam perspektif ekofeminisme?
3. Bagaimana peran perempuan dalam pembangunan berkelanjutan?
4. Bagaimana strategi perempuan dalam melindungi ekologi dari sektor ekonomi?
5. Bagaimana strategi perempuan dalam melindungi ekologi dari sektor politik?
6. Bagaimana strategi perempuan dalam melindungi ekologi dari sektor pertanian?