Dina Ardiyanti: “Pemimpin Perempuan Buruh masih Langka”
(26 Mei 2014)
(26 Mei 2014)
Solo—bertempat di Balai Soedjatmoko, Jejer Wadon menggelar diskusi bulanan, kali ini dimoderatori oleh Edi Wahyu Widianto (YAPHI) soal kondisi buruh di Indonesia, terutama nasib perempuan buruh. Hadir sebagai narasumber adalah Dina Ardiyanti (head of TURC-Trade Union Centre) dan Sriyono (Pengawas Disnaker Surakarta). Menurut Sriyono, perempuan buruh masih banyak terdiskriminasi, terutama di sektor informal yang masih belum mengakui mereka sebagai buruh. Sementara Dina Ardiyanti memaparkan mengapa gerakan perempuan buruh kurang maju, yaitu “Karena tidak bisa bersatu, tidak memiliki akses media mainstream, dan kurangnya kampanye budaya”. Dina melanjutkan “Pelanggaran dan pelecehan seksual sering sekali dialami buruh perempuan. Diskriminasi lain adalah soal upah. Hal ini ada karena UU Perkawinan menyatakan bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama, jadi upah perempuan dianggap sebagai upah sekunder”.
Dina menyarankan untuk menegakkan hak-hak perempuan buruh diperlukan langkah berikut: “Pertama, kekuatan serikat. Serikat harus kuat, serikat tidak kuat karena serikat dianggap sebagai momok dan berbahaya. Jadi buruh perempuan menengah ke atas tidak menganggap dirinya buruh, dan tidak menganggap serikat sebagai penting. Kedua, Kepemimpinan harus diperkuat. Kita sangat kekurangan pemimpin perempuan buruh. Apalagi di industri garmen dan tekstil. Apalagi mereka memiliki beban ganda sebagai ibu dan istri di rumah. Ketiga, pentingnya solidaritas. Solidaritas antar buruh kita sangat buruk. Terutama bagi yang bergaji menengah ke atas, yang tidak memiliki kepedulian pada buruh dengan gaji rendah. Solidaritas ini amat maju di Negara maju. Jadi mereka bisa bersatu memperjuangkan hak-haknya dengan lebih baik”. (redaksi-jp)
Dina menyarankan untuk menegakkan hak-hak perempuan buruh diperlukan langkah berikut: “Pertama, kekuatan serikat. Serikat harus kuat, serikat tidak kuat karena serikat dianggap sebagai momok dan berbahaya. Jadi buruh perempuan menengah ke atas tidak menganggap dirinya buruh, dan tidak menganggap serikat sebagai penting. Kedua, Kepemimpinan harus diperkuat. Kita sangat kekurangan pemimpin perempuan buruh. Apalagi di industri garmen dan tekstil. Apalagi mereka memiliki beban ganda sebagai ibu dan istri di rumah. Ketiga, pentingnya solidaritas. Solidaritas antar buruh kita sangat buruk. Terutama bagi yang bergaji menengah ke atas, yang tidak memiliki kepedulian pada buruh dengan gaji rendah. Solidaritas ini amat maju di Negara maju. Jadi mereka bisa bersatu memperjuangkan hak-haknya dengan lebih baik”. (redaksi-jp)