Kalimantan Barat dikenal sebagai kota khatulistiwa, dengan Pontianak sebagai ibu kota. Dari Pontianak menuju ke sebuah kota kecil yang bernama Singkawang harus ditempuh selama empat jam. Singkawang lah kampung halamanku, kota yang indah dan penuh kenangan. Aku lahir di Singkawang pada tahun 1992. Aku lahir di sebuah keluarga kecil. Aku adalah anak kedua, sekaligus menjadi anak paling bungsu di keluargaku. Aku dan kakak perempuanku dibesarkan dengan penuh kasih sayang tetapi juga dengan kekerasan. Tentu saja, aku yang paling dimanja. Aku yang sering dimanja membuat aku menjadi seseorang yang cengeng. Dari umur lima tahun aku sudah mulai masuk Sekolah Dasar (SD). Sampai aku kelas 4 SD, mau tidak mau, aku harus tinggal kelas karena nilai matematikaku jelek (Tapi untuk hitung uang, aku jagoannya). Masuk ke kelas 5 SD, aku sakit demam berdarah. Aku harus dirawat di rumah sakit selama satu minggu. Sungguh satu minggu yang tersiksa. Aku harus diberi infus dan disuntik lima macam obat dalam waktu setengah jam sekali. Biasanya orang sakit itu badannya jadi kurus. Tapi tidak dengan aku. Aku yang awalnya kurus justru menjadi gemuk. Dan sekarang, gemuk itu jadi permanen. Seiring waktu, akhirnya aku lulus juga dari SD dan lanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di sekolah yang sama. Dari SMP aku mulai mempunyai banyak teman. Aku punya teman satu geng yang bernama “SweetyGirl”, yang berjumlah 8 orang. Waktu SMP juga aku mulai mengenal cinta.
Di umur 14 tahun, kelas 3 SMP, aku berpacaran untuk pertama kalinya, dengan laki-laki yang berbeda 9 tahun denganku. Kata temanku dia ganteng, mirip vokalis F4 yang bernama Tao Ming Tse. Tapi hubungan itu hanya bertahan selama tiga bulan. Mungkin memang karena aku orang yang cepat bosan. Jadi, ya sudahlah. Lulus dari SMP, aku berumur 15 tahun. Aku mulai bekerja mulai dari Singkawang ke Malaysia, hingga kembali lagi kerja di Singkawang. Pergaulanku semakin luas. Aku yang beranjak remaja sudah mulai mengetahui seperti apa itu dandan dan nongkrong. Pada dasarnya, aku memang tidak jelek-jelek banget. Aku sempat memegang prinsip: Tidak boleh jomblo lebih dari tiga hari. Jadi, stock harus selalu TERSEDIA. Dengan aku yang tidak jelek-jelek banget ini, aku jadi suka menggampangkan suatu hubungan. Aku sering berpikir, “Ya, gampanglah siapa sih yang tidak bisa aku dapatkan kalau aku mau?”. Di dalam keluarga aku sering dimanja dan saat itu mama juga tidak berada di rumah, tapi di Taiwan. Aku hanya tinggal bersama papa yang tidak terlalu peduli denganku. Kondisi ini membuatku mencari kebahagiaan lain di luar sana. Aku mendapatkannya dari teman-temanku yang rata-rata adalah laki-laki. Beruntungnya pergaulanku tidak ke narkotika dan minuman keras, melainkan seks bebas. Tapi satu hal yang perlu diketahui: Tidak sembarangan pria yang bisa bergaul denganku, harus pilih pilih juga kali. Pergaulan ini berakhir di Oktober 2008. Waktu itu aku berumur 17 tahun. Aku menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya 27 tahun lebih tua dariku. Mendengar aku menikah, semua teman-temanku tidak terima. Bagi mereka, laki-laki yang kupilih lebih pantas menjadi papaku daripada suamiku. Sampai-sampai mereka berpikir bahwa aku menikah hanya karena uang. Lucunya, ada pacarku yang aku putusin. Namun, ia menolak hingga nekat berlutut di depanku, di tepi jalan, agar aku tidak meninggalkannya. Tapi aku tidak ada pilihan. Aku sudah lelah hidup bersama papa yang penuh kekerasan. Saat itu aku berpikir, hanya dengan menikah aku bisa lepas. Jadi, aku ambil keputusan untuk menikah dini. Awalnya aku berpikir dengan aku menikah hidupku akan jauh lebih baik dan akan selalu dihiasi dengan kebahagiaan. Ternyata tidak. Dia sama saja dengan papaku. Dia tidak sebaik yang aku kenal. Mungkin inilah kesalahan terbesarku. Belum genap satu bulan kenal dia, aku sudah memutuskan untuk menikah dengannya. Sekarang, menyesal pun sudah percuma, sudah terlambat. Yang bisa aku lakukan hanya menjalaninya. Pertengahan 2009, suamiku mengalami kecelakaan. Dia tidak bisa bangun selama setengah tahun. Dia hanya bisa tidur, makan, dan minum. Bagus juga ada kecelakaan itu karena dengan begitu ada satu rahasia besar yang selama kami menikah dia selalu menutupinya dariku. Ternyata suamiku seorang bandar narkotika. Dalam pikiranku, dia telah menipuku. Di awal perkenalan kami dia mengatakan bahwa dia seorang pengusaha minuman, seperti Chivas, Black Label, Red Label, Jack Daniel, Wine, dan begitu banyak jenis minuman lainnya. Dia memasok minuman-minuman tersebut ke klub-klub malam di Jakarta. Di saat aku mengetahui semuanya, aku kecewa. Tapi apalah yang bisa aku perbuat? Awalnya, aku takut karena aku berpikir: Senakal-nakalnya aku hanyalah sebatas seks bebas, tidak lebih. Tapi sekarang aku harus berhadapan dengan narkotika yang tidak pernah aku ketahui dan tidak pernah aku lihat sama sekali. Tapi rasa takut itu aku buang jauh-jauh. Aku perlu uang untuk keluargaku, anak-anakku, pengobatan suamiku, dan untuk makan sehari-hari. Aku harus pikirkan semua karena untuk sementara waktu suamiku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus terjun ke dunia narkotika, menggantikan suamiku. Memang dasar setannya banyak tidak munafik, aku mulai tergiur dengan bisnis ini karena bisa menghasilkan uang dengan cepat, gampang, tanpa harus bersusah payah dan bekerja keras. Dari hasil kerjaku, aku bisa memperoleh semua yang aku inginkan. Sama sekali tidak terpikir olehku akan risiko yang begitu besar di hadapanku. Sampailah pada 26 Juni 2016, pukul 14.00 WIB. Penggerebekan terjadi di rumahku. Habislah aku. Aku tertangkap dengan barang bukti sebanyak 5.75 gram. Yang menariknya lagi, barang bukti adalah blue ice, zat narkotika yang digemari dan dicari banyak orang. Tapi apa gunanya? Mau sebagus apapun barang itu, aku tidak mengerti karena aku bukan pengguna narkotika. Waktu aku di BAP (Berita Acara Pidana), penyidik bertanya, “Apakah kamu menyesal karena mengedarkan narkotika? Aku jawab, “Tidak.” Aku menjual narkotika. Aku tidak menawarkan pada orang. Orang itu sendiri yang datang mencariku. Kalau dibilang aku menjual ‘racun’, itu benar. Tapi aku tidak pernah menawarkan ‘racun’ itu pada orang. Orang itu sendiri yang mencari ‘racun’. Aku merasa aku tidak bersalah karena aku hanya mencari uang di situ. Uang itu pun tidak aku gunakan untuk bersenang-senang, melainkan untuk keluargaku. Januari 2017, aku divonis hukuman penjara selama 6 tahun 3 bulan. Kalau dipikir, ini bukan waktu yang sebentar. Mungkin kalau di luar sudah banyak hal yang bisa aku perbuat. Pasti banyak hal yang sudah aku lewatkan, terutama waktu buat anak-anak dan keluarga. Tapi apa boleh buat? Memang inilah risiko yang aku tanggung karena pekerjaan ini. Sekarang hanya satu yang aku tahu setelah aku bebas dari penjara, aku menyandang satu status baru, yaitu seorang mantan narapidana. Dan, itulah aku Tini. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |